LOGINSebelum Neneknya benar-benar keluar dari ruangan itu, Javier yang tidak menyukai perkataan Nyonya besar pun membalas, “Wanita sama artinya dengan pakaian untukku. Kalaupun pengantinnya tidak berubah saat itu, hasil akhirnya pun akan sama.”
Nyonya besar mematung. Tangannya yang menyentuh handle pintu, bahkan juga sudah mulai terbuka itu tak bergerak untuk beberapa saat. “Javier, tidak semua wanita seperti yang kau pikirkan. Nenek mengatakan ini bukan hanya karena gadis itu tidak pantas secara latar belakang, tapi gadis itu juga tidak bersalah.” Javier hanya tersenyum sinis, tidak ada balasan kata-kata. Tanpa mereka sadari, Jenn mendengar pembicaraan itu. Ditangannya ada nampan dengan dua cangkir teh. Hatinya sakit mendengar ucapan Javier. Tapi, dia juga cukup sadar diri bahwa kenyataan dia adalah seorang pelayan jelas tidak akan cocok untuk Javier. Hanya saja, Jenn sendiri juga tidak menginginkan posisi, dan status sebagai Nyonya Javier. Sadar kalau Nyonya besar akan keluar dari ruangan itu, Jenn segera menghindar, bersembunyi di balik dinding dekat guci keramik berukuran besar. Pikiran Jenn melayang entah ke mana. Ruangan itu sudah kosong. Hanya dirinya, denting waktu dari jam dinding antik, dan bisikan pikirannya sendiri yang terasa gaduh di dalam kepala. Tentu ia tidak menangis karena tidak ada alasan untuk itu. Percakapan antara Nyonya Besar dan Javier memang tidak ia dengar secara utuh sejak awal, tapi ia tidak bodoh. Ia tahu betul betapa dirinya tidak diinginkan. Bukan hanya oleh keluarga besar itu… tapi bahkan oleh pria yang kini menyandang status suaminya. Javier tidak pernah melihatnya sebagai pasangan. Bahkan, sebagai manusia pun rasanya tidak. Dia hanya pelayan. Dan sekarang, seorang istri kontrak yang hanya “bagian dari sebuah rencana”. Jenn memejamkan mata sejenak. Bukan karena sedih, tapi untuk menahan gejolak yang menyesakkan dadanya. Rasa ingin marah, ingin membela diri, tapi tidak punya kekuatan. Karena dari awal pun, ini adalah sebuah ketidaksengajaan hingga menjadi kesepakatan yang tidak adil. Dan yang gilanya adalah ia menyetujuinya. Bodoh? Mungkin. Tapi ia punya alasannya. Ia butuh tempat tinggal, butuh keamanan, butuh sesuatu yang bisa menyelamatkan dirinya dari dunia luar yang bahkan lebih kejam dari rumah ini. Ia harus menjaga hati. Harus membatasi diri sebaik mungkin. Karena jika ia mulai berharap, mulai merasa nyaman, mulai menginginkan sesuatu dari Javier, maka semuanya akan berakhir lebih menyakitkan untuknya. Jenn membuka mata perlahan dan menatap lurus ke depan, pada dinding penuh lukisan yang tidak pernah ia pahami. Suaranya pelan, hanya seperti gumaman lembut. “Satu tahun. Hanya satu tahun saja, Jenn.” Setelah itu, ia akan pergi. Menjauh sejauh mungkin. Dari rumah ini. Dari pria itu. Dari perasaan terhina yang mulai merayapi hatinya. **** Siang itu langit mendung. Udara terasa lembap, seperti menyimpan hujan yang enggan untuk jatuh. Javier sudah pergi sejak pagi, dan Nyonya Besar menyusul tidak lama kemudian. Rumah