Hilya cukup terkejut dengan kehadiran Zayyan. Selama bekerja di sini, baru kali ini kakak sepupunya itu datang ke tempat kerjanya.
"Memang kenapa? Tidak boleh ya, mengunjungi tempat kerja adik sepupu?" Zayyan justru balik bertanya, membuat Hilya kesal."Nggak boleh! Mending pergi aja sana, daripada di sini bikin aku kesel. Pagi-pagi udah bikin orang darting aja!" omel Hilya. Pagi hari yang tadinya indah karena melihat laki-laki pujaannya lewat, kini rusak gara-gara kehadiran satu makhluk yang menjadi keponakan kesayangan ibunya itu.Zayyan mengernyitkan dahi. "Darting? Apa itu darting?"Yang ditanyai justru memutar bola matanya. "Darah tinggi! Masa seorang dokter nggak ngerti darting?""Ya kamu pakai disingkat singkat, saya kan tidak paham istilah singkatan bocil seperti kamu," balas Zayyan."Aku udah bukan bocil lagi ya, Mas. Jangan panggil aku bocil!" ketus Hilya."Masa? Orang badan kamu aja kecil kurus gitu. Rata lagi." Zayyan memindai tubuh Hilya dari atas ke bawah, ke atas lagi, dan terakhir berhenti pada bagian dada Hilya.Sontak Hilya melotot, dan menyilangkan kedua tangannya ke dada, meski sudah tertutup oleh hijab instan yang dipakainya. "Jangan jelalatan ya tuh mata!""Halah! Saya tidak tertarik sama bocil kurus tidak berisi seperti kamu," ejek Zayyan."Heh! Dibilangin jangan panggil bocil! Lagian ya, kok bisa-bisanya , bude Anita yang baik hati, dan solehah, punya anak nyebelin kayak mas Zayyan? Aneh banget," balas Hilya."Ya bisalah. Kalau anaknya kamu, malah lebih aneh." Zayyan tidak mau kalah.Hilya kembali memutar mata. "Udah deh, mau apa sebenarnya ke sini? Kalau cuma mau bikin aku kesel, selamat, Mas Zayyan berhasil. Sekarang boleh pergi.""Saya tidak sekurang kerjaan itu datang ke sini hanya untuk membuat kamu kesal," kata Zayyan."Ya terus?""Fotokopiin ini!" Zayyan menunjukkan kartu identitasnya di depan wajah Hilya."Buat apa emangnya fotokopi KTP?" tanya Hilya penasaran. Selain itu, dalam hati, Hilya juga heran, jika hanya mau memfotokopi KTP kenapa harus ke sini? Seperti tidak ada tempat fotokopi lain saja."Kepo!" jawab Zayyan.Hilya mendengkus kesal. Jika saja tidak mengingat bahwa makhluk di depannya ini adalah anak dari pamannya yang sudah berjasa kepadanya, maka Hilya tidak akan segan-segan membuat Zayyan babak belur. Hilya cukup jago bela diri karena sewaktu SMA dulu, ia mengikuti ekstrakurikuler karate."Saya kan mau menikah, makanya fotokopi KTP, kali aja pas mau daftar ke KUA dimintai fotokopiannya," lanjut Zayyan."Bukannya batal nikah ya? Kata nenek, calonnya mas Zayyan kabur sama pacarnya," kata Hilya."Iya, memang tadinya mau dibatalkan, tapi tidak jadi. Mama saya mau mencarikan pengantin pengganti," ungkap Zayyan."Pengantin pengganti? Hahaha, emang masih ada yang mau jadi calon istrinya orang nyebelin seperti kamu, Mas? Kalau pun ada, palingan pas hari-H nanti dia kabur juga." Hilya mengejek, membuat raut wajah Zayyan berubah masam."Bocil tau apa sih?!" balas Zayyan. "Pasti ada lah yang mau jadi istri saya. Kalau benar-benar tidak ada, kamu yang akan saya seret ke depan penghulu untuk jadi istri saya.""Dih, ogah! Amit-amit deh, jadi istrinya mas Zayyan." Hilya bergidik ngeri."Sudahlah, saya sudah tidak punya waktu. Nih, cepat fotokopikan KTP saya." Zayyan menyodorkan kartu identitasnya itu ke hadapan Hilya.Hilya hanya melihat, dan tak berniat menerima itu. Ia lalu melipat kedua tangan, seraya berkata, "Di tempat lain aja, jangan di sini. Di sini nggak menerima pelanggan dari orang nyebelin seperti Mas Zayyan.""Ck! Banyak drama! Kamu mau fotokopikan atau tidak?" Zayyan mulai kesal.Gadis dua puluh tahun itu pun menggeleng. "No!"Zayyan menghela napas, lalu ikut melipat kedua tangannya. "Baiklah, kalau begitu, bagaimana kalau saya laporkan ke bos kamu? Kebetulan yang punya toko ini saya kenal. Saya bisa meminta ke bos kamu, supaya memecat kamu."Hilya melotot. Tidak hanya menyebalkan, ternyata Zayyan juga suka mengancam. "Huh! Beraninya ngancem!""Saya sih tidak akan mengancam kalau kamu terima permintaan saya. Lagi pula, job desk kamu di sini untuk melayani pelanggan kan?"Tidak mau berdebat lebih lama, Hilya memilih masuk ke dalam toko, lalu memanggil Fera untuk melayani Zayyan."Timbang motokopi doang pake manggil aku yang lagi sibuk, Hil," gerutu Fera, tapi pada akhirnya Fera pun menemui Zayyan, dan melakukan tugasnya memfotokopi kartu identitas Zayyan."Jadi berapa, Mbak?" tanya Zayyan pada Fera, setelah Fera menyerahkan hasil fotokopi."Lima ribu, Mas."Zayyan menyerahkan selembar uang seratus ribu pada Fera."Waduh, uang pas ada, Mas? Masih pagi soalnya, belum ada kembalian," kata Fera."Sudah, ambil saja. Sisanya untuk jajan kamu sama Hilya," ucap Zayyan yang membuat Fera berbinar."Terima kasih, Mas."Fera tidak habis pikir, bisa-bisanya Hilya selalu bersikap ketus pada Zayyan yang tampan, dan baik itu. Fera tahu bahwa Zayyan adalah sepupu Hilya.====="Maaf sebelumnya ya, Tih, kalau kedatanganku ke sini nantinya bikin kamu syok atau bagaimana," ucap Anita pada adik iparnya, Ratih."Lho, syok kenapa toh, Mbak? Aku malah seneng kalau Mbak Anita datang," balas Ratih."Kamu pasti sudah dengar dari ibu kan, kalau Zayyan batal menikah dengan Tata?" tanya Anita.Ratih mengangguk. "Iya, Mbak, aku sudah dengar. Mbak Anita sama mas Rafi pasti sedih ya? Aku turut prihatin ya, Mbak. Lantas, kaitan apa dengan aku syok kalau Mbak ke sini? Aku sudah syok tadi malam, Mbak, setelah diceritain ibu.""Mohon bantuan kamu ya, Tih.""Bantuan apa, Mbak?"Anita kemudian memberitahu maksud, dan tujuannya datang ke rumah ibu mertuanya, dan menemui adik iparnya itu.Pukul setengah lima sore Hilya pulang dengan mengendarai motor pemberian dari sang paman. Saat memasuki halaman rumah sang nenek yang sudah menjadi tempat tinggalnya selama beberapa tahun belakangan, Hilya heran dengan keberadaan mobil mewah yang terparkir di depan rumah.Bukan mobil yang kemarin, yang berarti bukan Zayyan yang datang. Lantas siapa? Hilya bertanya-tanya dalam hati.Setelah memarkirkan motornya, Hilya kemudian memasuki rumah. Tidak ada yang menjawab salam, karena tidak ada orang di ruang tamu. Ia lantas melangkah ke ruang tengah, dan terdengarlah suara orang yang sedang bercakap-cakap di dapur. Mendengar dari suaranya yang familiar, Hilya bisa menebak bahwa itu adalah Anita."Assalamualaikum," ucap begitu sampai di dapur.Anita, dan Ratih yang sedang memotong sayuran pun serentak menjawab salam. "Wa'alaikumsalam.""Kamu sudah pulang, Hil?" tanya Anita."Iya, Bude." Hilya menghampiri Anita, lalu menjabat, dan mencium tangannya. "Bude kapan datangnya? Kirain siapa yang datang, mobilnya beda soalnya, hehe.""Bude datang jam tiga tadi. Oh ya, memangnya di depan kamu tidak lihat pak Suryo, Hil?" balas Anita. Suryo adalah supir keluarga Rafi."Nggak ada pak Suryo, Bude, mungkin lagi melipir ke sungai lihat orang mancing. Dia kan kalau ke sini suka gitu," ujar Hilya, dan