“Lalu kau pikir aku tidur dengan siapa? Aku mabuk tapi masih bisa membedakan wajah!” bentak Eduardo.
Jengkel karena Javier malah berpendapat absurd. Eduardo tahu ia mabuk tadi malam, tapi tidak mungkin menduri wanita yang salah.
“Tapi bagaimana mungkin? Ini Liz. Aku tahu benar pergaulannya seperti apa. Dia beruntung lolos dari tanganku… dulu.” Javier menambahkan karena pergaulannya saat ini tentu berbeda.
“Aku sering bertemu dengannya di hotel bersama pria bergantian setiap kalinya. Sebentar! Aku ingat dulu.” Javier mengerutkan kening, lalu melipat telunjuknya untuk menunjuk hitungan pertama.
“Aku bertemu dengannya di Cancun, lalu Chilangolandia*. Terakhir aku bertemu dengannya di resort Playa del Carmen. Ia memakai bikini dan bergandengan tangan ke pantai—dia delapan belas saat itu.” Javier menampilan sederet bukti yang membuatnya sulit percaya kalau Lizeth Ramos masih perawan.
“Dia juga pernah dikabarkan dekat dengan salah satu pemain film bukan? Aku lupa yang mana.” Kabar itu terlewat beberapa tahun. Javier tidak ingat persis, yang jelas seharusnya Liz tidak perawan lagi.
“Tapi aku tidak salah. Ada darah dan… Oh, aku ingat. Pantas saja.” Eduardo mengusap dagunya.
“Pantas apa?” Javier bertanya penasaran.
“Dia berteriak dan menangis. Aku pikir karena terpaksa dan tidak ingin—tapi mungkin karena sakit. Bagaimanapun dia memuaskan.” Eduardo mengernyit.
Ingatannya malam kemarin tidak terlalu jelas. Ia hanya ingat tubuh yang bagus dan nafsu yang harus dipuaskan. Baik nafsu amarah pada Esli maupun nafsu tubuhnya.
Javier menutup mata, karena tentu pengakuan itu terlalu brutal untuknya. “Kau mengaku telah menyiksan wanita di hadapanku?!” desis Javier, marah.
“Aku tidak tahu! Aku pikir lama-lama ia akan menikmatinya. Mayte tidak pernah mengeluh saat aku melakukannya!” Eduardo mengelak. Ia tahu Javier akan marah saat tahu ia menyakiti wanita.
“Mayte… Memang ingin tidur denganmu. Tolong bedakan! Kau membuatnya ketakutan dengan seluruh amarahmu kemarin, dan setelah itu kau memasukkan… itu… dengan paksa? Kau lupa ukurannya seperti apa?! Paling tidak buat sampai ia menginginkannya juga!”
Javier menujuk ke arah pinggang Eduardo dengan wajah semakin garang. Ia tidak tahu persis seberapa besar, tapi punya bayangan. Mereka tumbuh bersama.
“Tapi bagaimana aku bisa tahu? Kau sendiri tidak percaya. Aku tahu tentang Liz darimu. Kau yang menceritakan dia sepeerti apa. Kau yang lebih tahu tentang kabar-kabar seperti ini, maka kau yang salah dalam hal ini!” Eduardo masih membela diri.
“Ya, Tuhan.” Javier menggelengkan kepala. Tidak percaya kalau semua salah malah kembali bermuara padanya.
“Apapun itu, tapi kau tidak terlihat menyesal. Justru ini yang salah,” tukas Javier.
“Kalau pun aku melakukan kesalahan dengan salah menebak kalau Liz ternyata tidak seliar dugaanku, maka tetap saja kau tidak seharusnya memperlakukan Liz dengan kasar. Kau tidak boleh menyakitinya. Kau tidak ingat dulu pernah bermain bersama dengannya? Ingat saja yang itu! Jangan mengingat apa yang dilakukan Esli.” Javier menegur dengan serius.
Paling tidak ada kenangan mereka yang cukup manis dengan Liz. Mereka pernah bermain bersama—Mereka menganggu Liz lebih tepatnya. Javier berharap Eduardo akan melunak kalau mengingat gadis kecil itu,.
“Kau ingin aku mengelus dengan cinta? Menyayanginya? Dia ada di sini karena ayahnya yang busuk itu membuatku menjadi seperti ini!” Eduardo menunjuk wajahnya yang rusak.
“Jangan bermimpi—”
“Ed!” Javier memotong, lalu duduk di samping kakaknya, menggenggam lengan Eduardo.
