Evelyn berdiri di depan sebuah gedung besar bertingkat. Gedung megah itu menjulang tinggi besar di hadapannya. Matanya berulang kali memperhatikan gedung itu dan gantian melihat kartu nama yang sedang dipegang olehnya.
Alamatnya sama persis dengan nama perusahaan yang sedang ditatap olehnya itu. Harrison Company. Itulah nama perusahaan tersebut. Sama persis dengan yang ada di kartu nama. Dengan bagian atasnya yang menyebutkan nama seseorang. Gabriel Harrison. Evelyn tidak tahu. Tapi sepertinya itu adalah nama pria yang pernah berbicara dengannya di sekolah. Posisi pria itu tertulis sebagai CEO di kartu nama tersebut. Satu hal yang masih membuatnya tidak mengerti kenapa seseorang dengan jabatan setinggi itu bisa mengenalnya. Bisa mengetahui hal-hal pribadi yang hanya diketahui olehnya. Tapi anggaplah Evelyn sudah berada di jalan buntu. Dirinya tidak tahu lagi harus pergi ke mana dan sudah merasa cukup menyusahkan beberapa orang belakangan. Terutama teman-temannya. Jadi dirinya tidak punya pilihan selain mendatangi tempat tersebut. Evelyn akhirnya memutuskan untuk memasuki perusahaan tersebut. Ada seorang petugas keamanan di bagian depan dan pria itu bertanya mengenai maksud dan tujuannya sebelum akhirnya mengarahkannya ke petugas resepsionis. "Tapi maaf, yang ingin Anda temui adalah pemilik dari perusahaan ini. Sebelumnya saya ingin bertanya apakah Anda kebetulan sudah memiliki janji dengan Pak Harrison?" Petugas resepsionis itu bertanya dengan menggunakan nama belakang Gabriel "Oh, untuk itu." Evelyn kebingungan. "Belum. Saya belum ada janji." Tentu saja dirinya tidak sebodoh itu. Untuk menemui seseorang dengan jabatan setinggi itu, tentu saja harus memiliki janji terlebih dahulu. Pria itu pastilah orang yang sangat sibuk dengan banyak jadwal. Tidak sembarangan bisa menemuinya tanpa janji temu. "Kalau begitu sangat disayangkan. Sepertinya Anda tidak bisa menemui Pak Harrison sekarang. Tapi tidak perlu khawatir, sekarang Anda bisa membuat janji terlebih dahulu, dan saya akan membuatkan jadwal khususnya supaya Anda bisa bertemu nanti dengan Pak Harrison." "Tidak! Saya harus bertemu dengan orang itu sekarang juga." Evelyn tanpa sadar sedikit berteriak. Dirinya kemudian langsung menutup mulutnya rapat sambil menoleh ke sana ke mari. Sadar bahwa itu tidak sopan. "Ah, Maaf. Saya tidak bermaksud untuk membuat keributan. Tapi pria yang barusan kau sebutkan itu, dia sendiri yang memberikan saya kartu nama ini." Evelyn memperlihatkan kartu yang dipegangnya kepada petugas resepsionis dan wanita itu langsung memperhatikan dengan lebih dekat. Bertanya apakah dia boleh menyentuhnya atau tidak dan Evelyn pun langsung memberikannya. Dia meneliti kartu nama itu dan sama persis seperti yang juga dimiliki olehnya. "Atau setidaknya mungkin kau bisa mengkonfirmasinya sekarang juga. Saya akan langsung pergi dari sini kalau dia memang tidak bisa ditemui." "Baik, kalau begitu tunggu sebentar." Petugas resepsionis itu menyerahkan kembali kartu nama kepada Evelyn dan dia langsung menghubungi seseorang lewat telepon. Evelyn menunggu tidak sampai satu menit. Wanita itu menjelaskan siapa dirinya dan apa tujuannya datang. Setelahnya Dia terlihat menganggukkan kepala kemudian menutup panggilan. "Pak Harrison bilang Anda bisa menemuinya sekarang juga," katanya dan Evelyn tanpa sadar langsung semringah mendengar hal itu. Si petugas resepsionis kemudian memanggil petugas keamanan yang berdiri di depan. Evelyn diantarkan oleh petugas keamanan atas perintah langsung dari petugas resepsionis. Keduanya pergi ke arah lift dan bergabung dengan beberapa orang yang juga ingin naik. Evelyn turun di lantai teratas mengikuti petugas yang berjalan di depannya. Mereka kemudian berhenti di depan sebuah pintu. Di depan ruangan tersebut, ada sebuah ruangan lain