Aku harap-harap cemas, semoga penghulu yang ditugaskan menolak pernikahan ini. Hatiku berdebar-debar menunggu, sudah sepuluh menit sejak Penghulu diminta bicara empat mata oleh Om Rudi. Sebenarnya bukan empat mata, karena di ruang keluarga itu ada ayah-bundaku, Tante Fifi, istrinya Om Rudi, dan aku juga sempat melihat kakakku Ciko menyusul di panggil ke sana.
“Alia….” Tante Fifi menghambur masuk mendekatiku, sedangkan di belakangnya Bunda menyusul dengan tatapan lekat memindai wajahku. Dan satu sosok di balik tubuh Bunda membuatku membuang muka.“Lia, Erland mau bicara berdua dengan Kamu dulu, sayang? Pernikahan akan dilanjutkan, bapak penghulu bersedia menikahkan secara siri, nanti administrasi disusulkan secepatnya.” Kata-kata Tante Fifi membuatku lemas, doaku tidak terkabul!Kamar pengantin yang dihias cantik begitu rupa terasa menyesakkan bagiku, terlebih sekarang lelaki muda itu duduk di hadapanku. Bunda, tante Fifi dan tiga orang tim MUA sudah meninggalkan kamar.“Sebelum aku mengucapkan akad, apakah Kau benar-benar tidak berkeberatan dengan semua ini?” ucapannya disertai sosot mata yang menuntut jawaban.“Seharusnya Ka Rivana yang kau nikahi hari ini!” cetusku menentang tatapannya, ingin aku meneriakinya kenapa dia sama saja dengan Om Rudi dan Ayah, bertekad meneruskan rencana pernikahan yang mendadak di tinggal pergi oleh kakak sepupuku, Rivana!“Tak usah membahas soal Rivana. Aku bertanya padamu, apakah Kau bersedia melanjutkan pernikahan ini?” ucap Erland dengan tatapan yang datar.“Bukankah sudah jelas jawabanku pada Ayah dan Om Rudi?” elakku sedikit kesal kenapa pula Erland merasa perlu meyakini sendiri kesediaanku menikah dengannya..“Kamu ikhlas?” Erland masih mengejar.“Aku tidak siap, Kamu puas? Sekarang keluarlah bila tak ada lagi yang mau ditanyakan?” cetusku menguatkan diri. Tak mungkin kujelaskan yang sesungguhnya di balik kepasrahanku hari ini. Aku bersyukur lelaki itu akhirnya beranjak meninggalkanku sebelum airmata yang menggenang di pelupuk mata menganak sungai ke pipi. Bahkan di hadapan Ayah saja Aku berusaha untuk tak menangis, apalagi di depan Erland yang berkeras menikahi seorang pengantin pengganti setelah menerima kabar calon mempelai perempuannya kabur melarikan diri.Ya, aku adalah pengantin pengganti. Nasibku yang begitu malang, tapi biarlah kutangisi sendiri.“Om Kamu, sangat malu oleh kelakuan Rivana yang kabur di hari pernikahannya. Keluarga kerabat sudah berkumpul dan undangan untuk Resepsi besok pun sudah disebar. Ayah tak bisa menolak Nak, ketika Om memintamu menggantikan Rivana, kita terlalu banyak berhutang budi dengan keluarga Om Kamu.”Ucapan Ayah yang sendu menggelegar di pendengaranku.Kupandangi matanya berkaca-kaca dan yang kulihat di sana hanyalah semata kasih sayangnya saja. Duh, tak sanggup kubayangkan kesenduannya berlipat-lipat bila harus menyampaikan penolakanku kepada Om Rudi. Tak mampu kukecewakan hatinya di saat kusadari Ayah sangat jarang menuntut apapun padaku, anaknya.Ayah yang karakternya tak banyak bicara, tapi cerita selalu mengalir dari bunda bahwa berulangkali orangtuaku harus meminta bantuan keuangan kepada Om Rudi yang kondisi ekonomi keluarganya sangat, sangat mapan.Om Rudi bukan hanya membantu untuk keperluan kuliah Kakakku Ciko, terakhir juga membiayai pengobatan bunda. Wanita pintu surgaku itu harus rajin melakukan Kemoterapi setelah tiga tahun ini kanker payudara menggerogoti tubuhnya.