Zanitha membereskan mejanya setelah berpamitan kepada sang bos tentang pengunduran dirinya karena alasan akan menikah.
Bu Ellyn tentu tercengang mendengar berita mendadak tersebut namun apa yang bisa dia perbuat selain memberi ACC karena Zanitha adalah anak dari pemilik perusahaan ini. “Nit, pipi kamu kenapa?” tanya bu Ellyn yang menyadari terdapat memar di tulang pipi Zanitha. “Ini ulah bu Ratih lagi ya?” Bu Ellyn berbisik. Zanitha menggelengkan kepala bersama senyumnya. “Bukan, tadi kepentok pintu.” Zanitha berdusta. Bu Ellyn mengembuskan nafas panjang, hanya dia dan beberapa karyawan senior yang mengetahui asal-usul Zanitha dan perlakuan apa yang dia terima dari ibu tirinya selama ini membuat wanita paruh baya itu merasa iba. “Syukurlah kalau kamu akan menikah, kamu bisa meninggalkan mereka … semoga calon suami kamu bisa memberikan kasih sayang yang enggak pernah kamu dapatkan selama ini,” kata bu Ellyn mendoakan dengan tulus. Zanitha menghentikan aktifitasnya memasukan barang-barang ke sebuah dus, dia menatap bu Ellyn dengan genangan di mata. “Mana mungkin, Ananta hanya menginginkan anak yang sudah pasti untuk memperkuat posisinya di Helvion Group.” Zanitha sudah mengerti sekarang kenapa Ananta ingin memiliki keturunan setelah mengetahui pria itu adalah CEO Helvion Group. Zanitha mengetahui dari sang papi kalau Helvion Group memiliki tiga bisnis yang sukses, di bidang Fintech, Shipping dan Farmasi dan berbasis di Swiss sementara sang Chairman yang bernama Sebastian atau merupakan kakeknya Ananta memiliki tiga putra yaitu Mathias yaitu ayahnya Ananta yang menjadi CEO perusahaan Shipping, Leonardo menangani Fintech dan Simon yang menguasai Farmasi. Dan bila mendengar cerita di luaran sana kalau pimpinan tertinggi perusahaan akan jatuh ke tangan cucu laki-laki yang memiliki keturunan laki-laki pasti Ananta sedang mengincar posisi Chairman. “Dasar serakah.” Zanitha bergumam. “Kenapa?” Bu Ellyn bertanya membuat Zanitha tersadar kalau atasannya masih ada di sana. “Enggak Bu.” Zanitha menyengir. “Ya sudah, kalau kamu butuh sesuatu bisa hubungi saya ya.” Bu Ellyn mengelus pundak Zanitha. “Makasih Bu.” Bu Ellyn pergi meninggalkan kubikel Zanitha sesaat kemudian Zanitha menghempaskan bokongnya di sofa. “Baru kemarin aku dapet pengetahuan tentang Helvion Group dari papi … eeeeh, aku malah ngajuin calon suami yang merupakan CEO perusahaan itu ke papi.” Zanitha mengusap wajahnya kasar. Dan saat memejamkan mata, bayangan sewaktu menabrak Erina muncul dalam benaknya membuat Zanitha terhenyak. “Ya Tuhan ….” Zanitha mengerang. Buru-buru dia membereskan barang-barangnya lalu meninggalkan gedung kantor ini. Beberapa teman sesama karyawan di sana hanya melirikan mata tanpa bertanya apa yang terjadi dengan Zanitha karena sesungguhnya Zanitha tidak memiliki sahabat dekat, mereka semua meski posisinya selevel dengan Zanitha di perusahaan itu tapi menganggap Zanitha adalah anak dari pemilik perusahaan ini sehingga mereka segan terhadap Zanitha. Sambil memeluk dus berisi barang-barangnya, Zanitha menyusuri lorong untuk sampai di lift. Sialnya ketika pintu lift terbuka, dia mendapati sang kakak tiri kedua yang bernama Aditya di dalam sana. Smirk terbit di bibir Aditya yang tengah menyandarkan setengah bagian tubuhnya di dinding lift. Setengah hati Zanitha melangkahkan kaki masuk ke dalam lift. “Mau ke mana?” Aditya bertanya sembari mencolek dagu Zanitha. “Mau pulang ….” Zanitha menyahut. “Katanya lo dipecat sama