Share

Bab 3

Melihat Zayyan yang tanpa ekspresi itu, membuat Rafi tidak dapat menebak isi hati anak laki-lakinya itu.

"Zayyan, bagaimana pendapatmu? Kamu tidak apa-apa kan, jika pernikahan dibatalkan?" Rafi bertanya dengan hati-hati, terlebih setelah melihat kode dari Anita yang duduk di samping Zayyan.

Setelah beberapa saat menampilkan raut wajah tanpa ekspresi, kini Zayyan mengangkat salah satu sudut bibirnya. Bergantian melihat ke arah kedua orang tuanya yang sepertinya tengah mengkhawatirkannya.

"Tidak apa-apa, Pah. Saya tidak masalah jika pernikahan dibatalkan," ucap Zayyan santai, lalu tersenyum, seakan-akan apa yang ia dengar tadi bukan hal yang menyakitkan.

Mendengar jawaban Zayyan yang tidak terduga itu, membuat Anita merasa bingung. Bagaimana bisa Zayyan terlihat santai menanggapi hal ini? Bukankah beberapa hari yang lalu sebelum Zayyan ke luar kota, ia sempat bertemu dengan Tata? Anita pikir, saat itu Zayyan sudah mulai membuka hati untuk Tata, hingga mau menghabiskan waktu seharian dengan perempuan itu sebelum tugas penyuluhan kesehatan di luar kota. Lalu sekarang, kenapa Zayyan bisa bersikap biasa-biasa saja, seakan pembatalan pernikahan bukanlah hal yang berat? Apakah saat ini Zayyan hanya sedang berpura-pura baik-baik saja?

"Kamu beneran tidak apa-apa, Zayyan?" tanya Anita, sembari memegang lengan anak pertamanya itu.

Zayyan menoleh ke ibunya, seraya tersenyum tipis. "Ya, tidak apa-apa, Mah. Memangnya saya harus bagaimana?"

"Kalau kamu sedih, luapkan saja, Zayyan," tutur Anita.

Dokter muda itu justru tertawa kecil. "Untuk apa saya sedih sih, Mah? Kalau memang batal, ya berarti tidak jodoh kan?"

"Tapi kamu kayak syok tadi," timpal Anita.

"Bukan syok, Mah, saya kaget, dan sedang mencerna maksud papah. Saya kalau kaget kan memang suka diam saja seperti tadi," aku Zayyan.

Meski masih merasa heran, tapi kini Anita bisa bernapas lega. Setidaknya Zayyan tidak terlihat menyedihkan.

"Papa bangga sama kamu yang bisa menyikapi hal ini secara dewasa," ujar Rafi. Sebenarnya, dari awal ia sudah menduga bahwa Zayyan tidak akan kenapa-kenapa saat mendengar kenyataan tentang batalnya pernikahan itu. Hanya saja, wajah Zayyan yang tanpa ekspresi tadi, membuatnya sedikit cemas.

"Saya kan memang sudah dewasa, Pah, bukan lagi anak kecil yang tantrum kalau pesta ulang tahunnya dibatalkan," ucap Zayyan.

=====

"Nenek mau pulang," ucap Asih pada Zayyan. Keduanya kini tengah berada di dekat kolam ikan di samping rumah.

"Pulang? Ini kan rumah nenek juga," balas Zayyan.

"Pulang ke rumah nenek yang asli, Zayyan. Kamu antarkan ya," pinta Asih.

"Bukannya Nenek baru sebentar di sini ya? Biasanya kan lama di sini."

Asih menghela napas. "Begini, Zayyan, nenek merasa sedih sama pernikahan kamu yang dibatalkan. Meskipun nenek tidak suka dengan Tata, mantan calon istrimu itu, tetap saja nenek sedih karena cucu nenek tidak jadi menikah. Maka dari itu, nenek ingin menenangkan diri dulu di rumah sana yang dekat dengan makam kakekmu."

Zayyan menaruh pakan ikan yang sedari tadi dipegangnya di dekat kolam, lalu beranjak duduk di sebelah sang nenek.

"Tidak usah dipikirkan, Nek. Saya baik-baik saja kok. Lagi pula, dari awal rencana pernikahan itu kan bukan saya yang mencanangkan. Saya hanya mengikuti alur yang dibuat oleh papah," ujar Zayyan.

"Jadi, sebenarnya kamu terpaksa menerima perjodohan itu?" Fakta ini baru diketahui Asih, karena baru sekarang sang cucu bicara jujur mengenai hal ini.

Zayyan mengangguk. "Iya, Nek. Sebagai bentuk rasa hormat saya kepada papah, saya terima perjodohan itu."

Ada rasa nyeri di hati Asih saat mendengar pengakuan Zayyan. Cucunya ini begitu menghormati orang tuanya sehingga tidak kuasa menolak perjodohan yang sebenarnya tidak diinginkannya itu. Netra Asih mengeluarkan air mata, tak kuat menahan rasa haru yang bercampur sedih itu.

"Kamu benar-benar anak yang baik, dan berbakti, Zayyan. Nenek bangga punya cucu seperti kamu," tutur Asih.

"Jangan memuji saya, Nek. Saya tidak sebaik itu kok." Zayyan tersenyum. "Jangan nangis dong."

"Ah, nenek tidak nangis kok." Asih mengusap air matanya. "Ayo, antarkan nenek pulang ke rumah nenek."

=====

Di dalam mobil, Asih masih terpikirkan bagaimana berbaktinya Zayyan kepada Rafi dengan terpaksa menerima perjodohan hingga pada rencana pernikahan yang pada akhirnya batal itu.

Sementara Zayyan, saat ini justru ia tampak bahagia. Entah apa yang membuatnya terlihat berbinar itu.

"Zayyan, setelah ini kamu tidak boleh trauma sama yang namanya pernikahan," ujar Asih yang saat ini duduk di kursi penumpang di samping Zayyan yang sedang mengemudi.

Cucu laki-laki Asih itu pun menoleh sebentar pada sang nenek. "Trauma bagaimana, Nek? Hanya karena saya, dan Tata tidak jadi menikah, lalu saya trauma begitu?" Zayyan terkekeh. "Saya tidak selemah itu kok, Nek, tenang saja."

"Iya, nenek tau kamu ini laki-laki yang kuat, tapi jika nanti kamu memang sudah menemukan gadis yang cocok jadi istri kamu, menikahlah. Jangan takut kalau dia akan meninggalkanmu sebelum pernikahan, seperti yang dilakukan Tata," pesan Asih. "Kamu ini laki-laki yang baik, Zayyan, nenek yakin kamu pasti akan berjodoh dengan perempuan yang baik juga. Seperti firman Alloh dalam Al Qur'an Surat An-Nur ayat 26.

A'udzubillahi minasysyaithonir rojiim. Bismillahirrohmaanirrohiim.

Alkhobitsaatu lilkhobiitsiina, wal khobiitsuna lil khobiitsaat. Waththoyyibaatu liththoyyibiina, waththoyyibuuna liththoyyibaat.

Yang artinya, perempuan yang buruk untuk laki-laki yang buruk, laki-laki yang buruk untuk perempuan yang buruk. Perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik." Asih menuturkan secara panjang.

"Iya, Nek, saya tahu ayat itu. Sewaktu mengaji tafsir dengan ustadz Zaki, beliau juga memaparkan demikian," ucap Zayyan.

"Nenek yakin, kamu ini laki-laki yang baik, Zayyan. Insya Alloh, jodoh kamu nanti itu perempuan yang baik juga. Mungkin Tata itu bukan perempuan yang baik, makanya tidak berjodoh dengan kamu," lanjut Asih.

"Jangan menduga bahwa Tata bukan perempuan yang baik, Nek. Kita tidak boleh su'udzon kan terhadap sesama manusia? Mungkin lebih tepatnya, kehidupan saya, dan Tata nantinya akan jauh lebih baik jika kita tidak bersama," tukas Zayyan.

=====

Zayyan memasuki halaman rumah sang nenek yang cukup luas, lalu memarkirkan kendaraannya itu di dekat pohon besar.

Halaman rumah sang nenek ini masih tanah, sehingga akan becek jika hujan deras. Namun, ada sedikit rumput jepang yang tumbuh di sekitar teras rumah. Dulu ayahnya Zayyan ingin mem-paving halaman rumah itu, tapi sang nenek menolaknya.

Melihat rumah sang nenek, membuat Zayyan teringat akan masa kecilnya dulu yang sering menghabiskan waktu di sini. Rumah khas pedesaan yang masih terlihat asri seperti dulu meski sudah banyak yang berubah karena direnovasi.

Di teras rumah itu terlihat beberapa anak kecil yang sedang bermain di sana. Mereka adalah anak-anak dari tetangga Asih.

