Pagi itu di sebuah meja makan yang diterangi sinar matahari pagi, Ananta dan Mathias duduk berhadapan menikmati sarapan ringan. Aroma kopi hitam dan roti panggang tersaji di antara mereka, namun pikiran Ananta melayang entah ke mana.Setelah beberapa saat hening, ia mengangkat wajah dan menatap Mathias dengan sorot mata penuh tekad sekaligus kegelisahan.“Kemarin aku sudah pergi untuk menemui Zanitha di toko bunga miliknya,” ujar Ananta pelan, memecah keheningan. Jemarinya menggenggam cangkir kopi yang sejak tadi tak tersentuh. “Tapi Zanitha… Zanitha tidak ada di sana.” Suara Ananta terdengar berat, kecewa karena harapannya bertemu sang istri pupus. “Aku meminta karyawannya untuk mengirim buket bunga mawar putih dan membelikannya es krim stroberi.”Mathias menurunkan koran yang sedari tadi dibacanya. Ia memperhatikan Ananta dengan tenang. “Es krim stroberi?” ulangnya, seakan memastikan ia mendengar dengan benar.Ananta mengangguk lirih. “Itu kesukaannya,” lanjutnya seraya tersenyu
Di dalam mobil sedan hitam yang mengantar pulang dari bandara, Ananta menggenggam kedua tangannya gelisah. Perjalanan singkat dari bandara menuju mansion terasa begitu panjang baginya karena tak sabar ingin segera bertemu Ares. Hatinya berdebar kencang membayangkan putra kecilnya.“Baru beberapa hari saja Daddy meninggalkanmu, Nak, rindu ini udah tak tertahankan,” batinnya nelangsa.Lalu terbayang olehnya sosok Zanitha. Jika ia saja merasa sesak berpisah dengan Ares dalam hitungan hari, apalagi Zanitha yang sudah berminggu-minggu tak bisa menimang buah hati mereka.Dada Ananta terasa nyeri membayangkan kerinduan dan kesedihan istrinya selama ini. Jemarinya mengepal di atas pangkuan.“Aku harus segera memperbaiki semua ini, tekadnya dalam hati. Demi Ares….” Ananta berjanji di dalam hati.Kembali ke mansion ….“Hari ini cukup bermainnya, Ares,” gumam Sebastian lembut seraya menyerahkan Ares kembali ke gendongan Nanny yang ikut mengawasi Ares . “Mommy dan daddy sangat menyayangimu
Keesokan harinya, Ananta berjalan di lorong mansion Sebastian dengan langkah mantap meski hati kecilnya berdegup tak menentu.Tadi saat sarapan, Klaus memberitahu kalau Sebastian memintanya datang untuk berdiskusi.Ananta masih berpikiran positif mungkin sang kakek ingin mendengar report dari pekerjaan yang dia selesaikan di Jakarta.Sesampainya di depan pintu kayu berukir ruang kerja Sebastian, Ananta mengetuk pelan. “Masuk,” terdengar suara bariton Sebastian dari dalam, tegas dan dingin.Ananta membuka pintu dan melangkah masuk. Di balik meja kerja besar, Sebastian duduk dengan punggung tegak. Raut wajahnya keras tak terbaca emosi, namun sorot matanya tajam mengunci pada cucunya.“Kakek memanggilku?” Ananta memulai dengan suara tenang sambil mendekat ke meja. Ia berusaha menjaga sikap hormat, meski firasatnya mengatakan pembicaraan ini tidak akan mudah.Sebastian menghela napas perlahan sebelum berbicara, seakan menahan amarah yang menggelegak di dada