papi ya?” Aditya bertanya lagi. Zanitha tidak menyahut, kepalanya menunduk dalam menatap ujung sepatu. Aditya merangkul pundak Zanitha, mendekatkan wajahnya di telinga gadis itu. “Kata papi … lo mau nikah? Iya?” Aditya berbisik sembari mengendus leher Zanitha. “Kak … jangan kaya gini.” Zanitha mendorong pelan tubuh Aditya. Aditya tergelak dan malah mengeratkan rangkulannya dengan kasar sehingga tubuh Zanitha mendesak dadanya. “Lo enggak boleh nikah sebelum gue ngerasain tubuh lo.” “Kak!” pekik Zanitha dengan mata memerah. “Lepas!” Zanitha menghentak tangan Aditya dari pundaknya lalu keluar dari lift yang kebetulan pintunya terbuka di lobby. Aditya terkekeh, dia selalu puas setiap habis menggoda Zanitha. Zanitha berlari menyebrangi lobby sambil berderai air mata mengingat pelecehan yang Aditya lakukan sejak kecil kepadanya, hingga detik ini Zanitha tidak tahu apakah dia masih perawan atau tidak. “Nona Zanitha, mau ke mana?” tanya sekuriti di lobby. “Mau pulang, bisa minta tolong panggilkan taksi, Pak?” “Oh boleh!” Pria sekuriti berlari ke depan jalan memanggil taksi. Sambil menunggu taksi, Zanitha mengusap air mata yang terus berguguran membasahi pipi, meratapi betapa malang hidupnya selama ini. Taksi datang dan Zanitha langsung masuk ke dalamnya setelah mengucapkan terimakasih kepada sekuriti. Alamat rumah sang papi yang Zanitha berikan kepada driver taksi agar mengantarnya ke sana. Zanitha tinggal di rumah itu selama dua puluh lima tahun hidupnya, mendapat berbagai macam caci maki, kekerasan verbal maupun fisik yang harus dia tanggung tanpa sekalipun pembelaan dari sang ayah biologis yang telah membawanya ke dunia ini. Sesampainya di rumah mewah milik Damar Wiranata, kaki Zanitha rasanya sulit digerakan. Dia enggan turun dari dalam taksi karena pasti ibu tirinya sudah mendapat kabar dari papi tentang pernikahannya dengan CEO Helvion Group. Tapi Zanitha harus turun karena ke mana lagi dia akan pergi? Gadis itu melangkah gontai masuk ke dalam rumah sembari memeluk sebuah dus. Ketika melewati living room, jantungnya segera saja dibuat berdetak tidak karuan karena sang mami tiri dan kakak tiri berada di sana langsung menoleh menatap tajam pada dirinya. “Sore, Mi … Kak Anin …,” sapa Zanitha pura-pura tidak memiliki dosa. Mami Ratih bangkit dari sofa, wajahnya tampak murka lalu mengangkat tangan saat langkahnya nyaris sampai ke depan Zanitha membuat gadis itu menyilangkan kedua tangan di kepala guna menghalangi pukulan yang dilayangkan sang mami sehingga dusnya jatuh menimpa kaki. “Aaaawwww!” seru Zanitha mengaduh membuat mami Ratih tidak jadi memukulnya. “Rasain! Itu hukuman dari Tuhan karena kamu berkhianat sama kami!” seru mami Ratih geram. “Kok bisa sih kamu dihamilin saingan bisnis Papi? Kamu tega Nitha!” Anindita berseru kecewa. Zanitha menutup mulutnya rapat, tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya karena Ananta adalah tiket untuk keluar dari neraka ini. Sambil sesekali mengusap kakinya, Zanitha memasukan kembali barang-barangnya ke dalam dus. “Maaf Mi … Kak Anin, Nitha enggak tahu kalau dia saingan bisnis papi.” Zanitha melirih. “Kemasi barang-barang kamu sekarang! Besok kamu langsung pergi dari rumah ini setelah menikah! Pokoknya Mami enggak mau tahu, jangan pernah datangi keluarga kami dengan perut kamu yang buncit! Mami enggak mau keluarga dan teman-teman Mami berpikir negatif!” Mami Ratih membentak marah. Mereka semua berpikir kalau Zanitha benar tengah berbadan dua