Anita mengangguk. "Oh iya, nenek kok nggak kelihatan, Bu?""Nenek lagi jenguk nek Sarni di rumah sakit, ikut rombongan warga," jawab Ratih.Hilya pun mengangguk. Ia kemudian mencomot bakwan di atas meja."Hil, ada yang mau bude bicarakan sama kamu," ucap Anita."Tentang apa, Bude?" Hilya tidak biasanya melihat raut wajah Anita yang terlalu serius seperti sekarang.Ratih memberi saran agar mereka berpindah tempat ke ruang tengah, agar lebih leluasa. Ketiga wanita itu pun kini telah duduk di depan televisi, dengan Hilya yang duduk di sebelah Anita, dan Ratih di sofa yang berbeda."Hil, kamu pasti sudah tau kan, kalau Zayyan tidak jadi menikah dengan Tata?" tanya Anita."Iya, Bude, aku udah dengar dari nenek.""Bude sedih, Hil, bude inginnya Zayyan tetap menikah. Semua persiapan pernikahan sudah hampir selesai, tapi yang terjadi justru di luar perkiraan," keluh Anita."Hilya turut prihatin, Bude," kata Hilya seraya memegang tangan Anita. Hilya memang tidak iba pada nasib Zayyan, tapi ia kasihan jika melihat Anita bersedih hati seperti sekarang. "Yang sabar ya.""Hil, kamu mau nggak, bantuin bude?" tanya Anita."Bantuin apa, Bude?" Hilya balik bertanya. Entah kenapa jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang."Kamu mau ya jadi pengantinnya Zayyan, Hil? Menikah dengan Zayyan, anak bude.""Ooh, lagi liburan." Tata manggut-manggut. "Baru sampai di sini atau gimana?" "Nggak, Kak, kami udah mau pulang. Ini lagi nunggu pesawat." "Oh, kirain baru sampai." "Kak Tata juga lagi liburan ya?" Sebenarnya Hilya sedikit malas berbasa-basi dengan mantan calon istri Zayyan ini, tapi sudah terlanjur ketemu juga."Iya, aku baru sampai sih. Di sini sebenarnya aku mau tunangan sama pacarku. Tau kalau Zayyan di sini sama kamu, mau aku undang sekalian, eh ternyata kalian mau pulang." Tata menjelaskan dengan raut wajah cerianya. Tata sudah putus dari pacar toxic-nya itu, yang membuatnya tidak jadi menikah dengan Zayyan. Kini Tata akan bertunangan dengan laki-laki yang telah dijodohkan dengannya, dan berharap tidak melalukan hal bodoh seperti dulu lagi. "Waah, mau tunangan ternyata. Selamat ya, Kak, aku ikut bahagia. Maaf nggak bisa hadir." "Iya, makasih ya. Oh ya, kamu namanya siapa? Aku cuma paham kamu istrinya Zayyan, tapi nggak tau namanya, hehe." "Aku Hilya, Kak." "Ooh Hilya. Y
Meski keadaan sudah kembali seperti semula, tapi Zayyan yakin, Hilya masih belum sepenuhnya melupakan kejadian yang hampir menimpanya di apartemen Dimas. Oleh karena itu, kini Zayyan tengah mengajak Hilya liburan di Pulau Dewata. Hitung-hitung sebagai healing, agar bayangan-bayangan menakutkan itu tak lagi berputar di kepala Hilya. Selain itu, ini juga bisa dibilang sebagai momen untuk bulan madu mereka. Sudah lima hari ini mereka berada di Bali. Setiap harinya akan mereka lewati dengan mengunjungi berbagai tempat wisata yang ada di pulau ini. Hilya selalu antusias ketika sampai di setiap tempat wisata, apalagi jika itu pantai. Melihat Hilya yang sudah kembali ceria, dan cerewet, Zayyan pun bahagia. Kebahagiaan laki-laki itu adalah melihat Hilya tersenyum bahagia, seperti saat ini. "Mas, fotoin lagi dong," pinta Hilya yang entah sudah ke berapa kalinya. Meskipun begitu, Zayyan tak pernah sekali pun menolak. "Oke." Mereka menghabiskan waktu seharian ini di pantai yang dekat dengan
