“Jangan harap kau bisa lari atau mencoba menghindar, karena wajah ini akan selalu menjadi mimpi burukmu!”
Ruby tersentak ketika Eduardo menghimpitnya ke dinding yang berada tepat di belakangnya. Ruby menggigit bibir dengan sekuat tenaga sembari memejamkan matanya demi menahan isak ketakutan.
Sayangnya, tak peduli Ruby berusaha menahan, air mata tetap berhasil kabur dari manik cokelatnya. Bagaimana tidak? Tatapan nyalang dari pria yang sudah menjadi suami sahnya itu seakan menghunus hatinya.
“Hapus air mata itu dan lakukan tugasmu sebagai istri dengan baik! Jangan sampai mereka berpikir aku menyiksamu!” Eduardo membentak sambil melemparkan selembar sapu tangan ke arah Ruby.
Esli memungut sapu tangan itu, berpura-pura membantu Ruby membersihkan wajahnya demi terlihat baik di depan Eduardo.
Tepat ketika pria itu memastikan bahwa Eduardo sudah meninggalkan ruangan, Esli mendekatkan wajahnya ke telinga Ruby, “Kalau kau masih ingin melihat ibumu, pastikan kau melakukan segalanya dengan benar.”
Ruby mengangguk dan menguatkan diri. Ia harus bertahan demi ibunya. Ia tidak perlu mengambil hati semua cacian yang didengarnya, hanya harus bertahan.
***
“Aku ingin bicara denganmu.”
Ruby mendongak, mengira Eduardo bicara padanya, tapi ia menatap Esli. Pria tua itu mengangguk sambil tersenyum gugup, lalu mengikuti Eduardo. Pastor yang ikut duduk bersama mereka di meja besar, juga bangkit mengikuti. Mereka masih ada di tengah pesta. Ruby melamun dan tidak peduli dengan sekitar, kini tiba-tiba saja ia sendiri.
Ruby akhirnya berdiri juga. Tidak ingin menunggu sampai mereka kembali. Ia ada untuk menemani Eduardo tadi, dan aneh kalau ia duduk sendiri di meja itu.
Ruby tidak benar-benar tahu kemana ayah Liz dan Eduardo pergi, jadi memutuskan untuk kembali ke kamar yang tadi. Ingin berbaring untuk melamunkan nasibnya. Tidak ada yang menghentikannya juga, karena hampir semua orang yang ada di sana mabuk.
Ruby meninggalkan halaman samping tempat pesta itu dengan mulus. Tapi saat berbelok untuk masuk lewat pintu samping, langkah kakinya terhenti karena mendengar bentakan.
“Kau seharusnya bersyukur aku masih membiarkanmu hidup setelah membuatku seperti ini, Esli!”
Ruby sempat terkejut dan takut, tapi kemudian sadar kalau bentakan itu bukan untuknya. Berasal dari tempat yang tidak jauh, tapi bukan untuknya.
Ruby berjalan pelan ke taman belakang rumah besar itu—tempat suara berasal, dan melihat Eduardo, juga Pastor yang tadi memimpin upacara pernikahannya. Mereka berdiri di hadapan Esli.
"Kau pikir apa yang kau berikan ini setara? Kau membuatku cacat seumur hidup!" Eduardo menunjuk pada Esli.
Ruby menutup mulutnya, karena baru saja akan memekik. Kalau apa yang didengarnya itu benar, maka berarti Esli yang membuat wajah Eduardo menjadi seperti itu. Entah bagaimana, tapi pria tua botak membuat kesalahan fatal.
“Maafkan saya. Lupakan permintaan saya kalau begitu. Saya sangat berterima kasih atas kesempatan yang Anda berikan. Saya harap Liz bisa memberi Anda kebahagiaan." Esli tersenyum dan mengulurkan tangan, tapi Eduardo kembali menepis tangan itu.
"Pergi! Bawa hati busukmu itu keluar dari sini!" desis Eduardo. Meski dihina, Esli tampak bersusah payah tersenyum. Ia mengangguk lalu berjalan keluar dari gerbang yang ada di ujung taman, dan Eduardo langsung berbalik.
Ruby terlambat menyadari akan adanya bahaya. Ia telah menguping, dan nasibnya sudah jelas akan sangat buruk kalau terpergok. Ia kini sangat paham kenapa harus berada di sana menggantikan Liz. Esli membuat Ed cacat. Pria itu mendendam.
“Kau akan terus marah?”
Ruby sudah berlari, tapi masih bisa mendengar kata-kata yang diucapkan pastor di samping Eduardo.
“Kau pikir aku akan bisa memaafkannya?!” Eduardo membentak lagi.
Ruby mendengar semuanya. Ia yang awalnya akan kembali ke kamar tadi, dengan otomatis berbelok ke arah lain. Ruby mengikuti insting rasa takutnya dan berniat lari.
Pria yang menjadi suaminya itu, marah, mendendam, dan tidak mungkin akan bersikap baik. Apa pun yang dilakukan Ruby, akan salah di matanya, dan bisa mengancam nyawanya sendiri. Yang jelas Esli telah menipunya, pernikahan yang dipikir akan menjadi jalan keluar dari nestapanya, justru adalah sebuah jebakan!
Ruby ingin berlari ke pintu keluar, tapi karena dibawa masuk dalam keadaan pingsan, Ruby tidak tahu harus kemana. Ruby salah berbelok dan malah menabrak pelayan yang tengah membawa hidangan pesta.
“AH!”
Prang!
Ruby memekik kaget, bersama suara piring dan gelas berjatuhan. Ruby tersungkur dan saat itu ia tahu kalau nasibnya akan semakin buruk.
Ruby bangkit sendiri menghindari semua orang yang berkerumun dan mencoba untuk menolongnya. Tanpa peduli semua kotoran yang ada di gaunnya, Ruby berusaha lari lagi, tapi keributan itu terlalu keras. Eduardo tentu saja mendengar semuanya.
Ruby baru saja akan melangkah, tapi tangannya tertarik keras sampai membuatnya terpelanting.
“Kau ingin pergi kemana, Istriku Tercinta? Jangan tergesa-gesa.”
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters