Gabriel menyipitkan mata melihat lembar demi lembar yang ada di tangannya. Berisi informasi beberapa orang. Dari lembaran-lembaran tersebut, matanya menyipit ketika melihat salah satu lembar yang paling menarik perhatiannya.
Gabriel meletakkan sisa lembar lainnya di atas meja dan hanya memegang satu lembar yang menarik perhatiannya itu. Matanya menyipit dan dirinya menarik sebuah foto yang dijepit di salah satu sudut bagian atas lembaran tersebut. Foto itu memperlihatkan seorang perempuan. Sedang bersama beberapa anak kecil. Meski foto itu diambil dengan posisi perempuan tersebut sedang menyamping, tapi Gabriel langsung menyimpulkan betapa cantik dan menariknya wajah itu di matanya. Bibirnya melengkungkan senyum dan Gabriel meletakkan foto itu di atas meja. Mulai membaca informasi pada selembar kertas yang dipegang olehnya. Tidak banyak yang tertera di sana. Hanya ada nama, alamat rumah, tempat kerja, dan beberapa hal lainnya. "Bagaimana dengan wanita ini?" Gabriel bertanya pada William yang berdiri tegap di seberang mejanya. Pria itu menunggunya bereaksi sejak tadi. Sontak saja William langsung bergerak mendekat ke arah meja atasannya. Agar dirinya bisa melihat dengan lebih baik siapa yang dimaksud oleh atasannya itu. Dan setelah melihat fotonya, William langsung menganggukan kepala. "Wanita itu bernama Evelyn Rose," kata William seperti memperkenalkan seseorang dan Gabriel pun langsung memutar matanya malas. "Dasar bodoh! Aku tahu itu. Informasi bodoh itu jelas tertera di lembaran ini. Yang aku butuhkan adalah informasi penting lainnya, William!" Dia berujar geram. "Oh, maaf, Pak." William langsung menundukkan kepalanya. "Sebenarnya saya mengetahui wanita itu secara kebetulan. Beberapa wanita yang ada di lembaran lainnya, saya mendapatkan informasi mereka dari beberapa orang. Tapi wanita itu, dia kebetulan seorang guru di sekolah anak saya." Gabriel langsung manggut-manggut mengerti. Dirinya meraih kembali foto dari perempuan bernama Evelyn Rose tersebut. Bisa mengetahuinya bahwa dia adalah seorang guru dari foto yang ada di gambar itu. Sepertinya anak-anak yang ikut terjepret adalah mereka yang diajar olehnya. "Satu minggu lalu saat saya mengantarkan anak saya pergi ke sekolahnya, saya tidak sengaja berpapasan dengan wanita itu. Sebelumnya saya tidak terlalu memperhatikannya, tapi saat itu saya berpikir mungkin dia cocok dengan kriteria Anda, jadi saya mulai mencari tahu." William kemudian mengangkat tablet yang sedang dipegangnya di tangan kiri. Membawanya ke depan tubuh. William menyalakan tablet tersebut dan beberapa informasi pun mulai terlihat di sana. "Wanita itu hanya tinggal berdua dengan ibunya di sebuah apartemen yang tidak terlalu besar. Itu pun dia jarang pulang ke sana karena jaraknya terlalu jauh dari tempatnya bekerja." "Lalu sekarang dia tinggal di mana?" Gabriel bertanya dengan dahi berkerut. Penasaran. "Dia tinggal bersama temannya yang juga merupakan guru di sana. Mereka menyewa apartemen dengan pembagian pembayaran. Ayahnya sudah meninggal, tapi bahkan setelah kematiannya, dia menyisakan banyak sekali kesulitan untuk wanita itu." "Setelah saya mengikutinya beberapa hari belakangan, ternyata dia terlibat beberapa masalah dengan penagih hutang. Dia juga berusaha mencari pekerjaan sampingan untuk menambah pemasukannya, tapi sepertinya belum menemukannya. Ditambah lagi, ternyata ibunya itu hanya memanfaatkannya. Dia sering meminta uang kepada Evelyn. Tidak peduli meski putrinya hanya bekerja sebagai guru, dia terus-terusan meminta uang." "Bagaimana dengan kepribadiannya?" Gabriel bertanya lebih jauh. "Sejauh saya menyekolahkan anak saya di sana, saya cenderung tidak terlalu terlibat, tapi dia jelas merupakan perempuan yang hangat dan lembut. Anak saya sering membicarakannya. Mereka memanggilnya Bu Eve. Dan Selama saya mengawasinya, saya tidak menemukan sesuatu yang