“Apa itu!?”
Suara lantang seorang pria membangunkan Ruby yang masih terlelap, merasa lelah setelah malam panjang yang membuat area bawahnya perih.
Saat Ruby membuka mata, wanita itu terkejut melihat pria yang sudah sah menjadi suaminya berdiri menjulang di samping ranjang, memandangnya dengan kening berkerut.
Ruby memaksakan kepalanya berpaling, manik cokelatnya mengarah ke telunjuk Eduardo. Tepat saat itulah, Ruby menyaksikan noda merah pekat yang mengotori bed cover tempat keduanya bergumul semalaman.
“Darah.” Ruby menjawab dalam gumaman, karena tidak yakin jawabannya benar. Noda itu sudah jelas adalah darah, tidak perlu ditanyakan. Ruby curiga kalau pertanyaan itu hanya jebakan.
“Aku tahu itu darah! Tapi kenapa kau berdarah?! Kau tidak sedang menstruasi, kan?!” Bentakan Eduardo, semakin keras. Ruby tentu saja dengan otomatis tersentak, sementara perlahan wajahnya memerah–malu.
Ia jelas tahu darah itu berasal dari mana, dan seharusnya Eduardo juga tahu. Hal itu membuat Ruby terdiam. Apakah mungkin pria itu menganggap bahwa dirinya adalah wanita murahan yang tidur dengan sembarang pria?
Ruby masih menunduk dan meremas kedua tangannya—kebingungan hingga akhirnya wanita itu menggelengkan kepalanya dengan keras. Darah itu bukan karena tamu bulanannya.
“Jawab aku!” bentak Eduardo. Tidak puas dengan jawaban tanpa suara.
Bentakan yang membuat Ruby beringsut menjauh karena ketakutan. Tapi gerakan menjauh itu malah membuat Eduardo semakin jengkel. Ia menarik selimut yang menutupi tubuh Ruby.
“AH!” Ruby berteriak kaget sambil berusaha mempertahankannya, tapi Eduardo menyentak dan menepis tangan Ruby, lalu membuang selimut itu ke lantai. Kemudian ia menarik kedua kaki Ruby mendekat.
“Lepaskan!” Ruby sadar kalau ia seharusnya tidak melawan, tapi Ruby merasa dirinya akan mati kalau sampai pria itu mengulang apa yang dilakukannya tadi malam.
“Jangan…” Ruby mulai terisak dan memohon dengan tubuh gemetar, karena Eduarado menahan pinggangnya, dan membuka lebar kakinya. Ruby berusaha menutupi dengan kedua tangan, tapi Eduardo juga menyentakkan tangan itu ke samping.
“Aku mohon…jangan... ” Ruby benar-benar memohon. Selain sakit, Ruby merasa malu, karena pria itu memandang di tepat diantara kedua kakinya yang terbuka.
“Jangan katakan kau belum pernah tidur dengan pria!”
Eduardo akhirnya melepaskan kedua kaki Ruby, dan kembali menegakkan tubuh. Ruby dengan lega berguling menjauh, dan meringkuk memeluk tubuhnya yang masih gemetar. Ia ingin menutupi tubuhnya memakai selimut. Malu sekaligus takut.
Tapi selimut itu ada di dekat kaki Eduardo. Ruby tidak ingin mendekatinya, karena terlalu takut.
“Bagaimana bisa…” Eduardo terdiam karena melihat Ruby menangis. Tidak mungkin mengajaknya bicara lagi. Ruby gemetar dan tidak mungkin bisa menjawab pertanyaannya lagi.
Eduardo mendecak, lalu masuk ke dalam lemari untuk berganti pakaian. Keningnya masih tampak berkerut karena heran.
Ruby tidak memandangnya, tapi isakannya semakin keras saat mendengar pintu kamarnya tertutup, terjebak antara perasaan lega dan meratapi nasib.
***
“Aku tidur dengannya.” Eduardo duduk dan menyilangkan kaki.
“Aku pastor, Ed. Apa menurutmu pantas membahas hal itu denganku?” Javier menutup buku yang ada di tangannya dan memandang Eduardo. Tidak heran sebenarnya, karena Eduardo memang selalu terbuka padanya.
