Zanitha membereskan mejanya setelah berpamitan kepada sang bos tentang pengunduran dirinya karena alasan akan menikah.
Bu Ellyn tentu tercengang mendengar berita mendadak tersebut namun apa yang bisa dia perbuat selain memberi ACC karena Zanitha adalah anak dari pemilik perusahaan ini. “Nit, pipi kamu kenapa?” tanya bu Ellyn yang menyadari terdapat memar di tulang pipi Zanitha. “Ini ulah bu Ratih lagi ya?” Bu Ellyn berbisik. Zanitha menggelengkan kepala bersama senyumnya. “Bukan, tadi kepentok pintu.” Zanitha berdusta. Bu Ellyn mengembuskan nafas panjang, hanya dia dan beberapa karyawan senior yang mengetahui asal-usul Zanitha dan perlakuan apa yang dia terima dari ibu tirinya selama ini membuat wanita paruh baya itu merasa iba. “Syukurlah kalau kamu akan menikah, kamu bisa meninggalkan mereka … semoga calon suami kamu bisa memberikan kasih sayang yang enggak pernah kamu dapatkan selama ini,” kata bu Ellyn mendoakan dengan tulus. Zanitha menghentikan aktifitasnya memasukan barang-barang ke sebuah dus, dia menatap bu Ellyn dengan genangan di mata. “Mana mungkin, Ananta hanya menginginkan anak yang sudah pasti untuk memperkuat posisinya di Helvion Group.” Zanitha sudah mengerti sekarang kenapa Ananta ingin memiliki keturunan setelah mengetahui pria itu adalah CEO Helvion Group. Zanitha mengetahui dari sang papi kalau Helvion Group memiliki tiga bisnis yang sukses, di bidang Fintech, Shipping dan Farmasi dan berbasis di Swiss sementara sang Chairman yang bernama Sebastian atau merupakan kakeknya Ananta memiliki tiga putra yaitu Mathias yaitu ayahnya Ananta yang menjadi CEO perusahaan Shipping, Leonardo menangani Fintech dan Simon yang menguasai Farmasi. Dan bila mendengar cerita di luaran sana kalau pimpinan tertinggi perusahaan akan jatuh ke tangan cucu laki-laki yang memiliki keturunan laki-laki pasti Ananta sedang mengincar posisi Chairman. “Dasar serakah.” Zanitha bergumam. “Kenapa?” Bu Ellyn bertanya membuat Zanitha tersadar kalau atasannya masih ada di sana. “Enggak Bu.” Zanitha menyengir. “Ya sudah, kalau kamu butuh sesuatu bisa hubungi saya ya.” Bu Ellyn mengelus pundak Zanitha. “Makasih Bu.” Bu Ellyn pergi meninggalkan kubikel Zanitha sesaat kemudian Zanitha menghempaskan bokongnya di sofa. “Baru kemarin aku dapet pengetahuan tentang Helvion Group dari papi … eeeeh, aku malah ngajuin calon suami yang merupakan CEO perusahaan itu ke papi.” Zanitha mengusap wajahnya kasar. Dan saat memejamkan mata, bayangan sewaktu menabrak Erina muncul dalam benaknya membuat Zanitha terhenyak. “Ya Tuhan ….” Zanitha mengerang. Buru-buru dia membereskan barang-barangnya lalu meninggalkan gedung kantor ini. Beberapa teman sesama karyawan di sana hanya melirikan mata tanpa bertanya apa yang terjadi dengan Zanitha karena sesungguhnya Zanitha tidak memiliki sahabat dekat, mereka semua meski posisinya selevel dengan Zanitha di perusahaan itu tapi menganggap Zanitha adalah anak dari pemilik perusahaan ini sehingga mereka segan terhadap Zanitha. Sambil memeluk dus berisi barang-barangnya, Zanitha menyusuri lorong untuk sampai di lift. Sialnya ketika pintu lift terbuka, dia mendapati sang kakak tiri kedua yang bernama Aditya di dalam sana. Smirk terbit di bibir Aditya yang tengah menyandarkan setengah bagian tubuhnya di dinding lift. Setengah hati Zanitha melangkahkan kaki masuk ke dalam lift. “Mau