Membuka matanya yang terasa berat, Hilya menyingkirkan tangan Zayyan yang melingkari perutnya. Waktu menunjukkan pukul setengah tiga pagi, dan Hilya berniat untuk mandi. Ia turun dari ranjang dengan perlahan, agar Zayyan tidak terganggu. Sore kemarin setelah meminta maaf pada Zayyan, hubungan mereka sudah kembali membaik, pun dengan yang lainnya di rumah ini. Hilya sudah kembali seperti semula yang ceria, dan cerewet. Lalu, malam hari setelah makan malam, dan membantu beres-beres di dapur, Hilya diajak Zayyan ke kamar. Zayyan menginginkan Hilya, dan mau menyalurkan rasa rindunya. Tentu saja Hilya paham, dan tidak menolak. Ia sudah berjanji untuk menjadi istri yang baik bagi Zayyan. Hilya lantas ke kamar mandi untuk melakukan mandi wajib, sesuatu yang harus dilakukan setelah selesai melakukan hubungan suami istri. Biasanya Zayyan akan langsung mengajak mandi, tapi malam tadi justru langsung ketiduran. Hilya tebak, Zayyan terlalu lelah. Usai mandi, dan berwudhu, Hilya memakai mukena
"Kalau begitu, kamu juga harus siap kehilangan pekerjaan kamu. Kamu tidak bisa lagi praktik di rumah sakit saya." Bambang mengancam. Biar bagaimanapun, Dimas adalah anaknya. Sememalukan apa perbuatan anak itu, Bambang akan berusaha menyelamatkannya, meski harus menanggung malu di depan Rafi, dan Zayyan, yang selama ini bermitra bersamanya. Zayyan mengepalkan tangan sembari menatap tajam laki-laki paruh baya seumuran ayahnya tersebut. "Tidak masalah. Lebih baik saya tidak bekerja lagi di rumah sakit Om, daripada harus membebaskan Dimas. Semua ini demi kehormatan keluarga saya, terutama istri saya." Dipecat jadi dokter di rumah sakit yang selama ini menjadi tempat praktiknya? Itu tidak masalah bagi Zayyan. Masih banyak rumah sakit lain yang bisa ia datangi, lalu menjadi dokter di sana. Berbekal pengalaman, dan kemampuannya, Zayyan yakin, tidak sulit baginya untuk mendapatkan tempat praktik baru. Atau, jika seandainya Bambang melakukan blacklist agar Zayyan tidak bisa lagi praktik di
Zayyan memberitahu pada keluarganya bahwa Dimas sudah ditangkap polisi. Anita, dan Rafi cukup senang dengan kabar tersebut, akan tetapi, masih ada rasa sedih yang menyelimuti mereka, karena Hilya masih murung, dan belum mau keluar dari kamar. Mereka juga belum memberitahu Ratih, dan Asih tentang apa yang sudah menimpa Hilya. Jika memberitahu Ratih, mereka takut jika nantinya Ratih akan memarahi Hilya, dan justru akan semakin memperburuk keadaan Hilya. Sedangkan jika memberitahu Asih, mereka takut jika akan menjadi beban pikiran Asih, dan membuat keadaan Asih menjadi drop. Jadilah mereka masih menyembunyikan ini dari keluarga Hilya. Selain itu, juga agar berita itu tidak menyebar luas, dan malah membuat Hilya jadi malu. "Sekarang kamu tenang ya, Hil. Dosen kurang ajar itu sekarang sudah ditangkap polisi. Kamu tidak perlu takut lagi," kata Anita, saat mengunjungi Hilya di kamar. "Iya, Ma." Selama mengurung diri, dan saat dikunjungi oleh keluarganya, Hilya hanya akan menjawab singkat
"Kenapa kalian baru datang sekarang?! Dari tadi kalian ke mana saat istri saya hendak dilecehkan oleh manusia ib*is ini?!" hardik Zayyan pada beberapa security yang memisahkannya saat hendak kembali menghabisi Dimas. "Maaf atas kelalaian kami, Tuan," ucap seorang security bertubuh gempal. Zayyan berdecih. "Percuma gedung apartemen mewah ini, jika punya keamanan payah. Saya bisa laporkan kalian ke polisi atas kelalaian ini." "Sekali lagi kami minta maaf, Tuan. Kami akan mengurus tuan Dimas, dan membereskan kekacauan ini." Menatap tajam pada security itu, Zayyan hendak mengomel lagi, tapi tidak jadi karena Tobi segera menyela. "Pak, lebih baik urus Hilya dulu." Seketika Zayyan teringat tentang sang istri. Ia pun menghampiri Hilya yang saat ini tengah berjongkok, dan menenggelamkan wajahnya. Hilya tengah menangis. "Bangun, Hil. Kamu sudah aman sekarang. Ayo kita pulang," ucap Zayyan, sembari ikut jongkok, dan menyentuh lengan Hilya. Tangisan Hilya yang terdengar memilukan itu men
