Home / Romansa / Pengantin Dewa / Bab 4 - Wirya

Share

Bab 4 - Wirya

last update Last Updated: 2025-06-17 22:02:42

Melati tidak tau apakah saat ini siang atau malam, sebab hanya ada kegelapan ‘tak berujung yang melingkupi kerajaan Batara Yama. Melalui jendela, Melati merindukan sinar matahari pagi tapi yang ia temui hanya cahaya bulan yang menerangi.

Setelah merengek berlama-lama pada Batara Yama bahwa ia ingin pulang, Melati hanya diizinkan berkeliling istana untuk membunuh kebosanan.

Tentu tidak sendiri, Melati ditemani makhluk yang pertama kali ia lihat selain Yama selama di kerajaan ini.

Berbadan besar, tegap, dan menggunakan zirah, penampilannya seperti manusia kebanyakan, tapi matanya...terus mengeluarkan darah dari ujungnya. Melati menahan teriakan kecilnya. Takut, mengapa penampilannya sangat mengerikan?

Sepertinya, lelaki berpenampilan seram yang terus menguarkan aura peperangan itu adalah kepercayaan Yama.

“Di mana Batara Yama?” tanya Melati penasaran.

“Baginda sedang menghadap para Dewa Tertinggi.” Jawab Raksaya sekenanya.

Melati menelusuri lorong panjang yang sepi, menapaki lantai batu dingin dengan jantung berdetak pelan namun penuh kehati-hatian. Takut-takut ia salah meletakkan kaki karena jarak penglihatan terbatas.

Di sepanjang lorong, dinding dihiasi ukiran-ukiran aneh yang ‘tak Melati pahami maknanya. Membentuk garis yang menyerupai makhluk-makhluk yang ‘tak pernah iia temui sebelumnya, setengah manusia, setengah arwah. Ada yang menangis. Ada yang tertawa tanpa kepala. Ada juga yang tampak berdoa. Semua menggambarkan penderitaan.

Melihatnya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri. Benar-benar tidak ada satupun yang indah di sini. Bahkan cahaya sekalipun terasaa muram, seperti diremukkan oleh kesedihan yang ‘tak pernah diucap.

Melati menyusuri ruangan paling luas yang pernah Melati pijakkan, aula utama. Sebuah ruangan megah dengan langit yang ‘tak tampak ujungnya. Di sana, puluhan makhluk sibuk mendekorasi-tunggu dulu, makhluk?

Tepat di depan Melati puluhan makhluk berkepala burung, bertangan banyak, dan berbadan asap sibuk mendekorasi langit-langit dengan bunga-bunga neraka dan rantai emas yang menyala merah.

Beberapa menggantung terbalik dari langit-langit, beberapa merayap di dinding dengan mata terlalu banyak.

Melati mundur selangkah.

“Apa itu...?”

Salah satu dari mereka berbalik, memperlihatkan wajah seperti topeng bayi menangis-yang segera berubah menjadi tengkorak. Tersenyum dan menyapa ke arah Melati, “Hai”

Melati langsung menjerit pelan dan berlari ke belakang sosok yang paling ia kenal hai ini:

Raksaya.

Ia memeluk lengan Raksaya erat-erat, berusaha menenangkan diri.

“Maaf, aku takut,” gumamnya cepat, berusaha menyembunyikan gemetar di suaranya.

Tapi Raksaya ‘tak menjawab. Tubuhnya kaku.

Melati perlahan mendongak... dan saat itu juga, ia menyesal.

Darah merembes dari kedua mata Raksaya. Menetes perlahan, menyusuri pipinya yang ‘tak berekspresi.

Melati sempat membuka mulut-ingin berteriak-tapi ‘tak ada suara yang keluar.

“...Hh-”

Seketika tubuh Melati ambruk, menghasilkan suara bedemum yang keras, menarik perhatian seisi aula. Melati pingsan tepat di kaki Raksaya.

---

Melati terbangun.

Kelopak matanya terasa berat, dan pandangannya kabur. Langit-langit batu hitam yang memancarkan bayangan menyambutnya.

“Kupikir aku mati lagi,” pikirnya, getir.

Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya masih lemas. Ada selimut tebal menyelimuti tubuhnya-bersih, hangat... dan berbau dupa.

