“Sudah selesai? Astaga, cepat sekali.” Tita dengan kagum melihat deretan panci dan segala peralatan memasak yang telah bersih. Tita tadi meminta pada Ruby agar memulai terlebih dahulu, dan nanti ia akan membantu setelah selesai mengirim makanan—untuk Javier dan pekerja yang memang selalu mendapat jatah makan dari rumah itu. Tapi begitu kembali, Ruby malah sudah menyelesaikan pekerjaan mencuci perabotan kotor itu. Padahal jumlahnya cukup banyak dan hampir semua bernoda berat. "Selesai." Ruby melapor dengan puas. Setelah makan lebih teratur, tentu saja Ruby sekarang berada di dalam keadaan sehat sempurna. Bisa melakukan pekerjaan apapun tanpa beban. Ia menjadi lebih efisien saat membantu Tita. “Ya, Anda hebat sekali.” Tita dengan kebingungan melihat semua hasil kerja Ruby. Terlihat tidak wajar. “Apa Anda pernah mengerjakan hal seperti ini sebelumnya?” Tita mengambil salah satu panci yang kemarin tampak hitam, tapi kini pantatnya kembali berkilau. Ruby menggosoknya sekuat tenaga ta
“Oke.” Ruby kembali mengangguk sambil tersenyum. Ia tidak akan mundur dan mengeluh.“Anda yakin?” Pekerja itu kaget saat melihat Ruby mengambil alih gerobak sorong dari tangannya.“Ya, tapi bisa aku meminjamnya?” Ruby menunjuk topi jerami lebar yang ada di kepalanya.“Oh, silakan!” Pria setengah baya itu mengulurkan topi kepada Ruby. Topi itu lebar, Ruby memerlukannya untuk melawan terik. Kemarin malam hujan turun lebat tapi hari ini sangat cerah.“Terima kasih. Silakan lanjutkan bekerja lagi.” Ruby menangkan pria itu dengan senyumnya, sembari memakai overall anti air dan meletakkan sekop di atas gerobak, lalu mendekatkannya ke arah tumpukan kotoran bertabur lalat itu. Ruby memasang sarung tangan dan mulai mengayunkan sekop.Pria itu masih memandang Ruby beberapa saat, tapi kemudian meninggalkannya saat Ruby mulai mengangkat tumpukan kotoran kuda itu. Perintah yang diterimanya seperti itu. Tidak ada yang boleh membantu Ruby sampai selesai.“Huk!” Ruby mencoba menguatkan diri, tapi saa
“Tia!” Yang berseru itu Lori dan ia tampak ingin menolong, tapi Mìa menahan tangan keduanya. Membiarkan Ruby bersusah payah bangun. Bagian kiri tubuhnya menghitam karena lumpur.“Sudah biarkan! Dengan begini ia akan merenungi nasibnya. Ia seharusnya tidak mencoba menginjakkan kakinya di rumah ini sejak awal!” Mìa masih tertawa. Ruby mendengar semua saat berusaha membereskan kekacauan. Berusaha tenang, menyembunyikan amarahnya.“Tia Mìa, kau berlebihan.” Kembali Lori yang bicara.“Tidak. Apa yang dilakukan ayahnya pada Ed adalah berlebihan. Adalah tolol kalau ia bermimpi bisa hidup tenang di sini! Gadis murahan yang hanya bisa ” Mìa menarik tangan Lori dan Mayte yang juga tampak shock.Ruby seharusnya bersabar dan diam seperti rencana. Tapi ini adalah saat dimana Ruby merasa kalau semua penerimaannya tidak cukup. Ia mengalah, diam dan menurut. Mendengar semua cacian tidak berperasaan itu tanpa berusaha membela diri. Tapi dengan sengaja menjatuhkannya ke dalam lumpur kotoran dan masih
Ruby memandang tangan yang bergandengan itu lalu berpaling. Bukan cemburu. Ruby hanya merasa hal itu tidak pantas. Ed masih berstatus sebagai suaminya—suami Liz. Tidak seharusnya menggandeng wanita lain.“Butuh bantuan?” Ruby mendongak dan melihat tangan terulur. Lori menawarkan bantuan. Ruby memandang tangan itu karena terkejut tidak mengira agar mendapatkan bantuan dari pihak Mayte.Tapi ruby ingat kalau sejak tadi Lori tidak berniat ikut menyiksanya. Ia bahkan lebih tegas saat menegur Mìa tadi.“aku tidak akan melepaskan agar kau jatuh lagi. Aku benar-benar ingin menolong karena keadaanmu menyedihkan. Maaf saja.”Kejujuran Lori dalam menilai keadaannya malah membuat Ruby menjadi lebih santai. Sepertinya Lori tipe yang sangat terbuka.“Terima kasih, tapi tanganmu akan kotor,” tolak Ruby. Ia bukan tidak ingin menerima bantuan, tapi tubuhnya saat ini tidak untuk disentuh pada bagian manapun, terutama tangan.Ruby berdiri sambil memandang kedua tangannya yang tidak tertolong. Meski mem
“Lihat dengan jelas! Jangan memejamkan mata atau berpaling.” Tepat saat Ed mengatakannya, Mayte justru berpaling dan menggeleng. Terisak sambil menutup wajahnya.“Aku rasa tidak perlu penjelasan lagi. Kau tidak perlu bertanya lagi kenapa aku menikah dengannya.” Ed menyeringai dan mendengus.“Kau ingin aku tidak menangis saat memandangnya?! Luka itu menyakitkan, aku menangis karena membayangkanmu tersiksa!” Mayte terisak semakin keras. Kepalanya terlihat mendongak, tapi sebelum sempat memandang Ed, ia kembali berpaling dan menggeleng.“Aku tahu, dan karena itu aku tidak ingin melanjutkannya lagi. Kau tidak perlu tinggal kalau hanya karena kasihan padaku. Aku menyuruhmu pergi karena…”“Siapa yang mengatakan aku tinggal karena kasihan?” Mayte memotong lagi. Ia tidak merasa pernah menyebutnya di hadapan Ed.“Kau menyebutnya, saat mengira aku belum sadar.” Ed menyebut dengan nada datar. Saat itu ia belum mampu membuka mata apalagi bergerak, tapi suara dan percakapan di sekitarnya terdenga
“Jangan membahas itu!” decak Javier. Menolak membahas Lori. “Kau benar akan mendukung Esli untuk menjadi walikota? Ia sangat ambisius.” Javier tidak akan ikut campur saat Ed membuat keputusan yang berkaitan dengan politik seperti itu. Tapi ia ingin tahu.“Dan ayah Mayte tidak ambisius juga? Kau seharusnya tidak lupa apa yang dilakukannya di wilayah selatan. Ia terlihat manis tapi memiliki kekayaan tidak terjelaskan lebih besar dari Esli. Mereka sama-sama busuk, maka sama saja siapapun yang akhirnya menjadi walikota. Yang jelas akan menguntungkan kita.”Ed malas bicara sepanjang itu. Tapi harus karena Javier tidak akan berhenti bertanya sebelum puas.“Kau menikahi Liz bukan hanya karena bujukanku.” Javier mengeluh. Setelah mengira kakaknya membuat keputusan hanya karena keinginannya, tentu Javier kecewa saat tahu Ed punya rencana sendiri.“Aku membuat keputusan yang menguntungkan berdasar atas keinginanmu. Ini lebih baik lagi bukan? Kau gembira dan aku melakukan hal yang tepat.” Ed ti
Ed menatap Liz yang kembali menyekop meski keadaan tubuhnya sangat kotor. Tidak tampak terganggu lagi oleh semua keadaan kotor itu. Ia masih memakai topi, tapi Ed bisa melihat keringat menetes. Kalau pakaiannya tidak kotor oleh lumpur, mungkin akan tetap basah oleh keringat.“Kau itu kenapa?”Ed bergumam sambil mengerutkan kening. Semakin heran setelah melihat sendiri wujud laporan Javier.Gadis yang dinikahinya itu menunjukkan banyak sisi yang sama sekali tidak terduga. Jauh dari bayangannya maupun Javier—yang merasa mengenal Liz meski hanya sekilas.Sedang Ed malah tidak lagi melihat jejak Liz yang dulu ditemuinya saat kecil. Selain telah tumbuh, Ed tidak lagi melihat gadis manja cengeng.Ia salah menilainya sebagai cengeng karena saat hari pernikahan mereka kemarin, Liz banyak menangis. Tapi sekarang ia melihat sisi yang jauh berbeda. Sisi yang seharusnya tidak pernah dimiliki oleh anak dari seorang Esli. “Apa kau sungguh akan menyelesaikan semua itu?” tanya Ed. Akhirnya mendekat
“Huh?” Ruby yang sudah menggeliat karena ingin membebaskan diri, kembali diam saat mendengar keanehan itu.“Aku pikir kau sudah lebih waras sekarang, tapi rupanya kau masih ingin menggoda pria lain.” Ed kembali mendesis.“Bukan!” Ruby membantah keras—melupakan semua ketakutannya karena tuduhan yang salah kaprah itu. Ia tidak paham dari mana Ed bisa berpikir seperti itu.“Membantah tapi kau melakukan ini?! Kau ingin memamerkan warna merah ini kepada semua pria itu?!” Ruby menjerit saat tiba-tiba tangan Ed menyusup masuk, menarik pakaian dalamnya di bagian punggung. Ruby terlepas dengan tangan menutupi bagian depan tubuhnya, dan menunduk. Maka terlihat apa alasan Ed bisa menyebut warna pakaian dalamnya dengan sangat tepat.“AGH!” Ruby menjerit lalu bergegas menutupi tubuhnya dengan overall kotor yang tadi telah dilepaskannya. Ruby tidak peduli kotor. Masih lebih baik dibanding kaus putih menerawang itu.Mata Ruby memerah oleh air mata karena teringat kalau tadi bukan hanya Ed pria yang