ke mana?” Aditya bertanya sembari mencolek dagu Zanitha. “Mau pulang ….” Zanitha menyahut. “Katanya lo dipecat sama papi ya?” Aditya bertanya lagi. Zanitha tidak menyahut, kepalanya menunduk dalam menatap ujung sepatu. Aditya merangkul pundak Zanitha, mendekatkan wajahnya di telinga gadis itu. “Kata papi … lo mau nikah? Iya?” Aditya berbisik sembari mengendus leher Zanitha. “Kak … jangan kaya gini.” Zanitha mendorong pelan tubuh Aditya. Aditya tergelak dan malah mengeratkan rangkulannya dengan kasar sehingga tubuh Zanitha mendesak dadanya. “Lo enggak boleh nikah sebelum gue ngerasain tubuh lo.” “Kak!” pekik Zanitha dengan mata memerah. “Lepas!” Zanitha menghentak tangan Aditya dari pundaknya lalu keluar dari lift yang kebetulan pintunya terbuka di lobby. Aditya terkekeh, dia selalu puas setiap habis menggoda Zanitha. Zanitha berlari menyebrangi lobby sambil berderai air mata mengingat pelecehan yang Aditya lakukan sejak kecil kepadanya, hingga detik ini Zanitha tidak tahu apakah dia masih perawan atau tidak. “Nona Zanitha, mau ke mana?” tanya sekuriti di lobby. “Mau pulang, bisa minta tolong panggilkan taksi, Pak?” “Oh boleh!” Pria sekuriti berlari ke depan jalan memanggil taksi. Sambil menunggu taksi, Zanitha mengusap air mata yang terus berguguran membasahi pipi, meratapi betapa malang hidupnya selama ini. Taksi datang dan Zanitha langsung masuk ke dalamnya setelah mengucapkan terimakasih kepada sekuriti. Alamat rumah sang papi yang Zanitha berikan kepada driver taksi agar mengantarnya ke sana. Zanitha tinggal di rumah itu selama dua puluh lima tahun hidupnya, mendapat berbagai macam caci maki, kekerasan verbal maupun fisik yang harus dia tanggung tanpa sekalipun pembelaan dari sang ayah biologis yang telah membawanya ke dunia ini. Sesampainya di rumah mewah milik Damar Wiranata, kaki Zanitha rasanya sulit digerakan. Dia enggan turun dari dalam taksi karena pasti ibu tirinya sudah mendapat kabar dari papi tentang pernikahannya dengan CEO Helvion Group. Tapi Zanitha harus turun karena ke mana lagi dia akan pergi? Gadis itu melangkah gontai masuk ke dalam rumah sembari memeluk sebuah dus. Ketika melewati living room, jantungnya segera saja dibuat berdetak tidak karuan karena sang mami tiri dan kakak tiri berada di sana langsung menoleh menatap tajam pada dirinya. “Sore, Mi … Kak Anin …,” sapa Zanitha pura-pura tidak memiliki dosa. Mami Ratih bangkit dari sofa, wajahnya tampak murka lalu mengangkat tangan saat langkahnya nyaris sampai ke depan Zanitha membuat gadis itu menyilangkan kedua tangan di kepala guna menghalangi pukulan yang dilayangkan sang mami sehingga dusnya jatuh menimpa kaki. “Aaaawwww!” seru Zanitha mengaduh membuat mami Ratih tidak jadi memukulnya. “Rasain! Itu hukuman dari Tuhan karena kamu berkhianat sama kami!” seru mami Ratih geram. “Kok bisa sih kamu dihamilin saingan bisnis Papi? Kamu tega Nitha!” Anindita berseru kecewa. Zanitha menutup mulutnya rapat, tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya karena Ananta adalah tiket untuk keluar dari neraka ini. Sambil sesekali mengusap kakinya, Zanitha memasukan kembali barang-barangnya ke dalam dus. “Maaf Mi … Kak Anin, Nitha enggak tahu kalau dia saingan bisnis papi.” Zanitha melirih. “Kemasi barang-barang kamu sekarang! Besok kamu langsung pergi dari rumah ini setelah menikah! Pokoknya Mami enggak