Beranda / Romansa / Pengantin Dewa / Bab 3 - Dewa Tanpa Cinta

Share

Bab 3 - Dewa Tanpa Cinta

Penulis: Rimanda Azzahra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-17 22:02:33

Istana itu berdiri dalam kegelapan, terbuat dari batu hitam yang sebagian besar dimakan lumut, menjulang ‘tak berujung seperti waktu yang membeku. Langit di atasnya ‘tak pernah berubah-selalu kelam, menggantungkan cahaya pucat yang ‘tak pernah menghangatkan kulit. Mendung, diselimuti awan kelabu yang ‘tak menurunkan hujan. Di sinilah Melati, dikurung sejak Batara Yama membawanya dari altar pengorbanan.

Sejak saat itu, ia ‘tak pernah melihat matahari.

Setiap pagi, jika waktu itu masih bisa disebut “pagi”, seorang pelayan laki-laki yang hanya sekali memperkenalkan dirinya sebagai Raksaya. Sisanya Ia hanya bertugas membawakan makanan dan keperluan Melati lainnya. Tanpa suara, tanpa menatap wajahnya. Diam, seakan manusia juga telah mati di tempat ini. Karenanya Melati ‘tak pernah melihat wajahnya.

Melati memandang pintu besar yang ‘tak pernah bisa ia buka. Jari-jarinya memainkan gaun putih yang selaras dengan warna kulit tubuhnya. Ia tahu ‘tak ada yang bisa ia lakukan untuk melarikan diri, tapi itu bukan berarti ia menerima segalanya begitu saja.

Langkah kaki berat terdengar mendekat, gema yang menandakan satu-satunya makhluk yang memiliki kekuasaan di tempat ini-Batara Yama.

Saat pintu kamar terbuka, aroma dupa samar menyeruak. Yama datang lagi, seperti biasanya-tenang, tak tergesa, dan seolah dunia dan isinya berada di bawah kendalinya. Melati menoleh, tidak dengan rasa takut, melainkan kejengahan yang telah berubah menjadi kebencian yang terpendam.

“Sudah bangun,” suara Yama dalam dan tenang. “Kau tidur terlalu lama. Lemah sekali seperti manusia.”

Yama tersenyum kecil, seolah pernyataan itu menghiburnya. Ia mengenakan pakaian kebesaran seperti biasa-jubah gelap dengan motif ungu yang membentuk akar, dan sepasang mata yang ‘tak pernah menunjukkan sisi manusiawi.

“Aku mengatur ruanganmu agar terasa seperti kamarmu dulu,” ucapnya sambil masuk. “Mungkin bisa membuatmu lebih nyaman.”

Melati menoleh tajam, mengernyit. “Kamarku tidak pernah sejelek ini. Kamar ini terlihat seperti kuburan, lihat.” tunjuk Melati pada dekorasi kamar yang baru ditambahkan beberapa waktu lalu, “makhluk seperti apa yang menjadikan tulang-belulang manusia sebagai hiasan dinding?” protesnya hampir menangis.

“Kau hanya menjadikanku tawanan...”

“Tawanan?” Yama menaikkan alisnya. “Melati, kau adalah pengantinku. Istriku. Ini adalah rumahmu.”

“Kita belum menikah.”

Yama mendekat, mengambil helaian rambut Melati dan memutarnya perlahan di jemarinya, Menggoda. “Sebentar lagi..., tunggu sebentar lagi kita akan menikah. Aku hanya perlu meminta izin pada Batara Jayasena dan Batari Ningrum.”

“Bersabarlah. Kita akan segera menikah” Tambah Yama.

Melati mengerucutkan bibirnya, apa-apaan ucapan Yama barusan? Laki-laki itu membuat seolah Melati yang meminta untuk segera dinikahi. Padahal ‘kan sebaliknya!

Melati menarik tubuhnya menjauh. “Takdir macam apa yang menculik seorang gadis dari dunianya, memisahkannya dari orangtuanya, lalu mengurungnya?”

“Aku akan memberimu segala hal yang ‘tak dimiliki manusia biasa,”

“Kehidupan abadi. Kekuasaan. Perlindungan.”

