Ingatan Elena melesat tajam, kembali pada saat umurnya tujuh tahun. Saat itu, ia baru pulang dari rumah sakit, duka kematian ibunya masih sangat terasa.
Elena memeluk sebuah boneka usang pemberian ibunya, benda satu-satunya sebagai penghibur. Keningnya masih tertembel perban putih, akibat goresan hak sepatu yang ditinggalkan di hati naas itu."Elena... Kenalkan. Dia Camille, calon ibumu," ujar Vladimir, suaranya dingin, memperkenalkan seorang wanita asing.Camille berdiri tegak, menatap Elena tajam dengan sorot mata yang dipenuhi kebencian tersembunyi. Riasannya menor dengan lipstik berwarna merah terang yang kontras dengan senyum tipisnya."Hai Elena. Mulai sekarang, panggil aku... Ibu." Ucapannya tegas dan sinis, tanpa kehangatan sedikitpun.Elena mundur ketakutan, lalu bersembunyi di belakang kaki Vladimir. Tubuhnya gemetar hebat, memeluk bonekanya semakin erat, seolah mencari perlindungan."Tidak. Kau bukan ibuku. Ibuku adaJemari Meix meremas kuat tablet yang dipegangnya. Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam penuh bara. "Siapa dalangnya, Jack?!" desisnya dengan suara berat.Jack menyeret tubuhnya lebih dekat dengan Meix. Ia menggeser isi galerinya, menunjukkan video lain di tablet itu. "Ini adalah rekaman CCTV di sekitar restoran itu."Ia memperbesar gambarnya dengan jari. Fokus pada sebuah mobil yang parkir tak jauh dari tempat itu. "Ini adalah mobil Lucien, Tuan. Dia terlihat mengawasi restoran saat kejadian itu berlangsung."Mata Meix tak berkedip menatap tajam rekaman itu. Ia berusaha menata napas, namun urat di lehernya perlahan menonjol. Kemarahan itu mendidih dalam dirinya, siap meledak. "Lucien!" desisnya.Tak berselang, Lucien datang membawa satu keranjang buah di tangannya. Ia masuk ke dalam ruang perawatan Meix dengan langkah santai namun penuh perhitungan."Apa kau mencariku?" sergahnya.Bibirnya terangkat miring, membentuk senyum ti
Viviane membuka pintu Ravenhall dengan gerakan kasar, seolah sedang melampiaskan emosinya. Ia berlari , menyapu segala area dalam mansion itu sembari merengek. "Ibu... Kau di mana? Aku punya kabar buruk!"Ia masuk ke dalam kamarnya, membuang tasnya ke lantai, lalu melempar tubuhnya ke kasar. Ia berguling tak karuan, kakinya mengacak-acak sprei, tangannya memukul-mukul kasur sembari terus merengek. "Ibu... Cepatlah datang! Suasana hatiku sangat buruk. Ibu!" teriaknya.Tak lama kemudian, Camille datang masuk ke dalam kamar Viviane dengan langkah cepat. Kepalanya condong ke depan, mata membesar dan bergerak cepat menyapu sekitar. Hela napasnya tertahan, sementara sudut bibirnya sedikit terangkat, tak sabar ingin tahu apa yang terjadi pada putrinya yang manja."Ada apa sayang? Kenapa kau teriak-teriak?"Viviane bangkit dan duduk. Ujung bibirnya meruncing, napasnya tersengal-sengal seperti menahan tangis. Matanya berkaca-kaca, sesekali mengedip cepat sam