Pagi itu di mansion Von Rotchschild, layar televisi yang terpasang di ruang kerja Sebastian menampilkan berita internasional dari kanal ekonomi dan kriminalitas.Latar belakang pembicara berisi foto-foto keluarga Von Rotchschild, berganti-ganti: Leonardo Von Rotchschild yang masih mendekam di tahanan Indonesia karena kasus pembunuhan seorang gadis bernama Erina, Elias Von Rotchschild yang telah resmi dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan Swiss karena penculikan Zanitha.Padahal hubungannya dengan Ananta yang memanas karena sang cucu kebanggaannya itu tidak mau menceraikan Zanitha yang merupakan anak dari musuh keluarga Von Rotchschild sudah sangat membebani pikiran Sebastian. Jari Sebastian mengetuk-ngetuk meja. Dada tuanya terasa sesak. Ia menatap layar dengan rahang mengatup.Heinz yang berdiri di belakangnya langsung meraih remote untuk mematikan televisi.Sunyi seketika menyelimuti ruangan. Sebastian bersandar di kursinya dengan Heinz kembali berdiri di belakang, mengawasi
Malam itu, lorong rumah sakit tampak lebih lengang dari biasanya. Lampu-lampu neon memantul di lantai putih yang dingin, menciptakan kesan sepi dan sunyi.Di depan ruang ICU tempat Sebastian Von Rotchschild dirawat, tiga orang duduk berjajar di deretan kursi tunggu: Ananta, Rafael dan Winna. Mereka duduk dalam diam, masing-masing dengan pikirannya sendiri, namun tatapan mereka sama—terarah ke pintu berwarna putih di depan mereka. Pintu yang sejak siang belum terbuka lagi dengan kabar apapun.Ananta duduk tegak dengan tangan bersilang di dada, wajahnya tenang namun jelas menunjukkan kekhawatiran.Rafael tampak gelisah, setelah mondar-mandir kecil tadi dan kini akhirnya duduk kembali. Sementara Winna-istri Rafael, menopang dagunya menggunakan tangan, sesekali melirik suaminya, lalu ke arah Ananta dan kembali menunduk.Beberapa menit yang panjang terlewat hanya dengan suara alat ventilasi dari ujung lorong. Tiba-tiba Rafael bersuara, nada suaranya ringan namun terdengar sumbang di te
Tiga hari setelah pengumuman itu, mansion berubah drastis. Para paman dan bibi Ananta yang dulu menatapnya dengan iri kini bersikap ramah dan penuh senyum.Banyak di antara mereka mengundang makan malam, mengirim hadiah simbolik, bahkan menawarkan koneksi bisnis seperti yang dilakukan istri dari Leonardo.Yang paling mengejutkan datang dari Simon—adik bungsu Mathias-ayahnya Ananta yang dulu dikucilkan dari keluarga karena kelakuan putra bungsunya-Elias yang menculik Zanitha dan nyaris melenyapkan nyawanya.Pria tua itu datang sendiri ke kantor pusat Helvion dengan setelan yang terlalu sederhana untuk standar keluarga mereka.Ananta menemuinya di ruang kerja.“Aku tidak datang untuk menjilat atau meminta kekayaan,” ujar Simon langsung. “Aku datang karena aku sadar… kamu membawa perubahan. Dan aku ingin jadi bagian dari Helvion Group lagi. Tak lebih.”Ananta mengamati wajah pamannya yang dulu begitu ia hindari. Ada ketulusan di sana.“Aku tidak akan memberi Paman jabatan hanya ka
Ananta Victor von Rotchchild, CEO blasteran Swiss-Indonesia yang kini menjadi pimpinan tertinggi Helvion Group di Indonesia itu sedang mematut diri di depan cermin sambil menautkan kancing di lengan kemeja, kerutan halus tampak di antara kedua alisnya yang tebal padahal pria itu begitu tampan mengenakan tuxedo di hari pernikahannya ini.Mungkin karena Ananta membenci hari ini lantaran terpaksa menikahi seorang gadis hanya untuk mendapatkan keturunan.Adik sepupunya yang bernama Rafael telah menikah dan memiliki anak laki-laki membuat kakek mereka sang Chairman of the Board di perusahan Helvion Group Swiss merasa senang dan digadang-gadang Rafael akan menggantikan posisi beliau sebagai pemimpin tertinggi perusahaan melangkahi Ananta.Itu kenapa Ananta mengutus Ryan-sekretarisnya mencarikan seorang gadis untuk dijadikan istri kontrak dan mau melahirkan keturunannya.Namun setelah anak itu lahir, Ananta akan menceraikannya dengan memberikan imbalan yang besar.Ananta tidak pernah me