Ia berbicara seolah itu adalah hal yang wajar, seolah menculik seorang gadis dan mengurungnya di dunia kematian adalah sesuatu yang seharusnya disyukuri. Dan itu membuat Melati ingin muntah.

“Tapi kau ‘tak memberiku pilihan.”

Hening menggantung di antara mereka. Melati tahu Yama tidak akan marah, tidak akan berteriak. Ia adalah dewa. Emosinya dingin dan tajam seperti besi. Tapi justru itulah yang membuatnya menakutkan-karena ia ‘tak memahami luka, hanya kehendaknya sendiri.

“Kau akan terbiasa,” ucap Yama akhirnya.

Melati menunduk, seolah pasrah. Tapi di balik raut tenang itu, pikirannya bekerja keras.

“Aku hanya ingin satu hal, Batara,” ucapnya lirih.

Yama mengangkat dagunya, “Apa itu?”

“Aku ingin keluar, aku ingin pulang, aku rindu desaku. Aku tidak mau terkurung di kamar ini,” rengek Melati, air matanya menggenang, hampir jatuh karena frustasi.

“Aku menjagamu,” balas Yama dengan suara nyaris penuh kelembutan. “Dengan caraku.”

“Aku ‘tak suka caramu.”

Yama terdiam. Lalu ia berjalan mendekat, menatap wajah Melati dengan jarak yang ‘tak wajar. Napas kematian terasa di kulitnya.

“Jangan lupa aku adalah dewa. Aku tidak peduli kau suka atau tidak. Kau harus berada di bawah kendaliku, bagaimanapun caranya.”

Melati menatapnya balik, dengan keberanian yang tenang. “Dan itulah kenapa kau ‘takkan pernah dicintai.”

Sekejap, sesuatu di mata Yama berubah. Bukan kemarahan. Bukan kesedihan. Tapi kehampaan yang membeku, seperti ada bagian dari dirinya yang mengingat sesuatu- dan menolaknya.

Ia menarik napas panjang, lalu berujar, “Jangan menguji kesabaranku Melati.”

“Aku tidak tahu caranya mencintai dan aku tidak tahu bagaimana caranya. Tapi aku ingin kau di sini. Aman.”

“Aman bukan berarti bahagia.”

Yama terdiam, menahan gemuruh di dadanya sebelum melangkah pergi, dan pintu kembali tertutup dengan bunyi dentang besir yang menggema. Meninggalkan Melati yang menatap pintu tertutup, menyadari bahwa di tempat ini ‘tak ada cinta. ‘tak ada harapan. Dunia bawah menjadi saksi bisu dari dua jiwa yang terikat oleh takdir yang ‘tak mereka pilih. Satu mencoba memegang kendali dengan segala kekuatan ilahi. Satu lagi mencoba melawan dengan sisa-sisa kemanusiaan yang belum hancur.  

Hanya dewa yang ‘tak mengenal cinta, dan gadis manusia yang perlahan kehilangan kesabarannya.

---

Pagi ini-yang tidak benar-benar pagi, dunia bawah diselimuti kabut abadi, gelap dan tenang, seperti biasa. Tapi di dalam kamar Melati, badai kecil ‘tak pernah benar-benar reda.

Ia duduk di atas ranjang. Gaunnya berwarna putih-pilihan pelayan yang katanya sesuai warna kesukaan Batara Yama. Rambutnya legamnya dibiarkan menjuntai melewati bahu.

‘tak ada jendela di sini. Tapi ada jam pasir, satu-satunya penanda waktu yang diberi Yama kepadanya. Jam itu berputar sendri tiap kali pasir habis, seperti jebakan tanpa akhir.

Pintu berderit terbuka. Batara Yama masuk, mengenakan jubah gelap kebesarannya. Wajahnya tenang seperti patung dewa, tapi matanya ‘tak bisa menyembunyikan obsesinya.

Yama kemudian melirik makanan di atas meja yang masih utuh, “Kau tidak menyentuh sarapanmu,” katanya lembut, terlalu lembut untuk seseorang yang biasa memerintahkan kematian.

“Aku tidak lapar,” jawab Melati pelan, tanpa menoleh.

Yama mendekat, duduk di sisi ranjang.”Kau harus makan. Tubuhmu akan kurus dan jelek.”

