Share

Bab 4

Mendengar teriakkan itu, Zayyan pun sontak bangun dari duduknya, untuk melihat suasana di luar rumah.

Ketika berdiri di tengah pintu, Zayyan melihat seorang gadis berjilbab yang kini tengah memarahi anak-anak kecil yang bermain di teras rumah, sembari bertolak pinggang.

"Udah dibilangin jangan bikin kotor teras rumah!" Gadis itu masih mengomel, karena melihat anak-anak kecil itu tidak hanya bermain dengan kerikil di teras, tetapi juga dengan tanah, dan daun-daunan yang sengaja dipetik untuk bermain masak-masakan.

Bukannya takut dengan kegarangan gadis itu, anak-anak justru meledeknya.

"Kak Hilya pelit amat sih, kita cuma mau main di sini. Lagian, nenek Asih juga bolehin kita main di sini kok," protes salah satu anak kecil perempuan yang rambutnya dikepang.

"Bukannya pelit, tapi kalian tuh bisanya cuma bikin kotor aja, udah gitu habis main nggak pernah diberesin, lagi! Aku tau, yang selalu buang-buangin sisa mainan kalian itu. Dikira nggak capek apa? Pergi sana kalian!"

"Huuu!" Anak-anak menyoraki gadis yang dipanggil Hilya itu, tapi tak urung pergi juga seperti yang diperintahkan tadi.

Merasa kesal karena diabaikan perintahnya, dan anak-anak tidak merasa takut dengannya, Hilya pun mengambil sebuah sapu lidi yang ada didekatnya, guna untuk mengusir anak-anak kecil itu.

"Ayo pergi nggak? Atau mau disabet nih?" ancam Hilya sembari mengayunkan sapu lidi di tangannya, sehingga membuat anak-anak ketakutan.

"Ampun, Kak," ucap para anak kecil itu.

"Beresin mainannya cepetan!" perintah Hilya dengan masih mengayunkan sapu lidi.

Anak-anak kecil itu pun sontak bergegas membereskan mainan mereka dengan dipenuhi rasa takut.

Zayyan yang sedari tadi hanya memperhatikan, kini menghampiri Hilya yang masih menunggu anak-anak membereskan mainannya.

"Jangan galak-galak sama anak kecil," tegur Zayyan.

Hilya yang sedari tadi tidak menyadari adanya Zayyan pun sontak berjingkat kaget. Ia menoleh ke sumber suara, dan langsung membulatkan matanya begitu melihat siapa yang ada di hadapannya sekarang.

"Mas Zayyan?" kata Hilya. Ia lalu membatin, sejak kapan sepupunya ini ada di sini? Hilya lalu teringat dengan mobil yang terparkir di dekat pohon besar itu. Tadinya ia kira mobil itu bukan milik Zayyan.

"Kamu juga pernah jadi anak kecil seusia mereka. Pernah mainan seperti mereka juga, dan mungkin saja kamu dulu sering mengotori halaman rumah orang," ucap Zayyan.

"Dih, sotoy! Kalau pun iya, seenggaknya dulu aku kalau habis main, pasti selalu diberesin," sangkal Hilya.

"Tapi kamu juga jangan mudah marahin anak-anak kecil seperti tadi, apalagi sampai mengancam dengan kekerasan. Kalau teras kotor kan bisa dibersihkan," balas Zayyan.

Hilya mencebik. "Dikira siapa yang selalu beresin mainan anak-anak ini? Aku tau! Belum lagi tadi pagi habis aku pel, ini malah udah kotor lagi gara-gara pada mainan tanah dibawa ke sini."

Zayyan geleng-geleng kepala. Anak gadis buliknya itu masih saja emosional, apalagi hanya karena hal sepele seperti ini.

"Tuh, anak-anak pada pergi gara-gara takut sama kamu." Zayyan menunjuk dengan kepalanya ke arah anak-anak kecil yang berhamburan meninggalkan halaman rumah sang nenek. "Galak kayak monster sih."

"Siapa yang kayak monster? Aku gitu?" Hilya menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya, yang kemudian diangguki oleh Zayyan. "Dih, situ nggak ngaca apa? Situ kali yang kayak monster."

"Mana ada monster setampan saya," ucap Zayyan dengan rasa percaya dirinya.

Hilya mencibir. "Dih, pede banget jadi orang!"

"Harus pede-lah! Kan saya memang tampan. Tidak seperti kamu yang kayak monster galak, makanya tidak punya pacar," kata Zayyan.

Hilya melotot. Ia juga heran, kenapa kakak sepupunya itu tahu bahwa ia tidak punya pacar.

