Share

Bab 8 Rumah Utama

Om Pras masuk ke dalam ruangannya setelah Nadin meninggalkan mereka dengan kesal. Tak lama sekretarisnya datang, meminta maaf karena baru saja meninggalkan mejanya. Om Pras mengangguk dan menarik tangan Khansa untuk ikut masuk ke dalam. Sebelum pintu ditutup Om Pras meminta dipesankan makan siang untuk mereka.

"Di tempat biasa saja, dua porsi. Jus alpukat tanpa susu juga air mineral," pesannya sebelum menutup pintu.

Khansa duduk di sofa sambil matanya mengelilingi ruangan Om Pras, tadi Nadin bilang jika ruangannya di samping ruang Om Pras. Di mana ruangan asisten pribadi?

"Ada pintu di dekat lemari bukalah. Di sana ruang kerjanya, jika itu yang dicari," ucap Om Pras sambil menunjuk pintu yang dimaksudnya.

Khansa berdiri ingin melihat ruangan tempatnya bekerja nanti. Berjalan menuju pintu yang dimaksudnya dan membukanya. Wajahnya memerah setelah melihat isi ruangan yang disangkanya adalah ruang kerja seperti umumnya.

Di hadapannya terdapat sebuah tempat tidur yang cukup besar, sofa dan sebuah bar mini. Ada meja kerja disudut yang lain, tapi mengapa pikirannya jadi tidak karuan ya. Asisten pribadi yang dimaksud Om Pras itu apa sebenarnya?

"Jika aku lelah aku bisa istirahat di sana, dan kamu harus menemani," suara Om Pras sudah ada disampingnya.

"Apa...!"

"Kenapa tidak pulang saja kalau lelah. Tidur di rumah, selesai," sungut Khansa kesal mendengarnya.

Om Pras menggeser bahu Khansa pelan, menerobos masuk melewatinya. Duduk bersandar di kepala tempat tidur dan melipat kedua tangannya di depan dada.

"Aku minta dibuatkan kopi, Dua sendok teh dengan satu saset gula,"perintahnya. Dia akan mencoba apakah yang kopi buatan Khansa ukurannya pas. Setiap hari akan dimintanya Khansa untuk membuatkan kopi pukul sembilan pagi.

Khansa beranjak menuju bar mini, mengambil cangkir dan kopi serta gula yang sudah ada di sana. Setelah dibuat secangkir kopi, dibawakan untuk Om Pras yang masih duduk di tempat tidur. Om Pras mencobanya dan tersenyum.

"Lumayan untuk pertama kali. Kopinya jangan satu sendok penuh, rata saja jadi tidak terlalu pahit," ucapnya mengajari Khansa.

Khansa mengangguk dan mencoba duduk di meja kerjanya. Di atas meja ada laptop dan perlengkapannya. Dia sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukannya dengan benda-benda di sana. Ditariknya napas panjang, ingin bertanya tapi dia takut akan membuat Om Pras marah.

"Jika bingung apa yang mau dikerjakan, maka tugasmu nanti hanya menemaniku tidur. Untuk pekerjaan yang lain biar dikerjakan Ana, sekretarisku," jelasnya hingga membuat Khansa terpaku.

Tidur, kenapa tidak pulang saja. Menyusahkan orang lain. Khansa hanya mendengus kesal mendengar ucapan Om Pras. Dibukanya laptop yang ada di atas meja diputarnya lagu kesukaannya, tanpa mempedulikan Om Pras. Terkadang Khansa bersenandung kecil mengikuti lagu yang didengarnya.

Sebuah ketukan mengagetkannya. Khansa bangun dan membuka pintu perlahan saat dilihatnya Om Pras benar-benar tertidur di atas kasur. Posisi badannya agak tertekuk karena saat dilihatnya terakhir Om Pras masih duduk.

"Bu Khansa, makan siangnya sudah siap di meja. Sudah di tata juga. Jika bisa jangan terlalu lama, Pak Pras selalu ingin makanannya hangat," ucapnya pelan saat melirik bosnya tertidur di kasur.

"Iya Mba Ana, terima kasih," ucapnya singkat.

Khansa membalikkan badannya dan menatap Om Pras yang pulas tertidur. Diberanikannya mendekati dan mencoba membangunkannya. Sebenarnya Khansa bimbang, dia masih ingat kemarahan demi kemarahan yang membuatnya harus mendapatkan hukuman.

"Om... Om Pras, makan siangnya sudah siap," ucapnya sambil menggoyangkan bahunya.

Tak ada reaksi. Khansa menarik napas. Dicobanya membangunkan dengan suara yang lebih keras. Tiba-tiba tangannya ditarik hingga wajah Khansa ada didekapan Om Pras. Huft... dicobanya melepaskan diri dengan membuka tangan Om Pras.