Melati menghela napas, perlahan menoleh. “Kau hanya peduli dengan tubuhku.”

Yama tertawa pelan. “Kau selalu memiliki kata-kata untuk melawanku. Aku hanya tidak ingin kehilanganmu.”

Yama mengusap pipinya lembut, seakan itu akan menghapus kemarahan yang sudah terlalu lama mengendap. “Kau adalah takdirku, Melati. Diciptakan dari doa dan darah, lahir di bawah bulan gerhana, dikutuk dengan tanda yang sama denganku. Kau tahu itu.”

“Aku tahu.” Melati menepis tangannya pelan.

Yama kemudian berdiri diam, memandang Melati seperti seorang arsitek menatap bangunan yang ‘tak sesuai rencana.

“Aku bisa membuatmu bahagia,” katanya, tenang.

“Kau hanya ingin membuatku tunduk, bukan bahagia.”

“Kau punya segalanya di sini. Pelayan, makanan, pakaian, waktu. Aku memberimu segalanya. Jika ada yang tidak kuketahui, beritahu aku.”

“Kau tidak memberiku kebebasan,” Melati melihat ke Yama seperti bayi, “Aku hanya ingin keluar... sebentar saja. Sekedar berkeliling atau apapun itu. Aku sudah tidak tahan,” rengeknya, suaranya pecah namun tetap berani.

Yama ’tak menjawab seketika. Tatapannya turun perlahan padanya, seakan menimbang antara belas kasihan atau aturan yang ia buat sendiri demi kebaikan Melati.

“Aku bisa mati karena bosan di sini,” lanjut Melati. Biarlah ia tidak diizinkan kembali pada keluarganya lagi, tapi berdiam diri di kamar tanpa melakukan apapun dan tanpa siapapun bisa membunuhnya.

Yama kemudian menjawab, suaranya dalam dan datar seperti batu karang di dasar laut, ia berkata, “Baiklah. Raksaya akan menemanimu.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pengantin Dewa   Bab 5 - Meminta Restu

    “Karena bagian kecil dari diriku masih ingin tahu.”Wirya mendekat, menatap Melati begitu dalam. “Kalau aku bunuh Yama... apa kau akan memelukku seperti dulu?”Melati terbelalak.“Wirya, dia itu Dewa. Dewa Wirya. Bagaimana bis-”Wirya menarik wajahnya menjauh. Sembari menahan emosi ia menjawab, “Aku tahu.” Ada rasa putus asa di sana.Melati menggeleng pelan. Tidak masuk akal. Bagaimana manusia fana sepertinya berniat membunuh dewa kematian? Penguasa ruh manusia setelah mati? Tidak. Sebelum Wirya bertindak lebih jauh lagi. Melati harus menghentikannya. “Ayo kita pulang. Kita bisa pergi ke desa... kita bisa bicara pada Ayah dan tetua. Mungkin-mungkin mereka bisa menolong. Kita bisa lepas dari sini dan kembali seperti dulu.”Wirya tertawa kecil-pahit dan hambar. “Mel, kau sungguh tidak tahu apa-apa, ya?”Melati terdiam, matanya melebar.“Aku mati... karena Ayahmu,” ucapnya perlahan. “Bukan karena takdir. Tapi karena rencana.”“Apa... maksudmu? Tadi kau bilang-” napas Melati tercekat.“Ay

  • Pengantin Dewa   Bab 4 - Wirya

    Melati tidak tau apakah saat ini siang atau malam, sebab hanya ada kegelapan ‘tak berujung yang melingkupi kerajaan Batara Yama. Melalui jendela, Melati merindukan sinar matahari pagi tapi yang ia temui hanya cahaya bulan yang menerangi.Setelah merengek berlama-lama pada Batara Yama bahwa ia ingin pulang, Melati hanya diizinkan berkeliling istana untuk membunuh kebosanan.Tentu tidak sendiri, Melati ditemani makhluk yang pertama kali ia lihat selain Yama selama di kerajaan ini.Berbadan besar, tegap, dan menggunakan zirah, penampilannya seperti manusia kebanyakan, tapi matanya...terus mengeluarkan darah dari ujungnya. Melati menahan teriakan kecilnya. Takut, mengapa penampilannya sangat mengerikan?Sepertinya, lelaki berpenampilan seram yang terus menguarkan aura peperangan itu adalah kepercayaan Yama.“Di mana Batara Yama?” tanya Melati penasaran.“Baginda sedang menghadap para Dewa Tertinggi.” Jawab Raksaya sekenanya.Melati menelusuri lorong panjang yang sepi, menapaki lantai batu

