Cahaya pagi yang hangat dan lembut masuk melalui celah tirai, menyinggahi wajah Jenn yang masih pulas. Javier membuka matanya perlahan, rasa kantuknya langsung menghilang begitu pandangannya jatuh pada sosok di pelukannya.
Jenn, dengan rambut kusut alami dan napas teratur, terlihat begitu tenang. Mulutnya sedikit terbuka, membuatnya tampak polos, seperti gadis kecil yang sama sekali tidak menyadari betapa dunia luar bisa sangat kejam. Javier tersenyum tipis, matanya tak berkedip menatap wajah indah itu. Tangannya refleks mengusap pelan punggung Jenn, memastikan tubuh rapuh itu benar-benar ada di dekapannya. Sebentar mengecup lembut dahinya. Ia berbisik, nyaris tanpa suara, seolah takut membangunkannya. “Astaga, Jenn… bagaimana aku bisa sebegini gila padamu? Aku selalu ingin menempel padamu. Aku pasti sudah gila... tapi anehnya aku menyukai sensasi hati yang seperti ini.” Pikirannya mulai melayang. IMalam itu, langit tampak kelam, seolah turut menyembunyikan misi besar yang akan dilakukan oleh Javier. Di ruang pribadinya, koper hitam dan beberapa dokumen penting sudah tersusun rapi di atas meja. Ia berdiri di depan cermin, mengenakan mantel panjang berwarna gelap, wajahnya dingin namun matanya menyala dengan tekad yang tidak akan tergoyahkan. Ken datang membawa paspor dan berkas perjalanan. “Pesawat pribadi sudah siap, Tuan. Anda akan berangkat dalam tiga puluh menit dari sekarang.” Javier hanya mengangguk. “Pastikan semua anggota tim yang ikut benar-benar bisa dipercaya. Aku tidak ingin satu pun informasi tentang penerbanganku bocor.” “Sudah saya pastikan sendiri,” jawab Ken tenang. “Tidak ada satu pun dari keluarga Bellagio yang tahu tentang keberangkatan anda kali ini.” Javier menatap ponsel di tangannya, foto Jenn masih terpampang di layar. Ia mengusapnya pelan, seolah
Udara sore terasa lembut dan segar ketika mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah mungil berwarna krem, dikelilingi pagar kayu putih dan kebun kecil yang tampak baru ditanami bunga dan buah-buahan liar. Jenn menatapnya lama, lalu mengembuskan napas lega. “Ini... persis seperti yang aku bayangkan,” katanya pelan, suaranya bergetar karena campuran lelah dan haru. “Aku harap tempat ini benar-benar bisa membuatku selalu merasa tenang.” Liliana membuka bagasi, menurunkan koper-koper Jenn, lalu tersenyum. “Rumah ini cukup aman. Lokasinya agak jauh dari pusat kota, tapi dekat dengan klinik dan pasar kecil. Aku sudah memeriksa semuanya sebelum kita datang ke sini, tidak ada kamera, tidak ada pelacak.” Jenn mengangguk pelan. Ia melangkah masuk ke dalam rumah itu. Lantai kayunya masih baru, aroma cat dan kayu hangat bercampur di udara. Di ruang tamu kecil itu hanya ada sofa abu-abu, meja kayu sederhana, dan rak buku kosong di sudut ruangan. T
Thomas benar-benar tidak ingin mengambil risiko sekecil apa pun keputusan yang diambil oleh putrinya. Malam itu setelah Jenn masuk ke kamarnya, ia memanggil salah satu orang kepercayaannya untuk menyiapkan segala sesuatu yang Jenn butuhkan. Seperti yang diinginkan putrinya, rumah kecil di luar kota, fasilitas medis, serta jalur komunikasi yang aman agar Jenn tidak mudah dilacak keberadaannya. Namun ada satu hal yang tidak ia ketahui, sesuatu yang bisa mengubah seluruh rencana yang ada, Jenn sebenarnya sudah resmi menjadi istri Javier. Pendaftaran pernikahan itu dilakukan secara diam-diam oleh Javier jauh sebelum tragedi terjadi. Hal ini berarti secara hukum, apa pun yang dilakukan Thomas atas nama “perlindungan”, bisa dianggap sebagai upaya menyembunyikan istri orang lain.Ah, tunggu dulu! Tapi dia kan Ayahnya Jenn. Ayah kandungnya! Thomas sengaja tidak memberi tahu Jenn, karena ia takut putrinya itu justru mencari Javier dengan alasan pernik
