Taksi meluncur di tengah lalu lintas kota, Aira dan Steven duduk di belakang sambil mencatat barang-barang apa saja yang akan dibelinya nanti.
Sambil melihat ponselnya untuk mencatat keperluan apa saja yang akan ia beli nanti di minimarket, Steven berkata, "Nanti kita beli beberapa barang untuk keperluan di kontrakan, ya.""Terserah!" jawab Aira dengan nada ketus.Namun, tiba-tiba, sopir taksi dengan cekatan menginjak rem, membuat mereka berdua terguncang sampai kepala Aira terbentur kaca mobil."Awhh …!" rengek Aira kesakitan, "hati-hati dong, Pak, kalau nyetir! Sebenarnya bisa nyetir gak sih?" omel Aira kesal seraya menyentuh kepalanya yang sakit."Maaf, Mbak, ada halangan di depan. Sepertinya ada pohon tumbang." Sopir berkata dengan penuh penyesalan karena tiba-tiba mengerem dadakan mobilnya, sampai membuat penumpangnya terbentur pintu mobil.Steven memandang keluar jendela. Dan benar saja, sebuah pohon besar sudah menghalangi jalan mereka, dan beberapa kendaraan lain pun sedang berhenti di depannya."Maaf, Mas, Mbak, sepertinya kita mungkin harus sedikit bersabar sampai situasi di depan mereda," ucap Sopir tersebut."Tidak apa-apa, Pak. Kita tunggu saja," kata Steven dengan santai.Beberapa menit kemudian, mereka melihat sekelompok anak kecil berlarian ke arah taksi."Pak sopir, tolong! Adik kami kehilangan mainan di selokan," kata anak lelaki yang mengenakan kaos oblong berwarna merah."Iya, kami tak bisa mencapai karena terlalu dalam!" ujar salah satu temannya.Sang sopir berpikir sejenak karena ia takut pakaian kerjanya akan kotor. "Baiklah, anak-anak. Bapak akan mencoba membantu kalian.""Tidak perlu, Pak. Biar saya saja, nanti pakaian kerja Bapak kotor lagi." Steven tersenyum sambil membuka pintu mobil, lelaki tampan yang berhidung mancung itu segera keluar dari dalam mobil.Steven turun dari taksi dan membantu anak-anak itu, mencari mainan yang terjatuh ke dalam selokan.Sambil tetap duduk di dalam taksi, Aira melihat ke arah Steven dan anak-anak yang tengah berusaha mencari mainan yang jatuh ke dalam selokan.Aira berpikir dalam hati, 'Steven memang baik hati dan perhatian terhadap orang lain. Anak-anak itu juga terlihat bahagia.'Saat Steven dengan cepat merasa akrab dengan anak-anak yang mencari mainan di selokan, Aira merasa kagum dan sedikit terkejut. Meskipun dia tahu bahwa Steven memiliki sifat yang ramah, tetapi kemampuannya dalam mengakrabkan diri dengan anak-anak itu adalah sesuatu yang tidak dipikirkan sebelumnya.Aira menepis pemikirannya sesaat, bisa-bisanya ia mulai mengagumi lelaki itu. Jelas-jelas lelaki yang sudah menjadi suaminya mungkin saja sedang cari muka di depannya.Beberapa saat kemudian, Steven akhirnya sudah kembali ke dalam taksi dengan pakaian yang kotor."Steven, apa yang terjadi? Kenapa kamu begitu kotor?"Melihat Steven kembali dengan pakaian yang kotor, Aira merasa jijik dan hampir ingin muntah. Dia merasa terkejut dengan kondisi Steven dan tidak tahu apa yang membuatnya begitu kotor.Aira mencoba menahan rasa jijiknya dan berbicara dengan ekspresi marah. "Kamu begitu menjijikan, Steven!""Maaf ya, Aira. Tadi waktu mencari mainan anak-anak, aku agak terpeleset dan jatuh ke dalam selokan."Aira memutar bola matanya malas, menutup hidungnya, mencoba menahan rasa jijik. "Oh, begitu ... Itu kenapa kamu kembali dengan begitu banyak lumpur sih, kamu membuat aku ingin muntah?""Iya, maafkan aku. Aku terlalu antusias membantu mereka tadi. Jadi, tidak sadar kalau terpeleset."Aira merasa terganggu dengan pemandangan Steven yang kotor. Dia merasa tidak nyaman dan ingin segera sampai di kontrakan."Pak, bisa jalan sekarang gak? Saya gak kuat lama-lama semobil sama dia!""Bisa, Mbak. Kebetulan jalanan sudah tidak macet lagi," kata Sopir Taksi tersebut, lalu menjalankan kembali mobilnya.Sesampainya beberapa menit berlalu. Akhirnya Steven dan Aira sudah turun dari taksi tersebut.Steven segera menurunkan beberapa koper mereka setelah membayar tagihannya."Di mana kita akan tinggal? Jangan bilang kamu akan membawaku tinggal di kolong jembatan!" tanya Aira dengan nada ketusnya."Di dalam gang sana!" tunjuk Steven ke arah gang yang begitu sangat sempit."Apa?" Aira terperangah melihat ke arah gang yang begitu sangat sempit, "kamu mengajakku tinggal di gang yang sempit seperti itu?"Sulit bagi Aira untuk membayangkan kehidupan di kontrakan yang berada di gang sempit, bahkan melihat permukimannya saja yang begitu kumuh membuat wanita yang memiliki rambut panjang sebahu itu merasa risi."Hanya tempat ini yang bisa kita tinggali sekarang. Nanti kalau masa kontraknya sudah selesai, aku akan mencari tempat yang lebih nyaman lagi."Aira menghela napas dalam-dalam, ketika melihat Steven yang sudah berjalan terlebih dulu dengan membawa dua koper mereka."Mimpi apa aku ini? Bisa-bisanya menikah dengan lelaki miskin seperti dia?" Aira bergumam seraya berdecak kesal.Aira terpaksa berjalan membuntuti Steven dari belakang. Karena gang sempit dan keterbatasan ruang, Aira tidak memiliki banyak pilihan selain mengikuti di belakang Steven dengan jarak yang cukup jauh dan hanya menggerutu kesal mencebikan bibirnya."Masih lama gak?! Kenapa dari tadi gak sampai-sampai sih?" Aira berteriak kepada Steven yang sudah berada jauh di depannya.Steven tiba-tiba berhenti dan berbalik menghadap Aira dengan senyum lebar. "Sebentar lagi kok, itu di depan!" tunjuk Steven ke arah kontrakannya.Aira berdecak kesal lalu berkata, "Sudah masuk gang sempit! Kontrakannya jauh pula! Kamu sengaja mengerjai aku, ya!"Steven tak merespon perkataan Aira, lelaki yang memiliki wajah kotak itu kembali berjalan menuju kontrakannya.Saat Aira merasa Steven tidak merespon perkataannya dan melihat lelaki itu berjalan kembali menuju kontrakannya, Aira berteriak, "Dasar lelaki nyebelin!"Aira merasa sedikit kecewa karena Steven tidak memberikan tanggapan atau reaksi apa pun terhadap apa yang baru saja dia katakan.Aira memutuskan untuk mengikuti Steven, berjalan di belakangnya kembali dengan wajahnya yang sudah begitu kesal.Sesampainya di depan kontrakan, Steven mengeluarkan kunci dari sakunya dan membuka pintu dengan hati-hati.Namun, ketika Steven ingin membuka pintunya, lelaki yang memiliki gaya rambut comma hair itu melihat ke arah Aira yang berjalan seperti siput."Cepatlah sedikit!" teriak Steven dari depan kontrakannya.Aira hanya mencebikkan bibirnya menggerutu begitu kesal. Apalagi kakinya yang sudah teramat lelah untuk melangkah, membuatnya semakin ingin menghilang dari tempat yang memuakkan ini baginya."Ayo masuk," ucap Steven dengan senyum ramah, melihat Aira yang sudah berada di hadapannya.Sepertinya Aira begitu sangat kesal kepadanya, semua itu terlihat jelas dari raut wajah Aira yang ditekuk.Setelah pintu kontrakan mulai terbuka, Aira membulatkan matanya sempurna saat melihat ke dalam kontrakan yang begitu kumuh dan berdebu. Dia merasa terkejut dan sedikit tidak percaya dengan kondisi kontrakan yang begitu berantakan."Oh, tidak. Bagaimana bisa aku tinggal di kontrakan seperti ini?""Kamu mengajakku tinggal di kontrakan kumuh dan berantakan seperti ini?"Aira tak habis pikir dengan apa yang sudah Steven berikan kepadanya. Aira berpikir bila Steven akan memberikannya tempat tinggal yang layak. Namun kali ini otaknya sulit mencerna, Steven malah mengajaknya ke tempat yang begitu menjijikan.Bagaimana Aira akan suka dengan tempat yang kotor dan banyak sekali debu-debu yang hinggap di kursi, lemari, lantai dan tempat lainnya. Apalagi banyak sarang laba-laba yang sudah hinggap di beberapa ruangan."Kontrakan ini memang sudah kotor, karena aku sudah beberapa bulan ini tidak tinggal di sini. Tapi kamu tenang saja, aku pasti akan membersihkannya."Steven masuk ke dalam ruangan untuk mengambilkan kursi. Sambil memasuki ruangan, Steven melihat sekeliling mencari kursi yang masih bisa digunakan. Dia melihat sebuah kursi yang cukup nyaman dan mengambilnya, lalu membawanya keluar ruang tamu.Steven meletakkan kursi yang sudah dibersihkan menggunakan lap di sebelah pintu. "Dud
"Kenapa kamu terus saja membela dia?" kata Aira yang heran kepada satu sahabatnya itu, yang sedari tadi terus-terusan membela Steven."Karena aku cinta sama Steven, aku gak mau kalian terus saja menghinanya!"Suasana semakin tegang di antara mereka. Santi berdiri tegak, matanya berkilat menahan amarah. Dia tidak bisa membiarkan Steven terus dihina tanpa melawan."Kamu serius?" Fika bertanya dengan perasaan yang begitu tak percaya kepada Santi. Ia hanya berharap bahwa sahabatnya itu sedang bercanda.Santi mengangguk cepat, wanita tersebut begitu sangat percayaan diri. "Iya, aku memang sudah lama mencintai Steven."Aira memandang Santi dengan wajah terkejut yang sulit disembunyikan. "Hhh, apa? Kamu cinta sama Steven? Apa aku tidak salah dengar?" Aira bertanya dengan rasa heran yang begitu mencolok. Bagaimana mungkin seorang Santi, yang dikenal sebagai gadis cerdas dan elegan, bisa jatuh cinta kepada Steven, lelaki miskin yang tak memiliki apa pun?Santi tersenyum, membiarkan matanya mem
---"Apa?!" Aira membulatkan matanya sempurna ketika mendengar perkataan Santi. Dia merasakan hatinya berdegup kencang, mencoba memproses informasi yang baru saja didengarnya.Santi tersenyum manis melihat reaksi temannya. "Iya, Aira. Kami memutuskan untuk menjalin hubungan," ucapnya dengan penuh keyakinan.Nita dan Fika tak bisa menyembunyikan rasa kecewa mereka terhadap Santi. Mereka pikir bila Santi hanya bercanda saja tentang perasaannya terhadap Steven. Namun ternyata, sahabatnya itu benar-benar tidak bisa diberi nasehat."Aku tak percaya!" seru Nita dengan rasa sesalnya.Fika menganggukkan kepala sambil melihat Santi begitu heran. "Kalian berdua sudah jadian? Aku tidak tahu harus senang atau harus kecewa sama kamu, San."Aira masih terdiam, matanya memancarkan kebingungan yang jelas. Hatinya berdebar tak karuan, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia terima. Steven, lelaki yang sudah menjadi suaminya, dengan begitu teganya membalas perasaan Santi, sahabatnya sendiri. Aira
Anwar menatap Aira dengan tatapan tajam yang membuat gadis cantik itu gugup. Ada ketegangan di antara mereka ketika Anwar akhirnya bertanya dengan suara tegas, memecah keheningan yang ada di antara mereka berdua."Untuk apa kamu kembali ke rumah, Aira?" tanya Anwar dengan nada serius.Aira memandang ayahnya dengan mata yang penuh harapan. Suaranya gemetar ketika ia mulai berbicara, mencoba memohon dengan nada yang penuh emosi. "Papa, Aira tidak ingin tinggal bersama Steven. Aira tidak ingin hidup di kontrakan yang sempit dan tidak layak. Aira ingin tinggal bersama Papa saja," ucapnya sambil terisak.Anwar menggelengkan kepala dan menatap Aira dengan tajam. "Tidak bisa," jawabnya tegas, sambil mempertahankan sikap angkuhnya."Tapi, Pa!"Anwar tetap pada pendiriannya. "Tidak ada alasan Aira. Kamu sudah menikah dengan Steven, kamu harus tinggal bersamanya!" jelasnya dengan suara yang tak terbantahkan.Aira merasa bingung dengan hidupnya yang tak menentu setelah pernikahannya dengan Steven
Aira berdiri di tepi danau, matanya memandang keindahan air yang tenang di malam hari. Bulan purnama bersinar terang, memantulkan cahaya gemilang di permukaan air. Suara lembut angin malam menyusuri rambutnya, membawa sedikit kesejukan dalam suasana yang terasa terlalu panas. Namun, meskipun alam di sekelilingnya begitu tenang dan indah, hati Aira terasa begitu berat dan penuh dengan rasa sakit. Beberapa waktu lalu, kehidupannya berubah secara mendadak. Dia terpaksa menghadapi kenyataan pahit ketika orang tuanya memutuskan untuk menyuruhnya tinggal bersama Steven.Keputusan itu menghantamnya begitu dalam. Aira tidak pernah membayangkan bahwa dia akan mengalami hal seperti ini, terutama dari orang-orang yang seharusnya melindunginya. Meskipun begitu, dia juga tahu bahwa dia tidak bisa mengubah keputusan orang tuanya.Aira menghela napas dalam, mencoba untuk menguatkan hatinya sendiri. Dia mencari tempat untuk berteduh, mencari pemahaman, mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang b
"Berani-beraninya kalian mencoba melukai seorang wanita!" teriak lelaki itu dengan suara yang menggelegar.Para preman terkejut dan menghentikan cengkramannya pada Aira. Mereka memandang pria muda itu dengan tajam."Siapa kau, berani menghentikan kami?" ejek salah satu preman dengan nada merendahkan.Steven tidak bergeming, matanya tetap fokus pada para preman. "Aku suaminya, aku tidak akan membiarkan kalian menyakiti istriku. Lepaskan dia sekarang juga!" titah Steven dengan nada yang lebih tegas lagi.Namun, satu di antara preman itu memutuskan untuk mencoba lagi. Dengan sikap yang menantang, dia melangkah mendekati Steven. "Kau pikir kami akan takut?" ancamnya sambil mencoba untuk menendang ke arah Steven.Tetapi Steven dengan cepat menghindar, dan dengan gerakan yang lincah, dia membalas dengan pukulan yang mengenai perut preman itu.Bugh!Sang preman terguncang, nyaris kehilangan keseimbangannya.Para preman lainnya segera bereaksi, mereka melontarkan pukulan dan tendangan ke arah
'Kenapa tanda lahir mereka sama? Apakah di dunia ini ada beberapa orang yang memiliki tanda lahir yang sama persis?' gumam Aira lirih di dalam hati.Memori itu masih teringat jelas dalam ingatan Aira. Saat itu, dia dan Michael berada di sebuah hotel. Aira terbangun dari tidurnya dan melihat Michael duduk di tepi ranjang. Dengan pandangan tanpa sehelai benang pun, Aira menyadari bahwa Michael juga memiliki tanda lahir yang sangat mirip dengan milik Steven."Aira, ada apa?" tanya Steven sambil melambaikan tangannya di depan wajah Aira, saat wanita itu hanya terdiam dan memandangnya.Aira terdiam sejenak dari lamunannya. "Oh, tidak apa-apa," jawabnya, mencoba menyembunyikan kebingungannya.Namun, pertanyaan itu terus menggelitik pikirannya. Apakah ada kemungkinan bahwa ada orang lain di dunia ini yang memiliki tanda lahir yang sama persis seperti mereka? Apakah ada sesuatu yang belum ia ketahui?Pikiran-pikiran ini menghantui Aira. Ia merasa bingung dan penasaran, namun dia tidak yakin ba
Steven membuka mata, menyambut cahaya pagi yang masuk lewat jendela kamar. Dengan gerakan perlahan, dia meraih telepon pintarnya yang ada di meja samping tempat tidur, memeriksa pesan dan notifikasi yang datang semalaman. Setelah memastikan tidak ada yang mendesak, Steven bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.Air segar menyapa wajahnya saat Steven mencuci muka, meresapi kebangkitan pagi dengan kesegaran. Lalu setelah itu kemudian ia menggosok giginya. Steven memandang cermin dengan senyuman ringan, ia meraih handuk kecil untuk membersihkan air yang masih ada di wajahnya.Setelah mandi, langkahnya melaju ke dapur. Steven membuka lemari dapur, mencari bahan-bahan untuk sarapan. Pilihan jatuh pada telur dan sayuran segar. Dengan keterampilan yang sudah dimilikinya, dia mulai mempersiapkan sarapan pagi. Bau harum bumbu-bumbu dapur mulai menyelinap ke seluruh ruangan.Saat masakan hampir selesai, Steven menyadari bahwa harapannya adalah bisa berbagi hidangan ini dengan orang yan