Pagi pun beranjak siang di luar jendela rumah sakit, sinar mentari musim semi menyapa lembut.Di dalam kamar, Zanitha bersandar di tempat tidur dengan wajah lelah namun bahagia, sementara Ananta duduk di sisinya tak henti mengagumi bayi perempuan yang terlelap di dekapan ibunya.Tak lama, pintu kamar diketuk pelan. Seorang perawat muncul dengan senyum ramah. “Keluarga sudah boleh menemui sekarang,” ujarnya.Ananta mengangguk berterima kasih. Ia bangkit berdiri sejenak, merapikan selimut di bahu Zanitha.“Siap bertemu tamu istimewa kita, Sayang?” godanya lembut.Zanitha tersenyum mengangguk, mendekap Mayzura sedikit lebih erat. Debar kebahagiaan memenuhi dadanya; di luar, keluarga mereka telah menanti kabar sejak pagi.Sosok pertama yang muncul di ambang pintu adalah Sebastian von Rotchschild, sang kakek buyut.Pria sepuh berambut putih itu melangkah pelan memasuki ruangan, dibantu tongkat di tangan kanannya. Biasanya, Sebastian tampil dengan wibawa
Pagi yang tenang menyelimuti kota Zurich, sepekan setelah pernikahan Seraina dan Rajeev yang meriah.Udara dingin khas awal musim semi merembes melalui jendela yang sedikit terbuka di kamar utama mansion keluarga Von Rotchschild.Di ranjang empuk bertabur cahaya fajar, Zanitha terjaga dengan napas tertahan. Sebuah rasa nyeri halus merambat di perutnya yang telah membuncit sembilan bulan — kontraksi pertama di pagi itu telah datang.Zanitha memejamkan mata sejenak, merasakan gelombang kontraksi perlahan menguat. “Hmmp…” Ia mendesah pelan, tangannya refleks mengusap perut.Detik berikutnya, ia membuka mata dan melirik jam di nakas yang menunjukan pukul empat lewat sedikit.Suasana kamar remang-remang, hanya ditemani lampu tidur temaram. Di sebelahnya, Ananta masih terlelap dengan lengan kokohnya melingkari pundak Zanitha.“Sayang .…” Zanitha berbisik sembari menyentuh lengan suaminya. Kontraksi kembali datang, kali ini lebih kuat hingga ia tanpa sadar men
Keesokan HarinyaPagi di vila keluarga Von Rotchschild menyingsing tenang dengan sinar mentari musim semi yang lembut menyinari taman. Setelah gemerlap pesta semalam, suasana pagi itu kontras hening dan syahdu. Burung-burung berkicau di pepohonan sekitar halaman yang luas.Di ruang kerja berpanel kayu ek milik Sebastian, Ananta berdiri menghadap jendela besar yang menampilkan pemandangan Danau Zürich di kejauhan. Ia menunggu dengan sabar, kedua tangannya bersedekap di dada. Secangkir kopi hangat di meja di sampingnya mengepulkan aroma robusta yang tajam, namun pikirannya terlalu fokus pada percakapan yang akan terjadi hingga ia mengabaikan minuman tersebut.Tak lama, terdengar ketukan pelan di pintu. “Masuk,” sahut Ananta. Pintu berat itu terbuka, menampilkan sosok Elias yang ragu-ragu di ambang pintu.Pria itu tampak sedikit lebih segar pagi ini meski kantung mata masih menghiasi wajahnya – mungkin ia kurang tidur memikirkan kejadian semalam dan apa yang akan terjadi hari ini.“
Elias melangkah pelan masuk ke dalam aula. Awalnya ragu, ia kemudian menegakkan bahu, mencoba tampak percaya diri walau jelas wajahnya tegang. “Selamat malam …,” sapanya lirih, suaranya serak seolah jarang dipakai. Tak ada yang membalas. Keheningan mencekam menyambutnya.Seraina memandang sepupunya dengan mata terbelalak tak percaya, kemudian justru bersinar oleh kelegaan dan sukacita. “Elias!” seru Seraina tiba-tiba, memecah sunyi. Tanpa pikir panjang, ia berlari kecil menghampiri Elias. Rajeev terpaku sejenak melihat istrinya berlari, namun ia memilih tetap di tempat, memahami ini urusan keluarga.Seraina langsung merengkuh Elias dalam pelukan erat. “Ya ampun, kamu di sini… Kamu benar-benar di sini,” katanya dengan suara bergetar menahan tangis bahagia.Elias tampak terkejut sesaat, namun kemudian matanya melembut. Perlahan ia balas memeluk Seraina. “Aku di sini, Sera,” bisiknya, menggunakan panggilan masa kecil Seraina. “Maafkan aku terlambat,” lanjutnya lirih.Seraina menggele
Malam itu, aula pesta milik keluarga Von Rotchschild telah ditata dengan mewah dan elegan sesuai status aristokrat keluarga tersebut.Lampu kristal raksasa bergantung di langit-langit tinggi yang berhias ukiran emas, memancarkan cahaya temaram keemasan ke seluruh ruangan.Lantai marmer Italia yang mengilap memantulkan bayangan para tamu yang berbusana formal; para pria mengenakan setelan tuksedo hitam yang rapi, sementara para wanita tampil anggun dengan gaun panjang berhiaskan permata.Pelayan-pelayan berseragam hitam-putih sibuk berkeliling menawarkan sampanye dalam gelas kristal dan canape lezat di atas nampan perak. Di sudut ruangan, alunan lembut musik klasik dari kuartet gesek semakin menambah suasana megah malam itu.Di tengah kerumunan terbatas yang diundang khusus, hampir seluruh anggota keluarga inti Seraina hadir. Sebastian Von Rotchschild, sang patriark keluarga sekaligus kakek dari Seraina, berdiri tegap dekat perapian marmer. Dibalut setelan resmi berwarna midnight b
Rumah sakit Helvion Medical Center menyambut mereka dengan ketenangan khas malam hari. Di dalam ruang bersalin, Zanitha sudah berbaring di ranjang periksa. Detak monitor terdengar lembut di sudut ruangan.Dokter wanita paruh baya dengan wajah tenang memeriksa kondisi kandungan Zanitha. Ananta berdiri di sisi ranjang, menggenggam tangan istrinya erat.“Tenang ya, Sayang… sebentar lagi selesai.”Beberapa menit kemudian, dokter itu tersenyum menenangkan.“Tenang saja, ini hanya kontraksi palsu. Rahimnya sedang berlatih menjelang persalinan nanti. Masih jauh dari bukaan.”Zanitha menghela napas lega. “Aku kira sudah saatnya.”Ananta tersenyum, mencium kening istrinya. “Jangan buru-buru keluar ya, Nak… Mommy lagi jadi EO pernikahan aunty Seraina,” katanya sambil mengusap perut besar Zanitha.Dalam perjalanan pulang di mobil, langit Zurich sudah sepenuhnya gelap. Lampu-lampu jalan berpendar lembut menerangi jalan pulang mereka.Zanitha menyandarkan kepala ke bahu Ananta sambil memel