yang sebagian besar bagian dalamnya bisa terlihat lewat kaca. Seorang perempuan berjalan keluar dari ruangan tersebut. Seperti sudah menunggu kehadiran Evelyn. "Ibu Evelyn?" Wanita muda itu bertanya. Evelyn pun menganggukan kepalanya. "Mari ikut saya," katanya tersenyum lebar dan dia langsung mempersilahkan petugas keamanan yang datang bersama Evelyn untuk kembali bekerja. Setelahnya Evelyn diajak masuk melewati pintu yang ada di hadapan Evelyn. Ruangan di dalamnya sangat luas. Bernuansa hitam. Masuk lebih jauh, Evelyn menemukan seorang pria sedang duduk di sebuah kursi dengan meja besar di hadapannya. "Pak," panggil wanita yang datang bersama Evelyn. "Ya, terima kasih sudah mengantarnya. Kau bisa kembali bekerja." Gabriel yang duduk di balik meja memberi isyarat mengusir lewat tangan dan sekretaris pribadinya itu langsung undur diri dengan sedikit membungkukkan kepalanya. Setelah kepergian asisten pribadinya, barulah Gabriel berbicara lagi. "Sudah satu minggu berlalu sejak aku memberikan kartu namaku itu. Kupikir kau membuangnya." Gabriel berbicara. Bahasa yang digunakannya berbeda dari yang pertama kali didengar oleh Evelyn. "Maaf, saya—" "Ah, berhenti." Gabriel memberi isyarat lewat tangan agar Evelyn berhenti berbicara. "Jangan terlalu formal. Aku tidak menyukainya." Dia meneruskan ucapannya dan Evelyn hanya semakin bingung. Mata itu mengkilat menatap Evelyn dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Evelyn berbeda dari terakhir kali dilihat olehnya. Bukan apa-apa, seingat Gabriel, saat itu dirinya sama sekali tidak melihat memar di bagian sudut bibir dan dahi Evelyn. "Ah, itu, a-ku datang ke sini karena kartu nama yang kau berikan padaku hari itu." Akhirnya Evelyn mengikuti cara bicara Gabriel yang santai. "Ya, sudah tentu. Aku mengetahuinya. Jadi?" Untuk sejenak, Evelyn langsung meneliti ruangan tersebut secara keseluruhan. Ruangan itu besar sekali. Mewah. Ukurannya dua kali lipat jauh lebih besar daripada apartemen yang ditinggalinya bersama temannya. Hanya melihat hal itu saja membuat Evelyn tahu bahwa pria yang berada di seberang meja itu bisa membeli apa pun yang diinginkannya. "Aku ingin tahu bagaimana caranya kau bisa mengetahui tentang ayah dan ibuku. Aku tidak pernah memberitahu hal itu kepada siapa pun." Gabriel langsung tertawa. Dia menyandarkan tubuhnya dengan kedua kaki bertumpuk. "Oh, ayolah. Kita sudah hidup di zaman dengan teknologi sangat canggih. Bahkan kalaupun tidak menggunakannya, aku punya banyak orang untuk mencari tahu hal itu." "Ya, justru itu." Evelyn memandang Gabriel serius. "Itu maksudku. Kenapa?" Dia menunjuk dirinya sendiri. "Aku bahkan tidak mengenalmu. Aku sama sekali tidak punya urusan denganmu. Kalau kau mungkin memiliki urusan denganku, aku tidak peduli. Aku tidak mengingat entah kita pernah bersinggungan di suatu tempat atau bagaimana. Tapi yang pasti, kita tidak saling mengenal satu sama lain." "Aku juga tahu itu. Aku memang tidak mengenalmu. Baru satu minggu lalu aku mengetahui namamu. Tapi bukankah itu tidak penting? Kenapa tidak kita bicarakan saja hidupmu yang susah itu? Berapa uang yang kau butuhkan untuk membayar semua hutang ayahmu? Berapa lama lagi kau harus bekerja untuk melunasi hutang itu?" Gabriel kemudian menyipitkan mata dengan desis pelan. "Atau berapa lama lagi kau harus bersabar menghadapi ibumu yang terus datang untuk meminta uang itu?" Saat itulah Evelyn langsung terdiam. Dirinya jelas tidak perlu bertanya siapa pria itu. Semuanya sudah tergambar di hadapannya. Dia adalah seseorang yang memiliki segalanya. Bisa melakukan apa pun hanya dengan satu perintah kecil. "Kenapa aku?" Evelyn bertanya bingung. "Karena kau memiliki segala yang aku butuhkan. Begitu juga sebaliknya. Aku memiliki semua hal yang kau butuhkan. Bukankah kebetulan itu cocok