Melati tidak tau apakah saat ini siang atau malam, sebab hanya ada kegelapan ‘tak berujung yang melingkupi kerajaan Batara Yama. Melalui jendela, Melati merindukan sinar matahari pagi tapi yang ia temui hanya cahaya bulan yang menerangi.
Setelah merengek berlama-lama pada Batara Yama bahwa ia ingin pulang, Melati hanya diizinkan berkeliling istana untuk membunuh kebosanan.
Tentu tidak sendiri, Melati ditemani makhluk yang pertama kali ia lihat selain Yama selama di kerajaan ini.
Berbadan besar, tegap, dan menggunakan zirah, penampilannya seperti manusia kebanyakan, tapi matanya...terus mengeluarkan darah dari ujungnya. Melati menahan teriakan kecilnya. Takut, mengapa penampilannya sangat mengerikan?
Sepertinya, lelaki berpenampilan seram yang terus menguarkan aura peperangan itu adalah kepercayaan Yama.
“Di mana Batara Yama?” tanya Melati penasaran.
“Baginda sedang menghadap para Dewa Tertinggi.” Jawab Raksaya sekenanya.
Melati menelusuri lorong panjang yang sepi, menapaki lantai batu dingin dengan jantung berdetak pelan namun penuh kehati-hatian. Takut-takut ia salah meletakkan kaki karena jarak penglihatan terbatas.
Di sepanjang lorong, dinding dihiasi ukiran-ukiran aneh yang ‘tak Melati pahami maknanya. Membentuk garis yang menyerupai makhluk-makhluk yang ‘tak pernah iia temui sebelumnya, setengah manusia, setengah arwah. Ada yang menangis. Ada yang tertawa tanpa kepala. Ada juga yang tampak berdoa. Semua menggambarkan penderitaan.
Melihatnya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri. Benar-benar tidak ada satupun yang indah di sini. Bahkan cahaya sekalipun terasaa muram, seperti diremukkan oleh kesedihan yang ‘tak pernah diucap.
Melati menyusuri ruangan paling luas yang pernah Melati pijakkan, aula utama. Sebuah ruangan megah dengan langit yang ‘tak tampak ujungnya. Di sana, puluhan makhluk sibuk mendekorasi-tunggu dulu, makhluk?
Tepat di depan Melati puluhan makhluk berkepala burung, bertangan banyak, dan berbadan asap sibuk mendekorasi langit-langit dengan bunga-bunga neraka dan rantai emas yang menyala merah.
Beberapa menggantung terbalik dari langit-langit, beberapa merayap di dinding dengan mata terlalu banyak.
Melati mundur selangkah.
“Apa itu...?”
Salah satu dari mereka berbalik, memperlihatkan wajah seperti topeng bayi menangis-yang segera berubah menjadi tengkorak. Tersenyum dan menyapa ke arah Melati, “Hai”
Melati langsung menjerit pelan dan berlari ke belakang sosok yang paling ia kenal hai ini:
Raksaya.
Ia memeluk lengan Raksaya erat-erat, berusaha menenangkan diri.
“Maaf, aku takut,” gumamnya cepat, berusaha menyembunyikan gemetar di suaranya.
Tapi Raksaya ‘tak menjawab. Tubuhnya kaku.
Melati perlahan mendongak... dan saat itu juga, ia menyesal.
Darah merembes dari kedua mata Raksaya. Menetes perlahan, menyusuri pipinya yang ‘tak berekspresi.
Melati sempat membuka mulut-ingin berteriak-tapi ‘tak ada suara yang keluar.
“...Hh-”
Seketika tubuh Melati ambruk, menghasilkan suara bedemum yang keras, menarik perhatian seisi aula. Melati pingsan tepat di kaki Raksaya.
---
Melati terbangun.
Kelopak matanya terasa berat, dan pandangannya kabur. Langit-langit batu hitam yang memancarkan bayangan menyambutnya.
“Kupikir aku mati lagi,” pikirnya, getir.
Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya masih lemas. Ada selimut tebal menyelimuti tubuhnya-bersih, hangat... dan berbau dupa.
Ruangan ini adalah kamar yang biasa ia tempati. Ruangan yang secara pribadi disiapkan Batara Yama untuknya.
Saat itu, pintu kamar berderit terbuka. Seorang pelayan masuk, membawa baki, dan aroma harum yang membubung, mengaduk perut Melati yang kosong. Suara gemuruh perutnya terasa memalukan, namun pelayan itu hanya diam.
Kemudian meletakkan nampan berisi mangkuk-mangkuk kecil di meja ukiran di sisi ranjang.
Bubur merah hitam, sup berisi jamur berkilauan, serta secawan air bening dengan sehelai kelopak mengambang di permukaannya.
Penampilan makanan itu memang agak meragukan, tapi enatah mengapa rasanya sungguh nikmat.
Pelayan itu masih membelakanginya, sibuk merapikan nampan dan sendok perak. Tapi saat ia menoleh, dunia Melati berhenti berputar.
Mata itu...
Senyum itu...