“Mungkin tidak pantas, tapi kau adikku dan kau juga yang menyuruhku menikah dengannya. Jadi kau harus tahu.” Eduardo meraih kopi yang ada di meja dan meminumnya. Tanpa permisi, meski sudah jelas kalau kopi itu milik Javier.
“Aku tidak menyuruh, tapi menyarankan. Kau yang tiba-tiba saja memutuskan Mayte. Aku mengkhawatirkan masa depan keluarga Rosas. Kau tahu aku tidak mungkin menikah.” Javier tidak mau menjadi tertuduh karena memang tidak memaksa.
“Aku merasa kalau tawaran Esli untuk mnenikahkan anaknya denganmu—sebagai bentuk tanggung jawab juga cukup bagus. Pernikahan ini akan membuatnya tidak banyak bertingkah lagi. Memastikan ia akan setia. Dan kau juga sempat jatuh cinta pada Lizeth bukan?”
Eduardo mendengus. “Jatuh cinta? Aku hanya menganggapnya cantik, dan kapan itu? Empat belas? Lima belas? Itu sudah dua puluh tahun berlalu.”
Eduardo bahkan tidak bisa mengingat kapan hal itu terjadi, dan jelas Liz tidak masuk dalam umur untuk dicintai saat itu. Umur Liz mungkin baru tiga saat mereka bertemu. Eduardo melihatnya seperti boneka lucu yang cantik dan bermain dengannya.
“Itu modal. Paling tidak wajahnya masih masuk dalam seleramu.” Javier mengambil sisi positf.
“Wajahku yang tidak masuk dalam seleranya,” desis Eduardo, sambil mengusap bagian wajahnya yang tidak rata.
“Itu…” Javier terdiam dengan wajah sedih. Ia tidak punya penghiburan untuk masalah itu.
“Aku bukan ingin membahas wajah tadi. Aku tidur dengannya.” Eduardo mengembalikan pembicaraan.
“Aku harus melakukan apa dengan informasi itu? Merayakannya?” Javier merebut kopinya dari tangan Eduardo, sambil memutar bola mata. Ia tidak mengerti kenapa Eduardo harus mengulang informasi itu.
“Dia masih perawan. Lizeth Marin Ramos masih perawan,” kata Eduardo.
Javier menyemburkan kopi di mulutnya. Tersedak karena terkejut.
“Lizeth? Dia perawan?! Bagaimana mungkin? Wanita itu jelas bukan Liz kalau masih perawan!”
“Lalu kau pikir aku tidur dengan siapa? Aku mabuk tapi masih bisa membedakan wajah!” bentak Eduardo. Jengkel karena Javier malah berpendapat absurd. Eduardo tahu ia mabuk tadi malam, tapi tidak mungkin menduri wanita yang salah.“Tapi bagaimana mungkin? Ini Liz. Aku tahu benar pergaulannya seperti apa. Dia beruntung lolos dari tanganku… dulu.” Javier menambahkan karena pergaulannya saat ini tentu berbeda.“Aku sering bertemu dengannya di hotel bersama pria bergantian setiap kalinya. Sebentar! Aku ingat dulu.” Javier mengerutkan kening, lalu melipat telunjuknya untuk menunjuk hitungan pertama.“Aku bertemu dengannya di Cancun, lalu Chilangolandia*. Terakhir aku bertemu dengannya di resort Playa del Carmen. Ia memakai bikini dan bergandengan tangan ke pantai—dia delapan belas saat itu.” Javier menampilan sederet bukti yang membuatnya sulit percaya kalau Lizeth Ramos masih perawan.“Dia juga pernah dikabarkan dekat dengan salah satu pemain film bukan? Aku lupa yang mana.” Kabar itu terl