sekali untuk dijadikan kesepakatan?" Wajah angkuh dengan senyum meremehkan itu membuat Evelyn muak. Tapi mau tahu apa yang jauh lebih menyedihkan daripada itu? Yaitu dirinya sendiri. Keadaannya sendiri. Dibanding wajah memuakkan itu, kehidupannya jauh lebih parah. Karena kedatangannya sekarang, karena posisinya sekarang yang berhadapan dengan pria itu malah semakin menegaskan betapa menyedihkan dirinya. "Jadi kau bisa memberiku pekerjaan?" Evelyn bertanya karena itulah yang dibicarakan oleh pria itu minggu lalu. Tentang pekerjaan yang dibutuhkan olehnya. "Ya, tentu saja." Gabriel membenarkannya. Meski Evelyn bingung setengah mati. Wanita itu sudah punya sekretaris. Dia tidak membutuhkannya. Dia juga punya asisten. Apa mungkin dirinya diminta untuk menjadi salah satu staf perusahaannya? "Jadi jenis pekerjaan apa yang harus aku lakukan? Aku tidak menerima pekerjaan kotor untuk menjadi pemuas nafsumu. Aku tidak ingin membunuh seseorang, atau melakukan hal buruk lainnya." Sontak saja hal itu langsung membuat Gabriel tertawa terbahak-bahak. Pria itu mengangkat kedua tangannya dan bertepuk tangan. "Wah, isi kepalamu liar sekali," katanya entah memuji atau menyindir. "Tapi bukan semua itu. Tenang saja. Menurutku ini bukan pekerjaan kotor." "Jadi apa?" Evelyn semakin mengerutkan dahi "Tiga minggu lalu aku ditinggalkan di hari pernikahanku oleh mempelai wanitaku. Jadi yang sekarang aku lakukan adalah mencari pengantin pengganti. Itulah yang harus kau lakukan. Menjadi pengantin pengganti untukku." Detik berikutnya Evelyn tersentak kaget sampai tidak sadar mengambil satu langkah mundur.Hari lalu Evelyn datang ke rumah Gabriel sebagai pengantin pengganti. Seseorang yang dimaksudkan sebagai alat balas dendam oleh Gabriel. Seorang boneka yang hanya mendapatkan posisi istri agar pasangan Gabriel yang sebenarnya merasa panas untuk hal itu.Tapi hari ini, hari Gabriel kembali ke rumah setelah keluar dari rumah sakit, genggaman tangan itu menunjukkan bahwa semuanya sudah berbeda.Tidak ada lagi istilah pengantin pengganti, hanya ada satu hal. Istri sah dari seorang Gabriel."Akhirnya aku bisa kembali ke sini," kata Gabriel mengembuskan napas panjang. "Suasana rumah sakit memang tidak menyenangkan."Evelyn tertawa di sampingnya sambil mengusapi tangan Gabriel yang sedang digandeng olehnya. "Kalau begitu semangat datang kembali," ucap Evelyn tersenyum lebar. Pria itu menatapnya dan balas tersenyum. Sama lebarnya.Mereka meneruskan langkah sampai tiba di bagian anak tangga teras depan. "Berhati-hatilah," pesan Evelyn dan membawa Gabriel untuk melangkah bersamanya.Pria itu me
"Bagaimana kalau kita berhenti sampai di sini saja?"Gabriel ingat, ketika Olivia meninggalkannya, Gabriel tidak merasakan apa-apa. Atau lebih tepatnya dirinya hanya merasakan kemarahan yang tidak tertahan. Sangat besar.Hanya ada keinginan balas dendam saat itu. Tidak lebih dan tidak ada hal yang lainnya.Tapi detik ini, saat Evelyn menawarkan kepada dirinya sebuah perpisahan, seakan dunia Gabriel runtuh begitu saja. Semuanya porak-poranda. Hancur berantakan. Gabriel dibuat bertanya-tanya apa memang begitu rasanya patah hati?Dadanya penuh dengan rasa sakit. Itu jauh lebih hebat daripada luka di perutnya.Gabriel tidak sanggup membayangkan kalau hari esok tidak memiliki Evelyn. Gabriel tidak sanggup kalau memikirkan tidak lagi ada perasaan bersemangat saat menunggu makan siang yang akan dibawakan oleh Evelyn."Kau bercanda, 'kan?" tanya Gabriel dengan tawa hambar."Apa aku terlihat seperti sedang bercanda?" Evelyn balik bertanya dan sialnya wajah itu terlalu serius untuk disebut seda
