Bart merasa harga dirinya tercederai karena telah membiarkan Hanna hamil seorang diri. Bagaimana bisa dia tidak mengetahui hal itu dan bagaimana Hanna menjalani hari-harinya bersama buah cinta mereka tanpa kehadiran Bart. Terbayang wajah Hanna yang menjalani masa-masa sulit dan menyembunyikan kehamilannya, padahal mereka begitu ingin memiliki keturunan sejak menyadari perasaan mereka di awal pernikahan. "Terima kasih, Issabelle," ucap Bart kembali merangkul Isabelle yang masih terisak mencoba menerima kenyataan pahit yang dia alami. Dia tidak menyangka jika Hanna mengandung anaknya dan tetap menjaga janin tak berdosa itu meski Bart sudah membuatnya terluka berulang kali. Apakah itu sebuah sinyal bahwa mereka bisa bersatu kembali, terlebih lagi berkas pembatalan pernikahan mereka berdua masih bisa dicabut dari pengadilan. Kali ini Bart tak akan membiarkan kesempatan itu hilang, dia ingin kembali bersama Hanna dan memperbaiki segala kesalahan yang pernah dia lakukan di masa lalu. Ba
Bart melangkah perlahan saat posisinya sudah benar-benar dekat dengan tirai pembatas antar brankar pasien. Dia kemudian menyibak tirai tersebut dnegan rasa gugup yang entah mengapa semakin tak terkendali. Jantungnya bertalu dengan kencang. Bahkan Bart sempat memegangi dadanya yang terasa nyeri. Napas pria itu berembus cepat dan pendek. Bart seolah tak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Saat tirai terbuka, tubuh Bart seolah membeku, hawa dingin menjalar hingga dia tidak merasakan pijakan lagi. Bart tercengang untuk beberapa saat ... "Bart! Bart! Kumohon jangan tinggalkan aku lagi!" Hanna menjerit saat mendapati Bart yang terkulai tak berdaya di hadapannya. Padahal ini adalah momen dimana mereka kembali dipersatukan, setelah sekian lama keduanya tak saling besitatap. Hanna mengabaikan luka dan lebam di tubuhnya. Dia beranjak dari brankar untuk meraih tubuh sang suami yang sudah tak menjawab panggilannya. "Bart kumohon! Bangunlah! Bertahanlah untuk aku dan bayi kita." Hanna benar-be
"Aku dan Hanna sempat bertemu dan dia memelukku. Aku pikir dia sudah memaafkankau. Kalian tahu bagaimana aku sangat merindukannya. Aku bahkan sampai menyusulnya ke sini karena tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku tak tahu jika Hanna sedang mengandung anakku. Aku bahkan berpikir dia memiliki hubungan khusus bersema pria lain dan melupakanku begitu saja," ucap Bart penuh sesal. "Pria yang menjadi salah satu korban ledakanitu?" sahut Tuan Megens bertanya."Ya, namanya Paul. Dia pernah mengancamku di awal pernikahanku bersama Hanna. Yang kutahu dia pernah mencoba untuk mendekati Hanna sa-saat Sophia kembali." Bart merasa tak nyaman saat menyebut nama Sophia seolah kenangan buruk itu kembali berputar di dalam ingatan. Kenangan di mana dirinya sudah melukai istrinya sendiri dengan mengabaikan wanita itu dan memilih untuk menemani wanita lain. Wajah Tuan Megens berubah masam saat mendengar putranya menuduh istrinya sendiri memiliki hubungan bersama pria lain, padahal wanita
"Hanna, aku membawakanmu es krim," ucap Bart dengan antusias. Hanna melebarkan kedua kelopak mata dengan perasaan terkejut. Baru saja dia merindukan Bart, kini pria itu sudah berada di hadapannya. Hanna melirik ke arah papper bag yang dia yakini berisikan es krim seperti yang dia inginkan. Bart membuka papper bag tersebut setelah menyadari arah fokus mata istrinya itu. Sebuah es krim strawberry dengan warna pink terbungkus sebuah kotak dengan gambar yang menggiurkan. Hanna menelan ludah dengan kasar, dia membayangkan rasa es krim yang masih berada di tangan suaminya. "Apa yang kau lakukan?" ucap Hanna dengan nada sinis. Bart mendekat, meletakkan kotak es krim di atas meja. "Aku sudah memperingatkanmu untuk pergi dari hidupku, 'kan? Untuk apa kau kesini, bukankah semuanya sudah jelas!" Hanna membuang wajah saat Bart tak memutus sedikit pun pandangannya. "Hanna, aku bisa menjelaskan semuanya." Hanna menggigit bibirnya kuat-kuat, dan .."Aw!" Bibirnya berdarah bersamaan dengan suar