Ruangan ini adalah kamar yang biasa ia tempati. Ruangan yang secara pribadi disiapkan Batara Yama untuknya.

Saat itu, pintu kamar berderit terbuka. Seorang pelayan masuk, membawa baki, dan aroma harum yang membubung, mengaduk perut Melati yang kosong. Suara gemuruh perutnya terasa memalukan, namun pelayan itu hanya diam.

Kemudian meletakkan nampan berisi mangkuk-mangkuk kecil di meja ukiran di sisi ranjang.

Bubur merah hitam, sup berisi jamur berkilauan, serta secawan air bening dengan sehelai kelopak mengambang di permukaannya.

Penampilan makanan itu memang agak meragukan, tapi enatah mengapa rasanya sungguh nikmat.

Pelayan itu masih membelakanginya, sibuk merapikan nampan dan sendok perak. Tapi saat ia menoleh, dunia Melati berhenti berputar.  

Mata itu...

Senyum itu...

Tidak salah lagi

“W...Wirya?” bisik Melati, nyaris ‘tak percaya suara yang keluar dari mulutnya sendiri. Nama itu terasa seperti duri yang membangungkan luka lama, namun juga seperti air yang menyentuh tanah tandus dalam jiwanya.

Pelayan yang berdiri ‘tak jauh di hadapannya menghentikan langkah. Tubuhnya menegang sesaat sebelum perlahan menoleh.

Senyum kecil muncul di wajahnya-senyum yang sangat dikenali Melati. Senyum itu, dulunya, mampu menenangkan badai dalam dadanya. Sekarang, senyum itu justru mengoyak ketenangan semu yang telah coba ia bangun selama dikurung di dunia ini.

“Sudah lama kau tidak memanggilku begitu,” katanya. Nada suaranya datar. Dingin.

Melati terpaku. Jika Wirya ada di sini... maka itu hanya berarti satu hal.

Melati menahan napas. “Kau... mati.”

Wirya berjalan mendekat, langkahnya tenang tapi berat. Wajahya tidak banyak berubah. Masih tenang, masih membawa kehangatan yang dulu menggetarkan hati Melati. Tapi kini, ada sesuatu yang patah dalam tatapannya.

“Aku mati,” ucap Wirya datar, suaranya seperti racun pait yang ditelan paksa.

Melati menatapnya, ‘tak mampu berkata apa pun. Dadanya sesak.

“Bagaimana bisa?”

“Aku mati karena mencintaimu Melati.”

“Apa..., bagaimana bisa?”

“Di perjalanan pulang aku melihat pohon Rumbai Merah di tepi jurang. Kau suka buahnya. Jadi aku memanjatnya, ingin membawanya sebagai kejutan. Tapi tanahnya licin. Aku terpeleset. Tejatuh.”

“Wirya...” bisik Melati, air matanya mulai jatuh.

“Dan kemudian aku terbangun di sini,” lanjut Wirya, suaranya mengeras.”Di dunia milik Dewa Yama. Diangkat menjadi pelayannya. Diberi tubuh ini. Nama baru. Tugas baru. Tapi aku masih mengingatmu Melati.”

Tatapannya kini membara. Suaranya bergetar, marah dan patah.

“Aku mati karena ingin membuat pernikahan kita sempurna. Kalau saja... kalau saja hari itu aku tidak memikirkanmu... aku masih hidup, Melati. Masih hidup!”

Suara Wirya pecah. Tangan yang tadinya tenang mengepal. Bukan karena benci... tapi karena cinta yang belum selesai.

“Wirya... aku tidak tahu... aku-”

“Kalau saja kita tidak pernah bertunangan,” potongnya tajam. “Kalau saja kita tidak pernah saling mencintai... aku masih hidup. Menikah. Mungkin bukan denganmu, tapi... hidup.”

Melati menunduk, air mata jatuh satu per satu.  

Lalu suara lirihnya pecah, “Wirya... aku tidak tahu semua ini akan terjadi. Aku mencintaimu. Aku menunggumu... setiap hari. Aku menolak lamaran orang-orang desa. Aku percaya kau akan kembali.”

“Aku tahu,” potong Wirya, nadanya rendah, tapi tajam seperti belati. “Aku tahu kau tidak memilih ini. Tapi tetap saja... kau salah.” lanjut Wirya, “Karena rasa cintaku padamu, aku kehilangan segalanya.”