"Banyak anak-anak main di sini ya, Nek. Persis seperti jaman saya masih kecil dulu," ucap Zayyan yang kini tengah berjalan beriringan dengan Asih menuju ke rumah.

"Iya, mereka memang suka main di sini, dan nenek senang saja. Kalau rumah kita disukai anak-anak kecil, bisa jadi karena rumah kita memancarkan aura positif kan?" balas sang nenek yang diangguki oleh Zayyan.

Begitu tiba di teras rumah, Asih langsung masuk. Sementara Zayyan masih memperhatikan anak-anak kecil itu bermain. Hingga salah satu di antara anak-anak itu menyadari adanya Zayyan.

"Hai, om lihat sepertinya seru banget mainnya," sapa Zayyan pada anak-anak yang tengah bermain dengan batu-batu kecil atau disebut kerikil. Zayyan ingat dulu sewaktu kecil juga bermain permainan seperti ini.

"Iya, Ooom ...," jawab mereka secara serempak.

Zayyan tersenyum senang. Tangan kanannya merogoh saku celananya, lalu mengambil tiga buah cokelat batang. Sayangnya di sakunya hanya ada tiga cokelat, sementara mereka berjumlah lima anak.

"Ini untuk kalian, tapi cuma ada tiga. Dimakan bareng-bareng saja ya, biar semua kebagian." Zayyan menyodorkan cokelat batang itu pada anak-anak yang langsung disambut secara antusias oleh mereka.

"Wah! Makasih, Om," ucap anak-anak secara serempak.

Zayyan membalasnya dengan senyuman, dan mengacungkan jempol tangannya. Kemudian ia masuk ke rumah sang nenek.

"Ya Alloh, ada ponakan gantengku datang," ucap seorang wanita paruh baya di dalam rumah, begitu melihat kehadiran Zayyan.

Wanita itu bernama Ratih. Ia adalah adik dari Rafi. Zayyan memanggilnya 'bulik'.

"Assalamualaikum, Bulik," sapa Zayyan, seraya menghampiri buliknya itu. Ia pun menyalami, dan mencium tangan sang bulik.

"Wa'alaikumsalam, Cah bagus. Sudah lama kamu tidak ke sini, tidak kangen toh sama bulik?" balas Ratih.

"Hehe, saya kangen kok bulik, cuma akhir-akhir ini saya cukup sibuk di rumah sakit," kata Zayyan.

"Iya, bulik maklumi, kamu kan dokter, mana mungkin tidak sibuk kan? Oh ya, duduk dulu ya, bulik buatkan minuman."

"Tidak perlu repot-repot, Bulik. Saya bukan tamu penting kok," tolak Zayyan. "Oh ya, Hamam, dan Hamim mana, Bulik?"

"Ooh, mereka lagi main di belakang. Mau ketemu sama mereka?" Zayyan pun mengangguk. "Bulik panggilkan dulu ya. Kamu kalau haus, ambil sendiri ya, jangan sungkan. Ini rumah nenek yang berarti rumahmu juga.

Zayyan mengangguk sambil tersenyum, lalu duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu. Tatanan ruang tamu itu belum banyak yang berubah semenjak terakhir kali ia berkunjung ke sini pada saat hari raya idul Fitri, yang berarti hampir satu tahun yang lalu. Pantas saja sang bulik bilang bahwa Zayyan sudah lama tak ke sini, ia baru menyadari.

Mengingat tentang Ratih, tantenya itu memang selalu baik kepadanya. Zayyan merasa senang mempunyai sosok bulik seperti Ratih, meskipun nasib Ratih tidak seberuntung ayahnya.

Jika Rafi, ayah Zayyan adalah seorang pengusaha yang bisa dikatakan sukses, dan kaya, maka lain halnya dengan Ratih yang hanya orang biasa. Ratih adalah janda dengan tiga orang anak. Anak pertamanya seorang gadis yang saat ini berusia dua puluh tahun, dan anak kedua, dan ketiganya kembar laki-laki, yang disebut oleh Zayyan tadi, yaitu Hamam, dan Hamim. Sejak suaminya meninggal, Ratih, dan anak-anaknya tinggal di rumah sang ibu, yaitu Asih.

Saat Zayyan sedang asyik mengamati ruang tamu, tiba-tiba terdengar teriakan dari depan rumah.

"Woy! Jangan pada main di sini, bikin kotor aja! Ini baru dipel tadi pagi. Pergi sana!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status