“Mau pergi ke mana, istriku tercinta?”
Tarikan di lengan Ruby membuat wanita itu seketika bergedik ngeri. Pria itu jelas tidak sedang bersikap hangat padanya, terlihat dari tatapan nyalang beserta cengkeraman kasar di lengan sang wanita yang mebuat dirinya mendesis.
"Apa kau ingin lari?!" bentak Eduardo, saat tubuh Ruby tertarik dan kembali hampir terpelanting karena tarikan Eduardo. Sama sekali tidak ada kelembutan dalam pertolongan itu.
“Jangan kasar, Ed.” Pastor itu mencoba menenangkan, tapi peringan itu hanya sekadar lewat.
"Berani sekali kau mencoba lari!" Eduardo menyeret Ruby masuk, sementara Ruby telah gemetar karena ketakutan. Eduardo menyeramkan bukan hanya karena wajahnya, tapi karena sikapnya. Ruby lebih takut pada sifatnya dari pada wajahnya saat ini.
“Aku tidak lari. Aku hanya…”
Ruby mencoba untuk membela diri, tapi percuma. Eduardo sudah tidak ingin mendengar segala kata yang keluar dari mulutnya. Keputusan impulsif yang diambil Ruby tadi kini mengancam keselamatannya.
Eduardo terus menarik Ruby yang berjalan tersaruk-saruk karena gaunnya yang mengembang, menyeretnya ke ruang tengah, Melewati beberapa orang tengah mengobrol dan membawa minuman.
Ruby menunduk malu saat melihat pandangan orang-orang itu, apalagi penampilannya berantakan akibat terjatuh. Terlihat mereka tidak ada yang berani mempertanyakan apa yang dilakukan Eduardo. Mereka hanya memandang saat Eduardi membawa Ruby naik ke kamar pribadi milik sang pria.
“Kau sama saja dengan ayahmu, mencoba untuk berkhianat saat aku tidak melihat!” desis Eduardo, melemparnya tubuh ramping Ruby dengan mudah ke atas ranjang.
“Tidak. Aku… aku hanya tersesat, Eduardo,” isak Ruby. Bukan hanya wajahnya yang marah, tapi suara Eduardo yang seolah mengiris itu membuatnya semakin takut.
“Kau menangis? Kau masih bisa menangis rupanya.” Terdengar Eduardo tertawa keras untuk mengejek.
“Simpan air mata buaya itu untuk pria lain!”
Ruby tersentak saat merasakan tarikan Eduardo pada dagu, memaksanya mendongak. Mata hijau yang memandangnya begitu dingin, tapi ternoda warna merah di bagian putihnya. Eduardo rupanya sedikit mabuk akibat semua bir yang dikonsumsi saat pesta. Ruby mencium aroma alkohol saat bernapas.
Gemetar tubuh Ruby semakin nyata. Eduardo yang sadar saja tidak lembut, apalagi saat mabuk.
“Aku tidak akan melepaskanmu meski kau mengiba. Kau harus membayar semua kesalahan ayahmu itu!” Eduardo mengguncang kedua bahu Ruby.
Ruby ingin menyebut kalau hal itu tidak ada hubungannya dengan dirinya, tapi ini adalah inti dari kenapa Esli membayarnya. Ruby kini mengerti motif aslinya. Esli ingin menyelamatkan Liz dengan mengorbankan dirinya. Gadis asing yang kebetulan mirip dengan anaknya, untuk mengelabui pria yang membencinya. Tidak ada kecelakaan atau koma. Itu hanya bualan Esli untuk merayunya.
“Setelah ini, lupakan kehidupanmu yang dulu. Ayahmu memutuskan kau menjadi tumbal, jadi terserah aku akan melakukan apa padamu, kau harus menerimanya!”
Ucapan kepemilikan absolut itu, membuat tubuh Ruby semakin dingin. Kebebasan untuk melakukan apapun pada tubuhnya bisa berarti menyakiti.
“Buka!” Eduardo sudah melepaskan Ruby, berdiri kurang lebih satu meter darinya.
Ruby tidak bergerak selain gemetar. Ia tidak tahu harus melakukan apa—terlalu takut.
“Buka! Aku perlu melihat sepantas apa kau untuk menjadi istri yang bisa memenuhi hasratku!” bentak Ed sambil menunjuk gaun Ruby.
