Hanna kembali mengedarkan pandangannya ketika memasuki kamar yang begitu luas menurutnya. Bahkan, ruang ini seukuran dengan ruang utama apartement yang beberapa hari lalu dia sewa.
Ruang maskulin khas seorang pria dengan cat dinding perpaduan warna hitam, putih dan abu-abu, serta ranjang berukuran king size yang diposisikan di bagian tengah. Aroma maskulin menyeruak di ruangan itu. Aroma yang pernah dia rasakan ketika mereka pernah berada dalam jarak yang begitu dekat saat pernikahan keduanya berlangsung, membuat Hanna seolah terbius menikmati melalui indra penciuman.
Ruang kamar terhubung dengan sebuah ruang kecil yang khusus untuk digunakan menyimpan pakaian yang ukurannya sekitar enam puluh empat kaki persegi berisikan dengan pakaian, tas, dan sepatu ber-merk.
Hanna menelan ludah dengan kasar, "Pria ini benar-benar kaya," gumamnya.
Dia memendarkan pandangan, mengabsen satu persatu apa yang ditampilkan dari ruang pria berkelas t
"Emh ..." Hanna tersentak dari tidur saat bias cahaya menembus sisi tirai dan tepat mengenai mata indah miliknya. Sudah bisa dipastikan sekarang sudah bukan saatnya untuk bermalas-malasan lagi di atas tempat tidur. Dia terkejut dengan suasana yang begitu asing baginya, merasakan sakit di salah satu bagian tubuh, perlahan dia sadar bahwa saat ini dia berada di kediaman Bart. Tapi kemana pria itu pergi? Hanna bermimpi sedikit nakal, semalam. Bahkan, perasaan itu terasa begitu nyata. Apakah itu artinya Bart yang hadir di dalam mimpinya? "Ini akibat kata-kata kotor Isabelle," rutuknya. untuk sepersekian detik, mata Hanna membulat. Ada rasa kekhawatiran yang begitu menyiksa perasaan wanita cantik itu saat ini, sesuatu yang berbeda sedang dia rasakan. Kali ini Hanna menyibakkan selimutnya. Tubuh wanita itu seketika menjadi lemas setelah melihat sesuatu yang tidak ingin dia temukan. "Saya akan meminta Bibi Helena untuk membelikanmu obat pereda nyeri." Suara Ba
"Apa kamu serius akan meninggalkan apartemen ini, bukankah sewanya akan berakhir dalam waktu yang masih lama? Isabelle mengekori Hanna yang sedang sibuk mengemasi pakaiannya. "Apa aku terlihat bercanda? Dia mengancamku atas tuduhan perselingkuhan. Ck! Ini gara-gara Matthew sialan! Jika saja aku tidak bertemu dengannya, mungkin aku masih menjadi Hanna yang sama hari ini." Sesekali Hanna menyeka peluh di pelipis. "Hanna yang sama?" Ucapan Isabelle membuat suasana menjadi hening. Kedua wanita itu saling beradu pandang. Hanna yang tadi tanpa sengaja mengucapkan kata-kata itu terlihat menatap Isabelle dengan ekspresi gugup. Sementara Isabelle menatapnya curiga. "Oh ...! Aku sungguh bahagia dengan pikiranku sendiri." Isabelle tertawa puas. "Jadi apa kau menikmatinya?" "Jangan gila, Isabelle! Aku tidak mengatakan apapun. Otakmu terlalu pendek!" ucap Hanna dengan ketus. "Baiklah, aku yang salah." Isabelle tersenyum setelah melihat wajah Hanna memerah
Hanna mengelus dada akibat perilaku Bart yang di luar dugaan. Bukankah benar apa yag dikatakan Hanna? Lalu apa yang salah sehingga membuat pria itu pergi. Tak ingin terlalu dipenuhi dengan pikiran-pikiran buruk, Hanna bergabung dengan Bibi Helena untuk memasak makan malam. "Em ... Bibi Helena? Hanna membuka suaranya. Dia ragu-ragu untuk bertanya, namun rasa penasaran sudah tidak mampu lagi dibendung. "Ya?" "Sejak kapan Bibi mengenal Bart?" Wanita paruh baya itu tersenyum dan menghentikan kegiatannya yang sedang memotong beberapa buah tomat. Perlahan dia meletakkan pisau di sisi sayuran dan menghadap tepat ke arah Hanna. "Aku sudah bersama keluarga Megens sejak Tuan Bart berusia sepuluh tahun." Bibi Helena menatap langit-langit membayangkan si Kecil Bart di masa lalu. "Tuan memiliki masa lalu yang kurang baik," wajah Bibi Helena menunjukkan perubahan saat membahas tentang itu. Sejenak dia menghela napas sebelum meneruskan ucapannya, "Aku
Hanna tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Meskipun menikahi Bart terjadi akibat sebuah tantangan gila dari Isabelle, akan tetapi setiap berdekatan dengan Bart, jantungnya selalu saja terasa berdetak lebih cepat. Hanna masih termenung duduk di ruang makan hingga tengah malam sambil menggenggam gelas berisikan air mineral. Tiba-tiba saja terlihat siluet Bart menuju kulkas untuk mengambil minuman. Hanna menggigit bibirnya dengan kuat, berusaha keras untuk tidak bersinggungan mata dengan pria itu. Sementara Bart melirik Hanna dengan tatapan kebencian. Keheningan menambah kegugupan di dalam hati Hanna hingga tangannya terasa dingin dan basah. Situasi seperti ini membuatnya merasa sangat gugup. Di detik berikutnya Bart melintas di hadapan Hanna dan membuka kulkas. Pria itu menenggak habis segelas air mineral di tempat ia berdiri saat ini. "Entah mengapa rumah ini semakin tidak menyenangkan setelah kamu ada di sini." Suara Bart memecah keheningan sekaligus memb