Dokter itu menghentikan gerakannya. Keningnya berkerut, menatap Elena. "Tentu saja bayi Anda," jelas dokter itu, melanjutkan menulis resep.Napas Elena tercekat, pupil matanya membesar. Bahunya membeku, seolah tubuhnya menolak bergerak. Bibirnya terbuka, tapi hanya gumaman kecil yang hampir tak terdengar yang lolos darinya."Bayiku? Tidak mungkin...""Saya sudah menuliskan resep vitamin agar bayi Anda tetap sehat." Senyum dokter itu terlihat merekah, seolah menyambut kabar gembira itu.Tapi tidak dengan Elena. Ia masih mematung dengan alis yang saling mendekat. Matanya terus bergerak mencari sesuatu yang tak jelas. "Aku belum melakukan apapun. Kenapa aku bisa hamil?"Bibirnya digigit pelan, sementara jemarinya tak henti meremas ujung bajunya. Napasnya pendek-pendek, merasakan dadanya yang begitu sesak. "Apa yang harus aku katakan pada Meix?"Ia memijat keningnya yang terasa berdenyut. Bibirnya terus berkomat kamit, me
"Aaarrgghh!" teriak Meix. Ia melempar kue yang berada di tangan pelayan.Tubuhnya terhuyung, tangannya meremas kepalanya yang terasa berputar. Detik itu juga, kenangan pada malam saat ia menunggu orang tuanya kembali hadir.Mobil yang hancur, kue ulang tahun yang berserakan, dan darah orang orang tuanya yang tercecer di aspal. Semua menghantui Meix bagai pisau yang menyayat hatinya."Pergi kalian semua! Pergi!" teriak Meix. Ia mengoyak dekorasi ulang tahun yang tertempel di dinding, menghambur-hamburkan kursi serta meja yang tertata.Elena mundur setapak, menatap Meix tanpa berkedip, wajahnya pucat pasi.Meix mengambil botol-botol minuman yang tertata di meja, lalu melemparnya ke segala arah. "Sialan kalian semua!" teriaknya, matanya melotot, seluruh tubuhnya bergetar.Jantung Elena berdegup tak karuan, namun ia tak sanggup mengalihkan pandangannya pada Meix. Ia memberanikan diri menghampiri Meix yang sedang mengamuk, meski seluruh tubuhnya
Meix melepas pelukannya, menangkup kedua pipi Elena. Tatapannya lembut, hangat, seolah setiap detiknya ingin menyelimuti Elena dari dinginnya dunia."Apa selama ini aku selalu jahat padamu?" bisik Meix.Elena terdiam. Namun ingatannya melaju kencang di momen mereka masih di desa Bergdorf dua Minggu yang lalu.Saat itu, wajah Elena masih terlihat murung saat mengemasi barang-barangnya untuk kembali ke Bellavia."Nona... Biar saya yang membereskan barang-barangnya. Tuan Meix sudah menunggu Anda di mobil," ucap Jack, mengambil alih koper—membantu Elena mengemasi barang-barangnya.Elena merebut kembali kopernya dari tangan Jack, bibirnya mengerucut tipis. "Tidak, Jack. Aku akan pulang bersama tim saja," tolaknya, kembali memasukkan barang-barangnya perlahan ke dalam koper.Jack duduk bersimpuh di depan Elena, ikut mengemasi barang-barangnya meski ditolak. "Apa Anda percaya Tuan Meix sejahat itu?" tanyanya tiba-tiba.Gerakan tangan E
Dua hari kemudian, di hari ulang tahun Meix. Elena keluar dari mobil dan berjalan dengan tenang di belakang Meix. Ia menyapu segala area di gedung Dalton Corp, tak ada satu hal pun yang membuat pandangannya teralih."Jack... Bukankah hari ini ulang tahun Meix? Kenapa kantor sangat sepi?" bisiknya pada Jack yang berjalan di sampingnya.Jack hanya tersenyum tipis, menatap Elena sebentar, lalu kembali fokus ke depan. "Memang selalu seperti itu, Nona."Elena mencibir, sorot matanya tajam menatap punggung Meix yang berjalan tegap di hadapannya. "Pasti karena dia bos yang arogan, kan? Makanya tak ada satu pun yang peduli."Jack terkekeh kecil. "Apa... Anda juga berpikir Tuan Meix begitu?"Elena meruncingkan bibirnya, sesekali melirik Meix dengan tatapan terpesona, lalu kembali lagi melihat Jack. "Tidak juga. Dia... Bos yang manis..." ucapnya mengejutkan.Jack terbahak mendengar itu, membuat Meix menghentikan langkahnya—menoleh pada mereka be