Istana itu berdiri dalam kegelapan, terbuat dari batu hitam yang sebagian besar dimakan lumut, menjulang ‘tak berujung seperti waktu yang membeku. Langit di atasnya ‘tak pernah berubah-selalu kelam, menggantungkan cahaya pucat yang ‘tak pernah menghangatkan kulit. Mendung, diselimuti awan kelabu yang ‘tak menurunkan hujan. Di sinilah Melati, dikurung sejak Batara Yama membawanya dari altar pengorbanan.
Sejak saat itu, ia ‘tak pernah melihat matahari.
Setiap pagi, jika waktu itu masih bisa disebut “pagi”, seorang pelayan laki-laki yang hanya sekali memperkenalkan dirinya sebagai Raksaya. Sisanya Ia hanya bertugas membawakan makanan dan keperluan Melati lainnya. Tanpa suara, tanpa menatap wajahnya. Diam, seakan manusia juga telah mati di tempat ini. Karenanya Melati ‘tak pernah melihat wajahnya.
Melati memandang pintu besar yang ‘tak pernah bisa ia buka. Jari-jarinya memainkan gaun putih yang selaras dengan warna kulit tubuhnya. Ia tahu ‘tak ada yang bisa ia lakukan untuk melarikan diri, tapi itu bukan berarti ia menerima segalanya begitu saja.
Langkah kaki berat terdengar mendekat, gema yang menandakan satu-satunya makhluk yang memiliki kekuasaan di tempat ini-Batara Yama.
Saat pintu kamar terbuka, aroma dupa samar menyeruak. Yama datang lagi, seperti biasanya-tenang, tak tergesa, dan seolah dunia dan isinya berada di bawah kendalinya. Melati menoleh, tidak dengan rasa takut, melainkan kejengahan yang telah berubah menjadi kebencian yang terpendam.
“Sudah bangun,” suara Yama dalam dan tenang. “Kau tidur terlalu lama. Lemah sekali seperti manusia.”
Yama tersenyum kecil, seolah pernyataan itu menghiburnya. Ia mengenakan pakaian kebesaran seperti biasa-jubah gelap dengan motif ungu yang membentuk akar, dan sepasang mata yang ‘tak pernah menunjukkan sisi manusiawi.
“Aku mengatur ruanganmu agar terasa seperti kamarmu dulu,” ucapnya sambil masuk. “Mungkin bisa membuatmu lebih nyaman.”
Melati menoleh tajam, mengernyit. “Kamarku tidak pernah sejelek ini. Kamar ini terlihat seperti kuburan, lihat.” tunjuk Melati pada dekorasi kamar yang baru ditambahkan beberapa waktu lalu, “makhluk seperti apa yang menjadikan tulang-belulang manusia sebagai hiasan dinding?” protesnya hampir menangis.
“Kau hanya menjadikanku tawanan...”
“Tawanan?” Yama menaikkan alisnya. “Melati, kau adalah pengantinku. Istriku. Ini adalah rumahmu.”
“Kita belum menikah.”
Yama mendekat, mengambil helaian rambut Melati dan memutarnya perlahan di jemarinya, Menggoda. “Sebentar lagi..., tunggu sebentar lagi kita akan menikah. Aku hanya perlu meminta izin pada Batara Jayasena dan Batari Ningrum.”
“Bersabarlah. Kita akan segera menikah” Tambah Yama.
Melati mengerucutkan bibirnya, apa-apaan ucapan Yama barusan? Laki-laki itu membuat seolah Melati yang meminta untuk segera dinikahi. Padahal ‘kan sebaliknya!
Melati menarik tubuhnya menjauh. “Takdir macam apa yang menculik seorang gadis dari dunianya, memisahkannya dari orangtuanya, lalu mengurungnya?”
“Aku akan memberimu segala hal yang ‘tak dimiliki manusia biasa,”
“Kehidupan abadi. Kekuasaan. Perlindungan.”
Ia berbicara seolah itu adalah hal yang wajar, seolah menculik seorang gadis dan mengurungnya di dunia kematian adalah sesuatu yang seharusnya disyukuri. Dan itu membuat Melati ingin muntah.
“Tapi kau ‘tak memberiku pilihan.”
Hening menggantung di antara mereka. Melati tahu Yama tidak akan marah, tidak akan berteriak. Ia adalah dewa. Emosinya dingin dan tajam seperti besi. Tapi justru itulah yang membuatnya menakutkan-karena ia ‘tak memahami luka, hanya kehendaknya sendiri.