“Lia, Kamu cantik sekali Nak. Tersenyumlah dihari pernikahanmu ini, walaupun Bunda tahu Kamu tidak menginginkannya sepenuh hati.” Elusan lembut tangan bunda menarikku dari Lorong lamunan.Ternyata MUA sudah selesai meriasku, seraut wajah flowless di cermin menyergap netraku. Seperti tak kukenali diri sendiri. Itukah Alia Miresti, Seorang Pengantin Pengganti?Senyum bunda memaksa bibirku mengembang tipis. Tak sempat lagi berkata-kata karena Tante Fifi kemudian menyusul masuk lalu membisiki telingaku. Ternyata akad sudah dilangsungkan dan Tante Fifi menjemputku untuk disandingkan di pelaminan sebagai istri seorang laki-laki bernama Erland Satrio!Tamu undangan resepsi sudah berangsur sepi, Aku gelisah merasa sesak oleh gaun pengantin warna off white yang membalut tubuh sepanjang lima jam ini.Kulirik Erland yang sedang berdiri, berbincang dengan kawannya. Lelaki itu tidak mengenakan stelan jas, melainkan set pakaian pengantin bergaya maroko dengan atasan model tunik beskap, lengkap dengan kalungan bunga melati.“Setelah dari sini, bisa nggak kita langsung ke rumah Citraland?” Aku meluncurkan pertanyaan yang membuat Erland mengerutkan kening. Lelaki itu kembali duduk di kursi pelaminan begitu kawannya pamit setelah sebelumnya meminta foto bersama kami.“Aku ingin cepat istirahat, dari sini langsung ke sana saja,” desakku lagi. Erland tak menjawab, tangannya melambai membalas salam pamit beberapa kerabat yang sudah melangkah menuju pintu keluar ballroom.“Setidaknya kita pamit dulu ke rumah Om Rudi, sekalian mengambil koper pakaianmu,”“Please….itu bisa minta antarkan sopir saja?” Aku memohon tak peduli bujukannya.Saat ini kein
“Alia…” Panggilan Erland terdengar bersama suara langkah mendekat. Harum aroma sabun mandinya langsung menyerbu indra pencumanku. Tetap saja kupejamkan mata sambil berbaring miring dan menahan selimut hingga ke leher.“Kamu pura-pura tidur? Bukannya kamu bilang sangat gerah dengan gaun itu, kenapa sekarang bergelung selimut hmh?”Astaga. Aku memang bodoh sekali. Memaksa Erland segera pulang ke rumah ini, tapi mandi pun bahkan tak bisa karena koper pakaianku masih belum tiba. Dan Kamar tidur tamu yang rencananya kujadikan privacy, atau tepatnya persembunyian itu pun malah kosong melompong.Sreeet! Selimut ditarik hingga melorot ke betisku. Sontak aku bangun duduk dengan mata melotot.“Er….?”“Mandi lah, kau bisa menggunakan jubah mandi ini."“Nanti saja,” Aku berpaling dengan jengkel, lelaki itu kini tersenyum dan duduk di tepi tempat tidur. Kulit wajahku terasa menghangat, matanya menyapu penampakanku yang tak karuan.Gelungan rambutku yang oleh MUA ditata cantik sudah kulepaskan tap
Di meja makan kami menyantap menu yang dipesan Erland tadi tanpa berbicara, lalu setelah selesai lelaki itu segera saja pamit pergi.“Pintu depan biar Kukunci sendiri, sebelum pukul sepuluh malam aku sudah balik.” kata-katanya diiringi dengan mengusap bahuku lembut.Aku tak sempat mengucap tanggapan, hanya terpaku memandangi punggungnya meninggalkan ruang makan. Apa-apan sih, tega betul dia meninggalkanku sendirian pada hari pertama aku menjejakkan kaki di rumah ini?Akan tetapi sisi lain ruang hatiku menyanggah sendiri kedongkolanku itu. Biarlah Erland pergi, aku juga tidak siap bila adegan di ranjang tadi berlanjut. Gelagatnya ciuman di kening pasti akan berlanjut kemana-mana, jika tidak terhenti oleh bunyi dering telpon.Kubaringkan tubuh di tempat tidur dengan rasa penasaran yang tak urung menyergap hati. Kenapa Erland pergi di malam pertama kami? Walaupun katanya hanya beberapa jam, tapi kenapa pula tidakmenyebutkan tujuan kepergiannya. Mustahil kan di hari perkawinan dia meng