“Jadi begini Nona … eee, siapa nama Nona? Kita kenalan dulu.” Ryan mengulurkan tangannya melewati meja yang memisahkan dia dengan Zanitha.“Zanitha,” jawab Zanitha melirih.“Saya Ryan … sekretaris tuan Ananta.” Mereka berdua bersalaman.“Tuan Ananta seharusnya menikah hari ini … seluruh keluarganya mengetahui hal tersebut tapi ternyata calon istrinya meninggal karena kecelakaan dan Nona juga terlibat ….” Ryan menjeda kalimatnya.“Aku enggak bermaksud membunuhnya, aku enggak sengaja nabrak dia… dia datang entah dari mana, sumpah! Aku enggak pernah berniat membunuh perempuan itu.” Zanitha keukeuh mempertahankan pendapatnya.Kejadiannya begitu cepat, bahkan awalnya dia tidak tahu kalau telah menghilangkan nyawa seseorang.“Tapi kenyataannya Nona yang menabrak nona Erina dan menyembabkannya meninggal dunia.” Ryan memberikan fakta.Zanitha menangkup wajahnya menggunakan kedua tangan dan mulai menangis.Kedua kakinya bergetar hebat karena trauma yang masih melingkupinya.Hanya ad
Tiga hari setelah pengumuman itu, mansion berubah drastis. Para paman dan bibi Ananta yang dulu menatapnya dengan iri kini bersikap ramah dan penuh senyum.Banyak di antara mereka mengundang makan malam, mengirim hadiah simbolik, bahkan menawarkan koneksi bisnis seperti yang dilakukan istri dari Leonardo.Yang paling mengejutkan datang dari Simon—adik bungsu Mathias-ayahnya Ananta yang dulu dikucilkan dari keluarga karena kelakuan putra bungsunya-Elias yang menculik Zanitha dan nyaris melenyapkan nyawanya.Pria tua itu datang sendiri ke kantor pusat Helvion dengan setelan yang terlalu sederhana untuk standar keluarga mereka.Ananta menemuinya di ruang kerja.“Aku tidak datang untuk menjilat atau meminta kekayaan,” ujar Simon langsung. “Aku datang karena aku sadar… kamu membawa perubahan. Dan aku ingin jadi bagian dari Helvion Group lagi. Tak lebih.”Ananta mengamati wajah pamannya yang dulu begitu ia hindari. Ada ketulusan di sana.“Aku tidak akan memberi Paman jabatan hanya ka
Malam itu, lorong rumah sakit tampak lebih lengang dari biasanya. Lampu-lampu neon memantul di lantai putih yang dingin, menciptakan kesan sepi dan sunyi.Di depan ruang ICU tempat Sebastian Von Rotchschild dirawat, tiga orang duduk berjajar di deretan kursi tunggu: Ananta, Rafael dan Winna. Mereka duduk dalam diam, masing-masing dengan pikirannya sendiri, namun tatapan mereka sama—terarah ke pintu berwarna putih di depan mereka. Pintu yang sejak siang belum terbuka lagi dengan kabar apapun.Ananta duduk tegak dengan tangan bersilang di dada, wajahnya tenang namun jelas menunjukkan kekhawatiran.Rafael tampak gelisah, setelah mondar-mandir kecil tadi dan kini akhirnya duduk kembali. Sementara Winna-istri Rafael, menopang dagunya menggunakan tangan, sesekali melirik suaminya, lalu ke arah Ananta dan kembali menunduk.Beberapa menit yang panjang terlewat hanya dengan suara alat ventilasi dari ujung lorong. Tiba-tiba Rafael bersuara, nada suaranya ringan namun terdengar sumbang di te