Ruby tahu ia telah menjual diri seharga lima puluh juta peso. Tapi tidak pernah terbayang ia akan mengalami hal sepedih ini. Bukan hanya ketakutan akan hidupnya, ia kini harus dihina. Tapi semua penyesalan itu terlambat, ia tidak bisa mundur ataupun kabur.
Ia mungkin akan mati di tangan Eduardo sebelum bisa keluar dari rumah itu, dan setelah keluar pun, Esli akan membunuh ibunya.
“Kau pintar sekali berakting. Kau terlihat menderita. Aku nyaris percaya dengan air mata itu. Apa ayahmu yang menyuruh seperti ini?” ejek Ed, sambil melepaskan jas dan ikat pinggangnya.
Ruby memang kembali menangis, dan bagi Eduardo, air mata itu tidak berharga. Tidak membuatnya melunak apalagi kasihan. Begitu besarnya rasa benci pada Esli dan juga keluarganya.
“Buka gaun itu sekarang juga, atau aku akan membuatmu menyesal!” Eduardo kembali mengancam.
“A…akan aku buka.” Ruby tidak tahu apa yang akan dilakukan Eduardo dengan ikat pinggang di tangannya, tapi tidak ingin keadaannya menjadi lebih menyedihkan lagi.
“Lima puluh juta peso… Mamá…” Ruby bergumam amat lirih, dan memilih dua kata itu sebagai penguat tekad saat menurunkan lengan gaun putih itu. Ia harus bertahan dan mendapatkan apa yang dijanjikan Esli.
Ruby bisa merasakan dingin AC menerpa punggungnya yang terbuka, saat ia menurunkan gaun pernikahannya itu. Ruby memakai pakaian dalam berupa lingerie berwarna putih dengan model menerawang yang disiapkan butik. Jenis pakaian yang hanya setengah hati menjalankan fungsi karena banyak bagian kulitnya yang terlihat, meski dipakai.
“Semuanya.” Eduardo menjentikkan jarinya. Tidak puas saat melihat Ruby diam hanya setelah membuka gaunnya.
Eduardo masih duduk di ranjang, kedua tangannya menumpu di atas lutut, matanya yang menatap Ruby nyaris tidak berkedip sekarang.
Ruby tahu ketenangan itu tidak bertahan lama. Ia akan kembali membentak dan menjadi menyeramkan kalau Ruby terus diam.
Dengan tangan gemetar, Ruby menarik tali yang mengikat bagian depan lingerie berwarna putih itu, mengekspos bagian depan tubuhnya, sekaligus lengan dan bahunya saat bagian lingerie itu terlepas. Masih ada sisa kain lain menempel, tapi tentu lekukan dan kehalusan kulit tubuh Ruby terlihat lebih jelas.
“Sejauh ini tidak buruk. Aku tidak terlalu rugi. Lanjutkan.”
Tidak ada bentakan. Suara Ed berubah semakin dalam. Ikat pinggang yang ada di tangannya juga telah terjatuh ke lantai. Tangannya membuka jas dan juga kancing kemeja yang dipakainya, dengan mata tak lepas memandang tubuh Ruby di hadapannya.
Clang!Jatuhnya ikat pinggang milik Eduardo yang menatap Ruby seolah dirinya adalah mangsa memecah keheningan di dalam kamar. Ruby berusaha menghiraukannya, wanita itu masih berkutat dengan dua potong kain terakhir yang masih menempel di tubuhnya. Ruby mencoba meraih pengait di punggungnya, tapi terus gagal. Tangan Ruby terlalu gemetar, campuran ketakutan, dingin dan keengganan. Kesulitan itu terlihat, tapi bagi Eduardo yang otaknya sudah keruh oleh nafsu, ia hanya melihat Ruby yang tengah memamerkan tubuhnya dengan membusungkan dada. Memancing nafsunya.“Nah, begitu lebih benar. Jangan menangis dan menjadi sok suci—malah tidak pantas. Kau dan ayahmu itu sama saja! Munafik.” Sebelum Ruby bisa mengartikan kalimat membingungkan itu, Eduardo tiba-tiba berdiri, membuat sekujur tubuh sang wanita yang nyaris telanjang itu merinding.Pengalaman Ruby nol, dan ibunya telah memastikan Ruby tidak mengenal hal dewasa sebelum waktunya. Ruby hanya tahu secara global—ia harus telanjang, tapi tida
