Share

Pengantin Pengganti Miskin Itu Ternyata Pewaris Tajir
Pengantin Pengganti Miskin Itu Ternyata Pewaris Tajir
Penulis: Vanilla_Nilla

Bab 1. Kehamilan Yang Tak Diharapkan

Aira merasa gugup dan tegang. Tes kehamilan yang baru saja ia lakukan tergeletak di atas wastafel. Pandangannya terpaku padanya, dan detik-detik terasa berputar begitu lamban.

Ketika ia akhirnya berani untuk melihat hasilnya, mata Aira terbelalak. Di atas ujung stik tes, terlihat dua garis merah yang sangat jelas. Hatinya berdebar kencang. 'Tidak mungkin,' gumamnya dalam hati. Aira sudah memeriksa stik itu berulang kali, tetapi hasilnya tetap sama.

"Ya Tuhan, aku tidak mungkin hamil, kan?"

Perasaan shock dan kebingungan menyelimuti dirinya. Ia merasa seperti dunia seketika berhenti berputar. Aira yang masih berumur 23 tahun belum siap untuk menjadi ibu. Ia merasa cemas, takut, dan tidak tahu harus berbuat apa.

Dengan tangan bergetar, Aira mencoba menghubungi kekasihnya, Michael untuk memberitahunya tentang hasil tes tersebut.

Aira menggenggam ponselnya dengan tangan yang gemetar. Dengan suara yang penuh ketakutan, dia memanggil Michael, kekasihnya.

"H-halo, Michael," katanya perlahan, mencoba menahan getaran dalam suaranya.

"Ada apa, Aira?"

"Aku ingin memberitahumu kalau aku ... aku h-hamil ..."

Michael mendengarkan kabar itu dengan kebingungan yang besar. Ia merasa seperti dunianya tiba-tiba terbalik. "Aira, ini tidak mungkin," ujarnya dengan nada penuh kebingungan. "Kita hanya melakukannya sekali saja ... Bagaimana bisa kamu hamil?"

"Michael, aku benar-benar hamil. Aku sudah memeriksanya, dan semuanya bergaris dua. Aku ingin kamu bertanggung jawab." Aira berkata dengan suara pilu.

Michael terdiam sejenak, lalu dengan serius ia mengatakan, "Aira, aku tak mungkin menikahimu. Aku sudah memiliki rencana untuk pergi ke luar negeri dan melanjutkan pendidikanku. Ini bukan waktu yang tepat bagi kita untuk memiliki anak. Lebih baik kau gugurkan saja anak itu!"

Deg!

Aira merasa dunianya runtuh. Ia mencintai Michael dengan sepenuh hatinya, dan sekarang, dalam saat-saat genting ini, ia merasa ditinggalkan begitu saja. Michael menyarankan untuk melakukan aborsi, tetapi itu bukanlah pilihan yang mudah bagi Aira.

Tuuuuut ….

"H-halo, Michael!"

Aira melepaskan ponselnya dari telinga ketika mendengar suara sambungan terputus. Dan benar saja, Michael mematikan sambungan dengan sepihak.

Aira merasa semakin cemas ketika mencoba menghubungi Michael kembali, tetapi nomor Michael sudah tak aktif lagi. Aira pun menjadi semakin bingung.

"K-kenapa nomornya menjadi tidak aktif?"

Aira merasa terisolasi dalam situasi yang sulit ini, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Aira dan Michael menjalin kasih sejak mereka masih SMA. Aira pernah terbujuk oleh rayuan Michael untuk melakukan sesuatu yang tidak seharusnya. Meskipun awalnya ia merasa ragu, namun karena cinta dan kepercayaannya pada Michael, ia akhirnya setuju.

Ketika Aira menyadari bahwa Michael sebenarnya berbohong dan tidak akan bertanggung jawab atas tindakan mereka, perasaannya sangat terluka dan kecewa. Kepercayaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun hancur dalam sekejap, dan Aira harus menghadapi kenyataan yang pahit.

Tok! Tok! Tok!

Aira terkejut dan bingung ketika mendengar suara pintu yang diketuk dari luar. Ia segera menyeka air mata yang masih mengalir dan perlahan berjalan menuju pintu dengan hati yang masih berdebar kencang.

Siapa yang datang pada saat seperti ini?

Aira merasa terkejut saat akhirnya ia membuka pintu dan melihat kakaknya berdiri di luar.

"Kak Dian, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Aira dengan perasaan yang gelisah.

Dian, kakaknya, melihat wajah Aira yang sepertinya sehabis menangis. "Aira, apa ada yang tidak beres? Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Apa yang terjadi?"

Aira menundukkan pandangannya. "T-tidak ada, Kak."

Dian bisa merasakan ada sesuatu yang aneh dalam sikap Aira. Ia mengenal adiknya dengan baik dan menyadari bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi. "Aira," ujarnya dengan penuh penekanan, "aku tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu dari aku. Cepat katakan, apa yang sebenarnya terjadi?"

Aira tetap diam tak bergeming. Tentu saja, Aira bisa merasa sangat khawatir tentang bagaimana keluarganya akan merespons jika ia menceritakan tentang kehamilannya.

Dian tiba-tiba melihat alat tes kehamilan yang ada di tangan Aira dan merasa terkejut. "Apa yang ada di tanganmu, Aira?"

Tanpa berpikir panjang, ia mengambil alat tes tersebut dengan paksa dari tangan adiknya. Ekspresi wajahnya penuh dengan kebingungan.

