Kesadaran Melati perlahan kembali.
Hal pertama yang ia rasakan adalah dingin. Dingin yang ‘tak biasa, tidak pernah ia rasakan sebelumnya dan aneh. Dingin ini menjalari tulang, menusuk perlahan dari ujung jari hingga tepat ke jantungnya.
Aroma dupa yang menyengat menusuk hidung, memaksanya untuk segera bangun dari tidurnya yang lelap.
Bulu mata lentik itu terbuka perlahan. Matanya membelalak, pupilnya membesar seketika mencoba mencerna kenyataan. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar asing-langit-langit terbuat dari batu hitam yang berkilau, memantulkan bayangan dirinya yang berada di atas tempat tidur asing, terbaring di atas sesuatu yang empuk-kain halus yang mungkin terbuat dari sutra.
Dinding-dinding sekelilingnya tampak sunyi, namun penuh wibawa kelam. Warnanya kelabu gelap, nyaris hitam, seolah menyerap cahaya yang berani mendekat. Urat-urat samar berwarna ungu terang menjalar di permukaannya, membentuk pola ‘tak beraturan yang menyeramkan.
Namun yang paling membuat Melati bergidik adalah sosok besar yang berdiri di ujung ruangan.
Tinggi, gagah, berjubah hitam. Matanya hitam tanpa cahaya, namun bukan gelap yang kosong. Ada kehidupan di dalamnya, tapi bukan kehidupan seperti manusia pada umumnya. Rambutnya yang segelap malam menjuntai panjang hingga menyentuh punggung dan kulit putih pucat seperti raga tanpa nyawa dengan aura kematian yang menyelimuti tanpa ditutup-tutupi.
“Batara Yama...” bisik Melati, tanpa berpikir.
“Akhirnya kau bangun.” Suaranya dalam dan berat, seolah berasal dari dasar bumi itu sendiri.
Melati ingin bangun, tapi tubuhnya masih terlalu lemas sebab minuman asing yang diberi tetua saat ritual Garbha. Tunggu dulu, apakah dia..., sudah mati...?
“Di mana... ini? Apa aku sudah mati? Apa hidupku sudah berakhir?”
“Di tempatku. Dunia bawah. Istana kematian,” jawab Yama sambil berjalan mendekat. Setiap langkahnya menghasilkan gema, “Aku sendiri yang mengubur ragamu di dunia, jiwamu lah yang sekarang berada di depanku.”
“Kenapa... aku di sini?” bisik Melati.
Yama menunduk, menatapnya lurus. “Karena kau milikku, Melati. Sejak hari pertama kau lahir. Takdirmu sudah terikat dengan jiwaku sejak hari pertama kau terlahir di dunia.”
Melati duduk di tepi tempat tidur, gaun tidurnya kusut, namun tetap memancarkan kelembutan dalam cahaya redup kamar, jari-jarinya menggenggam ujung seprai, seolah mencari pegangan di antara kebingungan dari kata-kata yang dilontarkan Batara Yama, lantas ia mengernyit.”Apa maksudmu?”
“Kita telah terikat dalam yang namanya takdir.” Yama berlutut di depan Melati, gerakannya anggun, nyaris seperti dalam dongeng. Ia memegang tangan perempuan itu dengan hormat dan penuh pengabdian, kemudian berujar layaknya tengah bersumpah, “Darahmu, jiwamu, tubuhmu... semua telah ditandai untuk-Ku.” Lalu Yama menunduk perlahan, menyentuh punggung tangan Melati dengan ciuman penuh takzim, layaknya seorang pangeran yang menemukan tuannya dalam bentuk paling rapuh dan paling nyata.
“Ta-tapi aku tidak mau...”
Yama menatapnya. ‘tak marah. ‘tak tersenyum. Hanya mendekat, lalu menyentuh bagian belakang leher melati. Ia bergidik saat merasakan sentuhan dinginnya.
“Di sini,” bisik Yama.
Melati tau apa yang dimaksud Yama, itu adalah tanda lahirnya yang berbentuk seperti simbol bulan sabit dengan garis tegak. Tanda lahir yang sengaja ia tutupi karena bentuknya yang aneh.