aneh. Dia cenderung sopan dan ramah kepada tetangganya. Tipikal perempuan yang mau membantu seseorang di penyeberangan jalan." "Pas sekali." Gabriel menjentikkan jarinya. Wanita itu menjadi kandidat yang sangat cocok sebagai pengantin pengganti untuknya. Lemah, membutuhkan sesuatu, dan tidak terlibat masalah–kecuali dengan penagih hutang itu. Hanya perlu memastikannya secara langsung dan dirinya mungkin akan menjadikannya pengantin pengganti. "Ah, ya. Satu lagi." William kembali berbicara dan Gabriel pun menatapnya. "Kebetulan dia belum menikah dan tidak sedang menjalin hubungan dengan siapa pun." "Bagus." Gabriel tertawa puas. Kalau begitu kita bisa mendatanginya hari ini juga. Jam berapa anakmu pulang?" "Hari ini, Pak? Apa Anda yakin? Anda memiliki rapat dengan pemegang saham." "Kalau begitu batalkan saja. Apa susahnya? Atau kau mungkin bisa menggantikanku mengisi rapat itu. Beri tahu saja jam berapa anakmu pulang, aku yang akan menjemputnya. Kau tidak perlu khawatir. Aku akan mengantarkannya ke rumah dengan aman." "Tapi dia sudah punya sopir sendiri, Pak." "Tinggal telepon sopirmu itu dan katakan untuk tidak menjemputnya hari ini." Gabriel berdiri dari posisi duduknya dan langsung meraih jasnya yang ada di belakang kursi. Dia memakainya tanpa memasang kancingnya. "Jadi?" Gabriel bertanya. William pun hanya mengembuskan napas. Atasannya yang selalu seenaknya itu kadang memang kerap membuatnya pusing. Tapi dirinya langsung melirik jam tangan di pergelangan kirinya. "Tidak sampai 1 jam lagi adalah jam bubarannya," kata William akhirnya. "Oke. Kalau begitu aku akan berangkat sekarang. Aku serahkan sisanya kepadamu." Gabriel berjalan sambil menyambar kunci mobil dan ponselnya di atas meja, lalu melenggang pergi dengan santainya. *** Saat melihat puluhan anak-anak keluar dari satu gedung yang sama, dengan wajah ceria mereka, Gabriel hanya sampai pada satu kesimpulan yang sama. Ternyata dirinya memang tidak menyukai anak kecil. Mereka merepotkan, berisik, keras kepala, dan sok polos. Kadang saat melihat beberapa dari mereka jauh lebih nakal dari kebanyakan, Gabriel merasa ingin mencekik mereka. Tapi di sanalah dirinya berdiri. Bersama beberapa orang yang sudah menunggu anak-anak mereka. Saat pintu gerbang dibuka, beberapa anak langsung berlari lebih cepat untuk menyambut pelukan ibu atau ayah mereka. Tapi Gabriel hanya diam. Memperhatikan setiap anak yang ada di sana. Matanya menyipit ketika melihat seorang anak laki-laki dengan tubuh gempal. Bulat sekali. "Bukankah dia akan menggelinding kalau berjalan terburu-buru?" Gabriel meringis ngeri dan beralih pada anak laki-laki lain yang sedang menarik kepangan seorang anak perempuan. "Ah, apakah aku harus memotong tangannya?" Dia mendesis sambil menggaruk dagunya. Beralih lagi ke arah lain, Gabriel menemukan satu anak yang terus berbicara dengan temannya. "Yang satu itu mulutnya benar-benar harus disumpal." Dia memutuskan semua hal seolah-olah mereka adalah anaknya. Sampai kemudian tatapannya jatuh pada seseorang yang baru keluar dari dalam gedung. Seorang wanita yang menjadi tujuannya datang ke sana. Wanita itu melambaikan tangan pada anak-anak dan semua anak-anak langsung memutar tubuh untuk balas melambai. Wanita itu memberi pesan hati-hati dan semua anak mengiyakan dengan sangat patuh. Bahkan ada beberapa orang tua yang menyapa dan berpamitan dengan ramah. Bibir itu pun tersenyum ketika melihat wanita itu mulai menuruni anak tangga dan berjalan ke arah halaman. Lebih tepatnya ke arah gerbang. Dia berbicara dengan beberapa anak yang masih menunggu orang tuanya. Sampai tangannya mengusap seorang anak perempuan yang sedang menatap Gabriel. "Emilia!" Gabriel melambaikan tangannya dan anak itu langsung bergerak menghampirinya. Diikuti Evelyn Rose yang melangkah di belakang anak itu. Anak William yang dipanggil Emilia oleh Gabriel langsung memeluk