Musim kemarau panjang telah mengeringkan tanah-tanah Desa Yamanira, membawa kelaparan dan penyakit yang ‘tak kunjung reda. Dalam keputusasaan, tetua desa yang dianggap jembatan antara dewa dengan manusia, bermimpi tentang sosok tinggi berjubah hitam-Yama, dewa kematian yang telah lama mereka puja. Sang dewa menuntut tumbal lebih cepat: satu jiwa suci untuk menyelamatkan desa dari panceklik yang nyaris memusnahkan segalanya. Korban itu adalah Melati, gadis berparas teduh yang terlalu tersenyum, anak semata wayang dari Pamantra, kepala desa yang begitu dihormati. Meski hatinya hancur, Pamantra menyerah pada desakan warga desa dan mimpi para Tetua. Demi desanya, ia menyerahkan putrinya sendiri. Pada malam bulan penuh, Melati dibawa ke altar di hutan larangan. Belati ritual sudah diangkat, siap merobek jantungnya. Tapi sebelum darahnya menyentuh tanah, langit terbelah-Yama sendiri datang. Dengan mata kelam ‘tak terbaca, ia mengambil Melati, membawanya ke istana kematian. Di sana, Melati bertemu dengan Wirya-tunangan yang menghilang dalam perjalanan pulang dai desa seberang untuk mempersiapkan pernikahan mereka. Namun pertemuan kembali ini bukan anugerah. Di istana kematian, cinta yang dulu hangat kini terbakar menjadi amarah dan dendam. Melati terperangkap di antara bayang cinta masa lalu, kuasa ‘tak terhindarkan sang dewa kematian, dan rahasia gelap yang mulai terungkap... Bahwa mungkin semua ini bukan sekadar takdir-melainkan rencana.
View MoreKau Telah Disumpah Menjadi Milikku-Dengan Darah, Bukan Cinta
[Ia dikorbankan untuk menyelamatkan desanya. Tapi yang menantinya bukan surga, melainkan Dewa Kematian yang menginginkan anak darinya.]
Jauh di pedalaman hutan berkabut, tersembunyi sebuah desa bernama Yamanira- desa yang tidak tercatat dalam peta, tidak disebut dalam sejarah, dan tidak dikunjungi oleh cahaya matahari secara utuh. Tanahnya sunyi, udaranya dingin, dan malam di sana tidak pernah benar-benar berakhir.
Penduduk Desa Yamanira hidup dalam ketundukan dan ketakutan yang diwariskan turun-temurun. Seumur hidup warga Desa Yamanira mendedikasikan diri mereka untuk menyembah Dewa Yama-sang Dewa Kematian. Penguasa alam setelah manusia mati yang tidak pernah puas meski telah menelan banyak nyawa manusia.
Setiap sepuluh tahun sekali, desa itu mengadakan upacara Garbha, upacara persembahan, di mana desa harus menyerahkan anak perempuan berusia dua belas tahun untuk diserahkan kepada hutan, kepada Yama, sebagai tumbal untuk meredam amarah sang dewa. Jika tidak, maka musim kering akan melanda, tanah akan retak, dan kematian akan datang sebelum waktunya-kelaparan, wabah, dan penderitaan yang ‘tak mengenal belas kasih.
Warga percaya bahwa ritual ini bukan pilihan, melainkan kewajiban. Dan bagi mereka, kehilangan satu nyawa lebih baik daripada kehilangan seluruh desa.
Dan hari ini, saat bulan purnama lebih besar dari biasanya, lonceng tua di tengah desa berdentang lirih.
Pertanda satu hal:
Sudah saatnya memilih korban berikutnya.
---
Warga Desa Yamanira mulai resah.
Hujan telah lama berhenti. Tanah merekah, sawah mengering, dan langit hanya menyisakan debu serta kabut tipis yang tidak pernah menghilang. Musim panceklik datang lebih cepat dari yang diperkirakan. Warga desa menyebutnya sebagai murka sang dewa.
Di desa yang dikelilingi hutan liar ini, mereka percaya pada satu penguasa: Batara Yama-Dewa Kematian, penguasa dunia bawah, yang berhak mengadili arwah. Konon katanya leluhur desa ini menjalin kontrak pada dewa kematian demi membangun desa dan mensejahterakan warga-warganya.