“Kau akan terbiasa,” ucap Yama akhirnya.
Melati menunduk, seolah pasrah. Tapi di balik raut tenang itu, pikirannya bekerja keras.
“Aku hanya ingin satu hal, Batara,” ucapnya lirih.
Yama mengangkat dagunya, “Apa itu?”
“Aku ingin keluar, aku ingin pulang, aku rindu desaku. Aku tidak mau terkurung di kamar ini,” rengek Melati, air matanya menggenang, hampir jatuh karena frustasi.
“Aku menjagamu,” balas Yama dengan suara nyaris penuh kelembutan. “Dengan caraku.”
“Aku ‘tak suka caramu.”
Yama terdiam. Lalu ia berjalan mendekat, menatap wajah Melati dengan jarak yang ‘tak wajar. Napas kematian terasa di kulitnya.
“Jangan lupa aku adalah dewa. Aku tidak peduli kau suka atau tidak. Kau harus berada di bawah kendaliku, bagaimanapun caranya.”
Melati menatapnya balik, dengan keberanian yang tenang. “Dan itulah kenapa kau ‘takkan pernah dicintai.”
Sekejap, sesuatu di mata Yama berubah. Bukan kemarahan. Bukan kesedihan. Tapi kehampaan yang membeku, seperti ada bagian dari dirinya yang mengingat sesuatu- dan menolaknya.
Ia menarik napas panjang, lalu berujar, “Jangan menguji kesabaranku Melati.”
“Aku tidak tahu caranya mencintai dan aku tidak tahu bagaimana caranya. Tapi aku ingin kau di sini. Aman.”
“Aman bukan berarti bahagia.”
Yama terdiam, menahan gemuruh di dadanya sebelum melangkah pergi, dan pintu kembali tertutup dengan bunyi dentang besir yang menggema. Meninggalkan Melati yang menatap pintu tertutup, menyadari bahwa di tempat ini ‘tak ada cinta. ‘tak ada harapan. Dunia bawah menjadi saksi bisu dari dua jiwa yang terikat oleh takdir yang ‘tak mereka pilih. Satu mencoba memegang kendali dengan segala kekuatan ilahi. Satu lagi mencoba melawan dengan sisa-sisa kemanusiaan yang belum hancur.
Hanya dewa yang ‘tak mengenal cinta, dan gadis manusia yang perlahan kehilangan kesabarannya.
---
Pagi ini-yang tidak benar-benar pagi, dunia bawah diselimuti kabut abadi, gelap dan tenang, seperti biasa. Tapi di dalam kamar Melati, badai kecil ‘tak pernah benar-benar reda.
Ia duduk di atas ranjang. Gaunnya berwarna putih-pilihan pelayan yang katanya sesuai warna kesukaan Batara Yama. Rambutnya legamnya dibiarkan menjuntai melewati bahu.
‘tak ada jendela di sini. Tapi ada jam pasir, satu-satunya penanda waktu yang diberi Yama kepadanya. Jam itu berputar sendri tiap kali pasir habis, seperti jebakan tanpa akhir.
Pintu berderit terbuka. Batara Yama masuk, mengenakan jubah gelap kebesarannya. Wajahnya tenang seperti patung dewa, tapi matanya ‘tak bisa menyembunyikan obsesinya.
Yama kemudian melirik makanan di atas meja yang masih utuh, “Kau tidak menyentuh sarapanmu,” katanya lembut, terlalu lembut untuk seseorang yang biasa memerintahkan kematian.
“Aku tidak lapar,” jawab Melati pelan, tanpa menoleh.
Yama mendekat, duduk di sisi ranjang.”Kau harus makan. Tubuhmu akan kurus dan jelek.”
Melati menghela napas, perlahan menoleh. “Kau hanya peduli dengan tubuhku.”
Yama tertawa pelan. “Kau selalu memiliki kata-kata untuk melawanku. Aku hanya tidak ingin kehilanganmu.”
Yama mengusap pipinya lembut, seakan itu akan menghapus kemarahan yang sudah terlalu lama mengendap. “Kau adalah takdirku, Melati. Diciptakan dari doa dan darah, lahir di bawah bulan gerhana, dikutuk dengan tanda yang sama denganku. Kau tahu itu.”