salah satu kaki Gabriel. Hal itu membuat Evelyn menyipitkan mata. "Maaf, tapi saya pikir Anda bukan wali dari Emi. Anda juga bukan sopir pribadinya." Bicaranya halus dan lembut sekali. Memperlihatkan dengan baik tentang pekerjaannya sebagai guru anak-anak. "Ah, kebetulan saya mengenal ayahnya. Dia adalah asisten pribadi saya. Benarkan, Emilia?" Gabriel bertanya kepada Emilia dan anak itu menganggukkan kepalanya cepat dengan senyum lebar. Tapi Evelyn malah semakin bingung. Gabriel menyebutkan bahwa ayah Emilia adalah asisten pribadinya, tapi bagaimana itu mungkin? Kenapa seorang atasan mau menjemput anak dari asisten pribadinya? Itu konyol sekali. Evelyn merasa itu adalah hal yang aneh, tapi dirinya tidak ingin terlalu memikirkannya, jadi dirinya hanya tersenyum. "Baiklah, kalau begitu saya permisi." Dia sedikit membungkuk kepada Emilia dan melambaikan tangan pada anak itu. Tapi sebelum Evelyn berbalik, Gabriel menahannya. "Sebentar. Saya perlu memberimu sesuatu." Dia berkata sambil merogoh sesuatu dari saku belakangnya. Dompet. Gabriel menyerahkan kartu namanya kepada Evelyn. "Terimalah. Bukankah kau belakangan mencari pekerjaan lain agar bisa menutupi hutang-hutang ayahmu itu? Atau bisa menutupi kemauan ibumu yang terus-terusan meminta uang?" Di akhir kalimatnya Gabriel menyeringai lebar dan Evelyn langsung membulatkan mata. Karena Evelyn sama sekali tidak bergerak, Gabriel akhirnya memasukkan sendiri kartu namanya itu ke dalam saku celana Evelyn yang berada di samping tubuhnya. Tidak peduli meski itu terlihat tidak sopan. "Kalau begitu permisi. Temui aku langsung saat kau sudah memutuskannya." Gabriel beralih pada Emilia. "Ayo!" Dia mengulurkan satu tangannya dan anak itu langsung meraihnya. Sudah akrab sekali.Hari lalu Evelyn datang ke rumah Gabriel sebagai pengantin pengganti. Seseorang yang dimaksudkan sebagai alat balas dendam oleh Gabriel. Seorang boneka yang hanya mendapatkan posisi istri agar pasangan Gabriel yang sebenarnya merasa panas untuk hal itu.Tapi hari ini, hari Gabriel kembali ke rumah setelah keluar dari rumah sakit, genggaman tangan itu menunjukkan bahwa semuanya sudah berbeda.Tidak ada lagi istilah pengantin pengganti, hanya ada satu hal. Istri sah dari seorang Gabriel."Akhirnya aku bisa kembali ke sini," kata Gabriel mengembuskan napas panjang. "Suasana rumah sakit memang tidak menyenangkan."Evelyn tertawa di sampingnya sambil mengusapi tangan Gabriel yang sedang digandeng olehnya. "Kalau begitu semangat datang kembali," ucap Evelyn tersenyum lebar. Pria itu menatapnya dan balas tersenyum. Sama lebarnya.Mereka meneruskan langkah sampai tiba di bagian anak tangga teras depan. "Berhati-hatilah," pesan Evelyn dan membawa Gabriel untuk melangkah bersamanya.Pria itu me
"Bagaimana kalau kita berhenti sampai di sini saja?"Gabriel ingat, ketika Olivia meninggalkannya, Gabriel tidak merasakan apa-apa. Atau lebih tepatnya dirinya hanya merasakan kemarahan yang tidak tertahan. Sangat besar.Hanya ada keinginan balas dendam saat itu. Tidak lebih dan tidak ada hal yang lainnya.Tapi detik ini, saat Evelyn menawarkan kepada dirinya sebuah perpisahan, seakan dunia Gabriel runtuh begitu saja. Semuanya porak-poranda. Hancur berantakan. Gabriel dibuat bertanya-tanya apa memang begitu rasanya patah hati?Dadanya penuh dengan rasa sakit. Itu jauh lebih hebat daripada luka di perutnya.Gabriel tidak sanggup membayangkan kalau hari esok tidak memiliki Evelyn. Gabriel tidak sanggup kalau memikirkan tidak lagi ada perasaan bersemangat saat menunggu makan siang yang akan dibawakan oleh Evelyn."Kau bercanda, 'kan?" tanya Gabriel dengan tawa hambar."Apa aku terlihat seperti sedang bercanda?" Evelyn balik bertanya dan sialnya wajah itu terlalu serius untuk disebut seda