“Apa itu!?” Suara lantang seorang pria membangunkan Ruby yang masih terlelap, merasa lelah setelah malam panjang yang membuat area bawahnya perih.Saat Ruby membuka mata, wanita itu terkejut melihat pria yang sudah sah menjadi suaminya berdiri menjulang di samping ranjang, memandangnya dengan kening berkerut.Ruby memaksakan kepalanya berpaling, manik cokelatnya mengarah ke telunjuk Eduardo. Tepat saat itulah, Ruby menyaksikan noda merah pekat yang mengotori bed cover tempat keduanya bergumul semalaman. “Darah.” Ruby menjawab dalam gumaman, karena tidak yakin jawabannya benar. Noda itu sudah jelas adalah darah, tidak perlu ditanyakan. Ruby curiga kalau pertanyaan itu hanya jebakan.“Aku tahu itu darah! Tapi kenapa kau berdarah?! Kau tidak sedang menstruasi, kan?!” Bentakan Eduardo, semakin keras. Ruby tentu saja dengan otomatis tersentak, sementara perlahan wajahnya memerah–malu.Ia jelas tahu darah itu berasal dari mana, dan seharusnya Eduardo juga tahu. Hal itu membuat Ruby terdia
“Lalu kau pikir aku tidur dengan siapa? Aku mabuk tapi masih bisa membedakan wajah!” bentak Eduardo. Jengkel karena Javier malah berpendapat absurd. Eduardo tahu ia mabuk tadi malam, tapi tidak mungkin menduri wanita yang salah.“Tapi bagaimana mungkin? Ini Liz. Aku tahu benar pergaulannya seperti apa. Dia beruntung lolos dari tanganku… dulu.” Javier menambahkan karena pergaulannya saat ini tentu berbeda.“Aku sering bertemu dengannya di hotel bersama pria bergantian setiap kalinya. Sebentar! Aku ingat dulu.” Javier mengerutkan kening, lalu melipat telunjuknya untuk menunjuk hitungan pertama.“Aku bertemu dengannya di Cancun, lalu Chilangolandia*. Terakhir aku bertemu dengannya di resort Playa del Carmen. Ia memakai bikini dan bergandengan tangan ke pantai—dia delapan belas saat itu.” Javier menampilan sederet bukti yang membuatnya sulit percaya kalau Lizeth Ramos masih perawan.“Dia juga pernah dikabarkan dekat dengan salah satu pemain film bukan? Aku lupa yang mana.” Kabar itu terl
Ruby bisa melangkah dengan lebih baik. Masih merasakan nyeri diantara kakinya, tapi tidak lagi menyiksa. “Sebentar.” Ruby mendengar ketukan di pintu kamar tadi, dan memaksakan diri untuk berjalan. Ruby bersyukur telah merapikan diri. Setelah menangis dengan puas tadi, Ruby berendam cukup lama di bak mandi mewah yang ada di kamarnya. Penampilannya cukup layak sekarang, meski rambutnya masih separuh basah. Ruby berharap matanya yang lebam tidak terlalu kentara. “Senora* Rosas, Anda sudah bangun dan terlihat cantik..” Ruby mendengar sapaan bernada ramah dan lembut saat membuka pintu. Ruby jelas tidak tahu siapa. Semua orang yang dilihatnya saat hari pernikahan kemarin tidak lebih sepintas lalu—baik tamu maupun penghuni rumah itu. “Saya, Tita. Pelayan di sini. Saya mengurus makanan dan kebutuhan rumah.” Tita mengulurkan tangan sambil membungkuk. Kulitnya gelap, sementara tubuhnya kurus, tapi tampak tegap. Rambutnya yang berbaur dengan warna abu-abu, terkepang dua dengan rapi. “Ru