padahal itu adalah kebohongan semata yang diucapkannya secara impulsif agar papi memberikan restu. “Iya Mi, Nitha akan pergi.” Nitha menarik langkah usai berkata demikian, menaiki anak tangga menuju kamarnya dengan raut sendu. Tidak sekalipun mami Ratih iba kepada Zanitha karena setiap kali melihat wajah Zanitha, bayangan akan apa yang dilakukan suaminya dengan mendiang Dina-sang sekretaris di masa lampau hingga menghasilkan Zanitha terus berputar dalam benak beliau bagai kaset rusak dan membuat hatinya berulang kali terluka.Zanitha duduk di balkon kamarnya dengan lampu yang sengaja dia padamkan agar tidak ada tetangga yang bisa melihatnya duduk di sini dalam keadaan murung.Tapi sinar bulan masih bisa membantu membaca kartu nama Ryan yang berada dalam genggaman tangannya.Banyak yang ingin Zanitha bicarakan salah satunya tentang di mana dia akan tinggal setelah menikah?Ketika Zanitha hendak menyalin nomor ponsel Ryan dan menyimpannya di kontak, benda tersebut berdering memunculkan sederet nomor tidak di kenal.Nomor yang tertera tampak familiar lalu Zanitha menyocokannya dengan nomor ponsel Ryan di kartu nama dan ternyata sama.Zanitha langsung menggeser icon gagang telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan yang dia yakini dari sekretaris Ananta itu.“Hallo Mas Ryan?” Zanitha langsung menyahut.“Nona sudah simpan nomor saya?” tanya Ryan heran karena Zanitha mengetahui kalau dirinya yang menghubungi.“Sudah …,” jawab Zanitha agar tidak perlu menjelaskan.“Oh oke, saya menghubungi Nona ingi
Zanitha menatap dirinya di cermin, dress berwarna putih berlengan panjang dengan model rok A Line yang panjangnya sebetis telah membalut tubuhnya begitu sempurna.Rambut panjang lebat dan ikalnya dia biarkan terurai dan jepit mutiara tersemat di dekat pelipis menambah kesan mewah dan elegan.Zanitha memutar tubuh lalu mengenakan kitten heelsnya.Meraih handle koper lantas membawanya menuju lantai satu.Tidak ada satu pun keluarganya di dalam rumah, papi sudah pergi, mami ngopi cantik bersama bestie, kak Anindita dan mas Adam sudah kembali ke rumah mereka tadi pagi dan Aditya tentunya bersama papi di kantor.Para pegawai sedang beristirahat di area belakang, Zanitha tidak akan mengganggu mereka.“Ini bener-bener enggak ada yang mau nganterin aku menikah? Seenggak penting itu aku di mata mereka?” Zanitha tertawa sumbang.Dia pergi menuju pintu keluar dengan langkah tegas karena sudah memantapkan hatinya untuk pergi dari Neraka ini.Zanitha berdi
“Ini kamar Nona, kamar mandi ada di dalam dan itu dapurnya.” Ryan sedang melakukan room tour kepada Zanitha.“Jangan pindahkan barang-barang di sini dan jangan berantakin ruangan kecuali kamar kamu, terserah.” Ananta memberikan ultim.Zanitha mendengkus sebagai balasan membuat Ananta berdecak lidah kesal.“Memangnya kamu enggak mampu bayar asisten rumah tangga?” Zanitha bersarkasme.“Ada Nona, akan datang setiap hari … tapi siang juga sudah pulang hanya sampai pekerjaannya selesai, mungkin maksud tuan Ananta setelah asisten rumah tangga pulang kalau Nona lapar ingin masak maka harus mencuci piring dan peralatan masak serta merapihkan dapur kembali … juga living room harus tetap rapih seperti itu.” Jempol Ryan menunjuk living room.“Tenang aja, aku enggak bisa masak.” Zanitha menyengir lucu.“Udah waktunya makan siang nih, kita mau makan di mana?” Zanitha melirik arlojinya.Ananta menatap malas Zanitha kemudian menarik langkah menuju pintu keluar.“Nanti saya akan pesan caterin
Zanitha merasa sudah tidur terlalu lama, dari semenjak matahari masih bersinar sampai sekarang sudah kembali ke peraduannya digantikan sang rembulan.Dia bangun karena merasakan haus, entah kenapa juga udara malam ini begitu panas padahal pendingin udara bekerja maksimal.Dia keluar dari kamar menuju dapur.“Waw … udah jam sembilan.” Zanitha terkejut saat melihat jam yang tergantung di dinding.“Ananta udah pulang belum ya?” Dia celingukan sembari berbelok ke depan kamar yang dia yakini adalah kamar Ananta kemudian menempelkan telinga di daun pintu.Hening, tidak ada tanda-tanda kehidupan.“Belum pulang kali ya, dia ‘kan ambis.” Zanitha bicara sendiri lalu melanjutkan langkah ke dapur mencari air minum.Sambil menenggak segelas air, pandangannya tertuju pada kolam renang yang berwarna biru bersih.Kondominium Ananta memang mewah dilengkapi privat pool, tentu saja sekelas CEO perusahaan multinasional pasti mampu membeli kondomium seperti ini.Udara yang panas memunculkan ide b
“Zanitha!” seru Ananta dengan ekspresi berang seperti ingin mencincang Zanitha sekarang juga.Pria itu bangkit dari kursi sambil mengibas-ngibas bagian dada yang sebenarnya percuma dia lakukan.“Apa?” sahut Zanita sama lantangnya, mata gadis itu melotot dengan kepala mendongak menantang Ananta.“Apa-apaan kamu? Aku sebentar lagi harus meeting sama klien!” Ananta menggebrak meja melampiaskan rasa ingin menghajar Zanitha sekarang juga.“Kamu yang apa-apaan? Kamu ngebully aku dengan mengatai aku anak haram, pakai otak donk … aku juga punya hati, aku juga enggak minta dilahirkan … dan seharusnya kamu mikir, apa aku suka dengan status aku ini? Hiks … hiks ….” Zanitha berteriak di antara isak tangisnya.“Aku muak dibully oleh kak Anin dan kak Aditya juga mendapatkan kekerasan verbal dari mami Ratih selama dua puluh lima tahun hidupku … apa enggak bisa kamu jadi seorang pria dewasa yang lebih bijaksana dengan enggak membully aku juga? Hah?” Ananta tertohok, dia tidak mengira Zanitha
Zanitha tidak serta merta percaya apalagi jumawa saat Ryan datang untuk mewakili Ananta menyampaikan permintaan maaf.Entah apa yang sebenarnya terjadi tapi yang pasti Zanitha masih sakit hati.Dia tidak pernah baik-baik saja setiap kali ada yang mengatainya anak haram.Demi apa, luka yang Ananta torehkan melalui kata-katanya tidak semudah itu bisa sembuh.Zanitha mengusap satu buliran kristal yang jatuh dari sudut mata.Ting …Tong …Suara bel di pintu depan membuat Zanitha menoleh dengan ekspresi penuh tanya.Siapa gerangan yang bertamu?Jika itu Ryan atau Ananta, pasti mereka akan langsung masuk karena memiliki akses.Zanitha turun dari sofa yang sedari sore tempatnya bersarang lalu menyeret langkahnya menuju pintu.Ceklek.Seorang kurir berdiri di depan pintu dengan senyum profesional, menyerahkan sebuah buket bunga mawar merah yang terbungkus rapi dalam kertas putih elegan.“Nyonya Zanitha Von Rotchschild?” Kurir pria bertanya untuk memastikan.“Bukan … aku Zanitha
Ananta berjalan mondar-mandir di dalam ruang kerjanya dengan ekspresi gelisah yang jarang terlihat. Tangannya menggenggam ponsel, membaca ulang pesan yang baru saja ia terima dari ayahnya.Mathias von Rotchschild: Ananta, Ayah ingin melakukan video call malam ini. Ayah penasaran dengan wajah istrimu, jangan membuat Ayah curiga kalau sebenarnya kamu belum menikah, hanya membohongi Ayah dan keluarga besar Von Rotchschild. Jangan beri alasan lagi, setelah makan siang Ayah akan melakukan panggilan video!”Mengingat perbedaan waktu lebih cepat enam jam, pasti di Zurich-Swiss sekarang ini akan memasuki jam makan siang dan sang ayah sebentar lagi akan menghubunginya.Ananta menghela napas panjang. Ayahnya sudah mulai curiga. Jika ia terus menghindar, bukan tidak mungkin beliau akan menggali lebih dalam dan menemukan kejanggalan pernikahannya dengan Zanitha.“Persetan,” gumam Ananta, meremas ponselnya. Mau tidak mau, ia harus melibatkan Zanitha.Dengan enggan, Ananta melangkah keluar dar