"Bagaimana Olivia?" Malam itu, Gabriel bertanya kepada William. Tetap tidak bisa mengabaikan gadis itu meski alasannya terbaring di rumah sakit adalah karenanya.Gabriel harus memastikannya bahwa Olivia mendapatkan hukuman yang setimpal. Gabriel harus tahu bahwa gadis itu tidak akan berani untuk mengulangi hal yang sama. Mengganggu dirinya ataupun Evelyn."Tidak bisakah kau memikirkan hal itu nanti saja? Kau belum pulih. Tidak usah memikirkan hal lain terlebih dahulu. Pikirkan saja dirimu sendiri." Evelyn menghembuskan nafas lelah.Tapi Gabriel cepat menggelengkan kepalanya dan beralih dari William pada Evelyn sepenuhnya. "Tidak! Aku harus menyelesaikannya sekarang.""Karena kau mengkhawatirkannya?""Tidak begitu!" Gabriel membuang napas gusar. "Aku perlu memastikan kalau gadis itu tidak akan mengganggumu lagi. Demi Tuhan, aku tidak bisa melihatmu dalam bahaya lagi."Evelyn terkesiap mendengar pengakuan pria itu. Sama sepertinya yang tidak bisa melihat Gabriel terluka, pria itu juga m
Setelah operasi yang dijalani oleh Gabriel, paginya Gabriel baru sadar. Hal pertama yang dilihat olehnya adalah ruangan luas dengan keseluruhan cat berwarna putih.Aroma antiseptik yang khas dari suasana rumah sakit menyapa indera penciumannya. Melirik ke samping, Gabriel tercekat mendapati sosok Evelyn yang tertidur di kursi sambil menggenggam tangannya. Kepalanya jatuh di tepian ranjang.Oh, tidak. Tubuh gadis itu akan sakit kalau dia tidur dalam posisi seperti itu. Bagaimana bisa dia tidur di kursi seperti itu saat ada sofa besar di ujung sana?Gabriel tidak bisa membiarkannya. Tubuhnya ingin bergerak agar bisa memindahkan Evelyn ke sampingnya, tapi di waktu bersamaan Gabriel juga khawatir kalau gerakan darinya malah akan mengganggu Evelyn yang mungkin sedang tidur terlalu nyenyak.Tak lama setelah itu, pintu ruangan dibuka dari luar. Awalnya Gabriel mengira bahwa itu mungkin perawat atau dokter, tapi ternyata yang datang adalah asistennya.William nampak terkejut mendapatinya yang
"Tidak!" Olivia menggelengkan kepala sambil mundur menjauh. Tubuhnya gemetar ketakutan. "Aku tidak melakukan apa pun!" Dia membantah perbuatannya sendiri.Sementara di posisi lain, Evelyn terus meronta-ronta melepaskan diri. Sampai kedua tangannya terasa sakit. Matanya melihat Gabriel yang mulai meringis kesakitan. Evelyn menggelengkan kepala ketika pria itu meraih gagang pisau kemudian mencabutnya begitu saja.Tidak! Seharusnya Gabriel tidak boleh mencabutnya! Evelyn terus menggeleng sambil berusaha melepaskan diri, tapi tidak ada yang bisa dilakukan olehnya sama sekali.Keadaannya kacau. Tapi untungnya, hanya berselang beberapa menit di tengah kekacauan itu, terdengar suara langkah kaki terburu-buru dari arah tangga.Ketika Evelyn mengalihkan mata, dirinya menangkap asisten pribadi Gabriel datang bersama pihak kepolisian. Pria itu dengan cepat memerintahkan pihak kepolisian untuk menangkap Olivia yang sama sekali tidak melawan. Gadis itu langsung diringkus dengan kedua tangan di bel
Gabriel ingat. Gedung yang saat ini berada di hadapannya adalah gedung apartemen kosong. Pembangunannya dihentikan karena pengelolanya membawa kabur uang penghuni yang sudah membayar uang di awal.Dan seingat Gabriel, Ayah Olivia ikut terlibat juga dalam hal itu. Entah apa sangkut paut pria itu dengan kekacauan pembangunan apartemen tersebut, Gabriel tidak mengerti. Tapi bisa dibilang seluruh keburukan pria itulah yang membuat Olivia tidak berhubungan lagi dengannya.Gadis itu mungkin egois, tapi dia adalah orang yang mau berusaha sendiri. Menolak berurusan dengan keluarganya karena tahu mereka berada pada jalur yang salah. Itu juga yang membuat Gabriel begitu menyayangi Olivia. Karena dia berbeda dengan keluarganya.Tapi sepertinya sekarang Olivia pun sudah masuk dalam jalur yang berbeda.Pertama narkoba, sekarang dia bahkan terlibat langsung dalam penculikan istrinya. Gabriel tidak bisa memaafkannya.Tanpa ragu Gabriel langsung mengambil langkah maju mulai memasuki gedung tersebut.