besar itu kini hanya diisi oleh suara pelayan yang hilir mudik dan denting peralatan makan dari bagian dapur. Jenn memilih duduk di taman samping rumah, tepat di bawah pohon bunga yang bunganya mulai berguguran. Angin lembut menyapu wajahnya, membawa aroma tanah basah dan udara sunyi yang menyesakkan dada. Ia ingin menjernihkan pikirannya, menenangkan diri dari semua kekacauan yang terjadi sejak pagi. Namun ketenangan itu tidak mampu bertahan lama. Ia tidak sengaja melihat ke arah sisi teras dapur, tempat beberapa pelayan berdiri sambil membawa nampan kosong. Salah satu dari mereka menoleh ke arahnya, tersenyum. Tapi senyumnya tidak sepenuhnya ramah. Jenn hanya membalas dengan menunduk pelan. Mata-mata lain ikut melirik. Beberapa menyapa dengan suara yang manis namun jelas terasa tidak tulus. “Selamat siang, Nyonya…” Jenn mengangguk pelan, mencoba bersikap sopan. Tapi ia tahu benar, sapaan itu bukan sebuah penghormatan. Itu sindiran. Itu ejekan halus yang menyamar dalam formalitas. Ia bukan Nyonya mereka. Bukan seseorang yang mereka hormati. Hanya seorang yang dulunya seperti mereka, pelayan yang ‘diangkat derajatnya’ oleh permainan sang Tuan majikan. Tertunduk, Jenn meremas jari-jarinya sendiri. Sakit itu datang diam-diam. Bukan seperti pukulan keras, tapi lebih seperti bisikan yang mengikis keyakinannya pelan-pelan. Ia merasa tidak punya teman. Tidak punya siapa-siapa. Rumah ini... tidak pernah benar-benar menerimanya. Jenn menunduk makin dalam. Di hadapannya, bunga kamboja putih jatuh perlahan ke tanah. Begitu pun dengan harga dirinya. Ia tidak menangis. Tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang perlahan mulai membatu, perlindungan terakhir dari dunia yang tidak pernah menginginkannya sejak awal. Jenn memutuskan untuk masuk ke kamar saja. Lebih aman untuk mentalnya supaya tidak melihat siapapun dulu. Namun, pesan dari Javier membuat langkahnya terhenti. “Bersiaplah malam nanti. Bersihkan dirimu, gunakan pakaian tidur yang ada di lemari. Gunakan juga parfum yang sudah disiapkan pelayan di kamar.”Pada pemeriksaan lanjutan itu, suasana ruang dokter terasa lebih ringan dibandingkan beberapa bulan sebelumnya. Javier duduk tegak, tidak lagi tampak tegang seperti saat awal menjalani terapi, sementara Jenn duduk di sampingnya, jemarinya menggenggam tangan Javier dengan tenang dan berharap itu dapat menguatkan. Dokter membuka berkas hasil evaluasi paling baru, meninjau catatan demi catatan lalu mengangguk dengan puas. “Tuan Javier,” ucapnya dengan senyum profesional, “perkembangan Anda sangat signifikan. Respons kognitif membaik, konsentrasi stabil, dan gejala pascatrauma juga jauh berkurang dari prediksi awal.” Jenn tampak menahan napas, menunggu dengan berdebar kalimat berikutnya. “Namun,” lanjut dokter sambil menutup berkas, “meski kondisi Anda sudah jauh lebih baik, saya tetap menyarankan untuk melakukan kontrol rutin minimal enam bulan sekali. Ini penting untuk memastikan tidak ada regresi atau masalah baru yang akan muncul.”