Zanitha bangun lebih awal dari biasanya. Matanya masih sedikit berat, tetapi semangatnya tinggi.Semalam, setelah video call dengan Mathias, ia terus memikirkan ekspresi Ananta saat dia menyebut ibunya. Ada kesedihan yang samar di mata Ananta yang membuat Zanitha merasa bersalah.Dengan cepat, ia mandi lalu mengenakan pakaian kasual—sebuah blouse putih sederhana dan rok pendek berpotongan rapi. Tidak terlalu formal, tetapi cukup sopan untuk duduk satu meja dengan pria yang kini menjadi suaminya, meskipun hanya dalam kontrak.Ketika ia sampai di ruang makan, Ananta sudah duduk di sana, membaca koran elektronik di iPad, secangkir kopi hitam mengepul di hadapannya. Lelaki itu tampak seperti biasa—tampan, tenang, berkarisma, tapi dingin.Zanitha menarik kursi di seberang Ananta. “Pagi.” Dia menyapa, berusaha terdengar santai.Ananta mengangkat pandangannya sekilas, lalu kembali ke iPad. “Pagi,” jawabnya pendek.Zanitha menarik napas dalam. Ia ingin mengatakan sesuatu yang sudah meng
Keesokan harinya, Ananta berjalan di lorong mansion Sebastian dengan langkah mantap meski hati kecilnya berdegup tak menentu.Tadi saat sarapan, Klaus memberitahu kalau Sebastian memintanya datang untuk berdiskusi.Ananta masih berpikiran positif mungkin sang kakek ingin mendengar report dari pekerjaan yang dia selesaikan di Jakarta.Sesampainya di depan pintu kayu berukir ruang kerja Sebastian, Ananta mengetuk pelan. “Masuk,” terdengar suara bariton Sebastian dari dalam, tegas dan dingin.Ananta membuka pintu dan melangkah masuk. Di balik meja kerja besar, Sebastian duduk dengan punggung tegak. Raut wajahnya keras tak terbaca emosi, namun sorot matanya tajam mengunci pada cucunya.“Kakek memanggilku?” Ananta memulai dengan suara tenang sambil mendekat ke meja. Ia berusaha menjaga sikap hormat, meski firasatnya mengatakan pembicaraan ini tidak akan mudah.Sebastian menghela napas perlahan sebelum berbicara, seakan menahan amarah yang menggelegak di dada
Di dalam mobil sedan hitam yang mengantar pulang dari bandara, Ananta menggenggam kedua tangannya gelisah. Perjalanan singkat dari bandara menuju mansion terasa begitu panjang baginya karena tak sabar ingin segera bertemu Ares. Hatinya berdebar kencang membayangkan putra kecilnya.“Baru beberapa hari saja Daddy meninggalkanmu, Nak, rindu ini udah tak tertahankan,” batinnya nelangsa.Lalu terbayang olehnya sosok Zanitha. Jika ia saja merasa sesak berpisah dengan Ares dalam hitungan hari, apalagi Zanitha yang sudah berminggu-minggu tak bisa menimang buah hati mereka.Dada Ananta terasa nyeri membayangkan kerinduan dan kesedihan istrinya selama ini. Jemarinya mengepal di atas pangkuan.“Aku harus segera memperbaiki semua ini, tekadnya dalam hati. Demi Ares….” Ananta berjanji di dalam hati.Kembali ke mansion ….“Hari ini cukup bermainnya, Ares,” gumam Sebastian lembut seraya menyerahkan Ares kembali ke gendongan Nanny yang ikut mengawasi Ares . “Mommy dan daddy sangat menyayangimu