“Simbol kepemilikan-Ku,” kata Yama pelan. Ia lalu menatap Melati. Di sana-di atas permukaan matanya sendiri-terlihat simbol yang sama.
Melati membeku. Napasnya tercekat.
“Ini tidak masuk akal...” bisiknya.
“Masuk akal atau tidak, kau tetap milik-Ku.”
“Tapi aku tidak mau...”
“Apa pun yang terjadi padamu, akan kembali padaku. Apa pun penderitaanmu, akan menjadi makananku. Karena sejak lahir, kau bukan milikmu sendiri.”
Melati mengalihkan pandangannya dari Yama, matanya memanas karena marah dan takut. “Apakah masih belum cukup? Bukankah sudah banyak korban sebelum aku yang menjadi pengantinmu? Lalu, teman-temanku yang juga ja-”
Yama tertawa kecil. Tawa itu kosong, ‘tak bernyawa. “Tidak. Di tangan para tetua yang menganggap darah suci bisa menyelamatkan mereka dari kemarau dan bencana. Mereka hanya persembahan biasa. Jiwa-jiwa ‘tak penting yang mati sia-sia di tangan manusia. Bukan Aku yang mengambil mereka.”
Melati menggigit bibir. “Lalu kenapa... kenapa setiap kali upacara Garbha dilaksanakan, keinginan desa selalu dikabulkan? Kenapa panen desa melimpah? Kenapa hujan turun setelah darah ditumpahkan?”
Yama menatapnya, kini lebih serius. “Karena aku menginginkannya begitu.”
Raut bingung terpancar jelas di wajah Melati, “Menginginkan apa?”
“Agar mereka terus melakukan itu.”
Jawaban itu begitu dingin, tanpa emosi, namun menghantam Melati seperti badai.
Yama melanjutkan, “Jika mereka berpikir pengorbanan berhasil, mereka akan terus melakukannya. Mereka akan terus menyerahkan daging dan darah untukku. Jujur saja, aku suka darah korban yang mereka berikan”
“Jadi kau sengaja memberi mereka hasil?”
Yama mengangguk. “Ya. Setiap hujan yang mereka minta, setiap panen yang mereka doakan, aku kabulkan. Sebagai imbalan dari kehidupan yang mereka ambil.” Yama menambah, “Pengorbanan adalah bentuk penyembahan yang paling tulus, mereka menyerahkan seseorang yang mereka cintai demi harapan akan hidup. Kau pikir siapa yang bodoh?”
“Kau... kejam.”
Yama tidak bereaksi. “Aku adalah kematian, Melati. Apa yang kau harapkan dariku? Kelembutan dari penguasa akhir hidup manusia?” Yama menyeringai.
Melati memejamkan mata. Bayangan teman-temannya yang pernah dikorbankan saat masih belia, mata ibu mereka yang sembab dan putus asa, ‘tak rela anak gadis mereka menjadi korban, teriakan malam-malam sunyi yang diredam oleh nyanyian upacara. Semua itu... sia-sia?
Melati ingin berteriak, ingin memukul sesuatu, ingin menolak semua ini. Tapi tubuhnya seperti ditarik oleh kekuatan yang lebih besar. Ia bisa merasakan ada bagian dari diinya yang bukan miliknya. Bagian itu milik Yama. Dan lebih dari itu-ia bisa merasakan keterikatan yang bukan sekadar simbol atau kutukan.
“Lalu kenapa aku di sini?” lirih Melati. “Apa kematianku juga akan sia-sia? Apa kau akan memakanku juga?”
“Karena kau adalah pengantinku. Aku akan menjadikanmu milikku. Bukan dalam kematian, tapi dalam hidup. Kau akan tinggal di sini. Bersamaku. Selamanya.”
Melati menatapnya lama. “Aku tidak ingin menjadi pengantin Dewa Kematian.”
Yama mendekat, jaraknya hanya sejengkal darinya. “Aku tidak memberi pilihan. Kau adalah milikku,” jawab Yama datar. “Dan milikku berarti milik dunia kematian. Dunia ini. Dunia yang akan kau tinggali dan tempati.”