Tidak salah lagi
“W...Wirya?” bisik Melati, nyaris ‘tak percaya suara yang keluar dari mulutnya sendiri. Nama itu terasa seperti duri yang membangungkan luka lama, namun juga seperti air yang menyentuh tanah tandus dalam jiwanya.
Pelayan yang berdiri ‘tak jauh di hadapannya menghentikan langkah. Tubuhnya menegang sesaat sebelum perlahan menoleh.
Senyum kecil muncul di wajahnya-senyum yang sangat dikenali Melati. Senyum itu, dulunya, mampu menenangkan badai dalam dadanya. Sekarang, senyum itu justru mengoyak ketenangan semu yang telah coba ia bangun selama dikurung di dunia ini.
“Sudah lama kau tidak memanggilku begitu,” katanya. Nada suaranya datar. Dingin.
Melati terpaku. Jika Wirya ada di sini... maka itu hanya berarti satu hal.
Melati menahan napas. “Kau... mati.”
Wirya berjalan mendekat, langkahnya tenang tapi berat. Wajahya tidak banyak berubah. Masih tenang, masih membawa kehangatan yang dulu menggetarkan hati Melati. Tapi kini, ada sesuatu yang patah dalam tatapannya.
“Aku mati,” ucap Wirya datar, suaranya seperti racun pait yang ditelan paksa.
Melati menatapnya, ‘tak mampu berkata apa pun. Dadanya sesak.
“Bagaimana bisa?”
“Aku mati karena mencintaimu Melati.”
“Apa..., bagaimana bisa?”
“Di perjalanan pulang aku melihat pohon Rumbai Merah di tepi jurang. Kau suka buahnya. Jadi aku memanjatnya, ingin membawanya sebagai kejutan. Tapi tanahnya licin. Aku terpeleset. Tejatuh.”
“Wirya...” bisik Melati, air matanya mulai jatuh.
“Dan kemudian aku terbangun di sini,” lanjut Wirya, suaranya mengeras.”Di dunia milik Dewa Yama. Diangkat menjadi pelayannya. Diberi tubuh ini. Nama baru. Tugas baru. Tapi aku masih mengingatmu Melati.”
Tatapannya kini membara. Suaranya bergetar, marah dan patah.
“Aku mati karena ingin membuat pernikahan kita sempurna. Kalau saja... kalau saja hari itu aku tidak memikirkanmu... aku masih hidup, Melati. Masih hidup!”
Suara Wirya pecah. Tangan yang tadinya tenang mengepal. Bukan karena benci... tapi karena cinta yang belum selesai.
“Wirya... aku tidak tahu... aku-”
“Kalau saja kita tidak pernah bertunangan,” potongnya tajam. “Kalau saja kita tidak pernah saling mencintai... aku masih hidup. Menikah. Mungkin bukan denganmu, tapi... hidup.”
Melati menunduk, air mata jatuh satu per satu.
Lalu suara lirihnya pecah, “Wirya... aku tidak tahu semua ini akan terjadi. Aku mencintaimu. Aku menunggumu... setiap hari. Aku menolak lamaran orang-orang desa. Aku percaya kau akan kembali.”
“Aku tahu,” potong Wirya, nadanya rendah, tapi tajam seperti belati. “Aku tahu kau tidak memilih ini. Tapi tetap saja... kau salah.” lanjut Wirya, “Karena rasa cintaku padamu, aku kehilangan segalanya.”
Wajah Melati semakin tertekuk, rasa bersalah terus menyakitinya, “Lalu kenapa kau masih di sini Wirya?” tanya Melati akhirnya, lirih.
Wirya terdiam.
Matanya meredup. Tangan yang memegang baki mulai bergetar. Ia meletakkannya ke meja, pelan, lalu mengangkat wajahnya.
“ Karena ada bagian kecil dari diriku yang masih ingin tahu...”
Ia melangkah mendekat, menatap Melati begitu dalam.
“...kalau kubunuh Yama...”
Tatapannya menusuk langsung ke mata Melati.
“...apa kau akan memelukku seperti dulu?”