Wajah Melati semakin tertekuk, rasa bersalah terus menyakitinya, “Lalu kenapa kau masih di sini Wirya?” tanya Melati akhirnya, lirih.

Wirya terdiam.

Matanya meredup. Tangan yang memegang baki mulai bergetar. Ia meletakkannya ke meja, pelan, lalu mengangkat wajahnya.

“ Karena ada bagian kecil dari diriku yang masih ingin tahu...”

Ia melangkah mendekat, menatap Melati begitu dalam.  

“...kalau kubunuh Yama...”

Tatapannya menusuk langsung ke mata Melati.

“...apa kau akan memelukku seperti dulu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin Dewa   Chapter 15-Godaan Batara Yama

    Melati tersentak. Matanya langsung terbuka lebar. Yama berdiri di tepi kolam. Tanpa sehelai kain pun. Tubuhnya tegap, bahunya lebar dan berotot, setiap gerakan memancarkan kekuatan yang alami tapi tenang, seolah dunia ini tunduk pada langkahnya sendiri. Ia melihat Melati dengan seulas senyum tipis.“Batara Yama...” Melati tercekat. Wajahnya seketika memerah. Ia segera menunduk, menenggelamkan setengah wajahnya ke dalam air, hanya menyisakan mata yang melirik gugup, lalu beringsut menjauh ke sudut kolam. Tubuhnya ditutupi air hingga dagu, seolah itu bisa menyembunyikannya dari pandangan Yama.Yama melangkah masuk ke air tanpa ragu. Gelombang hangat menyebar, dan seketika jarak mereka terasa terlalu dekat. Ia duduk santai di dalam air, menatap Melati yang wajahnya merah seperti bunga yang baru mekar.Seulas senyum tipis terbaentuk di bibirnya. “Kau malu?” tanyanya ringan, namun nadanya jelas mengejek.Wajah Melati semakin panas. Ia tidak tahu apakah air kolam yang membuatnya terasa demik

  • Pengantin Dewa   Chapter 14-Apa Aku Berdosa?

    “Kau tidak menjawab salam pagi dariku, dan malah menangis.” Suara Yama terdengar dalam, hangat, namun tersirat kekecewaan. Ia masih bersandar di sisi ranjang, mata hitamnya memandangi Melati dengan kepuasan yang dingin sekaligus hangat.“Kenapa menangis?” Yama bertanya lembut, namun ada nada yang tajam, seperti ingin menembus isi kepalanya.Melati tidak menjawab. Lidahnya kelu. Ia bahkan tidak tahu apakah ia harus merasa bahagia, takut, atau marah kepada dirinya sendiri. Yang ada hanya perasaan hampa bercampur hangat.Yama bergerak mendekat, jarinya menyentuh pipi Melati, mengusap air matanya tanpa berkata apa-apa lagi. Sentuhan itu membuat tubuh Melati merinding, antara ingin menjauh dan ingin tenggelam lebih dalam.Seorang pelayan wanita cantik berwujud setengah ular muncul di ambang pintu, menunduk tanpa menatap langsung wajah Yama. Ia dipanggil hanya dengan satu gerakan jari dari tuannya.“Antarkan dia untuk mandi,” perintahnya singkat, namun tajam.Melati menoleh, jantungnya berd

  • Pengantin Dewa   Chapter 13-Mulai Luluh

    Melati membuka matanya perlahan. Cahaya biru redup dari api lilin yang menggantung di langit-langit memantul lembut di dinding kamar, pandangannya terasa kabur, seperti dunia enggan benar-benar kembali padanya. Tubuhnya terasa lelah, namun anehnya ada rasa hangat yang menjalar di seluruh kulitnya. Malam pertama dengan Yama, suaminya, masih meninggalkan sensasi yang sulit ia jelaskan.Yama duduk di tepi ranjang, memperhatikannya dengan tatapan yang tidak pernah berubah. Tubuhnya tegap, rambut hitam panjang tergerai, dan aura kematian yang melekat membuat setiap gerakannya tampak menakutkan sekaligus menggoda. Ia menatap Melati dengan tenang, hampir hangat.“Selamat pagi, takdirku,” bisik Yama.Melati menelan ludah. Ada bagian dalam dirinya yang meleleh, yang mulai menerima atau setidaknya ingin menerima Yama. Ia menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan perasaan campur aduk yang bergelora di dalam dada.Dadanya masih terasa berat. Bekas luka dari ritual pernikahan tidak hanya menyay