Pagi itu di mansion Von Rotchschild, layar televisi yang terpasang di ruang kerja Sebastian menampilkan berita internasional dari kanal ekonomi dan kriminalitas.Latar belakang pembicara berisi foto-foto keluarga Von Rotchschild, berganti-ganti: Leonardo Von Rotchschild yang masih mendekam di tahanan Indonesia karena kasus pembunuhan seorang gadis bernama Erina, Elias Von Rotchschild yang telah resmi dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan Swiss karena penculikan Zanitha.Padahal hubungannya dengan Ananta yang memanas karena sang cucu kebanggaannya itu tidak mau menceraikan Zanitha yang merupakan anak dari musuh keluarga Von Rotchschild sudah sangat membebani pikiran Sebastian. Jari Sebastian mengetuk-ngetuk meja. Dada tuanya terasa sesak. Ia menatap layar dengan rahang mengatup.Heinz yang berdiri di belakangnya langsung meraih remote untuk mematikan televisi.Sunyi seketika menyelimuti ruangan. Sebastian bersandar di kursinya dengan Heinz kembali berdiri di belakang, mengawasi
Keesokan harinya, Ananta berjalan di lorong mansion Sebastian dengan langkah mantap meski hati kecilnya berdegup tak menentu.Tadi saat sarapan, Klaus memberitahu kalau Sebastian memintanya datang untuk berdiskusi.Ananta masih berpikiran positif mungkin sang kakek ingin mendengar report dari pekerjaan yang dia selesaikan di Jakarta.Sesampainya di depan pintu kayu berukir ruang kerja Sebastian, Ananta mengetuk pelan. “Masuk,” terdengar suara bariton Sebastian dari dalam, tegas dan dingin.Ananta membuka pintu dan melangkah masuk. Di balik meja kerja besar, Sebastian duduk dengan punggung tegak. Raut wajahnya keras tak terbaca emosi, namun sorot matanya tajam mengunci pada cucunya.“Kakek memanggilku?” Ananta memulai dengan suara tenang sambil mendekat ke meja. Ia berusaha menjaga sikap hormat, meski firasatnya mengatakan pembicaraan ini tidak akan mudah.Sebastian menghela napas perlahan sebelum berbicara, seakan menahan amarah yang menggelegak di dada
Di dalam mobil sedan hitam yang mengantar pulang dari bandara, Ananta menggenggam kedua tangannya gelisah. Perjalanan singkat dari bandara menuju mansion terasa begitu panjang baginya karena tak sabar ingin segera bertemu Ares. Hatinya berdebar kencang membayangkan putra kecilnya.“Baru beberapa hari saja Daddy meninggalkanmu, Nak, rindu ini udah tak tertahankan,” batinnya nelangsa.Lalu terbayang olehnya sosok Zanitha. Jika ia saja merasa sesak berpisah dengan Ares dalam hitungan hari, apalagi Zanitha yang sudah berminggu-minggu tak bisa menimang buah hati mereka.Dada Ananta terasa nyeri membayangkan kerinduan dan kesedihan istrinya selama ini. Jemarinya mengepal di atas pangkuan.“Aku harus segera memperbaiki semua ini, tekadnya dalam hati. Demi Ares….” Ananta berjanji di dalam hati.Kembali ke mansion ….“Hari ini cukup bermainnya, Ares,” gumam Sebastian lembut seraya menyerahkan Ares kembali ke gendongan Nanny yang ikut mengawasi Ares . “Mommy dan daddy sangat menyayangimu
Pagi itu di sebuah meja makan yang diterangi sinar matahari pagi, Ananta dan Mathias duduk berhadapan menikmati sarapan ringan. Aroma kopi hitam dan roti panggang tersaji di antara mereka, namun pikiran Ananta melayang entah ke mana.Setelah beberapa saat hening, ia mengangkat wajah dan menatap Mathias dengan sorot mata penuh tekad sekaligus kegelisahan.“Kemarin aku sudah pergi untuk menemui Zanitha di toko bunga miliknya,” ujar Ananta pelan, memecah keheningan. Jemarinya menggenggam cangkir kopi yang sejak tadi tak tersentuh. “Tapi Zanitha… Zanitha tidak ada di sana.” Suara Ananta terdengar berat, kecewa karena harapannya bertemu sang istri pupus. “Aku meminta karyawannya untuk mengirim buket bunga mawar putih dan membelikannya es krim stroberi.”Mathias menurunkan koran yang sedari tadi dibacanya. Ia memperhatikan Ananta dengan tenang. “Es krim stroberi?” ulangnya, seakan memastikan ia mendengar dengan benar.Ananta mengangguk lirih. “Itu kesukaannya,” lanjutnya seraya tersenyu