"Bagaimana Olivia?" Malam itu, Gabriel bertanya kepada William. Tetap tidak bisa mengabaikan gadis itu meski alasannya terbaring di rumah sakit adalah karenanya.Gabriel harus memastikannya bahwa Olivia mendapatkan hukuman yang setimpal. Gabriel harus tahu bahwa gadis itu tidak akan berani untuk mengulangi hal yang sama. Mengganggu dirinya ataupun Evelyn."Tidak bisakah kau memikirkan hal itu nanti saja? Kau belum pulih. Tidak usah memikirkan hal lain terlebih dahulu. Pikirkan saja dirimu sendiri." Evelyn menghembuskan nafas lelah.Tapi Gabriel cepat menggelengkan kepalanya dan beralih dari William pada Evelyn sepenuhnya. "Tidak! Aku harus menyelesaikannya sekarang.""Karena kau mengkhawatirkannya?""Tidak begitu!" Gabriel membuang napas gusar. "Aku perlu memastikan kalau gadis itu tidak akan mengganggumu lagi. Demi Tuhan, aku tidak bisa melihatmu dalam bahaya lagi."Evelyn terkesiap mendengar pengakuan pria itu. Sama sepertinya yang tidak bisa melihat Gabriel terluka, pria itu juga m
Setelah operasi yang dijalani oleh Gabriel, paginya Gabriel baru sadar. Hal pertama yang dilihat olehnya adalah ruangan luas dengan keseluruhan cat berwarna putih.Aroma antiseptik yang khas dari suasana rumah sakit menyapa indera penciumannya. Melirik ke samping, Gabriel tercekat mendapati sosok Evelyn yang tertidur di kursi sambil menggenggam tangannya. Kepalanya jatuh di tepian ranjang.Oh, tidak. Tubuh gadis itu akan sakit kalau dia tidur dalam posisi seperti itu. Bagaimana bisa dia tidur di kursi seperti itu saat ada sofa besar di ujung sana?Gabriel tidak bisa membiarkannya. Tubuhnya ingin bergerak agar bisa memindahkan Evelyn ke sampingnya, tapi di waktu bersamaan Gabriel juga khawatir kalau gerakan darinya malah akan mengganggu Evelyn yang mungkin sedang tidur terlalu nyenyak.Tak lama setelah itu, pintu ruangan dibuka dari luar. Awalnya Gabriel mengira bahwa itu mungkin perawat atau dokter, tapi ternyata yang datang adalah asistennya.William nampak terkejut mendapatinya yang
"Tidak!" Olivia menggelengkan kepala sambil mundur menjauh. Tubuhnya gemetar ketakutan. "Aku tidak melakukan apa pun!" Dia membantah perbuatannya sendiri.Sementara di posisi lain, Evelyn terus meronta-ronta melepaskan diri. Sampai kedua tangannya terasa sakit. Matanya melihat Gabriel yang mulai meringis kesakitan. Evelyn menggelengkan kepala ketika pria itu meraih gagang pisau kemudian mencabutnya begitu saja.Tidak! Seharusnya Gabriel tidak boleh mencabutnya! Evelyn terus menggeleng sambil berusaha melepaskan diri, tapi tidak ada yang bisa dilakukan olehnya sama sekali.Keadaannya kacau. Tapi untungnya, hanya berselang beberapa menit di tengah kekacauan itu, terdengar suara langkah kaki terburu-buru dari arah tangga.Ketika Evelyn mengalihkan mata, dirinya menangkap asisten pribadi Gabriel datang bersama pihak kepolisian. Pria itu dengan cepat memerintahkan pihak kepolisian untuk menangkap Olivia yang sama sekali tidak melawan. Gadis itu langsung diringkus dengan kedua tangan di bel
Gabriel ingat. Gedung yang saat ini berada di hadapannya adalah gedung apartemen kosong. Pembangunannya dihentikan karena pengelolanya membawa kabur uang penghuni yang sudah membayar uang di awal.Dan seingat Gabriel, Ayah Olivia ikut terlibat juga dalam hal itu. Entah apa sangkut paut pria itu dengan kekacauan pembangunan apartemen tersebut, Gabriel tidak mengerti. Tapi bisa dibilang seluruh keburukan pria itulah yang membuat Olivia tidak berhubungan lagi dengannya.Gadis itu mungkin egois, tapi dia adalah orang yang mau berusaha sendiri. Menolak berurusan dengan keluarganya karena tahu mereka berada pada jalur yang salah. Itu juga yang membuat Gabriel begitu menyayangi Olivia. Karena dia berbeda dengan keluarganya.Tapi sepertinya sekarang Olivia pun sudah masuk dalam jalur yang berbeda.Pertama narkoba, sekarang dia bahkan terlibat langsung dalam penculikan istrinya. Gabriel tidak bisa memaafkannya.Tanpa ragu Gabriel langsung mengambil langkah maju mulai memasuki gedung tersebut.