Pagi itu di sebuah meja makan yang diterangi sinar matahari pagi, Ananta dan Mathias duduk berhadapan menikmati sarapan ringan. Aroma kopi hitam dan roti panggang tersaji di antara mereka, namun pikiran Ananta melayang entah ke mana.Setelah beberapa saat hening, ia mengangkat wajah dan menatap Mathias dengan sorot mata penuh tekad sekaligus kegelisahan.“Kemarin aku sudah pergi untuk menemui Zanitha di toko bunga miliknya,” ujar Ananta pelan, memecah keheningan. Jemarinya menggenggam cangkir kopi yang sejak tadi tak tersentuh. “Tapi Zanitha… Zanitha tidak ada di sana.” Suara Ananta terdengar berat, kecewa karena harapannya bertemu sang istri pupus. “Aku meminta karyawannya untuk mengirim buket bunga mawar putih dan membelikannya es krim stroberi.”Mathias menurunkan koran yang sedari tadi dibacanya. Ia memperhatikan Ananta dengan tenang. “Es krim stroberi?” ulangnya, seakan memastikan ia mendengar dengan benar.Ananta mengangguk lirih. “Itu kesukaannya,” lanjutnya seraya tersenyu
Keesokan paginya, di dua kantor yang berbeda, dua pria terhubung dalam panggilan video. Layar datar di ruang kerja Mathias memunculkan wajah tegas Sebastian Von Rotchschild dari kantornya sendiri yang megah. Pagi baru saja menjelang, namun kedua pria itu sudah bersiap dengan urusan penting.Sorot mata Sebastian tampak dingin namun penuh kewaspadaan. Setelah membahas sepintas progres inspeksi proyek yang dilakukan Ananta kemarin, ia langsung menuju topik yang lebih personal namun tak kalah genting di benaknya. “Apakah Ananta menemui Zanitha selama di Jakarta?” tanyanya tanpa basa-basi. Suara Sebastian rendah berwibawa, menuntut kejujuran.Di sisi lain layar, Mathias duduk tegap. Pria paruh baya itu sempat melemaskan kerah batiknya sebelum menjawab. Ia tahu, Sebastian selalu menghargai keterusterangan. “Ya, Ayah,” jawab Mathias mantap. “Ananta sempat berusaha menemui Zanitha begitu dia sampai di Jakarta.”Alis tebal Sebastian berkerut tipis mendengar jawaban itu. Ada kilatan emosi en
Malam harinya, di penthouse Zanitha yang berada di puncak gedung apartemen mewah, suasana hening menyelimuti. Zanitha meringkuk di sofa ruang tengah dengan selimut menutupi tubuhnya. Tubuhnya masih lemas, bekas-bekas air mata pagi tadi tampak di sudut matanya yang sembap. Sejak petang menjelang, ia tertidur karena efek obat penurun demam, kelelahan setelah tangis semalam.Terdengar suara pintu terbuka kemudian tertutup dan langkah kaki mendekat,Di hadapannya berdiri Bella, membawa sebuah buket bunga besar nan indah, serta kantong kertas berlogo toko es krim terkenal. “Bella?” suara Zanitha serak, kaget namun lega melihat sahabatnya. “Kenapa kamu bawa bunga dan ini ice cream, tumben kamu beli ice cream.”Bella tersenyum hangat. “Ada kiriman untuk kamu, Zanitha,” ujarnya lembut sembari duduk di single sofa. Bella meletakkan buket bunga segar berwarna putih dan merah muda itu. “Bunga ini dikirim untukmu, juga es krim favoritmu. Tadi sore diantar ke toko, jadi sekalian kubawa ke sin
Pagi itu, di ruang rapat kantor Helvion Group Jakarta, Ananta memimpin inspeksi rutin proyek perluasan Pelabuhan Tanjung Mas. Dengan tenang ia duduk di ujung meja panjang, mengenakan setelan abu-abu rapi yang menegaskan wibawanya sebagai direktur. Berkas-berkas laporan tertata di depannya. Di sekelilingnya, beberapa manajer proyek dan insinyur memaparkan perkembangan terbaru proyek pelabuhan tersebut.Sinar matahari menembus jendela-jendela tinggi, menerangi ruangan dengan cahaya hangat. Ananta mendengarkan dengan saksama setiap laporan yang disampaikan. Sesekali ia mengangguk kecil, matanya tajam meneliti bagan progres di layar proyektor. “Jadi pengerukan kolam pelabuhan sudah mencapai 80%?” tanyanya memastikan, suaranya terdengar mantap namun bersahabat. Seorang manajer berseragam kemeja putih segera menjawab, “Betul, Tuan. Target kita bulan depan rampung, sesuai jadwal.”Ananta tersenyum tipis, sebuah ekspresi langka yang mengejutkan beberapa orang di ruangan itu. “Bagus. Pertaha