Keesokan paginya, di dua kantor yang berbeda, dua pria terhubung dalam panggilan video. Layar datar di ruang kerja Mathias memunculkan wajah tegas Sebastian Von Rotchschild dari kantornya sendiri yang megah. Pagi baru saja menjelang, namun kedua pria itu sudah bersiap dengan urusan penting.Sorot mata Sebastian tampak dingin namun penuh kewaspadaan. Setelah membahas sepintas progres inspeksi proyek yang dilakukan Ananta kemarin, ia langsung menuju topik yang lebih personal namun tak kalah genting di benaknya. “Apakah Ananta menemui Zanitha selama di Jakarta?” tanyanya tanpa basa-basi. Suara Sebastian rendah berwibawa, menuntut kejujuran.Di sisi lain layar, Mathias duduk tegap. Pria paruh baya itu sempat melemaskan kerah batiknya sebelum menjawab. Ia tahu, Sebastian selalu menghargai keterusterangan. “Ya, Ayah,” jawab Mathias mantap. “Ananta sempat berusaha menemui Zanitha begitu dia sampai di Jakarta.”Alis tebal Sebastian berkerut tipis mendengar jawaban itu. Ada kilatan emosi en
Malam harinya, di penthouse Zanitha yang berada di puncak gedung apartemen mewah, suasana hening menyelimuti. Zanitha meringkuk di sofa ruang tengah dengan selimut menutupi tubuhnya. Tubuhnya masih lemas, bekas-bekas air mata pagi tadi tampak di sudut matanya yang sembap. Sejak petang menjelang, ia tertidur karena efek obat penurun demam, kelelahan setelah tangis semalam.Terdengar suara pintu terbuka kemudian tertutup dan langkah kaki mendekat,Di hadapannya berdiri Bella, membawa sebuah buket bunga besar nan indah, serta kantong kertas berlogo toko es krim terkenal. “Bella?” suara Zanitha serak, kaget namun lega melihat sahabatnya. “Kenapa kamu bawa bunga dan ini ice cream, tumben kamu beli ice cream.”Bella tersenyum hangat. “Ada kiriman untuk kamu, Zanitha,” ujarnya lembut sembari duduk di single sofa. Bella meletakkan buket bunga segar berwarna putih dan merah muda itu. “Bunga ini dikirim untukmu, juga es krim favoritmu. Tadi sore diantar ke toko, jadi sekalian kubawa ke sin
Pagi itu, di ruang rapat kantor Helvion Group Jakarta, Ananta memimpin inspeksi rutin proyek perluasan Pelabuhan Tanjung Mas. Dengan tenang ia duduk di ujung meja panjang, mengenakan setelan abu-abu rapi yang menegaskan wibawanya sebagai direktur. Berkas-berkas laporan tertata di depannya. Di sekelilingnya, beberapa manajer proyek dan insinyur memaparkan perkembangan terbaru proyek pelabuhan tersebut.Sinar matahari menembus jendela-jendela tinggi, menerangi ruangan dengan cahaya hangat. Ananta mendengarkan dengan saksama setiap laporan yang disampaikan. Sesekali ia mengangguk kecil, matanya tajam meneliti bagan progres di layar proyektor. “Jadi pengerukan kolam pelabuhan sudah mencapai 80%?” tanyanya memastikan, suaranya terdengar mantap namun bersahabat. Seorang manajer berseragam kemeja putih segera menjawab, “Betul, Tuan. Target kita bulan depan rampung, sesuai jadwal.”Ananta tersenyum tipis, sebuah ekspresi langka yang mengejutkan beberapa orang di ruangan itu. “Bagus. Pertaha