Share

Bab 2. Permintaan Steven

"Kalau Michael saja tidak menginginkan bayi itu dan tidak mau bertanggung jawab. Lalu siapa yang akan bertanggung jawab?!" Suara Anwar menggelegar mengisi seisi ruangan.

"Saya, saya yang akan bertanggung jawab atas bayi yang dikandung oleh Aira." Steven berkata dengan penuh keyakinan.

Steven mengucapkan kata-kata itu dengan penuh keyakinan dan keberanian. Aira dan keluarganya memandangnya dengan ekspresi wajah yang begitu terkejut.

Pasalnya, selama ini Aira begitu membenci Steven karena terlahir dari anak yang tak punya apa-apa.

Kenyataan bahwa Steven, yang selama ini dianggap oleh Aira sebagai anak yang kurang beruntung, akan menjadi sosok yang bertanggung jawab atas bayi yang dikandungnya, adalah sebuah ironi yang tak terduga. Aira tiba-tiba merasa sangat kompleks dan bingung dalam pikirannya.

"Bagaimana mungkin? Kenapa kamu yang harus bertanggung jawab pada putriku? Bagaimana aku bisa percaya sama kamu? Bahkan hidupmu saja masih menumpang di rumahku!" Anwar berucap begitu lantang.

Bagaimana mungkin, ia akan memberikan putrinya kepada lelaki yang masih bekerja di rumahnya? Bahkan memiliki pekerjaan tetap saja tidak.

Anwar tidak mungkin memberikan putrinya kepada Steven yang bekerja sebagai tukang kebun rumahnya dan bekerja di toko percetakan.

Seorang lelaki datang dari desa untuk tinggal bersama ibunya, yang bekerja sebagai pembantu di rumah Adiwijaya. Dan kini menyodorkan diri untuk menjadi menantu dari keluarga Adiwijaya.

Apakah lelaki itu sengaja ingin menikmati hartanya saja?

Namun, tidak dengan Dian, dengan mata berkaca-kaca wanita yang sudah memiliki suami dua tahun lalu itu bertanya, "Benarkah, Steven? Apa kamu serius?"

Steven mengangguk mantap. "Ya, saya serius. Saya akan bertanggung jawab atas bayi yang sedang dikandung oleh Aira."

"Diam kamu! Mau makan apa anakku bila menikah dengan lelaki seperti kamu!" Kali ini Sari yang bersuara.

Sari tidak ingin putrinya menikah dengan lelaki miskin seperti Steven. Ia menganggap bahwa kehidupan dengan segala keterbatasannya dapat menjadi beban bagi masa depan Aira.

Sari merasa khawatir tentang bagaimana mereka akan mengatasi kesulitan ekonomi jika Aira menikah dengan Steven.

"Steven, ibu ingin tahu mengapa kamu bersedia untuk bertanggung jawab kepada janin yang bukan anakmu sendiri, Nak?"

Widya tak habis pikir mengapa putranya itu malah yang harus bertanggung jawab atas apa yang tidak ia lakukan.

Steven, seorang lelaki muda berumur 25 tahun yang selalu dikenal sebagai seseorang yang baik hati dan selalu memiliki rasa empati yang mendalam. Namun, di tengah perbincangan mereka, Widya merasa bahwa apa yang Steven tawarkan untuk bertanggung jawab atas janin yang bukan anaknya adalah langkah yang seharusnya tidak perlu diambil.

"Steven mengerti perasaanmu, Ibu. Setiap orang punya pandangan yang berbeda tentang hal ini. Bagiku, ini adalah cara untuk bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi." Steven mencoba menjelaskan kepada ibunya yang sudah merawatnya sejak kecil.

Widya masih merasa khawatir tentang konsekuensi masa depan yang mungkin akan dialami oleh Steven. "Tapi, Steven, ini bisa mempengaruhi masa depanmu juga. Kamu harus memikirkan dirimu sendiri juga, Nak."

Dengan tulus Steven menjawab, "Steven telah memikirkannya, dan Steven tahu ini adalah pilihan yang tidak mudah. Tapi Steven ingin melakukan apa yang benar, bahkan jika itu sulit. Steven berharap bisa melewati semua ini."

Widya merasa lega mendengar sikap tulus Steven, meskipun ia masih merasa bahwa langkah ini mungkin tidak seharusnya ditempuh. Yang terpenting, keduanya harus tetap jujur dengan perasaan masing-masing dan mendukung satu sama lain dalam menghadapi konsekuensi dari keputusan yang mereka ambil.