Sementara itu, di sudut kota yang lain, Petal Home tampak lengang dalam balutan malam. Dari luar, toko bunga kecil itu gelap tanpa penerangan etalase seperti biasanya. Hanya lampu temaram di bagian dalam yang masih menyala, memancarkan cahaya samar ke trotoar melalui celah tirai jendela.Bella baru saja tiba di depan Petal Home setelah bertemu dengan suplier. Ia merasa heran melihat pintu toko yang belum terkunci padahal hari sudah larut. Biasanya Zanitha selalu menutup tokonya tepat waktu.Dengan alis berkerut cemas, Bella mendorong pintu kaca berbingkai kayu itu. Sebuah lonceng kecil di atasnya berdenting pelan, mengumumkan kedatangannya. Begitu melangkah masuk, inderanya disambut aroma bunga mawar dan anyelir yang samar, namun tak ada senyuman ceria sahabatnya seperti biasanya.Matanya segera menangkap kekacauan kecil di dalam toko. Beberapa tangkai bunga segar tergeletak di lantai, terlepas dari wadahnya. Air dari vas yang terguling membasahi papan lantai kayu, membentuk genang
Ananta melangkah masuk ke dalam penthouse dengan wajah murung dan langkah gontai. Malam telah larut dan gemerlap lampu kota di bawah sana hanya menjadi latar belakang bisu bagi kegalauan hatinya.Di ruang tamu yang luas dengan perabot mewah dan dinding kaca, Mathias – sang ayah – tengah berdiri di dekat jendela memandangi kerlip Jakarta. Begitu mendengar pintu terbuka, lelaki tua itu menoleh. Kerutan di dahinya bertambah dalam saat ia melihat ekspresi muram sang putra semata wayang.“Kamu sampai juga akhirnya,” ujar Mathias, suaranya tenang namun sarat akan sindiran halus. “Wajahmu itu, Ananta … seperti baru saja kehilangan separuh kerajaan.”Ananta tidak segera menanggapi. Ia hanya melepaskan jasnya perlahan dan meletakkannya di sandaran sofa. Napasnya dihela panjang, seolah mencoba mengusir beban yang menghimpit dada. Namun sorot matanya tetap kosong, tenggelam dalam pikiran yang bergemuruh.Mathias mengamati gerak-gerik putranya dengan tatapan tajam bercampur prihatin. Biasanya
“Terus kamu maunya apa? Kenapa kamu harus jadi orang jahat dalam hidup aku? Kenapa?” Zanitha meraung pelan.“Kamu sendiri yang mengusirku dari rumahmu, Ananta. Kamu yang menyuruhku pergi!”Ananta tersentak. Ucapan Zanitha menohok tepat di jantungnya. Ia ingat hari itu dengan jelas, hari terkelam dalam hidup mereka berdua. “Zanitha…” ujar Ananta, suaranya goyah, tapi Zanitha langsung menyela.“Sejak hari itu,” lanjut Zanitha dengan mata berkilat duka. “Di mataku pernikahan kita sudah berakhir. Kamu menceraikanku secara tidak langsung saat kamu mengusirku waktu itu.” Kalimat tersebut diucapkannya dengan getir dan linangan air mata kian deras mengalir di pipinya. Cepat-cepat Zanitha menyekanya, seakan enggan tampak lemah.Ananta merasakan dadanya remuk mendengar kata-kata istrinya. “Berakhir? Enggak, kita belum bercerai, Zanitha,” elaknya pelan, mencoba mendekat. “Secara hukum, kamu masih istriku.”Zanitha tertawa pendek, namun itu bukan tawa bahagia—melainkan tawa pahit penuh kekec