Ruang kerja berada tepat di samping kamar tidur. Bibi Helena bersiap untuk mengetuk pintu yang terlihat masih tertutup itu. Namun, sebelum dirinya mengetuk pintu ruang kerja, justru pintu ruang kamar lah yang tiba-tiba terbuka. Bart keluar dengan pakaian kerja yang sudah melekat di tubuh. Wajahnya benar-benar tampan, meskipun terdapat rona hitam di bawah mata. Hal itu menandakan semalam Bart kurang tidur. Mungkinkah dia tidak dapat memejamkan matanya setelah berbicara dengan Hanna semalam? "Em ... Tuan, sarapan sudah siap." Bibi Helena membungkuk dan mengekori Bart menuju ruang makan . Bart begitu gagah dengan tampilannya saat ini. Dia adalah pria yang sangat memperhatikan penampilan. Jam Rolex edisi terbatas melingkar dengan elegan di salah satu pergelangan tangan Bart. Jika ditaksir harganya kurang lebih seratus ribu Euro. Hanna yang sudah menunggu di meja makan merasakan kehadiran Bart. Dia memejamkan mata dan menarik napas perlahan. Wajahnya menundu
"Kamu berada di mana?" "Aku baru saja bangun tidur. Ada keperluan apa sehingga menelponku sepagi ini?" "Aku akan mendatangimu sekarang, bukankah kamu masih berada di apartemen?" ujar Hanna dengan suara yang terdengar bersemangat. Hal ini membuat Isabelle mengerutkan alisnya, "Apa ada sesuatu yang terjadi? Kurasa ini terlalu pagi untuk berkunjung." "Apa kamu tidak senang akan kedatanganku? Baiklah kalau begitu, aku tidak akan bersedia menemanimu malam ini!" Terdengar suara Hanna ketus. "E-eh jangan lakukan itu! Aku hanya bercanda. Baiklah, Sayang aku akan menunggumu." Beberapa menit kemudian, Hanna sudah berada di kediaman Isabelle. Wajahnya ceria namun Hanna berusaha untuk tidak menunjukkan ekspresinya. Bukankah ini terlalu berlebihan? Hanya karena Bart berterima kasih, Hanna sudah merasa mood-nya menjadi sangat baik. Hana mengamati penampilan Isabelle yang masih kusut, "Pantas saja kamu masih betah hidup sendirian, bahkan unt
Megens Glory Company. Seperti biasanya, Bart sibuk memeriksa berkas-berkas perusahaan di ruang kebesarannya. Padahal, ini adalah waktu untuk beristirahat. Akan tetapi, Bart mengabaikannya. Hidangan yang disajikan Hanna tadi pagi membuatnya kenyang hingga sekarang. Tonny ingin menemui Bart untuk mengajak makan siang. Pintu terbuka, Tonny melangkah masuk. "Apakah kamu memiliki masalah keuangan yang berat sehingga mengabaikan waktu makan siang hanya untuk tetap bekerja?" sarkas sang sekretaris. "Itu bukan urusanmu." Bart menjawab ketus tanpa menatap wajah Tonny. Tonny menghela napasnya. "Ah ya, sebaiknya aku harus mengingatkanmu. Malam ini, bukankah kita memiliki acara penting?" "Ya, aku tahu," ucap Bart singkat. "Baiklah." Tonny menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. Nampaknya Bart memang benar-benar serius dengan pekerjaannya. Bart hanya menjawab setiap ucapan Tonny dengan singkat. Namun Tonny sedang dalam mood ingi
Hotel Aurora. Hanna tiba bersama Isabelle di lokasi tempat diadakannya acara, dan benar saja, terdapat kurang lebih seribu undangan dari kalangan menengah ke atas. Hanna mengenakan gaun maroon yang membuat lekukan tubuhnya terlihat ideal bersamaan dengan kalung berlian yang bertengger indah di leher jenjangnya. Membuat penampilannya terlihat anggun dan memukau. Setiap orang yang berpapasan dengannya selalu melemparkan senyum. Hanna membalas dengan senyuman bersamaan dengan sepasang matanya yang melengkung seperti dua bulan sabit. Tidak dapat dipungkiri, penampilan Hanna terlihat menarik perhatian dari setiap tamu undangan. Kecantikan Hanna tidak dapat tersaingi oleh siapa pun. Seorang pelayan memandu kedua wanita cantik itu menuju salah satu meja tamu yang berada tepat di sisi kolam renang. "Terima kasih." Hanna baru saja akan meminum segelas minuman bersoda yang ditawarkan oleh seorang pelayan, sebelum Isabelle menghentikannya, "jangan meminum minuma