“Aku tahu.” Melati menepis tangannya pelan.
Yama kemudian berdiri diam, memandang Melati seperti seorang arsitek menatap bangunan yang ‘tak sesuai rencana.
“Aku bisa membuatmu bahagia,” katanya, tenang.
“Kau hanya ingin membuatku tunduk, bukan bahagia.”
“Kau punya segalanya di sini. Pelayan, makanan, pakaian, waktu. Aku memberimu segalanya. Jika ada yang tidak kuketahui, beritahu aku.”
“Kau tidak memberiku kebebasan,” Melati melihat ke Yama seperti bayi, “Aku hanya ingin keluar... sebentar saja. Sekedar berkeliling atau apapun itu. Aku sudah tidak tahan,” rengeknya, suaranya pecah namun tetap berani.
Yama ’tak menjawab seketika. Tatapannya turun perlahan padanya, seakan menimbang antara belas kasihan atau aturan yang ia buat sendiri demi kebaikan Melati.
“Aku bisa mati karena bosan di sini,” lanjut Melati. Biarlah ia tidak diizinkan kembali pada keluarganya lagi, tapi berdiam diri di kamar tanpa melakukan apapun dan tanpa siapapun bisa membunuhnya.
Yama kemudian menjawab, suaranya dalam dan datar seperti batu karang di dasar laut, ia berkata, “Baiklah. Raksaya akan menemanimu.”
Melati tersentak. Matanya langsung terbuka lebar. Yama berdiri di tepi kolam. Tanpa sehelai kain pun. Tubuhnya tegap, bahunya lebar dan berotot, setiap gerakan memancarkan kekuatan yang alami tapi tenang, seolah dunia ini tunduk pada langkahnya sendiri. Ia melihat Melati dengan seulas senyum tipis.“Batara Yama...” Melati tercekat. Wajahnya seketika memerah. Ia segera menunduk, menenggelamkan setengah wajahnya ke dalam air, hanya menyisakan mata yang melirik gugup, lalu beringsut menjauh ke sudut kolam. Tubuhnya ditutupi air hingga dagu, seolah itu bisa menyembunyikannya dari pandangan Yama.Yama melangkah masuk ke air tanpa ragu. Gelombang hangat menyebar, dan seketika jarak mereka terasa terlalu dekat. Ia duduk santai di dalam air, menatap Melati yang wajahnya merah seperti bunga yang baru mekar.Seulas senyum tipis terbaentuk di bibirnya. “Kau malu?” tanyanya ringan, namun nadanya jelas mengejek.Wajah Melati semakin panas. Ia tidak tahu apakah air kolam yang membuatnya terasa demik
“Kau tidak menjawab salam pagi dariku, dan malah menangis.” Suara Yama terdengar dalam, hangat, namun tersirat kekecewaan. Ia masih bersandar di sisi ranjang, mata hitamnya memandangi Melati dengan kepuasan yang dingin sekaligus hangat.“Kenapa menangis?” Yama bertanya lembut, namun ada nada yang tajam, seperti ingin menembus isi kepalanya.Melati tidak menjawab. Lidahnya kelu. Ia bahkan tidak tahu apakah ia harus merasa bahagia, takut, atau marah kepada dirinya sendiri. Yang ada hanya perasaan hampa bercampur hangat.Yama bergerak mendekat, jarinya menyentuh pipi Melati, mengusap air matanya tanpa berkata apa-apa lagi. Sentuhan itu membuat tubuh Melati merinding, antara ingin menjauh dan ingin tenggelam lebih dalam.Seorang pelayan wanita cantik berwujud setengah ular muncul di ambang pintu, menunduk tanpa menatap langsung wajah Yama. Ia dipanggil hanya dengan satu gerakan jari dari tuannya.“Antarkan dia untuk mandi,” perintahnya singkat, namun tajam.Melati menoleh, jantungnya berd