  • Pengantin Dewa   Bab 3 - Dewa Tanpa Cinta

    Istana itu berdiri dalam kegelapan, terbuat dari batu hitam yang sebagian besar dimakan lumut, menjulang ‘tak berujung seperti waktu yang membeku. Langit di atasnya ‘tak pernah berubah-selalu kelam, menggantungkan cahaya pucat yang ‘tak pernah menghangatkan kulit. Mendung, diselimuti awan kelabu yang ‘tak menurunkan hujan. Di sinilah Melati, dikurung sejak Batara Yama membawanya dari altar pengorbanan.Sejak saat itu, ia ‘tak pernah melihat matahari.Setiap pagi, jika waktu itu masih bisa disebut “pagi”, seorang pelayan laki-laki yang hanya sekali memperkenalkan dirinya sebagai Raksaya. Sisanya Ia hanya bertugas membawakan makanan dan keperluan Melati lainnya. Tanpa suara, tanpa menatap wajahnya. Diam, seakan manusia juga telah mati di tempat ini. Karenanya Melati ‘tak pernah melihat wajahnya.Melati memandang pintu besar yang ‘tak pernah bisa ia buka. Jari-jarinya memainkan gaun putih yang selaras dengan warna kulit tubuhnya. Ia tahu ‘tak ada yang bisa ia lakukan untuk melarikan diri

  • Pengantin Dewa   Bab 2 - Pengantin Terkutuk

    Kesadaran Melati perlahan kembali.Hal pertama yang ia rasakan adalah dingin. Dingin yang ‘tak biasa, tidak pernah ia rasakan sebelumnya dan aneh. Dingin ini menjalari tulang, menusuk perlahan dari ujung jari hingga tepat ke jantungnya.Aroma dupa yang menyengat menusuk hidung, memaksanya untuk segera bangun dari tidurnya yang lelap.Bulu mata lentik itu terbuka perlahan. Matanya membelalak, pupilnya membesar seketika mencoba mencerna kenyataan. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar asing-langit-langit terbuat dari batu hitam yang berkilau, memantulkan bayangan dirinya yang berada di atas tempat tidur asing, terbaring di atas sesuatu yang empuk-kain halus yang mungkin terbuat dari sutra.Dinding-dinding sekelilingnya tampak sunyi, namun penuh wibawa kelam. Warnanya kelabu gelap, nyaris hitam, seolah menyerap cahaya yang berani mendekat. Urat-urat samar berwarna ungu terang menjalar di permukaannya, membentuk pola ‘tak beraturan yang menyeramkan.Namun yang paling membuat Melati

  • Pengantin Dewa   Bab 1 - Ritual Darah

    Kau Telah Disumpah Menjadi Milikku-Dengan Darah, Bukan Cinta[Ia dikorbankan untuk menyelamatkan desanya. Tapi yang menantinya bukan surga, melainkan Dewa Kematian yang menginginkan anak darinya.]Jauh di pedalaman hutan berkabut, tersembunyi sebuah desa bernama Yamanira- desa yang tidak tercatat dalam peta, tidak disebut dalam sejarah, dan tidak dikunjungi oleh cahaya matahari secara utuh. Tanahnya sunyi, udaranya dingin, dan malam di sana tidak pernah benar-benar berakhir.Penduduk Desa Yamanira hidup dalam ketundukan dan ketakutan yang diwariskan turun-temurun. Seumur hidup warga Desa Yamanira mendedikasikan diri mereka untuk menyembah Dewa Yama-sang Dewa Kematian. Penguasa alam setelah manusia mati yang tidak pernah puas meski telah menelan banyak nyawa manusia.Setiap sepuluh tahun sekali, desa itu mengadakan upacara Garbha, upacara persembahan, di mana desa harus menyerahkan anak perempuan berusia dua belas tahun untuk diserahkan kepada hutan, kepada Yama, sebagai tumbal untuk m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status