Ruby bisa melangkah dengan lebih baik. Masih merasakan nyeri diantara kakinya, tapi tidak lagi menyiksa. “Sebentar.” Ruby mendengar ketukan di pintu kamar tadi, dan memaksakan diri untuk berjalan. Ruby bersyukur telah merapikan diri. Setelah menangis dengan puas tadi, Ruby berendam cukup lama di bak mandi mewah yang ada di kamarnya. Penampilannya cukup layak sekarang, meski rambutnya masih separuh basah. Ruby berharap matanya yang lebam tidak terlalu kentara. “Senora* Rosas, Anda sudah bangun dan terlihat cantik..” Ruby mendengar sapaan bernada ramah dan lembut saat membuka pintu. Ruby jelas tidak tahu siapa. Semua orang yang dilihatnya saat hari pernikahan kemarin tidak lebih sepintas lalu—baik tamu maupun penghuni rumah itu. “Saya, Tita. Pelayan di sini. Saya mengurus makanan dan kebutuhan rumah.” Tita mengulurkan tangan sambil membungkuk. Kulitnya gelap, sementara tubuhnya kurus, tapi tampak tegap. Rambutnya yang berbaur dengan warna abu-abu, terkepang dua dengan rapi. “Ru
“Perkenalkan, Pedro. Aku tinggal di sini juga. Aku tidak tahu kau ingat atau tidak, tapi aku ikut menolong saat kau pingsan kemarin.” Pria itu mengulurkan tangan. Meski tidak ingin, Ruby terpaksa menerima. Ia tidak ingin bersikap tidak sopan pada salah satu penghuni rumah itu. Dan tentu Ruby tidak ingat pria itu menolongnya. Ia benar-benar pingsan tanpa menyisakan kesadaran setelah melihat wajah Eduardo.“Halo.” Ruby mengangguk pelan, sambil melirik lorong. Berharap Tita lebih cepat kembali. Ia tidak ingin bersama pria itu berdua saja.“Aku pikir pernikahan kalian tidak akan terjadi. Tapi akhirnya rumah ini bisa lebih ceria. Wajah baru yang cantik membuat perbedaan yang nyata.” Pedro memuji, tapi Ruby sama sekali tidak gembira mendengarnya. Jenis pujian cantik itu berbeda dengan yang didengar dari Tita tadi. Jenis yang ini sering didengar Ruby saat ia bekerja di restoran. Sebagai pelayan restoran, Ruby tentu sering bertemu konsumen hidung belang, dan membuat muak.“Kau pendiam rupa
“Senora Mía!” Tita memekik kaget, sambil memandang kerja kerasnya yang terbuang.Wanita yang bernama Mía itu tidak peduli tapi. Ia terus memandang Ruby dengan mata tajam.Ruby tidak tahu siapa dia, tapi Ruby tahu kebencian wanita itu pada dirinya sama seperti Eduardo. Mata yang memandang dengan dendam.“Siapa yang mengatakan kau boleh memberinya makan?!” Mía marah pada Tita, tapi wajahnya tetap memandang Ruby. Maka Ruby memutuskan untuk bicara. Membela Tita paling tidak.“Maaf, aku tidak bermaksud…”“Saat jam sarapan datang dan kau tidak muncul. itu berarti aku anggap kau tidak ingin makan! Jangan berani-beraninya meminta sarapan khusus hanya untukmu saja!” Mía memotong penjelasan Ruby. Sejak awal memang tidak ingin mendengar.“Senora, saya yang…”Bahkan pembelaan Tita pun diputus dengan dejakan lidah.“Aku tidak memintamu bicara! Bekerjalah, dan bereskan itu!”Mía menunjuk kekacauan yang ada di lantai, lalu telunjuknya beralih pada Ruby.“Kau dengar, Lizeth Ramos! Kau mungkin menika
“Halo?” Ruby menjawab dengan takut-takut. Pria tua itu tampak ramah dan lemah awaknya, tapi itu tipuan. Ruby tidak akan lupa tamparan yang diberikan pria itu kemarin.“Kau belum mengacau bukan?” Terdengar pertanyaan bercampur geraman dari Esli.Rasa takut Ruby berkurang jauh seketika. Menyadari kalau geraman itu tidak lebih dari ancaman kosong. Ia tidak perlu takut, Esli tidak bisa menyentuhnya saat ini. kalau hanya omelan, Ruby masih bisa menanggungnya.“Mengacau dalam hal apa?” tanya Ruby dengan sedikit lebih berani. Sikap hormat yang kemarin ditunjukkan Ruby karena menganggap Esli pria yang tengah bersedih akibat anaknya mengalami kecelakaan dan koma, tidak lagi ada. Baginya, Esli tidak lebih dari penipu yang memanfaatkannya.“Kau jangan macam-macam!” Esli terdengar semakin marah.“Aku tidak mengacau.” Ruby tidak ingin membuatnya marah lebih jauh. Teringat ibunya masih ada bersama Esli. Kalau tahu wajah asli Esli adalah penipu, Ruby tidak akan membiarkan Esli membawanya. “Kalau
“Tidak akan terjadi! Kau tidak akan menikah dengannya.” Esli menghela napas sambil menghempaskan tubuh ke kursi. Lelah dengan tiba-tiba.“Oh, syukurlah.” Liz lega ayahnya tidak ingkar janji.“Tapi kau pergilah! Ke Paris atau kemana terserah. Jauhi negara ini. Jangan pulang sebelum aku minta,” kata Esli dengan tegas.“BENARKAH?!” Liz memekik girang dan langsung menghambur memeluk ayahnya. Liburan mendadak selalu terdengar menyenangkan.“Jangan sampai bertemu dengan teman-teman yang mengenalmu tapi.” “Hah? Kenapa begitu?” Liz merajuk dengan menghentakkan kaki. Apa gunanya berlibur kalau tidak bisa bersama teman-temannya?“Kau pergi saja dan jangan menghubungi siapapun dari sini! Aku akan mengawasimu!” Esli tidak mendengar protes itu dan menyuruh dengan lebih tegas.“Tapi…”“BERANGKAT SEKARANG!”Liz tersentak dan menatap ayahnya dengan mata memerah. Ini pertama kali ia mendengar ayahnya membentak. Liz menyambar vas yang ada di atas meja lalu membantingnya ke lantai. Ungkapan emosi sebag
“Kau tahu aku sibuk,” kata Ed, sambil memijat keningnya. Nyeri itu masih ada. Obat itu sepertinya tidak berguna.”“Dan kenapa kau bertanya?” Ed bertanya, tapi sudah tahu apa jawabannya.“Kau punya istri sekarang. Tanggung jawabmu adalah untuk pulang.”Tebakan Ed tidak salah. Javier membahas hal yang tidak ingin didengarnya.“Kau terlalu peduli dengannya!” desis Ed.“Dia istrimu sekarang. Tentu aku peduli. Kau seharusnya datang dan mencoba untuk dekat dengannya. Meminta maaf paling tidak. Kau menyakitinya.” Javier mengomel.“Haruskah? Aku tidak memaksa…”“Entah kau memaksa atau tidak, kau membuatnya menangis! Kau ingat menangis? Hal yang terjadi saat ada yang merasa sakit, terluka atau sedih, marah juga.” Javier tentu hanya tengah bersikap sarkastik. Menyindir Ed—menyebutnya tidak berperasaan karena tidak mengerti emosi.“Aku tidak sangat bodoh!” gerutu Ed.“Tapi sekarang terlihat seperti itu! Pulang dan urus dia!” Javier kini tidak menyarankan lagi, tapi menyuruh.“Nanti!” Ed tidak me
Ruby memegang rak penyimpanan piring sambil mengatur napas. Tiba-tiba saja pandangannya gelap tadi, hanya sekilas. “Senora, apa Anda yakin bisa membawanya?” Tita menyerahkan nampan makanan pada Ruby dengan wajah ragu. “Oh, bisa.” Ruby menegakkan tubuh. Ia sudah meminum teh manis tadi, dan tubuhnya sudah cukup segar. Ia membantu Tita sejak tadi tanpa masalah—bersama dua pelayan lain. Makanan itu adalah jatah Pastor Javier. Satu-satunya penghuni rumah yang boleh tidak datang ke meja makan rupanya Javier. Biasanya Tita yang mengantar. Ruby menawarkan diri untuk membawa makanan itu pondok di sebelah chapel yang menjadi tempat tinggal Javier. Bukan karena terlalu rajin, tapi pilihan yang lain adalah menyiapkan makanan di meja. Ruby tidak ingin berada di ruang makan itu. Bisa jadi Pedro akan mendatanginya lagi. Mía mungkin buta sampai tidak bisa melihat kalau pria itu mata keranjang. “Ini tidak berat.” Ruby mengangguk meyakinkan Tita. Nampan itu tidak sangat berat. Ruby biasa membawa