Semakin dicobanya semakin kuat tangan Om Pras melingkari bahuku. Degupan dada Om Pras sepertinya berbeda, tidak teratur seperti saat tertidur pulas. Berarti Om Pras tidak sedang tidur. Diangkatnya wajahnya menatap wajah Om Pras, benar saja seringai licik sudah ada di sudut bibirnya.

"Kenapa, Hanny mau ikutan tidur?" desahnya ditelinga Khansa.

"Mba Ana bilang om harus makan, nanti keburu dingin makanannya. Om suka makanannya hangat kan," jawab Khansa menahan kesal.

Saat tangan yang melingkari bahunya mengendur, Khansa menarik tubuhnya hingga bisa duduk di tepi tempat tidur. Cepet-cepat bangun agar tidak ditarik kembali oleh Om Pras.

Om Pras tersenyum, bangun dan duduk sesaat sebelum melangkah keluar ruangan menuju sofa. Di atas mejanya makanan yang dipesannya sudah di tata rapi. Om Pras tersenyum puas dan memanggil Khansa yang masih berdiri memperhatikan Om Pras dari ruangannya.

"Hanny, ayo kita makan dulu. Jus alpukatnya sudah ada," perintahnya pada Khansa.

Khansa berjalan pelan menuju meja. Mengambil duduk yang agak berjauhan dengan Om Pras. Setelah merasa nyaman, diambilnya jus alpukat dan meminumnya.

"Jika nanti aku tidak bisa tidur, sepertinya aku sudah punya solusinya. Bernyanyilah seperti tadi, aku langsung tertidur pulas," ucapnya sambil menatap ke arah Khansa.

"Apakah itu ada di surat perjanjian?" tanyanya sambil menatap Om Pras.

"Itu adalah tugas asisten pribadiku, bukankah begitu," jawabnya sesaat kemudian dimakannya nasi yang sudah disendoknya.

***

Khansa masih menunggu Om Pras yang menyelesaikan pekerjaannya di ruangannya. Khansa menunggu di ruangan kerjanya. Membawa laptop ke atas kasur agar bisa menontonnya sambil tidur-tiduran. Saat asik berguling-guling, pintu dibuka Om Pras tanpa diketuknya.

Khansa menghentikan gerakannya, menatap tajam ke arah pintu. Dilihatnya Om Pras mulai melangkah ke arahnya. Khansa reflek bangun dan berdiri di samping tempat tidur. Gerakan cepatnya membuat Om Pras terkekeh.

"Sejak kapan punya jurus seperti itu Hanny? Khawatir aku menidurimu di sini? Sepertinya boleh juga, tapi tidak hari ini. Kita sudah ditunggu di rumah mama. Kemungkinan kita akan menginap jika mama tidak membuat perkara baru denganku," ucapnya pelan.

Diambilnya laptop yang masih menyala di atas kasur, mematikannya dan meletakkan kembali di atas meja. Sesaat melangkah ke arah Khansa Om Pras sudah membawa tas yang kemudian diselempangkan pada bahunya.

Khansa mengikuti langkah Om Pras yang berjalan di depannya. Setibanya di pintu, Om Pras menghentikan langkahnya, menunggu Khansa hingga berada di sampingnya. Mengambil tangannya dan melingkarkan di lengannya seakan mereka adalah pasangan yang sangat serasi.

"Jika di kantor pastikan kamu berjalan di sampingku. Aku tak mau ada karyawan yang berani main api denganmu. Jika sampai terjadi sepertinya hukuman yang diberikan akan menjadi hukuman terberatmu nanti," tegas suara Om Pras memperingati Khansa.

Perjalanan menuju rumah Mama Dewi tak memerlukan waktu lama, kini mereka sudah berada di depan gerbang yang mulai membuka sendiri. Pasti ada penjaga yang sudah mengenali mobil Om Pras. Saat pintu terbuka dihadapan Khansa terpampang taman yang sangat indah, semua bunga tertata rapi. Sepertinya dia akan betah disini, menghabiskan waktu dengan bunga yang disukainya.

"Rumah utama ini adalah rumah mama, rumah kita ada di bagian kanan rumah mama. Tidak sebesar rumah mama karena rumah mama adalah rumah utama di sini. Dibagian belakang ada rumah karyawan yang bekerja pada mama," jelas Om Pras saat mata Khansa mulai berkeliling.

"Mama kurang menyukaimu, karena mama menginginkan aku menikah dengan Nadin tapi aku menolaknya. Jika nanti mama bersikap tidak baik jangan pedulikan. Aku yang memilihmu Hanny, maka hanya aku yang bisa mengusirmu dari rumah," tekannya di akhir kalimat yang diucapkan.

Mengusirnya? sekejam itukah mama Dewi? Apa yang harus dilakukannya kelak jika tinggal bersamanya?

"Satu hal lagi taman di sini semua mama yang mengatur, pastikan kamu tidak menyentuhnya. Karena mama akan segera mengetahui jika ada perubahan pada bunga kesayangannya," suara Om Pras terdengar seperti menerawang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status