"Lho, kamu tidak pulang bareng Hilya, Zayyan?" tanya Anita, yang melihat anak laki-lakinya tiba di rumah sendirian, tanpa adanya sang istri. "Saya sudah bilang ke Hilya bahwa hari ini tidak bisa jemput, Ma. Memangnya Hilya belum pulang?" Zayyan justru balik bertanya. Wanita yang telah melahirkan Zayyan itu pun menggeleng. Seketika merasa cemas, takut terjadi sesuatu dengan menantu kesayangannya. "Ooh, mungkin mampir ke rumah nenek, Ma," kata Zayyan. Mungkin nanti ia bisa menjemputnya, jika Hilya benar-benar ada di sana. "Hilya ada bilang ke kamu, kalau mau mampir ke sana?" Anita bertanya lagi. "Tidak." Zayyan menggeleng. Anita menghela napas, lalu berbicara kembali pada sang anak. "Coba telfon Hilya. Pastikan dia ada di mana, Zayyan. Perasaan mama tiba-tiba jadi nggak enak ini." Suami Hilya itu pun mengangguk menuruti perintah sang ibu. Ia mendial nomor Hilya, tapi sayangnya sedang tidak aktif. Zayyan yang tadinya cukup tenang, kini berubah jadi gusar. "Tidak aktif, Ma. Apa mu
Karena besok akhir pekan, Zayyan tidak ada jadwal praktik di rumah sakit. Pun dengan Hilya yang tidak ada jadwal kuliah. Oleh karena itu, Hilya memanfaatkan kesempatan ini untuk menginap di rumah sang nenek. Hilya rindu dengan ibunya, kedua adiknya, juga neneknya. Bagaimana pun sikap ibunya selama ini padanya, tetap saja wanita itulah yang telah melahirkannya, dan Hilya tidak bisa membenci. "Kamu ngapain ikut masukin baju ke tas, Mas?" tanya Hilya heran, saat melihat Zayyan melakukan hal yang sama dengannya. "Aku mau ikut, Hil, nginep di rumah nenek," jawab Zayyan. Tadinya Hilya hanya meminta izin pada Zayyan untuk menginap di rumah sang nenek, tanpa mengajak suaminya itu. "Ngapain sih? Kalau nginep di rumah nenek, nanti Mas nggak bisa tidur lagi," kata Hilya. Masih teringat jelas di kepala Hilya, saat beberapa minggu yang lalu mereka menginap di rumah sang nenek. Waktu itu Hilya belum menganggap Zayyan sepenuhnya jadi suami, jadi Hilya tak mengizinkan Zayyan untuk tidur satu ran
"Bagaimana kuliah kamu hari ini?" tanya Zayyan. Ia sekarang tengah merebahkan tubuhnya di samping Hilya, dengan lengannya yang dijadikan bantalan untuk sang istri. Sejak keduanya berhubungan intim waktu itu, posisi seperti ini memang sering mereka lakukan, dan Hilya pun merasa tidak masalah. Yang terpenting bagi Hilya saat ini adalah Zayyan tidak menyakitinya, tidak marah-marah atau berbicara ketus padanya, seperti dulu sebelum menikah. "Lumayan asik. Aku juga punya beberapa teman baru. Aku jadi nggak kesepian di kampus," jawab Hilya. "Syukurlah kalau begitu." Zayyan turut senang, karena itu artinya Hilya tak mendapat kesulitan yang berarti saat di kampus. "Kamu boleh punya teman banyak, Hil, tapi harus tetap disaring. Berteman dengan mereka yang baik, dan tidak suka buat onar di kampus." "Iya, aku tau kok. Aku juga bukan anak kecil lagi, pasti bisa pilih-pilih temen." "Hmm ... kamu ternyata memang sudah dewasa, Hil. Padahal, rasanya baru kemarin kamu masih sering kugendong karen