Kedatangan Kiara pagi itu langsung menjadi pusat perhatian. Sorot mata para mahasiswa mengikuti setiap langkahnya begitu ia turun dari mobil. Berita tentang skorsing dirinya sudah lebih dulu menyebar, membuat banyak orang merasa heran dengan kehadirannya dan mereka juga menanti drama baru yang akan dimulai.
Namun Kiara tetap berjalan dengan langkah santai dan kepala tegak. Tak ada sedikitpun rasa bersalah di wajahnya karena dia tahu, dia tidak melakukan kesalahan apa pun.“Kiara!”Suara familiar memanggilnya. Kiara menoleh dan langsung tersenyum lebar melihat Wulan berjalan cepat ke arahnya.“Gimana, semalam jadi buat ponakan?” bisik Wulan nakal, sambil menyikut lengan Kiara.Kiara langsung memberi pukulan pelan ke lengan sahabatnya itu. “Makin lama makin gila kamu, ya!” gerutunya, membuat Wulan terkekeh geli.Keduanya berjalan berdampingan menuju kelas, berbincang ringan seolah tak ada beban. Namun langkah mereka terhenti begitu Claudia dan Aurel berdiri menWidia membeku sejenak. Keterkejutan jelas terpancar di wajahnya, meskipun ia buru-buru menutupinya dengan tawa sinis yang terdengar lebih seperti upaya menyelamatkan muka. “Luc—Lucas... ibunya?” gumamnya, nyaris tak percaya. Sorot matanya bergetar saat menatap sosok anggun di hadapannya—wanita elegan yang kini berdiri dengan tenang namun penuh wibawa. Helen berdiri perlahan dari kursinya. Bahunya tegap, tatapannya tajam dan dingin, nyaris sejajar dengan tinggi Widia. Namun aura yang terpancar dari tubuhnya membuat Widia terlihat kecil. “Kalau kamu mau bicara buruk tentang Kiara, pastikan kamu siap berhadapan langsung dengan saya,” ucap Helen dingin, setiap katanya seperti pisau yang meluncur mulus namun menusuk dalam. “Saya tidak akan membiarkan satu orang pun menyentuh menantu saya—apalagi menghina harga dirinya di depan umum.” Widia terdiam. Nafasnya tersendat. Ia mundur satu langkah, mencoba menyelamatkan dirinya dari sorotan tajam yang kin
Kiara keluar dari kamar ketika jarum jam menunjuk pukul dua belas siang. Suasana hatinya kini jauh lebih tenang dibanding beberapa jam sebelumnya. Dia menuruni tangga dengan langkah pelan, matanya menelusuri sekeliling mencari sosok Bunda Helen. Saat kakinya menjejak lantai satu, pintu kamar di ujung lorong terbuka—dan tepat saat itu, Bunda Helen melangkah keluar. Wajah wanita paruh baya itu langsung tersenyum hangat saat melihat Kiara. “Pas sekali kamu sudah bangun,” ucap Bunda Helen lembut. “Ayo kita makan siang di luar, ya?” Kiara tertegun sejenak. Ada keraguan di matanya. Entah karena masih belum sepenuhnya pulih dari badai emosi yang ia alami, atau karena belum pernah keluar rumah berdua dengan Helen sebelumnya. Melihat keraguan itu, Bunda Helen melangkah lebih dekat dan menatap Kiara dengan penuh kasih. “Jangan ditolak, ya? Kita belum pernah punya waktu berdua seperti ini, Kiara. Anggap saja sebagai quality time i
Anya melangkah cepat keluar dari butik, wajahnya muram diselimuti amarah yang belum reda. Udara sore yang sejuk pun tak mampu meredakan kekesalannya. Dia memilih untuk langsung pulang ke apartemen—tempat satu-satunya yang bisa memberinya ruang untuk bernapas, meski tidak sepenuhnya nyaman.Begitu membuka pintu, aroma wangi khas lavender dari diffuser langsung menyambutnya. Namun, ketenangan itu lenyap ketika matanya menangkap sosok Kevin yang duduk santai di sofa, kaki terangkat ke meja, matanya terpaku pada layar ponsel. Tawa kecilnya sesekali terdengar, seolah dunia di sekitarnya tak penting.“Kenapa kamu sudah pulang, Kev?” tanya Anya dengan nada datar, berusaha menahan diri.Kevin hanya mengangkat bahu tanpa menoleh. “Berada di kantor sangat membosankan.”Jawaban itu seperti menyulut api di dada Anya. Dia mengepalkan tangannya, berusaha keras menahan amarah.“Jika kamu terus seperti itu, bagaimana kamu bisa mengambil alih perusahaan?!” suaranya naik, tak bisa disembunyikan lagi ke