Seolah dikutuk, Batari Ningrum, dewi kesuburan layaknya enggan menjaga kehidupan desa dan malah menyerahkan kewajiban itu pada dewa kematian.
Setiap sepuluh tahun, satu anak gadis harus dikorbankan kepada Dewa Yama dalam upacara Garbha, upacara rahim bumi, agar desa tetap hidup dan subur.
Namun tahun ini berbeda. Bukannya anak gadis berusia dua belas tahun yang masuk ke dalam mimpi, para tetua memimpikan Melati sebagai korban selanjutnya, padahal korban terakhir telah diserahkan lima tahun lalu, setengah waktu dari biasanya. Untuk itu para tetua desa berkumpul di rumah kepala suku, untuk membahas mimpi yang tidak biasa ini.
Gadis bernama Melati itu merupakan anak kepala suku yang paling dihormati di Desa Yamanira. Gadis yang telah menginjak usia dua puluh tahun, namun belum bersuami terlalu lama menunggu tunangannya yang entah pergi ke mana. Wirya, lelaki yang pernah berjanji untuk menikahinya, hilang dalam perjalanan saat ke negeri seberang untuk membeli perhiasan langka sebagai mahar. Sejak saat itu Melati menunggu. Tahun demi tahun, dengan harap yang ‘tak juga padam.
Beragam gunjingan telah ia terima, perawan tua, hinaan karena ketertinggalan dari sebaya yang telah menggendong anak atau bahkan gunjingan bahwa tunangannya yang dituduh kabur karena bertemu perempuan lain di perjalanan.
Namun penantian itu berujung pada hasil rundingan tetua berdasarkan petunjuk yang didapat dari mimpi, tetua memutuskan satu nama dikorbankan lebih cepat: Melati.
Pamantra, ayah Melati sekaligus kepala suku mencoba melawan keputusan itu. Tapi suaranya ‘tak cukup kuat ketika salah satu tetua memotong ucapannya. “Ini takdir Dewa Yama, dia telah memilih Melati sebagai pengantin selanjutnya, kita harus segera melaksanakan upacara Garbha. Segera.”
Ada rasa ingin menentang di dalam diri Pamantra, anak bungsunya, anak perempuan satu-satunya yang Ia miliki terpilih menjadi korban upacara Garbha, di mana ia tahu tidak satupun dari korban ritual itu akan selamat.
Namun selaku kepala suku, Pamantra memiliki harga diri yang lebih tinggi dan selalu ingin tampak layak sebagai pemimpin desa dan sempurna bagi warganya, maka Ia menerima keputusan dari para tetua walau ketika malam upacara tiba, ia hanya bisa menggenggam tangannya erat, menahan gemetar, saat melihat putri kesayangannya ikut dalam rombongan pelaksana ritual.
Melati dipaksa meminum ramuan penenang. Matanya perlahan menutup saat mereka memandunya ke gua besar yang gelap di dalam hutan, tempat altar batu tua berada, tepat di tengah gua yang dindingnya ditutupi susunan tulang-tulang korban sebelumnya.
Melati dibaringkan di atas batu-dingin, keras, dan masih menyimpan bau karat dari darah yang pernah mengering di sana. Cahaya terang bulan memasuki gua melalui celah atas gua yang berlubang, menerangi batu altar tempat Melati berbaring. Pamantra, dengan desakannya, ia sendiri yang meminta pada para tetua untuk mengizinkan dirinya yang menikam putrinya sendiri, Melati. Korban ritual Garbha.
Saat Pamantra mengambil belati perak warisan leluhur. Tangannya gemetar menggenggam belati, mantra yang dibacakan para tetua menegaskan bahwa sekarang Ia harus mengambil sikap.
Ujung belati sudah diarahkan ke jantung Melati.
Satu embusan doa lagi.
Satu tarikan napas.
Satu tusukan...
Seketika petir menyambar langit.
Gemuruh mengguncang pijakan. Langit-langit gua bergetar seperti hendak runtuh. Kabut menebal, menelan semuanya-suara, cahaya bahkan waktu.
Dari balik kabut itu, sosok tinggi berjubah hitam muncul perlahan dari balik altar. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan, keagungan terpancar dari sana, seketika semua orang merunduk, ‘tak mampu menatap keilahian Dewa Yama.