"Sok tau!" ketus Hilya. Merasa kesal dengan ucapan Zayyan, Hilya berniat untuk kembali ke belakang melewati halaman samping rumah seperti tadi. Ia tidak mau menghabiskan waktu, dan tenaganya untuk berdebat dengan sepupunya yang menyebalkan itu. Namun, sebelum pergi, Hilya kembali berkata pada Zayyan. "Aku do'ain semoga Mas Zayyan batal nikah." Kemudian Hilya melenggang pergi.

"Memang sudah batal kok," balas Zayyan yang masih bisa didengar oleh Hilya.

=====

Setelah cukup lama berada di rumah sang nenek, dan menghabiskan waktu dengan mengobrol dengan Ratih, serta bermain dengan Hamam, dan Hamim, Zayyan diharuskan untuk ikut makan siang bersama.

Ia duduk di meja makan sembari bercanda ria dengan Hamam, dan Hamim, menunggu sampai semua makanan siap dihidangkan.

Zayyan memperhatikan Hilya yang tengah membawa dua piring berisi lauk pauk dari dapur, sampai gadis itu menaruhnya di meja makan. Tentu saja dengan raut wajah gadis itu yang masih tidak bersahabat seperti tadi.

Gerak-gerik Hilya tak luput dari pengawasan Zayyan. Mulai dari menyiapkan makanan, mengambil piring, dan gelas, hingga saat Hilya berdebat dengan Ratih karena menggoreng tempe sampai gosong. Kebetulan antara dapur, dan ruang makan hanya dibatasi kaca tembus pandang, sehingga Zayyan bisa melihat dengan jelas.

"Mas Zayyan dari tadi liatin mbak Hilya terus. Naksir ya?" goda Hamam setengah berbisik, hingga yang dapat mendengar hanya yang berada di sekitar meja makan.

"Wah, iya lagi," sahut Hamim.

Kedua adik kembar identik Hilya yang masih duduk di kelas enam SD itu semakin senang menggoda Zayyan, hingga Zayyan tampak salah tingkah.

"Eh? Mana mungkin mas naksir sama mak lampir seperti mbak kalian itu," balas Zayyan.

Kebetulan saat itu Hilya sedang berjalan menuju meja makan, dan sempat mendengar ucapan Zayyan.

"Siapa yang kayak mak lampir?!" tanya Hilya dengan wajah garangnya.

"Kata mas Zayyan, kamu kayak mak lampir, Mbak," celetuk Hamam, yang disambut tawa oleh kembarannya.

Zayyan menahan tawa, terlebih saat ini Hilya tengah melototinya dengan lebih garang dari tadi. Gadis itu jelas tidak berani memarahinya karena pasti akan dimarahi balik oleh Ratih.

"Ada apa ini, kok nenek lihat seru banget?" tanya Asih yang baru saja datang ke ruang makan. Hal itu membuat Hilya kembali melipir ke dapur. "Kalian pasti seneng ya, mas Zayyan main ke sini, Mam, Mim?"

"Iya, Nek, jelas kita seneng dong. Apalagi mas Zayyan baik, terus bawain kita mainan, lagi," balas Hamim.

"Terus, kita juga dikasih uang sama mas Zayyan," timpal Hamam. "Nggak kayak mbak Hilya yang bisanya cuma marah-marah nggak jelas."

"Dih, baru disogok uang sama mainan aja udah muji-muji," cibir Hilya dengan suara lirih, seraya memindahkan sup dari panci ke mangkuk besar.

"Hil, bawa sini supnya cepetan!" perintah Ratih yang hendak bergabung di meja makan.

"Iya, Hil, cepat, ini masmu sudah kelaparan lho," timpal sang nenek, membuat Hilya justru semakin geram pada sosok yang sedari tadi dipuja-puja oleh semua orang di sini kecuali dirinya.

Hilya menaruh mangkuk besar berisi sup itu di meja makan, lalu ikut bergabung duduk di sana. Semua persiapan makan sudah lengkap, sekarang tinggal menikmatinya. Namun, karena sekarang ada makhluk menyebalkan yang kebetulan duduk di hadapannya itu, membuat Hilya tidak yakin apakah kali ini bisa makan dengan enak atau tidak.

Melihat wajah Hilya yang cemberut, Zayyan justru menyeringai.

=====

Rafi pulang dari kantornya dengan keadaan gelisah. Saham di perusahaan turun hampir sepuluh persen karena berita batalnya pernikahan Zayyan sudah sampai di telinga para pemegang saham. Banyak para pemegang saham yang menjual saham perusahaan dengan cukup besar. Meskipun Zayyan lebih aktif menjadi dokter di rumah sakit, tetapi para pemegang saham di perusahaan Rafi rata-rata pasti mengenal siapa Zayyan. Selain itu, Zayyan juga kerap kali ikut rapat para pemegang saham, dan ikut menyumbangkan aspirasinya untuk kemajuan perusahaan.