Simbol di mata Yama menyala, dan untuk sesaat, Melati merasa tubuhnya seperti diserap ke dalam tatapan itu-dingin, dalam penuh kekuasaan. Namun di balik itu... ia melihat kesepian yang pekat.
Melati membuang muka. Tapi pertanyaan yang belum selesai menyesakkan dadanya.
“Apa semua ini sudah ditakdirkan sejak aku lahir?”
Yama tidak langsung menjawab. Ia menatap mata Melati dalam-dalam, “Bahkan dewa pun tidak bisa menghindari takdir. Kita hanya akan memainkannya. Dan kau, Melati... kau adalah bidak paling berharga dalam permainan ini.”
Sunyi menggantung di antara mereka. Tapi tidak seperti sebelumnya, kini Melati ‘tak merasa asing.
Ia merasa terkunci. Terkutuk.
Dan entah bagaimana, ia tahu... hidupnya yang lama sudah tidak akan pernah kembali.
“Yama?” bisik Wirya, nyaris tidak terdengar.Roh kecil itu berhenti di depan wajahnya, matanya yang bersinar redup menatap dalam, seakan menelanjangi isi pikirannya.“Hm.” sebuah senyum samar melintas di bibirnya.“Pusaka Arsadikara berada di dalam tubuhnya. Ia menanamnya di tubuhnya sendiri agar ‘tak ada dewa lain yang menyangka pusaka itu ditempatkan di sana.”Wirya terdiam. “Di dalam... tubuhnya?” katanya akhirnya, suaranya rendah, parau, menyiratkan rasa tidak percayanya.“Kau yakin itu bukan cerita karanganmu?” Ia mencondongkan tubuh sedikit, menatap lurus, seolah hendak membedah kebohongan dari sorot mata lawannya. “Bagaimana aku bisa percaya padamu? Sedangkan kau bagian dari Yama?”Roh kecil itu terdiam.Mengerti mengapa roh manusia di depannya curiga padanya. Seutas senyum tipis tampak di wajahnya.“Aku tidak berbohong” bisiknya pelan, nyaris seperti gumaman yang dihembuskan angin.Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Tuanku bukan Yama. Tapi bisa juga tuanku dia”Ia tersenyu
Wirya larut dalam tenggelam.Dingin air menembus kulitnya, menyeret setiap napas yang tersisa.Dalam keheningan yang menyesakkan itu, muncul perasaan yang selama ini ia tolak, keinginan untuk menyerah. Jika ia mati lagi... rohnya akan dilempar ke Sungai Roh milik Yama.Tempat di mana ‘tak ada langit, ‘tak ada dasar, hanya arus yang ‘tak pernah berhenti.Ia akan terus dipaksa berenang tanpa mengenal waktu dan daratan. Selamanya. Tapi mungkin... apakah itu lebih baik dari apa yang sedang ia perjuangkan sekarang?Ia nyaris tertawa dalam pikirannya sendiri.Lucu. Makhluk ‘tak berdaya sepertinya, mencoba menantang Dewa Kematian.Yama, sang penguasa akhir dari segala napas yang berhembus.Namun bahkan di ambang lenyapnya kesadaran, ada sesuatu yang menolak padam dalam dirinya, amarah.Tipis, nyaris seperti sisa bara di tengah badai, tapi cukup untuk membuat jantungnya kembali berdetak.Amarah itu ‘tak kala kian membuncah saat benaknya melempar pertanyaan pada dirinya sendiri.Sampai kapa
Sungai Hitam adalah sungai yang terletak di bumi. Banyak mitologi yang lahir dari sungai ini. Konon, katanya sungai ini adalah tempat favorit mandi para dewa yang sedang turun.Terletak di kedalaman hutan dan dijaga oleh makhluk berwujud setengah ular dan setengah manusia bernama Nagagini sebelum ia ditaklukkan Dewa Kematian dan menjadi pengikutnya.Karena sifatnya yang mensucikan, bagi para dewa, terutama mereka yang bersinggungan dengan darah dan dosa, Sungai Hitam adalah tempat untuk meluruhkan jejak dunia. Saat tubuh mereka menyentuh airnya, semua emosi fana yang dimiliki manusia akan menguap perlahan, meninggalkan hanya kesadaran ilahi yang murni.Dan bagi roh seperti Wirya.Sungai ini menjadi tempat purifikasi diri dari pengaruh Yama yang sudah mencabik-cabik harga dirinya tanpa ampun.Dengan izin yang telah diberikan, Wirya dapat berendam di sungai yang tidak semua makhluk dapat menyelaminya.Luka dan aroma dupa kematian masih menguar dari tubuhnya. Matanya kian menyipit, menaha