“Karena bagian kecil dari diriku masih ingin tahu.”Wirya mendekat, menatap Melati begitu dalam. “Kalau aku bunuh Yama... apa kau akan memelukku seperti dulu?”Melati terbelalak.“Wirya, dia itu Dewa. Dewa Wirya. Bagaimana bis-”Wirya menarik wajahnya menjauh. Sembari menahan emosi ia menjawab, “Aku tahu.” Ada rasa putus asa di sana.Melati menggeleng pelan. Tidak masuk akal. Bagaimana manusia fana sepertinya berniat membunuh dewa kematian? Penguasa ruh manusia setelah mati? Tidak. Sebelum Wirya bertindak lebih jauh lagi. Melati harus menghentikannya. “Ayo kita pulang. Kita bisa pergi ke desa... kita bisa bicara pada Ayah dan tetua. Mungkin-mungkin mereka bisa menolong. Kita bisa lepas dari sini dan kembali seperti dulu.”Wirya tertawa kecil-pahit dan hambar. “Mel, kau sungguh tidak tahu apa-apa, ya?”Melati terdiam, matanya melebar.“Aku mati... karena Ayahmu,” ucapnya perlahan. “Bukan karena takdir. Tapi karena rencana.”“Apa... maksudmu? Tadi kau bilang-” napas Melati tercekat.“Ay
Melati tidak tau apakah saat ini siang atau malam, sebab hanya ada kegelapan ‘tak berujung yang melingkupi kerajaan Batara Yama. Melalui jendela, Melati merindukan sinar matahari pagi tapi yang ia temui hanya cahaya bulan yang menerangi.Setelah merengek berlama-lama pada Batara Yama bahwa ia ingin pulang, Melati hanya diizinkan berkeliling istana untuk membunuh kebosanan.Tentu tidak sendiri, Melati ditemani makhluk yang pertama kali ia lihat selain Yama selama di kerajaan ini.Berbadan besar, tegap, dan menggunakan zirah, penampilannya seperti manusia kebanyakan, tapi matanya...terus mengeluarkan darah dari ujungnya. Melati menahan teriakan kecilnya. Takut, mengapa penampilannya sangat mengerikan?Sepertinya, lelaki berpenampilan seram yang terus menguarkan aura peperangan itu adalah kepercayaan Yama.“Di mana Batara Yama?” tanya Melati penasaran.“Baginda sedang menghadap para Dewa Tertinggi.” Jawab Raksaya sekenanya.Melati menelusuri lorong panjang yang sepi, menapaki lantai batu
Istana itu berdiri dalam kegelapan, terbuat dari batu hitam yang sebagian besar dimakan lumut, menjulang ‘tak berujung seperti waktu yang membeku. Langit di atasnya ‘tak pernah berubah-selalu kelam, menggantungkan cahaya pucat yang ‘tak pernah menghangatkan kulit. Mendung, diselimuti awan kelabu yang ‘tak menurunkan hujan. Di sinilah Melati, dikurung sejak Batara Yama membawanya dari altar pengorbanan.Sejak saat itu, ia ‘tak pernah melihat matahari.Setiap pagi, jika waktu itu masih bisa disebut “pagi”, seorang pelayan laki-laki yang hanya sekali memperkenalkan dirinya sebagai Raksaya. Sisanya Ia hanya bertugas membawakan makanan dan keperluan Melati lainnya. Tanpa suara, tanpa menatap wajahnya. Diam, seakan manusia juga telah mati di tempat ini. Karenanya Melati ‘tak pernah melihat wajahnya.Melati memandang pintu besar yang ‘tak pernah bisa ia buka. Jari-jarinya memainkan gaun putih yang selaras dengan warna kulit tubuhnya. Ia tahu ‘tak ada yang bisa ia lakukan untuk melarikan diri
Kesadaran Melati perlahan kembali.Hal pertama yang ia rasakan adalah dingin. Dingin yang ‘tak biasa, tidak pernah ia rasakan sebelumnya dan aneh. Dingin ini menjalari tulang, menusuk perlahan dari ujung jari hingga tepat ke jantungnya.Aroma dupa yang menyengat menusuk hidung, memaksanya untuk segera bangun dari tidurnya yang lelap.Bulu mata lentik itu terbuka perlahan. Matanya membelalak, pupilnya membesar seketika mencoba mencerna kenyataan. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar asing-langit-langit terbuat dari batu hitam yang berkilau, memantulkan bayangan dirinya yang berada di atas tempat tidur asing, terbaring di atas sesuatu yang empuk-kain halus yang mungkin terbuat dari sutra.Dinding-dinding sekelilingnya tampak sunyi, namun penuh wibawa kelam. Warnanya kelabu gelap, nyaris hitam, seolah menyerap cahaya yang berani mendekat. Urat-urat samar berwarna ungu terang menjalar di permukaannya, membentuk pola ‘tak beraturan yang menyeramkan.Namun yang paling membuat Melati
Kau Telah Disumpah Menjadi Milikku-Dengan Darah, Bukan Cinta[Ia dikorbankan untuk menyelamatkan desanya. Tapi yang menantinya bukan surga, melainkan Dewa Kematian yang menginginkan anak darinya.]Jauh di pedalaman hutan berkabut, tersembunyi sebuah desa bernama Yamanira- desa yang tidak tercatat dalam peta, tidak disebut dalam sejarah, dan tidak dikunjungi oleh cahaya matahari secara utuh. Tanahnya sunyi, udaranya dingin, dan malam di sana tidak pernah benar-benar berakhir.Penduduk Desa Yamanira hidup dalam ketundukan dan ketakutan yang diwariskan turun-temurun. Seumur hidup warga Desa Yamanira mendedikasikan diri mereka untuk menyembah Dewa Yama-sang Dewa Kematian. Penguasa alam setelah manusia mati yang tidak pernah puas meski telah menelan banyak nyawa manusia.Setiap sepuluh tahun sekali, desa itu mengadakan upacara Garbha, upacara persembahan, di mana desa harus menyerahkan anak perempuan berusia dua belas tahun untuk diserahkan kepada hutan, kepada Yama, sebagai tumbal untuk m