“Perkenalkan, Pedro. Aku tinggal di sini juga. Aku tidak tahu kau ingat atau tidak, tapi aku ikut menolong saat kau pingsan kemarin.” Pria itu mengulurkan tangan. Meski tidak ingin, Ruby terpaksa menerima. Ia tidak ingin bersikap tidak sopan pada salah satu penghuni rumah itu. Dan tentu Ruby tidak ingat pria itu menolongnya. Ia benar-benar pingsan tanpa menyisakan kesadaran setelah melihat wajah Eduardo.“Halo.” Ruby mengangguk pelan, sambil melirik lorong. Berharap Tita lebih cepat kembali. Ia tidak ingin bersama pria itu berdua saja.“Aku pikir pernikahan kalian tidak akan terjadi. Tapi akhirnya rumah ini bisa lebih ceria. Wajah baru yang cantik membuat perbedaan yang nyata.” Pedro memuji, tapi Ruby sama sekali tidak gembira mendengarnya. Jenis pujian cantik itu berbeda dengan yang didengar dari Tita tadi. Jenis yang ini sering didengar Ruby saat ia bekerja di restoran. Sebagai pelayan restoran, Ruby tentu sering bertemu konsumen hidung belang, dan membuat muak.“Kau pendiam rupa
“Senora Mía!” Tita memekik kaget, sambil memandang kerja kerasnya yang terbuang.Wanita yang bernama Mía itu tidak peduli tapi. Ia terus memandang Ruby dengan mata tajam.Ruby tidak tahu siapa dia, tapi Ruby tahu kebencian wanita itu pada dirinya sama seperti Eduardo. Mata yang memandang dengan dendam.“Siapa yang mengatakan kau boleh memberinya makan?!” Mía marah pada Tita, tapi wajahnya tetap memandang Ruby. Maka Ruby memutuskan untuk bicara. Membela Tita paling tidak.“Maaf, aku tidak bermaksud…”“Saat jam sarapan datang dan kau tidak muncul. itu berarti aku anggap kau tidak ingin makan! Jangan berani-beraninya meminta sarapan khusus hanya untukmu saja!” Mía memotong penjelasan Ruby. Sejak awal memang tidak ingin mendengar.“Senora, saya yang…”Bahkan pembelaan Tita pun diputus dengan dejakan lidah.“Aku tidak memintamu bicara! Bekerjalah, dan bereskan itu!”Mía menunjuk kekacauan yang ada di lantai, lalu telunjuknya beralih pada Ruby.“Kau dengar, Lizeth Ramos! Kau mungkin menika
“Halo?” Ruby menjawab dengan takut-takut. Pria tua itu tampak ramah dan lemah awaknya, tapi itu tipuan. Ruby tidak akan lupa tamparan yang diberikan pria itu kemarin.“Kau belum mengacau bukan?” Terdengar pertanyaan bercampur geraman dari Esli.Rasa takut Ruby berkurang jauh seketika. Menyadari kalau geraman itu tidak lebih dari ancaman kosong. Ia tidak perlu takut, Esli tidak bisa menyentuhnya saat ini. kalau hanya omelan, Ruby masih bisa menanggungnya.“Mengacau dalam hal apa?” tanya Ruby dengan sedikit lebih berani. Sikap hormat yang kemarin ditunjukkan Ruby karena menganggap Esli pria yang tengah bersedih akibat anaknya mengalami kecelakaan dan koma, tidak lagi ada. Baginya, Esli tidak lebih dari penipu yang memanfaatkannya.“Kau jangan macam-macam!” Esli terdengar semakin marah.“Aku tidak mengacau.” Ruby tidak ingin membuatnya marah lebih jauh. Teringat ibunya masih ada bersama Esli. Kalau tahu wajah asli Esli adalah penipu, Ruby tidak akan membiarkan Esli membawanya. “Kalau
“Tidak akan terjadi! Kau tidak akan menikah dengannya.” Esli menghela napas sambil menghempaskan tubuh ke kursi. Lelah dengan tiba-tiba.“Oh, syukurlah.” Liz lega ayahnya tidak ingkar janji.“Tapi kau pergilah! Ke Paris atau kemana terserah. Jauhi negara ini. Jangan pulang sebelum aku minta,” kata Esli dengan tegas.“BENARKAH?!” Liz memekik girang dan langsung menghambur memeluk ayahnya. Liburan mendadak selalu terdengar menyenangkan.“Jangan sampai bertemu dengan teman-teman yang mengenalmu tapi.” “Hah? Kenapa begitu?” Liz merajuk dengan menghentakkan kaki. Apa gunanya berlibur kalau tidak bisa bersama teman-temannya?“Kau pergi saja dan jangan menghubungi siapapun dari sini! Aku akan mengawasimu!” Esli tidak mendengar protes itu dan menyuruh dengan lebih tegas.“Tapi…”“BERANGKAT SEKARANG!”Liz tersentak dan menatap ayahnya dengan mata memerah. Ini pertama kali ia mendengar ayahnya membentak. Liz menyambar vas yang ada di atas meja lalu membantingnya ke lantai. Ungkapan emosi sebag