mau tahu, jangan pernah datangi keluarga kami dengan perut kamu yang buncit! Mami enggak mau keluarga dan teman-teman Mami berpikir negatif!” Mami Ratih membentak marah. Mereka semua berpikir kalau Zanitha benar tengah berbadan dua padahal itu adalah kebohongan semata yang diucapkannya secara impulsif agar papi memberikan restu. “Iya Mi, Nitha akan pergi.” Nitha menarik langkah usai berkata demikian, menaiki anak tangga menuju kamarnya dengan raut sendu. Tidak sekalipun mami Ratih iba kepada Zanitha karena setiap kali melihat wajah Zanitha, bayangan akan apa yang dilakukan suaminya dengan mendiang Dina-sang sekretaris di masa lampau hingga menghasilkan Zanitha terus berputar dalam benak beliau bagai kaset rusak dan membuat hatinya berulang kali terluka.Dari balik rindangnya pepohonan di luar pagar mansion, sesosok wanita berdiri memperhatikan jalannya pesta kecil itu. Winna, mantan istri Rafael, hadir tanpa seorang pun menyadari. Ia sengaja bersembunyi di kejauhan, cukup untuk melihat siluet keluarga bahagia itu di bawah temaram cahaya lampu taman. Jantung Winna terasa ngilu setiap kali tawa bahagia terdengar samar sampai ke telinganya. Matanya terpaku pada pemandangan di pelaminan: Rafael duduk merangkul Nayla dengan penuh kasih, dikelilingi tiga anak mereka. Jonas tampak tertawa lepas di pangkuan Rafael, Jenny bertepuk tangan riang di dekat Nayla, sementara bayi Divico tidur pulas di pelukan wanita itu. Pemandangan yang sempurna layaknya lukisan keluarga bahagia. Winna menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang menggenang. Dadanya sesak menyaksikan kedekatan Jonas dan Jenny dengan Nayla. Dari tempatnya berdiri, ia bahkan sempat mendengar samar-samar Jonas memanggil Nayla dengan sebutan “Mommy” tadi. Kat
Enam bulan berlalu sejak kelahiran Divico. Pada suatu senja yang cerah di penghujung musim panas, sebuah acara pernikahan sederhana namun khidmat digelar di taman belakang mansion keluarga Rafael.Bunga mawar putih dan lili menghiasi altar kecil di bawah lengkungan pohon ek tua, menciptakan suasana elegan nan intim.Hanya keluarga dekat dan sahabat karib yang hadir sore itu; berbeda jauh dengan pesta pernikahan pertama Rafael dahulu yang konon dihadiri ratusan tamu undangan kaum sosialita. Kali ini, segalanya ditata lebih personal. Tanpa sorotan gemerlap media, tanpa hingar-bingar kemewahan berlebihan—hanya ada kehangatan orang-orang terkasih yang tulus mendoakan.Nayla berdiri di ujung lorong taman, mengenakan gaun pengantin berpotongan sederhana berwarna gading lembut. Gaun itu berhiaskan renda halus di tepian lengan dan leher, memancarkan kesan anggun tanpa berlebihan.Rambutnya disanggul rendah dengan beberapa helai ikal menjuntai membingkai wajahnya yang ber
Beberapa minggu kemudian, Nayla akhirnya diperbolehkan pulang ke rumah. Pagi itu, mentari menerobos masuk melalui jendela-jendela besar di mansion keluarga Von Rotchschild, memberikan cahaya hangat ke seluruh ruang keluarga yang megah. Suasana rumah yang dahulu terasa dingin dan sepi kini berubah ceria oleh tawa anak-anak.Di atas sofa panjang berlapis beludru, Nayla duduk dengan nyaman sambil menggendong Divico yang terlelap di pelukannya. Wajah bayi berusia sebulan itu tampak damai, jari-jemari mungilnya sesekali bergerak menggenggam udara. Nayla menatap putranya dengan penuh cinta, sesekali mengecup keningnya yang harum bayi.Di samping Nayla, Jonas dan Jenny duduk merapat, seakan tak ingin jauh dari sosok wanita yang mereka rindukan.Jonas, bocah tujuh tahun yang cerdas, menatap adik bayinya dengan mata berbinar. Sementara Jenny, si kecil berusia tiga tahun, bersandar manja pada lengan Nayla sambil memegangi ujung syal tipis yang menutupi bahu Nayla.“Aunty N