Jika saham perusahaan Rafi terus turun, maka akan berdampak pada beberapa hal, seperti turunnya nilai pasar, terganggunya keuangan perusahaan, serta persepsi buruk para investor, dan pemegang saham potensial. Rafi tidak mau itu semua sampai terjadi, oleh karena itu ia harus memikirkan cara agar keadaan bisa kembali seperti semula.

Melihat sang suami yang terus mondar-mandir sedari pulang kerja, Anita pun merasa bingung. Ia menghampiri sang suami untuk menanyakan apa yang tengah mengganggu pikirannya itu.

"Ada apa sih, Pah, kok kayak cemas gitu?"

"Mah, saham perusahaan turun. Para pemegang saham sudah dengar tentang batalnya pernikahan Zayyan," ungkap Rafi.

Anita tidak terlalu terkejut. Hal ini sudah ia duga sebelumnya. "Ini kan sudah diprediksi, Pah, semenjak Papah memutuskan agar pernikahan Zayyan dibatalkan. Kenapa sekarang malah cemas?"

"Memang, Mah, tapi kita tetap harus mencari solusinya kan, supaya saham kembali stabil," balas Rafi.

"Salah satu solusinya ya, coba Papah komunikasikan hal ini pada para pemegang saham. Bukankah Papah sudah biasa melobi mereka?" tutur Anita.

"Mereka menjual saham salah satunya karena mulai memudarnya kepercayaan mereka pada Zayyan, Mah. Batalnya pernikahan itu, membuat para pemegang saham berpikir bahwa Zayyan lah penyebabnya, dan juga berbagai asumsi lainnya yang memojokkan Zayyan."

Perusahaan Rafi bergerak di bidang teknologi dengan difokuskan pada perangkat lunak (software). Di antara perangkat lunak yang diproduksi oleh perusahaan Rafi di antaranya seperti, aplikasi produktivitas, sistem operasi, dan aplikasi pengembangan bisnis. Dan Zayyan termasuk salah satu otak dalam berkembangnya perangkat lunak tersebut. Maka dari itu, tidak heran jika saham perusahaan turun hanya karena berita pernikahan Zayyan yang dibatalkan, karena secara tidak langsung, Zayyan juga berkontribusi untuk perusahaan meskipun tidak secara aktif.

"Kalau mau melobi para pemegang saham, setidaknya kita harus meyakinkan mereka bahwa pernikahan Zayyan akan tetap terlaksana," lanjut Rafi.

"Ya terus bagaimana caranya? Papah mau menarik keputusan Papah untuk tetap menikahkan Zayyan, dan Tata dengan cara menyuruh orang-orang Papah untuk menjemput Tata secara paksa, begitu?" tanya Anita.

"Tidak. Bukan dengan Tata Zayyan akan menikah. Seperti kata Papah kemarin, cari pengantin pengganti untuk Zayyan," jawab Rafi.

"Perempuan mana yang mau jadi pengantin pengganti? Kalau pun ada, palingan juga tidak tulus," kata Anita. "Memangnya Papah mau punya menantu yang tidak tulus? Dan jangan lupakan juga perkataan ibu kemarin supaya kita membiarkan Zayyan mencari sendiri calon istrinya."

Di tengah pembicaraan suami istri itu, pintu rumah tiba-tiba terbuka disertai dengan ucapan salam. Setelahnya, terlihatlah Zayyan yang baru pulang dari rumah sang nenek.

"Ada apa nih? Sepertinya Mama sama Papa sedang membicarakan hal yang serius." Zayyan menebak dari raut wajah kedua orang tuanya.

"Kamu pasti sudah tahu kan kalau saham perusahaan turun?" tanya Rafi.

Zayyan mengangguk. "Lantas?"

"Untuk menstabilkan saham, kita perlu meyakinkan para pemegang saham, Zayyan. Salah satu caranya adalah dengan tetap dilaksanakannya pernikahan kamu, agar kepercayaan mereka kepada kita bisa kembali," ujar Rafi. "Menikahlah dengan Siska, Zayyan. Dia sekretaris papah, dan dia perempuan baik."

"Kok jadi Siska, Pah?" tanya Anita dengan heran. Sedari tadi suaminya itu tidak menyinggung soal Siska.

"Ya, hanya dia kandidat yang ada di pikiran papah sekarang, Mah," jawab Rafi. "Bagaimana, Zayyan, apakah kamu mau menikah dengan Siska?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status