Wirya tersungkur di tanah. Batuknya keras, menahan rasa sakit di dada dan darah di mulutnya. Setiap tarikan napas seperti disayat. Tapi lebih sakit dari luka fisik adalah kehancuran dalam dirinya.Ia menatap tangannya sendiri. Getarannya ‘tak berhenti.Bajingan, dia hampir mati dua kali.Wirya berjalanan tertatih. Setiap langkah seperti menyeret rantai ‘tak kasatmata.Nafasnya berat, tubuhnya penuh luka, tapi matanya masih menyala dengan bara dendam. Udara di sekitarnya menggigil oleh sisa kekuatan Dewa Kematian yang menempel di tubuhnya.Dengan susah payah, ia melangkah menuju istana Dewa Perang, tempat satu-satunya yang masih menerima dirinya setelah Yama melemparkannya keluar tanpa ampun.Sesampainya di istana Dewa Perang, Raksa. Wirya langsung ambruk menghadap singgasana.“Jadi benar... kau kembali dari kubangan itu dengan tangan kosong.” Wirya tidak menjawab. Ia berusaha mengatur napasnya yang hampir habis. “Kau... siapa yang membocorkan-” Raksa tersenyum miring. “Aku selalu tahu
“Jika kau ‘tak ingin membunuhku, lalu apa yang kau ingingkan dariku?”Yama berdiri. Langkahnya tenang, tapi setiap kali kakinya menyentuh lantai, gema beratnya seperti palu mengguncang tulang. Ia berhenti di depan Wirya, menatap dari atas ke bawah seperti menilai seekor binatang.“Aku ingin kau memilih,” katanya pelan.“Sama seperti setiap manusia di ambang neraka, antara kembali dan terjebak.”Wirya terdiam.Matanya menyipit, seolah berusaha memahami makna di balik kata-kata itu.Yama melanjutkan, “Aku akan membuka jalan untukmu, Wirya. Jika kau mundur sekarang, tinggalkan ambisimu, cintamu, semua kebencianmu, aku akan biarkan kau hidup menjadi Pelayan Wirya. Tapi jika kau tetap bertahan...”Ia menunduk sedikit, suaranya berubah menjadi bisikan yang menggigit.Wirya meludah darah. Itu adalah penghinaan untuk pilihan yang Yama tawarkan. Ia tersenyum miring, darah di sudut bibirnya ‘tak menghapus kesombongan di matanya. “Melati istrimu masih menyukaiku. Kau pasti tahu ketika kami hidup,
Wirya bergetar. “Aku... aku tidak mencuri. Aku hanya mengambil apa yang harusnya milikku!”Yama tertawa lirih. Bukan tawa kebahagaiaan, melainkan ejekan yang dalam. “Pusaka milik dewa kematian,” katanya, menunduk sedikit. “Dan kau seorang manusia fana menganggap itu hakmu?”Tatapan Yama menajam, memantulkan kilat di matanya. “Kau bahkan tidak mampu mengendalikan nafsumu sendiri.”Ia menjentikkan jarinya lagi.Dunia di sekeliling mereka berubah.Dinding batu mencair, berganti menjadi tanah lapang yang dikelilingi penduduk ilusi Yamanira, bayangan orang-orang dari masa lalu Wirya. Mereka berdiri diam, menatapnya tanpa mata, hanya lubang hitam di wajah mereka. Dan dari antara mereka, suara lirih bergema:“Pencuri... pencuri...”Wirya menutup telinganya. “Cukup! Hentikan!”“Tidak,” jawab Yama tenang. “Kau harus mendengarnya. Inilah suara dunia yang ppernah kau abaikkan. Suara rasa malu yang seharusnya kau hadapi sejak lama.” Ia melangkah mendekat, menunduk tepat di depan Wirya, suaranya be