"Jangan pernah menjanjikan begitu banyak kebahagian, aku takut suatu hari justru akan membuat kita saling membenci." Genggaman tangan terurai, sepasang kekasih sedang mengucap sebuah kata perpisahan tepat di pintu masuk sebuah bandara internasional Schipol, Amsterdam. Hanna--wanita berperawakan tinggi, sesuai dengan ras kaukasoid. Berkulit cerah dengan rambut blonde tergerai menutup punggungnya hingga hampir menyentuh pinggang dengan wajah sendu mengucapkan kata-kata itu kepada Mathew tanpa memutus tatapannya. Bukan ... bukan berarti dia tidak mencintai kekasihnya itu. Justru dia takut jika cinta membuatnya berharap terlalu tinggi, tapi mungkin bisa saja membuatnya sakit saat terjatuh suatu hari nanti. "Aku akan menunggumu." Kalimat terakhir yang dia ucapkan dengan bibir yang bergetar. Usia jalinan kasih yang telah bertaut sejak dua tahun yang lalu, bukanlah waktu yang singkat bagi keduanya. Kini, Hanna harus rela bersabar menanti kepulangan Matthew setelah pria
Isabelle menahan napas dan memejamkan mata saat mendengar kata-kata itu meluncur bebas dari mulut tak tahu malu sahabatnya. Tapi, bukankah dia sendiri yang memberikan tantangan konyol itu? Tak berselang lama kesadaran Hanna kembali ke tempat yang semestinya, setelah kalimat bodoh itu dia ucapkan, perasaan malu yang luar biasa menyerangnya membabi buta. Baginya, kabur adalah keputusan yang paling tepat saat ini. Jika bisa memutar waktu, tentu Hanna akan menolak tantangan konyol itu. Bagaimana tidak? Pandangan mata pria itu seolah menyiratkan kalimat 'betapa tak tahu malunya kamu, Nona'. Apalagi wajah tampannya yang baru Hanna sadari, sudah pasti pria itu bukan orang sembarangan yang dengan suka hati menerima kehadiran orang asing. Hanna berdiri untuk pergi dan kalau boleh dia ingin berlari sekencang mungkin. Namun, pada detik selanjutnya tangan kekar sang pria tampan memegang lengan Hanna untuk menghentikan niat gadis yang sudah kehilangan muka itu. "
"Gila! Apa yang baru saja aku lakukan? Menggoda pria asing lalu menikah di hari yang sama? Bahkan aku sendiri tidak menyangka akan menjadi pengantin keduanya. Apa itu artinya dia sudah menikah dan hanya menjadikanku sebagai seorang wanita simpanan?" Hanna bermonolog di dalam hati dan merutuki kebodohannya sendiri. Masih ada waktu untuk membatalkan ide konyol ini. Tapi, pria itu sudah buru-buru mengatakan bahwa tidak ada kesempatan untuk berubah pikiran. "Aku yang sedang gila atau pria itu yang gila? Hingga suka rela menerima tawaranku tadi?" Masih tak habis pikir dengan kejadian yang sedang berlangsung saat ini. Di sini, tepat di teras kantor catatan sipil. Hanna terdiam menghentikan langkah kecilnya. Bart merasakan wanita di sisinya tak bergerak. Dia melemparkan pandangan ke sisi kanannya, tepat di posisi Hanna berdiri saat ini. "Saya tunggu di dalam." Pria itu pun berlalu dengan wajah datarnya. Wajah gusar yang ditampakkan Ha
"Bagaimana menurutmu tempat ini?" Hanna memindai setiap sudut ruang appartement yang baru saja disewanya. Untuk seorang single woman seperti Hanna, ruang appartement seperti ini cukup luas. Dengan desain interior modern, memiliki dua kamar tidur yang masing-masing terkoneksi dengan toilet pribadi. Bukan pemborosan, tapi memang hanya tipe ruang itulah yang tersisa untuk saat ini. "Cukup bagus, bahkan jika suami tampanmu datang nanti, kalian akan leluasa berpindah-pindah untuk variasi bercinta. Di kamar, di dapur, atau mungkin kau ingin mencobanya di balkon." Kalimat provokatif itu dengan mudahnya meluncur dari bibir manis Isabelle. Hanna hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mimpi saja," ucapnya lirih. Isabelle menelisik wajah Hanna dan tersenyum mengejek, "Diam-diam rupanya kau juga mendamba." Tawa Isabelle mengakhiri kalimat itu. Hanna hanya mengepakkan tangan ke udara dan berlalu. Tidak akan ada habisnya jika terus meladeni kata-kata cabul Isabelle. Ruang apartemen itu sudah di