"Kak Dian, tolong kembalikan itu!" pinta Aira, tetapi ia merasa tidak berdaya saat kakaknya mulai memeriksa hasil tes kehamilan tersebut.

Dian dengan cepat memeriksa hasil tes kehamilan yang telah diambilnya dari Aira. Detik-detik terasa seperti berjam-jam, dan Aira berdiri melihat ekspresi kakaknya dengan ketakutan yang mendalam.

Setelah beberapa saat yang panjang, Dian menoleh kepada Aira, wajahnya berubah menjadi dingin. "Aira!" katanya dengan suara yang bernada tinggi, "Apa ini? Kenapa hasilnya positif? Apa kamu sedang hamil?"

Aira mengangguk dengan gemetar, tak mampu bicara. Dalam sekejap, matanya yang sudah berembun pun kini sudah tumpah.

Sari dan Anwar, orangtua Aira dan Dian, keluar dari dalam kamar mereka setelah mendengar keributan di depan kamar Aira. Mereka berdua pun menjadi khawatir dan kebingungan, tidak tahu apa yang sedang terjadi.

"Dian, Aira, apa yang sedang terjadi di sini?" tanya Sari dengan nada cemas.

Dian dan Aira saling beradu pandang, masih terguncang oleh situasi yang baru saja mereka alami. Dian tahu bahwa saatnya telah tiba untuk berbicara dengan orangtua mereka tentang kehamilan Aira.

Dian dengan berat hati menjelaskan situasi kepada orangtua mereka. "Mama, Papa, Aira sedang hamil," ujarnya dengan suara bergetar.

"Apa?"

Sari dan Anwar merasa terkesiap dan tak percaya mendengar berita itu. Mereka memandang Aira dengan tatapan kekecewaan dan kekhawatiran yang begitu mendalam. "Apa yang terjadi, Aira? Kenapa kamu bisa hamil?" tanya Anwar, mencoba mencari jawaban atas situasi yang genting seperti ini.

"Maafkan Aira, Papa."

Kehadiran Steven dan ibunya, Widya, yang bekerja di kediaman Adiwijaya, semakin memperumit situasi. Mereka datang setelah mendengar keributan dan suara emosional yang berasal dari kamar Aira.

Sari dan Anwar tampak khawatir dan bingung, karena situasinya semakin rumit dengan kehadiran Widya dan Steven.

"Katakan sama Papa, anak siapa yang ada dalam kandungan kamu?"

Aira menelan ludah, merasa tegang dalam situasi yang semakin rumit ini. Dia mengangkat wajahnya dan dengan isak tangisnya mengatakan, "Papa, anak ini adalah anak Michael."

Hiks!

Ketika Aira mengungkapkan bahwa anak dalam kandungannya adalah milik Michael, suasana di depan kamar Aira semakin tegang.

Anwar menatap Aira dengan tatapan yang penuh dengan pertanyaan. "Apa kamu bilang?! Jadi, anak yang dikandung kamu itu anak Michael?" Anwar bertanya dengan emosi yang begitu kesal, sambil mengepalkan telapak tangan lelaki paruh baya itu langsung menampar Aira begitu keras.

Plak!

Tangan Anwar melayang di udara dan mendarat di pipi Aira hingga meninggalkan jejak merah yang membuat Aira sedikit meringis.

Tindakan Anwar yang menampar Aira dan kata-katanya yang keras membuat suasana semakin tegang. Aira merasa sakit atas perlakuan ayahnya yang telah menamparnya.

"Dasar anak tidak tahu malu! Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga kita! Aku tidak ingin anak itu lahir, kamu harus segera menggugurkannya!"

"T-tidak, Papa. Aira tidak mau menggugurkan anak ini."

"Apa kamu bilang? Kamu tidak mau menggugurkan anak ini? Lalu bagaimana orang-orang di luar sana, berbicara tentang keluarga kita? Keturunan dari Adiwijaya ternyata memiliki seorang anak yang hamil di luar nikah! Apa kamu mau mereka menghina keluarga kita?!" umpat Anwar begitu sangat kesal, bahkan rahang tegasnya sudah mengeras.

"Pa, kita harus meminta pertanggung jawaban dari Michael?" Sari mulai memberi saran.

"Michael tidak mau bertanggung jawab, Ma. Dia malah menyuruh Aira untuk menggugurkan kandungan ini." Aira bersuara dengan tubuh yang sudah bergetar.

Anwar melanjutkan perkataan Aira dengan perasaan yang kesal yang mendalam, dalam suaranya ia berkata, "Kalau memang Michael tidak mau bertanggung jawab, kamu harus gugurkan kandungan itu!"

Aira merasa tertekan dengan tuntutan ayahnya, tetapi dia juga tahu bahwa keputusan ini harus dia ambil dengan hati-hati. Dia merenung sejenak, kemudian dengan tegas berkata, "Aira tidak mau, Aira tidak mau menggugurkan bayi ini."

Meskipun dihadapkan pada tekanan dari berbagai pihak, Aira tetap teguh pada keputusannya untuk tidak menggugurkan bayinya. Ia merasa bahwa kehamilannya adalah bagian dari dirinya yang harus dihadapi dengan tanggung jawab.

"Kalau Michael saja tidak menginginkan bayi itu dan tidak mau bertanggung jawab. Lalu siapa yang akan bertanggung jawab?!" Suara Anwar menggelegar mengisi seisi ruangan.

"Saya, saya yang akan bertanggung jawab atas bayi yang dikandung oleh Aira." Steven berkata dengan penuh keyakinan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status