Dua minggu telah berlalu sejak malam persalinan yang nyaris merenggut nyawa Nayla. Selama itu pula Rafael nyaris tak pernah beranjak dari sisi istrinya di rumah sakit. Di kamar ICU yang dingin, ia habiskan hari-harinya dengan setia menggenggam tangan Nayla yang terkulai lemah. Setiap detik adalah penantian penuh kecemasan; setiap hembusan napas Nayla di balik ventilator menjadi harapan berharga.Keluarga Von Rotchschild datang silih berganti, berharap akan kesembuhan Nayla.Kala fajar menyingsing di hari keempat belas, sinar matahari lembut menyusup melalui celah gorden jendela.Rafael terduduk di kursi samping ranjang, kepalanya tertunduk lelah di sisi lengan Nayla. Ia tertidur dengan tangan tetap menggenggam jemari Nayla yang dingin, takut melepaskannya barang sedetik pun.Wajah tampannya tampak letih; mata cekung dengan lingkaran hitam pertanda kurang tidur dan janggut tipis yang tumbuh tak terurus.Tiba-tiba, terasa ada gerakan pelan di sela genggaman tangannya. Jemari Nayla
Nayla berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan tubuh bermandikan keringat sementara itu, suara detak monitor jantung berdenting cepat seirama napasnya yang tersengal.Rasa sakit tiada terkira mencengkeram perutnya; kontraksi demi kontraksi menguras tenaganya hingga hampir habis. Jemarinya mencengkeram erat tangan Rafael yang setia di sisinya. “Aku… aku tidak kuat, Rafael…,” erang Nayla lemah, air mata menetes di sudut matanya.Rafael menunduk, mengecup kening Nayla yang basah. “Kamu pasti bisa, Sayang. Tolong bertahan… demi anak kita,” ujarnya serak menahan cemas.Hatinya bagai terperas melihat perempuan yang dicintainya terbaring kesakitan seperti itu. Ia usap rambut Nayla yang menempel di kening, berusaha menenangkan meski dadanya sendiri berdegup kencang tak keruan.Seorang dokter dan dua perawat berdiri siaga di ujung ranjang. “Baik, Nyonya Nayla, sekarang saatnya mendorong lagi. Tarik napas panjang, lalu keluarkan pelan-pelan… ayo, kami tahu Nyonya kuat,” instruksi dokter
Beberapa hari kemudian, di suatu sore cerah, keluarga kecil itu menikmati waktu santai di taman belakang mansion. Langit biru bersih terbentang, angin sepoi-sepoi membawa wangi bunga mawar dari kebun. Di atas rumput hijau yang terpangkas rapi, di bawah rindangnya pohon ara, telah digelar selimut piknik bermotif kotak-kotak.Di sanalah Zanitha duduk, memangku Mayzura yang tertidur pulas dibalut selimut tipis. Ananta duduk di sampingnya, merentangkan kaki sambil sesekali menyeruput teh hangat dari cangkir porselen. Sementara tak jauh, Ares tampak sibuk berlarian mengejar kupu-kupu, tawanya renyah mengisi keheningan sore.Sesekali Zanitha dan Ananta saling pandang sambil tersenyum melihat tingkah laku putra mereka. “Energinya tidak habis-habis,” komentar Zanitha pelan, matanya mengikuti Ares yang kini berpindah bermain dengan sebatang ranting kering yang dijadikannya pedang-pedangan.Ananta mengangguk setuju. “Seandainya kita bisa punya separuh energi Ares, mungkin kita