Dokter itu mengangguk. "Ya... Tentu saja. Saya melihatnya sendiri. Bahkan, dia menolak diobati bahunya yang memar, karena mengutamakan keselamatan Elena."
Erich terperanjat, tangan tuanya mencengkeram lengan dokter. Ia menatap lekat-lekat, seolah ingin menarik lebih banyak detail dari setiap kata. "Meix memar? Kenapa? Apa yang terjadi padanya?"
"Itu... Dia bilang harus mendobrak pintu kamar mandi untuk menyelamatkan Nona Elena," jelas sang dokter.
Erich membeku, matanya berkedip lambat. Ia menelan ludah, seolah berusaha mencerna setiap kata yang baru saja didengarnya.
Tangan keriputnya menyentuh dada, napasnya terasa sesak. Ia menatap kosong ke arah pintu, seolah bisa melihat Meix yang baru saja dibentaknya di balik sana. Penyesalan menggerogoti hatinya. "Meix... Kakek sudah salah menilaimu," gumamnya, suaranya parau.
Elena menunduk dalam, bahunya merosot seolah menahan beban. 'Meix menolongku? Tapi bukankah dia yang mengunciku di kamar mandi?' bat
Elena terperanjat, ia segera menutup mulut—terkejut dengan perintah refleksnya sendiri. 'Ups... Apa yang aku katakan? Kenapa aku malah melarangnya pergi?' batinnya.Bola matanya berputar ke segala arah, mencoba mencari alasan. Jangan sampai Meix sadar dengan pikiran-pikiran konyolnya."Emm.... M-maksudku... Aku mau mengobati lukamu. Iya... Itu. Aku mau mengobati lukamu," katanya gugup, pipinya kembali merona.Meix tersenyum simpul, sebuah senyum kecil yang berhasil ia sembunyikan. "Oke," jawabnya singkat.Ia duduk di sofa, menunggu Elena mengambil kotak pengobatan.Tak lama kemudian, Elena kembali dengan kotak obat di tangannya. Ia mengeluarkan sebuah salep untuk luka memar, mengambil kapas, lalu mengoleskannya pada memar di lengan Meix."Terima kasih..." kata Elena lirih, suaranya nyaris berbisik."Untuk apa?" tanya Meix, tatpannya lurus ke depan."Karena kau sudah menyelamatkanku," jawab Elena, sembari meniup luka Meix.
Elena mengangguk, ragu. "I-iya, Kek."Suara pintu ditutup, dan keheningan yang menyesakkan segera menyelimuti ruangan. Elena menunduk, menggaruk kepalanya yang tak gatal, berbagai ilusi kotor beterbangan di benaknya.Meix menghela napas panjang, tatapannya menyapu sekeliling sebelum akhirnya beranjak dari sofa, lalu berjalan pelan menuju Elena. Ia berdiri tepat di depan istrinya, memperpendek jarak di antara mereka.Elena mengangkat wajahnya perlahan. Matanya meneliti tubuh Meix yang masih basah bermandikan keringat, otot-ototnya yang terbentuk sempurna terlihat jelas.Pandangannya kemudian menyentuh bibir Meix, dan seketika, rona merah menyebar di pipinya. Ia buru-buru membuang muka, jantungnya berdebar kencang."Kau tidak dengar apa yang Kakek bilang?" ucap Meix akhirnya, suaranya datar, namun ada nada tuntutan yang tak terbantahkan."Dengar," jawab Elena singkat, masih enggan menatap Meix."Kalau begitu kenapa diam saja