Javier... Ia seharusnya merasa lega melihat Javier di depan matanya, tapi nyatanya ia justru terpaku dengan rasa kesal yang begitu besar. Pria yang tidak pernah lepas dari pikirannya, kini ada di depan matanya, sungguh itu nyata. Padahal, tadi dia benar-benar ingin berlari, dan langsung memeluknya. Namun, sepertinya itu sulit ingin dia lakukan saat ini. Jenn melihat sendiri Javier mendorong kursi roda Anaya di taman rumah sakit. Senyum lembut yang terlukis di wajah pria itu, tawa kecil yang ia lepaskan, bahkan usapan hangat di kepala Anaya, semuanya menusuk hati Jenn lebih dalam daripada luka apa pun yang pernah dia terima. Tanpa sadar, Jenn merasakan bagaimana sakitnya mencintai seseorang. “Kenapa aku membiarkan dia masuk ke hatiku? Kenapa aku mudah sekali terlena? Kenapa...” Tangannya mengepal erat di atas map hasil pemeriksaan. Begitu kuat hingga kuku jarinya memutih. Senyum pahit perlaha
Sementara itu, situasi di tempat Javier berada. Telepon itu datang ketika Javier masih duduk di ruang kerjanya, matanya menatap kosong pada peta dunia yang terhampar di layar. Ken baru saja selesai memberikan laporan singkat soal sulitnya menembus jejak keluarga Ludrent. Namun tiba-tiba, suara cemas dari seberang membuat dunia Javier terasa semakin berat. “Anaya… mengalami kecelakaan, Tuan.” Javier langsung berdiri dari kursinya, jantungnya berdetak kencang. “Kecelakaan apa?” suaranya terdengar menekan, meskipun ia berusaha untuk tenang. “Kecelakaan mobil. Anaya dalam kondisi patah kaki… dan gegar otak. Tidak parah, tapi cukup serius. Dia sendirian di luar negeri. Tidak ada keluarga yang bisa menjaganya. Aku hanya bisa menghubungi kontak utama di ponsel Anaya.” Sekilas wajah Jenn muncul dalam pikirannya. Pencarian itu sudah membuatnya tidak tidur dengan tenang selama berhari-hari, pikirannya tersiksa. Namun, mendengar Anaya dalam kondisi s
Hari itu, Thomas mengenakan setelan jas rapi seperti biasanya. Ia menunggu Jenn yang baru turun dari kamar dengan gaun sederhana namun anggun. Thomas tersenyum bangga, lalu mengajak putrinya itu naik ke mobil.Pria itu memohon kepada Jenn untuk ikut, Jenn pun tidak mampu menolak. Sesampainya di kantor pusat Ludrent, para staf tampak terkejut sekaligus penasaran. Jarang sekali Thomas datang bersama seorang wanita muda selain keluarganya yang lain. Mereka berbisik-bisik, mencoba menebak siapa sebenarnya gadis cantik yang dibawa Thomas. Thomas dan Jenn langsung menuju ruang rapat eksekutif. Begitu pintu terbuka, semua orang berdiri memberi salam. Thomas menepuk bahu Jenn, lalu dengan lantang berkata, “Mulai hari ini, aku ingin kalian semua mengenal putriku, Jennifer. Dia adalah darah dagingku.” Ruangan langsung hening. Beberapa eksekutif saling pandang, ada yang kaget, ada yang bingung. Jenn hanya tersenyum sopan meski jantungnya berdebar ke