Kecuali Pamantra, lelaki itu ternganga melihat sosok yang berdiri tepat di depannya, nafasnya kian sesak, belati terlepas dari tangan Pamantra, ia perlahan jatuh tersungkur, bergetar seperti anak sapi yang kedinginan.
Sosok itu berdiri di balik altar, menggerakkan ujung jarinya, ia mengangkat Melati dalam pelukannya-ringan, seperti memetik bunga dari pangkalnya. Jubahnya berkibar meski angin tidak bertiup. Langit kembali bergemuruh.
“Persembahan ini bukan milik kalian,” ujarnya lagi, “Ia adalah takdirku, bahkan jika kalian tidak menyerahkannya aku akan menjemputnya sendiri.”
Lalu, dalam sekejap, ia lenyap. Membawa Melati bersamanya dalam keheningan.
Meninggalkan altar batu yang basah oleh embun dingin, hanya tersisa jejak darah lama dan bisu, bersama pengikutnya yang masih sujud, hanyut dalam ketakutan, ‘tak percaya bahwa mereka baru bertemu dengan Batara Yama, dewa yang selama ini mereka sembah.
“DEWA YAMA MENERIMA KORBANNYA.”
Melati tersentak. Matanya langsung terbuka lebar. Yama berdiri di tepi kolam. Tanpa sehelai kain pun. Tubuhnya tegap, bahunya lebar dan berotot, setiap gerakan memancarkan kekuatan yang alami tapi tenang, seolah dunia ini tunduk pada langkahnya sendiri. Ia melihat Melati dengan seulas senyum tipis.“Batara Yama...” Melati tercekat. Wajahnya seketika memerah. Ia segera menunduk, menenggelamkan setengah wajahnya ke dalam air, hanya menyisakan mata yang melirik gugup, lalu beringsut menjauh ke sudut kolam. Tubuhnya ditutupi air hingga dagu, seolah itu bisa menyembunyikannya dari pandangan Yama.Yama melangkah masuk ke air tanpa ragu. Gelombang hangat menyebar, dan seketika jarak mereka terasa terlalu dekat. Ia duduk santai di dalam air, menatap Melati yang wajahnya merah seperti bunga yang baru mekar.Seulas senyum tipis terbaentuk di bibirnya. “Kau malu?” tanyanya ringan, namun nadanya jelas mengejek.Wajah Melati semakin panas. Ia tidak tahu apakah air kolam yang membuatnya terasa demik
“Kau tidak menjawab salam pagi dariku, dan malah menangis.” Suara Yama terdengar dalam, hangat, namun tersirat kekecewaan. Ia masih bersandar di sisi ranjang, mata hitamnya memandangi Melati dengan kepuasan yang dingin sekaligus hangat.“Kenapa menangis?” Yama bertanya lembut, namun ada nada yang tajam, seperti ingin menembus isi kepalanya.Melati tidak menjawab. Lidahnya kelu. Ia bahkan tidak tahu apakah ia harus merasa bahagia, takut, atau marah kepada dirinya sendiri. Yang ada hanya perasaan hampa bercampur hangat.Yama bergerak mendekat, jarinya menyentuh pipi Melati, mengusap air matanya tanpa berkata apa-apa lagi. Sentuhan itu membuat tubuh Melati merinding, antara ingin menjauh dan ingin tenggelam lebih dalam.Seorang pelayan wanita cantik berwujud setengah ular muncul di ambang pintu, menunduk tanpa menatap langsung wajah Yama. Ia dipanggil hanya dengan satu gerakan jari dari tuannya.“Antarkan dia untuk mandi,” perintahnya singkat, namun tajam.Melati menoleh, jantungnya berd
Melati membuka matanya perlahan. Cahaya biru redup dari api lilin yang menggantung di langit-langit memantul lembut di dinding kamar, pandangannya terasa kabur, seperti dunia enggan benar-benar kembali padanya. Tubuhnya terasa lelah, namun anehnya ada rasa hangat yang menjalar di seluruh kulitnya. Malam pertama dengan Yama, suaminya, masih meninggalkan sensasi yang sulit ia jelaskan.Yama duduk di tepi ranjang, memperhatikannya dengan tatapan yang tidak pernah berubah. Tubuhnya tegap, rambut hitam panjang tergerai, dan aura kematian yang melekat membuat setiap gerakannya tampak menakutkan sekaligus menggoda. Ia menatap Melati dengan tenang, hampir hangat.“Selamat pagi, takdirku,” bisik Yama.Melati menelan ludah. Ada bagian dalam dirinya yang meleleh, yang mulai menerima atau setidaknya ingin menerima Yama. Ia menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan perasaan campur aduk yang bergelora di dalam dada.Dadanya masih terasa berat. Bekas luka dari ritual pernikahan tidak hanya menyay