Dokter itu mengangguk. "Ya... Tentu saja. Saya melihatnya sendiri. Bahkan, dia menolak diobati bahunya yang memar, karena mengutamakan keselamatan Elena."Erich terperanjat, tangan tuanya mencengkeram lengan dokter. Ia menatap lekat-lekat, seolah ingin menarik lebih banyak detail dari setiap kata. "Meix memar? Kenapa? Apa yang terjadi padanya?""Itu... Dia bilang harus mendobrak pintu kamar mandi untuk menyelamatkan Nona Elena," jelas sang dokter.Erich membeku, matanya berkedip lambat. Ia menelan ludah, seolah berusaha mencerna setiap kata yang baru saja didengarnya.Tangan keriputnya menyentuh dada, napasnya terasa sesak. Ia menatap kosong ke arah pintu, seolah bisa melihat Meix yang baru saja dibentaknya di balik sana. Penyesalan menggerogoti hatinya. "Meix... Kakek sudah salah menilaimu," gumamnya, suaranya parau.Elena menunduk dalam, bahunya merosot seolah menahan beban. 'Meix menolongku? Tapi bukankah dia yang mengunciku di kamar mandi?' bat
Meix berlari dengan napas tersengal. "Dokter... tolong Elena."Dokter mengambil stetoskop dari meja, lalu segera berlari menuju ranjang Elena. "Tuan Meix. Silahkan tunggu di luar."Meix mengangguk, lalu melangkah lemas ke luar ruangan. Ia berjalan mondar-mandir dengan gelisah, sambil sesekali melirik ke dalam IGD lewat kaca kecil di pintu.Tak lama kemudian, dokter keluar memanggilnya. "Tuan Meix. Pasien sudah sadar."Mata Meix berbinar. "Benarkah, Dok? Apa aku boleh menemuinya?"Dokter mengangguk seraya tersenyum hangat. "Tentu... Silahkan, Tuan..."Meix tersenyum lebar, lalu segera berlari menuju Elena. "Elena..." panggilnya lirih.Namun di luar dugaan. Elena membuang muka—tak mau melihatnya.Ujung alis Meix sedikit terangkat. Ia tersenyum tipis, lalu duduk di dekat Elena. Tangannya menggenggam hangat jemari istrinya itu. "Elena... Bagaimana keadannmu?"Elena menarik tangannya kasar. Raut wajahnya datar, ta
Di dalam ruang IGD, selang infus tertancap ke pembuluh darah Elena. Ia belum sadar sejak delapan jam yang lalu, tubuhnya demam dan sesekali kejang hebat, akibat syok berat setelah terkurung dalam kegelapan.Bibirnya terlihat kering, matanya sembab. Keringat dingin menetes di pelipisnya, seolah kegelapan masa lalu itu kembali mencekiknya.Malam itu, saat tubuhnya berjuang melawan syok, pikiran Elena kembali diseret paksa dalam memori kelam. Mimpi buruk kembali datang, memenjarakannya dalam kegelapan yang ia takuti lebih dari apapun."Kau harus hitung yang benar, ya... Aku akan bersembunyi."Teriak Elena menjauh dari dua temannya. Ia berlari mencari tempat bersembunyi."Baiklah... Cepat sembunyi. Kalau tidak, aku akan segera menemukanmu," sahut teman prianya."Jangan intip, ya!" teriak Elena sambil tertawa kecil. Ia berlari menunduk ke kolong meja, berharap teman-temannya tak menemukannya terlalu cepat.Lalu tiba-tiba, seluruh cah
Jack berlari terengah-engah, masuk ke dalam kerumunan pesta. Matanya menyapu seluruh ruangan, berharap segera menemukan tuannya."Jack, ada apa?" Suara Meix tiba-tiba terdengar di belakangnya. "Kenapa kau terburu-buru. Apa kau mencariku?""Elena, Tuan. Elena..." ujarnya, dengan napas tersengal. Ia menunjukkan ponselnya pada Meix.Kening Meix berkerut, lalu mengambil ponsel Jack. "Ada apa dengan Elena? Dia meneleponmu?""Iya, Tuan. Tapi tidak ada suara. Saya khawatir terjadi sesuatu padanya," ujar Jack.Meix mencoba mendengarkan ponsel Jack. Dan benar saja. Panggilannya terhubung, namun tak ada suara. Bersama dengan itu, Meix melihat Lucien yang tiba-tiba berlari ke arah toilet.Ia mengembalikan ponsel Jack ke dadanya, matanya membelalak tajam ke arah bayangan Lucien. "Ah... sial! Aku lupa Elena sedang di toilet." Nada suaranya terdengar khawatir, ia segera berlari menyusul Lucien menuju toilet.Sesampainya di sana, Meix sudah me