“Maaf, aku tidak bisa merasakan dan membayangkan sakit seperti apa yang kau derita. Tapi meski hanya melihat, aku pun sulit untuk memaafkan Esli—aku sampai ingin sekali melepaskan baju ini agar bisa membencinya. Agar bisa marah untukmu—aku sangat tergoda saat itu.”
Javier menepuk dadanya, menunjukkan baju hitam seragam pastor yang dipakainya.
“Tidak perlu!” sergah Eduardo. Ia tidak pernah ingin Javier ikut campur dengan urusan keluarga Rosas lagi. Ia tidak ingin kehidupan Javier terganggu.
“Aku tahu. Aku tahu kau akan marah karena itu aku menahan diri dan memilih menunggumu sadar.” Javier tersenyum dan menepuk paha Eduardo.
“Tapi semarah apa pun dirimu, aku tidak ingin kau menyakiti orang yang tidak bersalah. Aku memintamu menikah dengan Liz karena berharap kau tidak lagi kesepian, bukan agar kau bisa melampiaskan kemarahan untuk Esli kepadanya. Bukan dia yang menyakitimu. Kalau kau menyakiti Liz, maka kau menyakiti niatku itu—menyakitiku.”
Eduardo mendecak. Ia benci saat Javier sudah memohon dengan lembut. Sulit ditolak.
“Kau mudah saja bicara!” sergah Eduardo, tajam.
“Memang. Tapi aku sedang berusaha untuk membuatmu merasa lebih baik. Aku tidak memintamu memaafkan Esli, karena aku sendiri belum mampu. Aku tahu kalau akan lebih mudah untukmu untuk marah dan membenci, tapi aku tidak ingin kau marah dan membenci Liz. Aku ingin kau lembut dan mencintai—aku hanya ingin kau menjadi lebih baik.”Eduardo mendengus. “Kau memintaku mencintai dan menerima anak dari pria yang menghancurkan hidupku? Aku tidak semulia itu, Javier. Aku bukan kau!”
Eduardo berdiri, tapi Javier menangkap tangannya.
“Liz hanya alasan dan ada—karena kau menolak Mayte. Aku tidak ingin kau sendiri, Ed.”
“Kenapa penting bagimu agar aku tidak sendiri? Aku tidak sendiri dan…”
“Kau meninggalkan Mayte begitu siuman di rumah sakit dan tahu keadaan wajahmu. Aku tahu kau bermaksud untuk hidup sendiri saat kau melakukannya.” Tidak sulit menyimpulkannya. Javier tahu kakaknya itu tidak ingin menerima wanita manapun karena keadaan wajahnya.
“Tapi mungkin itu keputusan yang paling benar. Seumpama tidak terlaksana, maka aku tidak perlu melihat istriku malah pingsan saat melihat wajahku dari dekat.”
Eduardo menepiskan tangan Javier lalu keluar dari ruangan itu. Javier tidak bisa lagi mencegah setelah itu, hanya bisa menghela napas panjang.
Javier tidak mampu menghibur kalau kakaknya itu membahas tentang wajah. Bagaimana mungkin ia akan menghibur kalau setiap kali menatap bagian wajah kakak yang rusak Javier ingin menangis?