Tidak ada pusaka yang ditakuti di tiga dunia kecuali Arsadikara. Sebuah pedang hitam keperakan yang seolah menyimpan cahaya bintang di dalam bilahnya. Pedang itu bukan sekadar senjata, melainkan simbol kekuasaan, darah dan kekuatan.Pusaka Arsadikara adalah satu-satunya senjata yang dapat membunuh para Dewa, bahkan Yama, Sang Penguasa Kematian. Sebuah ironi, bahwa di dunia di mana dewa-dewa bisa mengatur matahari dan musim bisa dikalahkan oleh hanya satu pedang.Arsadikara lahir bukan dalam satu malam, bukan pula dalam satu kehidupan. Ratusan tahun Raksa, Dewa Perang, mencurahkan dirinya demi menciptakan pedang itu.Pedang itu sendiri dibuat menggunakan pecahan batu yang jatuh dan terbakar saat menembus langit bumi menjadi bahan dasar dari bilahnya. Batu itu tidak bisa disentuh oleh manusia, bahkan dewa biasa pun terbakar ketika mendekatinya. Hanya Raksa, dengan tubuh yang ditempa ribuan pertempuran, yang bisa menahan panasnya.Tetapi, bahan itu saja tidak cukup. Untuk menambah kekuata
Dewa Perang menelusuri istana Yama. Yama bahkan tidak repot-repot menyambut tamu dan langsung membawa Istrinya ke kamar. “Dasar Dewa mesum.” Pikir Dewa Perang. “Sangat tidak sabaran.” kepalanya geleng-geleng.Ia mencari Wirya, mata-matanya sekaligus mantan kekasih Melati, tapi tidak menemukannya. Jadi ia menyusuri istana sendiri, mencari apa yang tujuannya sendiri, kalau tidak ada pusaka itu, untuk apa juga dia turun ke istana yang menjijikan yang terletak jauh di dasar ini? Sedangkan batara Jayasena dan batari Ningrum saja selaku ayah dan ibu kandung Yama tidak mau menghadiri pesta pernikahan anak ajaibnya. Sampailah Raksa di pintu paling besar yang ia temui di Istana ini. Sungguh ia hanya mencari pusaka miliknya yang dirampas Yama, tidak berniat mengintip aktivitas intim yang dilakukan Dewa Kematian bersama istrinya. Kalau ia salah kamar, ia hanya perlu minta maaf, yang harus ia lakukan sekarang hanya mengeceknya saja. “Uhhh aku sebenarnya tidak ingin melakukan ini, tapi apa boleh b
“Kau ‘tak tahu apa yang kau lakukan padaku, Melati...” Yama berbisik lirih, suaranya berat, seperti gemuruh yang menggema di dalam dada bumi.Kemudian ciuman itu turun ke leher, dada hingga ke bagian paling intim milik Melati. “Aku ‘tak ingin kau sakit saat memelukku,” lidahnya menyusup perlahan, seperti embun dingin yang merayap di pagi buta, mengusik setiap lapisan kesadaran Melati.Tubuh Melati bergetar, seolah dua dunia saling bertabrakan di dalamnya, antara ingin mundur dan tertarik tanpa daya.Kakinya rapat, mencoba menciptakan benteng, namun sentuhan Yama ‘tak mengizinkan itu bertahan lama.Ia menahan, bukan dengan paksaan kasar, tapi dengan genggaman lembut yang ‘tak tergoyahkan, menegaskan siapa penguasa malam itu.Gelombang perasaaan bergulung, melanda tanpa ampun, memaksa Melati mengejang dalam diam, tubuhnya menuntut hal yang belum ia mengerti. Sekali lagi, nalurinya ingin menutup diri, namun kekuatan Yama membelenggu, merangkul setiap kepanikan dan keraguan yang ia coba se
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments