“Kita duduk di sana!” Aiden menarik tangan Amora, mengajak secara paksa wanita itu duduk di kursi yang tersisa. Richard yang melihat Aiden menarik tangan Amora—membuatnya menyapa para tamu undangan.
Amora terkejut di kala tangannya ditarik paksa Aiden. Wanita cantik itu bingung Aiden mengajaknya duduk. Pun dia tidak enak karena meninggalkan Richard begitu saja. Sungguh! Amora bingung dengan tindakan Aiden.
“Oh, hai, Aiden. Long time no see.” Seorang wanita cantik berambut pirang, duduk di kursi kosong—yang mana kebetulan ada di samping Aiden.
Aiden menatap wanita cantik berambut pirang. “Nalani Carter?”
Wanita cantik bernama Nalani itu tersenyum. “Senang sekali kau masih mengingatku. Apa kabar, Aiden? Sudah lama tidak bertemu denganmu, kau terlihat semakin gagah dan tampan.”
Aiden tak merespon mendapatkan pujian dari Nalani. “Seperti yang kau lihat, aku baik.”
“Aku senang mendengar kabar kau baik. Aiden, bagaimana perusahaanmu? Aku dengar kau semakin hebat dalam memimpin perusahaan keluargamu,” ucap Nalani lagi.
“Aku hanya menjalani tugas yang sudah seharusnya aku lakukan,” ucap Aiden dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
Amora menatap kesal Aiden yang asik berbincang dengan Nalani. Pria itu bahkan sama sekali tidak memperkenalkan Amora pada wanita bernama Nalani. Amora merasa didiamkan. Aiden dan Nalani asik berbincang—seolah dirinya tidak ada.
Richard yang sedang mengobrol dengan para tamu undangan, dan sambil menikmati wine. Tatapannya teralih pada Amora yang diabaikan oleh Aiden. Sepupunya itu malah asik berbincang dengan wanita lain.
Richard tersenyum melihat pemandangan yang ada di hadapannya itu. Dia pamit undur diri dari para tamu undangan yang hadir. Lantas, dia segera menghampri Amora.
“Hai, Amora. Kau ingin minum?” tawar Richard.
Amora menggelengkan kepalanya. “Tidak, Richard. Aku tidak bisa minum alkohol.”
Richard tersenyum. “Sudahku duga, wanita sepertimu pasti tidak menyukai alkohol.” Pria itu duduk di samping Amora. “Oh, ya … aku lupa bertanya, apa saja aktivitasmu?” tanyanya ingin tahu.
“Aku memiliki toko bunga, Richard. Biasanya aku sering menjaga toko, tapi belakangan ini karena aku masih baru menikah, aku memercayakan toko bungaku pada satu karyawanku,” jawab Amora lembut.
“Great. Itu artinya kau suka merangkai bunga, Amora?”
“Ya, aku suka, Richard. Kebetulan aku membuka usaha kecil toko bunga karena aku menyukai bunga. Terutama dalam hal merangkai bunga.”
“Wanita yang menyukai bunga adalah sosok wanita yang terkenal dengan kelemahlembutannya.”
Amora hanya tersenyum menanggapi itu.
Aiden mendengar percakapan antara Amora dan Richard. Sorot matanya berubah dingin. “Richard, ikut aku menemui para tamu undangan lain. Ada beberapa yang ingin aku sapa.”
Richard menatap Aiden. “Kau memang tidak bisa sendiri saja?”
Aiden membalas tatapan Richard begitu dingin. “Yang punya pesta adalah dirimu! Kau harus menemaniku!”
Richard menghela napas dalam. Dia sudah sangat mengenal sifat dari sepupunya itu. “Fine, aku akan menemanimu.”
Aiden bangkit berdiri. Pria tampan itu berpamitan pada Nalani, tapi tidak dengan Amora. Berbeda dengan Richard yang berpamitan pada Nalani dan juga pada Amora. Ya, dua pria tampan itu pergi meninggalkan Amora dan Nalani hanya berdua.
Amora memilih menatap lurus ke depan, berusaha mengatasi rasa paniknya. Dia tidak terbiasa menghadiri pesta semegah ini. Amora lebih suka berdiam diri di rumah. Namun, karena diajak ke pesta Richard, jadi mau tak mau Amora harus bisa beradaptasi dengan ini semua.
“Kau wanita yang dijodohkan dengan Aiden, kan?” Nalani mulai bersuara dengan senyuman anggun di wajahnya. “Keluargamu benar-benar sangat cerdas. Mereka pasti sangat tahu keluarga Aiden yang hebat, sampai memaksamu menjodohkan dengan Aiden.” Nalani menyeringai meledek. “Tentunya mereka ingin kau hidup enak dan layak.”
Kata-kata sindiran dari Nalani, membuat Amora menoleh menatap wanita itu.
“Maaf? Apa maksud yang kau ucapkan?” tanya Amora dengan nada tenang, dan sangat sopan.
Nalani menatap sinis Amora. “Ck! Munafik. Aku tahu kau menerima perjodohan ini karena ingin hidup enak dan nyaman, kan? Kasihan sekali. Wanita rendah sepertimu itu, seharusnya tidak layak menikah dengan Aiden!”
Amora menghela napas dalam. Dia tetap tenang di kala mendapatkan hinaan dari Nalani. “Mendiang kakek dan nenekku sudah mengatur perjodohanku dengan Aiden. Aku hanya menjalani wasiat dari mendiang kakek dan nenekku.”
Nalani tertawa meledek. “Come on, ibumu bukan menantu di keluarga North, kan? Aku dengar ibumu hanya seorang pelacur yang mengandung anak dari ayahmu. Dengan semua itu, apa menurutmu kau pantas? Kau hanya anak haram yang lahir dari seorang wanita rendah.”
Mata Amora menanas memerah, menahan air mata. Jika dirinya dihina, dia tidak pernah masalah. Berbeda kali ini. Sorot mata Amora dingin dan tajam. Dia tidak akan pernah menerima jika sampai ada yang merendahkan ibunya.
Tatapan Amora teralih pada pelayan yang membawakan nampan yang berisikan minuman. Detik selanjutnya Amora mengambil satu gelas wine, dan menumpahkan ke gaun Nalani.
“What the fuck!” Nalani mengeluarkan umpatan kasar di kala gaunnya tertumpah noda wine merah.
Amora menatap dingin Nalani dengan air mata yang sudah berlinang jatuh membasahi pipinya. “Jangan pernah kau berani menghina ibuku!”
Nalani bangkit berdiri dan membalas tatapan Amora. “Ibumu memang pelacur! Semua orang tahu kau itu anak haram di keluarga North! Kau sama sekali tidak pantas menikah dengan Aiden!”
“Seorang wanita bermartabat tidak akan pernah menghina orang lain. Jika sampai ada seorang wanita bermartabat mengaku-aku memiliki derajat tinggi, dan merendahkan orang lain, maka sesungguhnya orang itu yang sangat rendah,” jawab Amora lugas, penuh keberanian walau dalam keadaan menangis.
“Kau—” Nalani melayangkan sebuah tamparan ke wajah Amora. Namun, gerak tangannya terhenti di kala ada yang menangkap tangannya. Detik itu juga Nalani menoleh menatap terkejut sosok yang menangkap tangannya itu.
“A-Aiden?” Nalani mulai panik dan cemas. “K-kau jangan salah paham. Istrimu duluan yang mencari masalah. Aku sama sekali tidak memulai.”
Air mata Amora terus berlinang tak sanggup menahan lagi. Dia segera menyeka air matanya. Berikutnya, dia pergi begitu saja meninggalkan pesta. Amora sudah tidak mau banyak bicara. Lebih baiknya untuk pergi menjauh.
Aiden menghempaskan kasar tangan Nalani ke udara. Kilat matannya menajam menunjukkan penuh amarah tertahan. “Aku tidak bodoh. Aku tahu apa yang sudah kau lakukan. Aku mendengar semua kata-katamu.”
Richard ingin membela Amora, tapi posisinya Aiden sudah bergerak lebih dulu. Dia mengurungkan niatnya, dan memilih untuk melihat pemandangan di mana Aiden tampak sangat marah.
“A-aku—” Lidah Nalani kelu tak bisa merangkai kata lagi.
“Aku rasa aku harus meninggalkan pesta ini. Istriku sudah pergi meninggalkan pesta. Tidak mungkin aku tetap masih berada di sini.” Aiden segera berbalik, dan melangkah pergi meninggalkan Nalani yang bergeming di tempatnya.
Amora berlari meninggalkan kerumunan pesta dengan air mata yang tak henti bercucuran. Dia menangis, mengingat kata-kata pedas yang terlontar dari bibir Nalani. Sungguh, dia tak menyangka Nalani akan mengeluarkan kata-kata seperti itu padanya. Jika dirinya dihina, maka dia akan diam saja. Hal yang membuat Amora sakit hati adalah ibunya dihina.Amora menjadi pusat perhatian para tamu undangan, berlari meninggalkan pesta dalam keadaan menangis. Wanita cantik itu mengabaikan tatapan yang tertuju padanya. Dia terus berlari, sampai tak sengaja kakinya tersangkut di karpet merah.BrakkkAmora tersungkur jatuh ke bawah, dan tangisnya kini semakin keras. Semua orang tak sama sekali membantu Amora. Para tamu undangan terus menatap Amora dengan tatapan bingung.Aiden melangkahkan kakinya tegas, menerobos kerumunan dan menatap Amora yang tersungkur di bawah sambil menangis. Detik itu juga yang dilakukan Aiden adalah menggendong tubuh Amora dengan gaya bridal—dan melangkah pergi meninggalkan kerum
Amora bangun lebih pagi dan sudah rapi dengan midi dress berwarna maroon. Rambut panjang indahnya dikuncir kuda, memperlihatkan leher jenjang dan indah milik wanita itu. Riasan tipis menyempurnakan penampilan Amora. Meski ditubuhnya tidak memakai barang-barang mahal, tapi Amora tetap sangat cantik dan anggun. Tas selempang kecil yang isinya hanya dompet dan ponsel tak lupa selalu dia bawa. Bisa dikatakan penampilan Amora memang sangat sederhana.“Selesai,” ucap Amora dengan senyuman manis di wajahnya di kala sudah memoles lip gloss ke bibirnya. Dia berbalik meninggalkan kamar, tetapi langkah kaki Amora terhenti di kala berpapasan dengan Aiden.“Kau ingin ke mana?” tanya Aiden dingin dengan sorot mata lekat pada Amora.Amora gelagapan panik mendapatkan tatapan dingin Aiden. “A-aku ingin ke toko bungaku. Sudah lama aku tidak ke sana.” “Siang ini orang tuaku akan datang ke sini. Kau jangan pergi ke mana-mana,” ucap Aiden dingin dan tegas.Amora terkejut. “Aiden, orang tuamu akan datang
Pelupuk mata Amora bergerak di kala sinar matahari menembus sela-sela gorden, dan menyentuh wajah mulusnya. Wanita itu bermaksud ingin menggerakkan tubuhnya, tetapi dia merasa ada tangan berat yang melingkar di pergelangan tangannya. Detik itu juga, ketika kesadaran Amora sudah pulih—dia menatap terkejut Aiden yang memeluk pinggangnya erat.Amora terkejut. “Aaaaaaaa…”Suara teriakan Amora berhasil membuat Aiden membuka mata. Pria tampan itu mengumpat seraya menyentuh telinganya di kala mendengar suara teriakan. Tampak tatapan Aiden terhunus tajam dan dingin pada Amora.“Apa kau sudah gila?! Kenapa kau berteriak di pagi hari?” seru Aiden, dengan penuh rasa kesal. Tidurnya menjadi terganggu akibat jeritan Amora.Amora menelan salivanya susah payah. Tatapannya teralih pada bantal pembatasnya sudah terjatuh di lantai. Entah siapa yang memindahkan bantal itu. Yang pasti sekarang Amora menjadi panik. Benaknya memikirkan sepanjang malam Aiden tidur sambil memeluk pinggangnya.“A-Aiden, b-ban
Amora merasa kesialan datang menghampirinya. Dia yang berniat ingin mengunjungi toko bunga miliknya, malah dipaksa harus ikut dengan Aiden ke kantor pria itu. Sungguh, Amora ingin sekali menolak, tapi ada kedua mertuanya yang membuat Amora benar-benar tidak bisa berkutik sama sekali.Saat ini Amora sedang berada di mobil Aiden. Wanita cantik itu menoleh ke luar jendela, menatap cuaca di kota Manhattan yang sangat cerah. Sejak tadi Aiden mengemudikan mobil, tanpa sedikit pun meliriknya. Keheningan di dalam mobil membentang membuat suasana tercipta menjadi canggung dan tak nyaman.“A-Aiden, apa tidak apa-apa kau membawaku ke kantormu? Aku takut menyusahkanmu,” ucap Amora pelan seraya memberanikan diri menatap Aiden yang sedang mengemudikan mobil.Aiden menatap lurus ke depan, fokus melajukan mobil tanpa mau menoleh ke arah Amora. “Kau tidak dengar apa yang dikatakan orang tuaku?”Amora menggigit bibir bawahnya pelan. “I-iya, aku ingat, tapi aku hanya takut menyusahkanmu. Kau bilang hari
Amora melangkahkan kakinya gontai keluar dari ruang kerja Aiden. Dia memijat kepalanya di kala merasa kepalanya berputar-putar. Matanya sayu tidak sanggup untuk membuka mata. Pun Amora tak bisa melihat dengan benar ke sekelilingnya akibat dirinya yang tak bisa mengendalikan diri.“Nyonya?” Colby terkejut melihat istri tuannya, keluar dari ruang kerja dalam keadaan seperti orang yang sedang mabuk. Detik itu juga, buru-buru, Colby menangkap tubuh Amora yang nyaris tumbang. Tampak jelas kepanikan di wajah Colby.“Nyonya, kenapa Anda bisa mabuk?” tanya Colby panik seraya menatap Amora dengan tatapan yang panik. Dia mendapatkan perintah untuk menjaga istri dari tuannya. Namun sekarang sepertinya malapetaka akan datang ke hidupnya. Mata Amora sayu menatap Colby. “Aku tidak mabuk. Di mana Aiden? Aku ingin memberikan perhitungan pada pria berengsek itu.”Alkohol telah menguasai seluruh tubuh Amora sampai-sampai, dia berani mengatakan hal demikian. Jika kesadaran pulih, mana mungkin Amora be
Pelupuk mata Amora mulai bergerak-gerak, menandakan bahwa kesadaran wanita itu akan segera pulih. Perlahan Amora memijat keningnya di kala merasakan kepalanya pusing. Wanita itu merintih di kala merasa kepalanya seperti ingin pecah.Beberapa detik, Amora memejamkan mata sambil memijat keningnya. Tatapannya perlahan mulai mengendar ke sekitar—menatap dirinya berada di kamar hotel. Raut wajahnya menunjukkan jelas keterkejutan.Tiba-tiba sesuatu hal muncul di dalam benak Amora. Sontak mata Amora terbelalak terkejut. Ya, dia mengingat jelas dirinya berada di kantor Aiden. Dia minum sesuatu di lemari minuman Aiden—yang ada di ruang kerja pria itu. Namun, kenapa tiba-tiba dia tidak sadarkan diri dan terbangun di sebuah kamar hotel? Ada apa dengannya? Jutaan pertanyaan muncul di kepala Amora.Napas Amora sedikit memburu akibat rasa paniknya yang mulai menyerang. Pikiran-pikiran buruk bermunculan di otaknya. Buru-buru, dia mengintip tubuhnya yang terbalut selimut tebal—dan ternyata aman. Tubu
Mina menyiapkan banyak sekali makanan untuk putra dan menantunya. Dia sengaja memasak, agar nafsu makan putra dan menantunya bertambah. Pun tentu ada pelayan yang siap sedia membantunya. Namun, dalam mengolah makanan adalah tugas Mina. Pelayan hanya membantu saja.“Sayang, ayo makan yang banyak. Semua menu makanan di sini Mommy yang buat khusus untukmu dan Aiden,” ucap Mina seraya menatap hangat Amora.“Mom, harusnya Mommy tidak usah repot-repot. Nanti Mommy kelelahan,” jawab Amora pelan.“Sayang, tidak repot sama sekali.” Mina meletakan kepiting kupas yang sudah dia olah ke piring Amora. “Ayo kau harus banyak makan.”Amora tersenyum lembut. “Terima kasih, Mom.”“Aiden, malam ini Dad dan Mom akan pergi ke Melbourne. Kami memiliki undangan ke sana,” ucap Drew memberi tahu anaknya.Aiden mengangguk samar. “Jam berapa kau berangkat?”“Jam sebelas nanti.”“Kenapa kau mengatur pesawat di malam hari?” “Tadi siang Dad ada urusan.”Aiden kembali mengangguk. “Take care.”Mina menatap Amora. “
“Nyonya Amora?” Enola, karyawan toko bunga Amora, berlari di kala melihat Amora menjadi korban tabrak lari. Posisi Enola berdiri di depan toko, sedang merapikan bunga-bunga. Tampak seketika dia terkejut melihat Amora yang terjatuh di trotoar. Orang yang menabrak Amora bahkan sudah melarikan diri.“Nyonya, apa Anda ingin saya antar ke rumah sakit?” tanya Enola khawatir seraya membantu Amora bangkit berdiri. Dia memapah Amora, menuju toko bunga.“Tidak usah, Enola. Obati saja kakiku dengan obat P3k yang ada di toko. Luka di kakiku tidak parah,” jawab Amora pelan seraya menahan rintihan sakit di kakinya. Dia beruntung masih bisa selamat. Entah bagaimana nasibnya, jika dia ditabrak hingga mental.Enola membantu Amora untuk duduk di kursi. “Baiklah, tunggu sebentar, Nyonya. Saya akan ambilkan kotak p3k dulu.”Amora mengangguk merespon ucapan Enola. Detik selanjutnya, Enola mengambil kotak p3k, dan mulai mengobati luka di kaki Amora dengan perlahan dan hati-hati.“Aw—” rintih Amora kesakita