“Jangan gila deh!” seru Kiara dengan wajah merah padam, lalu bergegas melangkah keluar dari kamar, menahan rasa malu dan kesal yang bercampur menjadi satu.“Sayang, mau ke mana?” tanya Lucas dari balik punggungnya, tapi Kiara tak menggubris. Ia terus berjalan, seolah ingin menjauh secepat mungkin dari pria yang baru saja menggoda habis-habisan dirinya. Lucas hanya menghela nafas pelan, namun tak lama kemudian senyum puas tersungging di wajahnya. Sorot matanya memancarkan rasa puas karena berhasil membuat istrinya salah tingkah.Sementara itu, Kiara menuruni tangga dengan langkah cepat. Ia mencari keberadaan Bunda Helen. Ia bertanya pada salah satu maid yang sedang membersihkan vas bunga.“Nyonya Besar ada di ruang keluarga, Nyonya,” jawab sang maid sopan.Tanpa membuang waktu, Kiara segera menuju ke ruang keluarga. Di sana, ia menemukan Helen yang tengah duduk santai sambil menikmati secangkir teh hangat, ditemani suara musik klasik lembut yang mengalun dari pengeras
Sejak pulang dari kampus, pikiran Kiara terus dipenuhi oleh ucapan Anya. Ia berdiri di balkon kamarnya, memandang kosong ke langit senja yang mulai meredup. Cahaya jingga perlahan memudar di balik awan, menyisakan semburat kelabu yang mencerminkan kegelisahan hatinya. Angin sore menyapu rambutnya yang terurai, tapi tak mampu menyingkirkan beban di kepalanya. “Anya berselingkuh saat Lucas buta... Kalau dia tahu Lucas sudah bisa melihat, pasti dia ingin kembali ke sisi Lucas,” batin Kiara, napasnya berat tertahan di dada. Ia menggenggam erat pagar balkon, seolah mencoba meredam gemuruh di hatinya. “Tapi... memangnya aku pantas bersaing sama dia?” gumamnya lirih. Ada keraguan, ada ketakutan. Tanpa sadar, ia menghentakkan kakinya pelan, menyalurkan kekesalan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Tiba-tiba, sepasang lengan kuat memeluknya dari belakang. Kiara terkejut, tubuhnya sempat menegang. Namun saat suara berat yang familiar me
“Kamu pegawai di Awan Cafe, kan?” tanya Anya dengan nada datar namun tatapan matanya tajam, seolah tengah mempermainkan Kiara.Kiara hanya mengangguk pelan, bibirnya tersungging senyum kecil yang terkesan kaku.“Kak Anya kenal Kiara?” tanya Alana dengan antusias, seolah sudah merasa akrab dengan perempuan yang kini berdiri di hadapan mereka.“Aku ada di sana waktu insiden kopi tumpah itu,” jawab Anya enteng sambil melirik Kiara sekilas. “Boleh aku duduk di sini?”Mata Alana langsung berbinar. “Silakan, Kak!”“Kamu memang manis sekali, Alana,” puji Anya sambil menarik kursi dan duduk di samping gadis itu. Sikapnya tampak sangat luwes, seperti seseorang yang tahu betul bagaimana mengambil hati.“Oh ya, kita belum berkenalan secara resmi,” ucap Anya seraya mengulurkan tangan ke arah Kiara. “Aku Anya Caroline.”“Kiara,” balas Kiara singkat sambil menyambut tangan itu dengan sedikit ragu. Ada sesuatu dalam sorot mata Anya yang membuatnya tidak nyaman—terlalu h