Ruby bisa melangkah dengan lebih baik. Masih merasakan nyeri diantara kakinya, tapi tidak lagi menyiksa. “Sebentar.” Ruby mendengar ketukan di pintu kamar tadi, dan memaksakan diri untuk berjalan. Ruby bersyukur telah merapikan diri. Setelah menangis dengan puas tadi, Ruby berendam cukup lama di bak mandi mewah yang ada di kamarnya. Penampilannya cukup layak sekarang, meski rambutnya masih separuh basah. Ruby berharap matanya yang lebam tidak terlalu kentara. “Senora* Rosas, Anda sudah bangun dan terlihat cantik..” Ruby mendengar sapaan bernada ramah dan lembut saat membuka pintu. Ruby jelas tidak tahu siapa. Semua orang yang dilihatnya saat hari pernikahan kemarin tidak lebih sepintas lalu—baik tamu maupun penghuni rumah itu. “Saya, Tita. Pelayan di sini. Saya mengurus makanan dan kebutuhan rumah.” Tita mengulurkan tangan sambil membungkuk. Kulitnya gelap, sementara tubuhnya kurus, tapi tampak tegap. Rambutnya yang berbaur dengan warna abu-abu, terkepang dua dengan rapi. “Ru
“Perkenalkan, Pedro. Aku tinggal di sini juga. Aku tidak tahu kau ingat atau tidak, tapi aku ikut menolong saat kau pingsan kemarin.” Pria itu mengulurkan tangan. Meski tidak ingin, Ruby terpaksa menerima. Ia tidak ingin bersikap tidak sopan pada salah satu penghuni rumah itu. Dan tentu Ruby tidak ingat pria itu menolongnya. Ia benar-benar pingsan tanpa menyisakan kesadaran setelah melihat wajah Eduardo.“Halo.” Ruby mengangguk pelan, sambil melirik lorong. Berharap Tita lebih cepat kembali. Ia tidak ingin bersama pria itu berdua saja.“Aku pikir pernikahan kalian tidak akan terjadi. Tapi akhirnya rumah ini bisa lebih ceria. Wajah baru yang cantik membuat perbedaan yang nyata.” Pedro memuji, tapi Ruby sama sekali tidak gembira mendengarnya. Jenis pujian cantik itu berbeda dengan yang didengar dari Tita tadi. Jenis yang ini sering didengar Ruby saat ia bekerja di restoran. Sebagai pelayan restoran, Ruby tentu sering bertemu konsumen hidung belang, dan membuat muak.“Kau pendiam rupa
“Senora Mía!” Tita memekik kaget, sambil memandang kerja kerasnya yang terbuang.Wanita yang bernama Mía itu tidak peduli tapi. Ia terus memandang Ruby dengan mata tajam.Ruby tidak tahu siapa dia, tapi Ruby tahu kebencian wanita itu pada dirinya sama seperti Eduardo. Mata yang memandang dengan dendam.“Siapa yang mengatakan kau boleh memberinya makan?!” Mía marah pada Tita, tapi wajahnya tetap memandang Ruby. Maka Ruby memutuskan untuk bicara. Membela Tita paling tidak.“Maaf, aku tidak bermaksud…”“Saat jam sarapan datang dan kau tidak muncul. itu berarti aku anggap kau tidak ingin makan! Jangan berani-beraninya meminta sarapan khusus hanya untukmu saja!” Mía memotong penjelasan Ruby. Sejak awal memang tidak ingin mendengar.“Senora, saya yang…”Bahkan pembelaan Tita pun diputus dengan dejakan lidah.“Aku tidak memintamu bicara! Bekerjalah, dan bereskan itu!”Mía menunjuk kekacauan yang ada di lantai, lalu telunjuknya beralih pada Ruby.“Kau dengar, Lizeth Ramos! Kau mungkin menika
“Halo?” Ruby menjawab dengan takut-takut. Pria tua itu tampak ramah dan lemah awaknya, tapi itu tipuan. Ruby tidak akan lupa tamparan yang diberikan pria itu kemarin.“Kau belum mengacau bukan?” Terdengar pertanyaan bercampur geraman dari Esli.Rasa takut Ruby berkurang jauh seketika. Menyadari kalau geraman itu tidak lebih dari ancaman kosong. Ia tidak perlu takut, Esli tidak bisa menyentuhnya saat ini. kalau hanya omelan, Ruby masih bisa menanggungnya.“Mengacau dalam hal apa?” tanya Ruby dengan sedikit lebih berani. Sikap hormat yang kemarin ditunjukkan Ruby karena menganggap Esli pria yang tengah bersedih akibat anaknya mengalami kecelakaan dan koma, tidak lagi ada. Baginya, Esli tidak lebih dari penipu yang memanfaatkannya.“Kau jangan macam-macam!” Esli terdengar semakin marah.“Aku tidak mengacau.” Ruby tidak ingin membuatnya marah lebih jauh. Teringat ibunya masih ada bersama Esli. Kalau tahu wajah asli Esli adalah penipu, Ruby tidak akan membiarkan Esli membawanya. “Kalau