Sejak hari itu, semuanya benar-benar berubah. Javier kembali mengambil alih perusahaan seperti sebelumnya, bersama Ken. Langkahnya tegas, tatapannya dingin, wibawanya muncul kembali seakan empat tahun terakhir tak pernah menggerogoti dirinya. Di bawah kepemimpinan Javier, perusahaan perlahan kembali stabil, bahkan orang-orang yang sebelumnya meremehkan Jenn kini tertunduk tanpa suara saat Javier berada di ruangan CEO. Sementara itu… tugas Jenn jadi berubah total. “Sayang, mulai hari ini,” Javier pernah berkata sambil merapikan rambut Jenn, “pekerjaan wajib mu hanya satu saja, memanjakan diri sendiri.” Jenn tertawa waktu itu, mengira Javier hanya sedang bercanda. Tapi ternyata tidak sama sekali. Setiap pagi, Javier selalu mengirim pesan sebelum berangkat, “Ingat pesan ku. Hari ini dan seterusnya kau harus senang. Tidak boleh stres.” “Kalau kau pergi keluar rumah, aku ingin foto buktinya. Biar
Jack akhirnya tertidur pulas di pangkuan Javier setelah bermain sepanjang sore. Tubuh kecil itu naik turun perlahan seiring napasnya yang tenang. Javier mengusap rambut Jack pelan-pelan dan lembut, memastikan anak itu benar-benar nyaman sebelum ia mengalihkan pandangannya kepada Jenn. Jenn duduk sedikit lebih dekat, mengelus lengan Javier. “Apa yang ingin kau bicarakan? Kelihatannya sangat serius saat kau bicara,” tanyanya lembut. Javier terdiam. Ia menelan napas, pandangannya jatuh ke wajah Jack sebelum akhirnya kembali kepada Jenn. Ada sebuah keraguan, bahkan rasa takut, di mata pria itu. “Sayang…” ucapnya akhirnya, suaranya rendah dan berat. “Aku sudah memikirkannya sejak kejadian di kantor tadi. Keadaanmu… sudah sangat berbahaya untuk keselamatan mu.” Jenn mengerutkan dahi. “Maksudmu bagaimana?” “Ada banyak oknum, banyak pihak yang punya kepentingan kotor saat ini. Mereka tidak hanya
Javier terkekeh geli melihat mata Jenn membulat penuh kekesalan. “Oke oke, Sayang. Kau cuma mau bilang kalau aku ingin memijat mu sebentar. Tapi... sepertinya kau berpikir lain, ya?” Mendengar itu, Jenn pun terperangah tak percaya. “Jangan bohong! Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, hah?!”Javier menanggapi semua itu dengan tawa renyah. Setelah itu, mereka pun memutuskan untuk pergi ke ruang pertemuan guna mengakhiri konflik secara tuntas untuk hari ini. Beberapa saat kemudian, di ruangan itu. “Urusan kantor sudah selesai untuk hari ini jangan dibuat rusuh lagi,” ucap Javier akhirnya, suaranya tenang namun berat seperti palu godam. Ia menoleh kepada Jenn, yang berdiri di sisinya, masih terlihat gugup meskipun kini sudah mengenakan pakaian yang lebih rapi. Javier meraih tangannya dengan lembut. “Kita pulang sekarang,” katanya singkat. Jenn mengangguk kecil, memandang Javier yang begitu tegas begitu berbeda dari beberapa hari terakhir, dan hatinya mencelos oleh ra
Javier mencium bibir Jenn. Ciuman yang begitu hangat perlahan menjadi panas. Kerinduan yang terlalu besar, seperti bendungan jebol yang sulit untuk ditahan lagi. Sosok Javier yang dulu telah kembali, Javier yang tidak akan mungkin menahan diri untuk melakukan apa yang ingin dia lakukan pada Jenn. Sejenak Javier menghentikan ciuman bibirnya, menatap Jenn dengan sorot mata yang begitu dalam. “Sayang, aku sangat merindukan mu...” Jenn hanya bisa terdiam. Entah kenapa mulutnya seperti terkunci, dia hanya ingin memeluk pria itu terus. Meski begitu, Javier juga bisa merasakan kerinduan yang sama, yang Jenn rasakan. “Sayang...” Javier kembali mencium bibir Jenn. Tubuh Jenn reflek mundur, Javier mengangkat tubuh kurus itu hingga duduk di meja kerjanya. Tangannya juga sudah menyingkirkan barang yang mengganggu. Semakin dalam ciuman itu, maka semakin sulit bagi Javier
Setelah memberi peringatan keras, Javier tidak memberi kesempatan siapa pun untuk berbicara lagi. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat pada Ken untuk mengambil dokumen di tangannya. Ken segera maju dan mengambil, meletakkan map tebal di atas meja rapat. “Ini,” ujar Javier dengan suara datar namun penuh tekanan, “adalah seluruh bukti yang membantah setiap tuduhan yang kalian lemparkan kepada istri dan asisten sekretaris kepercayaan ku.” Beberapa direktur menelan ludah, sementara yang lain tampak mulai panik. Javier memilih untuk membuka map itu, mengeluarkan beberapa lembar dokumen, rekaman, serta laporan investigasi. “Ini yang pertama…” Ia menekan tombol remote, menampilkan rekaman CCTV serta data lokasi ponsel di layar besar. “Istriku dan Ken tidak pernah berada di lokasi yang sama seperti yang diberitakan dalam rumor hubungan gelap itu.” Ia menunjuk timestamp rekaman. “S