  • Pengantin Dewa   Chapter 12-Pusaka Arsadikara

    Tidak ada pusaka yang ditakuti di tiga dunia kecuali Arsadikara. Sebuah pedang hitam keperakan yang seolah menyimpan cahaya bintang di dalam bilahnya. Pedang itu bukan sekadar senjata, melainkan simbol kekuasaan, darah dan kekuatan.Pusaka Arsadikara adalah satu-satunya senjata yang dapat membunuh para Dewa, bahkan Yama, Sang Penguasa Kematian. Sebuah ironi, bahwa di dunia di mana dewa-dewa bisa mengatur matahari dan musim bisa dikalahkan oleh hanya satu pedang.Arsadikara lahir bukan dalam satu malam, bukan pula dalam satu kehidupan. Ratusan tahun Raksa, Dewa Perang, mencurahkan dirinya demi menciptakan pedang itu.Pedang itu sendiri dibuat menggunakan pecahan batu yang jatuh dan terbakar saat menembus langit bumi menjadi bahan dasar dari bilahnya. Batu itu tidak bisa disentuh oleh manusia, bahkan dewa biasa pun terbakar ketika mendekatinya. Hanya Raksa, dengan tubuh yang ditempa ribuan pertempuran, yang bisa menahan panasnya.Tetapi, bahan itu saja tidak cukup. Untuk menambah kekuata

  • Pengantin Dewa   Chapter 11-Pengganggu

    Dewa Perang menelusuri istana Yama. Yama bahkan tidak repot-repot menyambut tamu dan langsung membawa Istrinya ke kamar. “Dasar Dewa mesum.” Pikir Dewa Perang. “Sangat tidak sabaran.” kepalanya geleng-geleng.Ia mencari Wirya, mata-matanya sekaligus mantan kekasih Melati, tapi tidak menemukannya. Jadi ia menyusuri istana sendiri, mencari apa yang tujuannya sendiri, kalau tidak ada pusaka itu, untuk apa juga dia turun ke istana yang menjijikan yang terletak jauh di dasar ini? Sedangkan batara Jayasena dan batari Ningrum saja selaku ayah dan ibu kandung Yama tidak mau menghadiri pesta pernikahan anak ajaibnya. Sampailah Raksa di pintu paling besar yang ia temui di Istana ini. Sungguh ia hanya mencari pusaka miliknya yang dirampas Yama, tidak berniat mengintip aktivitas intim yang dilakukan Dewa Kematian bersama istrinya. Kalau ia salah kamar, ia hanya perlu minta maaf, yang harus ia lakukan sekarang hanya mengeceknya saja. “Uhhh aku sebenarnya tidak ingin melakukan ini, tapi apa boleh b

  • Pengantin Dewa   Bab 10-Berkah Dewa Kematian

    “Kau ‘tak tahu apa yang kau lakukan padaku, Melati...” Yama berbisik lirih, suaranya berat, seperti gemuruh yang menggema di dalam dada bumi.Kemudian ciuman itu turun ke leher, dada hingga ke bagian paling intim milik Melati. “Aku ‘tak ingin kau sakit saat memelukku,” lidahnya menyusup perlahan, seperti embun dingin yang merayap di pagi buta, mengusik setiap lapisan kesadaran Melati.Tubuh Melati bergetar, seolah dua dunia saling bertabrakan di dalamnya, antara ingin mundur dan tertarik tanpa daya.Kakinya rapat, mencoba menciptakan benteng, namun sentuhan Yama ‘tak mengizinkan itu bertahan lama.Ia menahan, bukan dengan paksaan kasar, tapi dengan genggaman lembut yang ‘tak tergoyahkan, menegaskan siapa penguasa malam itu.Gelombang perasaaan bergulung, melanda tanpa ampun, memaksa Melati mengejang dalam diam, tubuhnya menuntut hal yang belum ia mengerti. Sekali lagi, nalurinya ingin menutup diri, namun kekuatan Yama membelenggu, merangkul setiap kepanikan dan keraguan yang ia coba se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status