“Tidak akan terjadi! Kau tidak akan menikah dengannya.” Esli menghela napas sambil menghempaskan tubuh ke kursi. Lelah dengan tiba-tiba.“Oh, syukurlah.” Liz lega ayahnya tidak ingkar janji.“Tapi kau pergilah! Ke Paris atau kemana terserah. Jauhi negara ini. Jangan pulang sebelum aku minta,” kata Esli dengan tegas.“BENARKAH?!” Liz memekik girang dan langsung menghambur memeluk ayahnya. Liburan mendadak selalu terdengar menyenangkan.“Jangan sampai bertemu dengan teman-teman yang mengenalmu tapi.” “Hah? Kenapa begitu?” Liz merajuk dengan menghentakkan kaki. Apa gunanya berlibur kalau tidak bisa bersama teman-temannya?“Kau pergi saja dan jangan menghubungi siapapun dari sini! Aku akan mengawasimu!” Esli tidak mendengar protes itu dan menyuruh dengan lebih tegas.“Tapi…”“BERANGKAT SEKARANG!”Liz tersentak dan menatap ayahnya dengan mata memerah. Ini pertama kali ia mendengar ayahnya membentak. Liz menyambar vas yang ada di atas meja lalu membantingnya ke lantai. Ungkapan emosi sebag
“Kau tahu aku sibuk,” kata Ed, sambil memijat keningnya. Nyeri itu masih ada. Obat itu sepertinya tidak berguna.”“Dan kenapa kau bertanya?” Ed bertanya, tapi sudah tahu apa jawabannya.“Kau punya istri sekarang. Tanggung jawabmu adalah untuk pulang.”Tebakan Ed tidak salah. Javier membahas hal yang tidak ingin didengarnya.“Kau terlalu peduli dengannya!” desis Ed.“Dia istrimu sekarang. Tentu aku peduli. Kau seharusnya datang dan mencoba untuk dekat dengannya. Meminta maaf paling tidak. Kau menyakitinya.” Javier mengomel.“Haruskah? Aku tidak memaksa…”“Entah kau memaksa atau tidak, kau membuatnya menangis! Kau ingat menangis? Hal yang terjadi saat ada yang merasa sakit, terluka atau sedih, marah juga.” Javier tentu hanya tengah bersikap sarkastik. Menyindir Ed—menyebutnya tidak berperasaan karena tidak mengerti emosi.“Aku tidak sangat bodoh!” gerutu Ed.“Tapi sekarang terlihat seperti itu! Pulang dan urus dia!” Javier kini tidak menyarankan lagi, tapi menyuruh.“Nanti!” Ed tidak me
Ruby memegang rak penyimpanan piring sambil mengatur napas. Tiba-tiba saja pandangannya gelap tadi, hanya sekilas. “Senora, apa Anda yakin bisa membawanya?” Tita menyerahkan nampan makanan pada Ruby dengan wajah ragu. “Oh, bisa.” Ruby menegakkan tubuh. Ia sudah meminum teh manis tadi, dan tubuhnya sudah cukup segar. Ia membantu Tita sejak tadi tanpa masalah—bersama dua pelayan lain. Makanan itu adalah jatah Pastor Javier. Satu-satunya penghuni rumah yang boleh tidak datang ke meja makan rupanya Javier. Biasanya Tita yang mengantar. Ruby menawarkan diri untuk membawa makanan itu pondok di sebelah chapel yang menjadi tempat tinggal Javier. Bukan karena terlalu rajin, tapi pilihan yang lain adalah menyiapkan makanan di meja. Ruby tidak ingin berada di ruang makan itu. Bisa jadi Pedro akan mendatanginya lagi. Mía mungkin buta sampai tidak bisa melihat kalau pria itu mata keranjang. “Ini tidak berat.” Ruby mengangguk meyakinkan Tita. Nampan itu tidak sangat berat. Ruby biasa membawa
“Pingsan? Kenapa memang?” tanya Ed. Javier mendesah sambil mengusap rambutnya. Kakaknya itu tidak terdengar peduli. Ia hanya bertanya sekadarnya karena penasaran. “Tiba-tiba saja begitu.” Javier tidak akan besar mulut dan mengumbar apa yang dilakukan Pedro. Kakaknya tidak memerlukan tambahan beban. Pedro hanya pria bangsat yang pengecut sebenarnya. “Mungkin ia hanya berpura-pura karena ingin lari.” “Tidak. Kau pikir aku tidak bisa membedakan pingsan pura-pura dan asli. Dia benar-benar lemas.” Javier memandang dokter yang saat ini memeriksa Liz dan tidak melihat keanehan. Dokter itu merawat dan tampak memasang infus malah. Tidak mungkin Liz berpura-pura. Javier yang memanggil dokter itu setelah Tita menyusul karena khawatir tadi. Javier meminta Tita untuk diam sementara ini.“Ya sudah kau rawat saja.” Ed tidak terdengar khawatir. “Kau benar tidak akan pulang? Kau harus melihatnya!” Tujuan Javier mengubungi tentu karena menyuruh Ed untuk pulang dan menjenguk Liz. “Untuk apa aku m