Melati membuka matanya perlahan. Cahaya biru redup dari api lilin yang menggantung di langit-langit memantul lembut di dinding kamar, pandangannya terasa kabur, seperti dunia enggan benar-benar kembali padanya. Tubuhnya terasa lelah, namun anehnya ada rasa hangat yang menjalar di seluruh kulitnya. Malam pertama dengan Yama, suaminya, masih meninggalkan sensasi yang sulit ia jelaskan.Yama duduk di tepi ranjang, memperhatikannya dengan tatapan yang tidak pernah berubah. Tubuhnya tegap, rambut hitam panjang tergerai, dan aura kematian yang melekat membuat setiap gerakannya tampak menakutkan sekaligus menggoda. Ia menatap Melati dengan tenang, hampir hangat.“Selamat pagi, takdirku,” bisik Yama.Melati menelan ludah. Ada bagian dalam dirinya yang meleleh, yang mulai menerima atau setidaknya ingin menerima Yama. Ia menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan perasaan campur aduk yang bergelora di dalam dada.Dadanya masih terasa berat. Bekas luka dari ritual pernikahan tidak hanya menyay
Tidak ada pusaka yang ditakuti di tiga dunia kecuali Arsadikara. Sebuah pedang hitam keperakan yang seolah menyimpan cahaya bintang di dalam bilahnya. Pedang itu bukan sekadar senjata, melainkan simbol kekuasaan, darah dan kekuatan.Pusaka Arsadikara adalah satu-satunya senjata yang dapat membunuh para Dewa, bahkan Yama, Sang Penguasa Kematian. Sebuah ironi, bahwa di dunia di mana dewa-dewa bisa mengatur matahari dan musim bisa dikalahkan oleh hanya satu pedang.Arsadikara lahir bukan dalam satu malam, bukan pula dalam satu kehidupan. Ratusan tahun Raksa, Dewa Perang, mencurahkan dirinya demi menciptakan pedang itu.Pedang itu sendiri dibuat menggunakan pecahan batu yang jatuh dan terbakar saat menembus langit bumi menjadi bahan dasar dari bilahnya. Batu itu tidak bisa disentuh oleh manusia, bahkan dewa biasa pun terbakar ketika mendekatinya. Hanya Raksa, dengan tubuh yang ditempa ribuan pertempuran, yang bisa menahan panasnya.Tetapi, bahan itu saja tidak cukup. Untuk menambah kekuata
Dewa Perang menelusuri istana Yama. Yama bahkan tidak repot-repot menyambut tamu dan langsung membawa Istrinya ke kamar. “Dasar Dewa mesum.” Pikir Dewa Perang. “Sangat tidak sabaran.” kepalanya geleng-geleng.Ia mencari Wirya, mata-matanya sekaligus mantan kekasih Melati, tapi tidak menemukannya. Jadi ia menyusuri istana sendiri, mencari apa yang tujuannya sendiri, kalau tidak ada pusaka itu, untuk apa juga dia turun ke istana yang menjijikan yang terletak jauh di dasar ini? Sedangkan batara Jayasena dan batari Ningrum saja selaku ayah dan ibu kandung Yama tidak mau menghadiri pesta pernikahan anak ajaibnya. Sampailah Raksa di pintu paling besar yang ia temui di Istana ini. Sungguh ia hanya mencari pusaka miliknya yang dirampas Yama, tidak berniat mengintip aktivitas intim yang dilakukan Dewa Kematian bersama istrinya. Kalau ia salah kamar, ia hanya perlu minta maaf, yang harus ia lakukan sekarang hanya mengeceknya saja. “Uhhh aku sebenarnya tidak ingin melakukan ini, tapi apa boleh b
“Kau ‘tak tahu apa yang kau lakukan padaku, Melati...” Yama berbisik lirih, suaranya berat, seperti gemuruh yang menggema di dalam dada bumi.Kemudian ciuman itu turun ke leher, dada hingga ke bagian paling intim milik Melati. “Aku ‘tak ingin kau sakit saat memelukku,” lidahnya menyusup perlahan, seperti embun dingin yang merayap di pagi buta, mengusik setiap lapisan kesadaran Melati.Tubuh Melati bergetar, seolah dua dunia saling bertabrakan di dalamnya, antara ingin mundur dan tertarik tanpa daya.Kakinya rapat, mencoba menciptakan benteng, namun sentuhan Yama ‘tak mengizinkan itu bertahan lama.Ia menahan, bukan dengan paksaan kasar, tapi dengan genggaman lembut yang ‘tak tergoyahkan, menegaskan siapa penguasa malam itu.Gelombang perasaaan bergulung, melanda tanpa ampun, memaksa Melati mengejang dalam diam, tubuhnya menuntut hal yang belum ia mengerti. Sekali lagi, nalurinya ingin menutup diri, namun kekuatan Yama membelenggu, merangkul setiap kepanikan dan keraguan yang ia coba se