Steven menatap Aira dengan serius. "Saya tahu bahwa janin ini bukan anak biologis saya, tetapi bagi saya, tanggung jawab itu lebih dari hanya hubungan darah. Saya merasa bahwa kita sebagai manusia harus bertanggung jawab atas tindakan kita."

"Tapi ini akan menjadi tanggung jawab besar, Steven. Apakah kamu yakin kamu siap?" Dian mencoba meyakinkan Steven kembali. Walau bagaimanapun Dian juga pasti ingin yang terbaik untuk adiknya.

Steven mengangguk mantap. "Saya menyadari bahwa ini akan menjadi perjalanan yang sulit dan penuh tantangan. Tapi saya percaya bahwa setiap anak berhak tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan perhatian. Saya ingin memberikan janin ini kesempatan yang layak, meskipun bukan anak biologis saya."

Widya menghela napas lega, Widya begitu bahagia memiliki seorang anak yang memiliki hati yang begitu lapang, seringkali merasa tercengang oleh kebaikan hati anaknya itu. Ia tidak tahu pasti dari mana anaknya memperoleh sifat seperti itu.

Setiap kali ia melihat putranya bertindak dengan empati dan kebaikan, hati Widya menjadi hangat. Ia tahu bahwa dia telah membesarkan anak yang istimewa, dan itu membuatnya merasa sangat bangga dan bersyukur.

Meskipun ia tidak tahu pasti darimana asalnya, Widya berkomitmen untuk terus mendukung putranya dalam menjalani hidup dengan hati yang begitu lapang.

"Pa, Ma, Dian mohon. Izinkan Steven menikahi Aira, sebelum orang-orang mengetahui tentang kehamilannya."

Dian memohon dengan sangat kepada kedua orang tuanya yang memiliki watak keras kepala. Semua ini ia lakukan hanya demi Aira, adiknya yang ia sayangi.

"Baiklah, sekarang juga aku akan menikahkan mereka," kata-kata itu keluar dari mulut Anwar dengan tegas.

Sari terkejut mendengarnya, tetapi juga merasa lega bahwa suaminya telah memutuskan untuk mendukung keputusan ini. Meskipun masih ada kekhawatiran dan keraguan di hatinya, dia tahu bahwa Aira harus segera menikah, sebelum orang-orang mengetahui tentang kehamilan putrinya.

Aira yang sedang dirias dengan make-up seadanya, menangis bombay.

Bagaimana mungkin ia tak menangis, bila akan menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak ia cintai?

Matanya yang digarisi eyeliner merajuk saat mencerminkan wajahnya di depan cermin.

Dian duduk di sebelahnya, mencoba untuk memberikan dukungan kepada adiknya. "Aira, Kakak tahu ini sulit bagimu. Tapi ingatlah bahwa kita selalu memiliki pilihan. Kamu harus yakin dengan pernikahan ini."

Aira menyeka air matanya dengan lengan gaunnya dan menatap Dian. "Aira tidak tahu, Kak. Aira merasa seperti terjebak dalam situasi ini, dan Aira tidak ingin mengecewakan kalian semua." Aira menatap abstrak ke dinding, mencoba untuk merenungi semua yang telah terjadi. "Aira ingin menikah karena cinta, bukan karena keterpaksaan."

Dian meletakkan tangannya di pundak Aira dengan perlahan. "Pernikahan adalah langkah besar, dan kamu harus merasa bahagia dalam keputusan ini. Jangan pernah merasa terpaksa. Pikirkan dengan baik apa yang kamu inginkan."

Aira menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan emosinya yang bergejolak. "Aira akan mencoba menerima semua ini, walaupun semua ini begitu sulit bagi Aira."

Dian tersenyum dan mengangguk. "Itu baru adik Kakak."

Dian memeluk Aira erat, mencoba dengan hangat menenangkan adiknya yang masih terisak-isak. Mereka duduk berdampingan di sudut kamar Aira, tempat mereka sering berbicara tentang segala hal.

Dian tersenyum dengan penuh pengertian. "Cinta sejati datang hanya sekali dalam hidup, Aira. Kakak yakin Steven adalah lelaki yang baik untuk kamu."

Setelah pernikahan selesai, suasana di kediaman Adiwijaya menjadi tegang. Anwar memanggil Steven dengan suara serius, dan Steven segera mendekat dengan penuh rasa hormat.

"Steven," kata Anwar dengan tegas, "saya telah memberikan izin untuk pernikahan ini, tetapi sekarang saatnya bagi kamu dan Aira untuk memulai hidup baru bersama. Saya ingin kamu membawa putriku pergi dari sini."

Deg!

Perkataan ayahnya itu membuat tubuh Aira melemas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status