Paket! Seorang kurir berhenti di balik pagar kayu ulin yang diplitur mengkilap setinggi telingaku. Agak ragu aktivitasku terhenti, kutoleh dan benar saja seorang abang kurir menyodorkan sebuah kotak paket.“Atas nama Alia Miresti, bisa minta tanda terimanya di lembar sini?”kuterima resi tanda terima dan mencoretkan paraf di salah satu sudutnya. Kotak persegi empat seukuran pizza extra jumbo kini berpindah ke tanganku. Si abang kurir segera tancap gas seiring ucapan terima kasihku.Siapa yang mengirimiku paket ke alamat rumah Erland? Sepertinya ada yang terlambat mengirimkan kado pernikahan, tapi kenapa yang satu ini tidak mennyusul dikirim ke rumah Om Rudi? Setahuku pihak even organizer sudah mengirimkan semua bingkisan untuk mempelai ke rumah Om Rudi yang alamatnya tercatat sebagai pengguna jasa EO.“Paket untukmu?” Erland muncul menjejeriku duduk di sofa ruang tamu.“He-em, sepertinya ada yang telat kasih kado lalu mengirim ke sini. Mungkin nanya ke Om Rudi alamat Kamu,”. Aku memand
Alia, Menikah itu seperti melakukan perjalananKadang kau mendapatkan teman di sampingmu Saling berbincang, berbagi ceritaMaka itu menyenangkanSuatu kali kau mendapati orang asingLalu perjalanan menjadi sangat membosankan.Barangkali segenggam permen ....Akan kutawarkan?Alia,Bila perjalananmu terasa nyamanCarilah gaun yg cocok dengan iniKenakan lah....Doaku beruntai dari sini?Kado sebesar kotak pizza ekstra jumbo itu kini terbuka.Selembar outer cantik yang terlipat kurentangkan, siapa pengirimnya? Kado ini bukan untuk Rivana, namaku tertulis jelas berarti si pemberi mengetahui aku lah yang akhirnya menikahi Erland.Temanku tidak mungkin, karena aku tak sempat memberitahukan pernikahan mendadak ini ke seorang pun. Salah satu dari Keluarga Om Rudi kah? Atau Rivana ....yang mengirimnya dari suatu tempat entah di mana.Aku berpikir keras pun tetap tak punya jawaban. Siapa sih, kenapa mengirimi bingkisan disertai seuntai kata yang maknanya pun tak kumengerti sepenuhnya.Suara
Tubuh ramping Alia menyamping memunggungi. Baru saja ku jeda ciumanku melumat bibirnya. Bukan tak sanggup menahan kedua tangannya yang mendorong, melainkan kesadaranku sendiri yang tidak menginginkan Alia merasa dipaksa di malam pertama.Wanita ini sangat yakin aku menjadikannya sebagai pelarian, setelah Rivana kabur meninggalkan pelaminannya. Alia kemudian dipaksa oleh keluarganya menggantikan sepupunya sebagai pengantinku.Aku tak keberatan karena lebih mudah mengupayakan keberadaanku di hidup Alia daripada Rivana. Alia jauh lebih polos, sedangkan Rivana? Pikiran Rivana sudah teracuni oleh seorang Dipo, kekasihnya selama 4 tahun itu pasti masih dicintainya. "Kenapa mau menikahiku padahal kau mencintai orang lain?" Begitu pertanyaan yang diteriaki oleh Rivana pada H-1 sebelum tanggal yang diatur sebagai tanggal pernikahan kami."Menikahi itu komitmen Riva, sedangkan mencintai itu persoalan hati, Dua hal yang bisa berjalan sendiri-sendiri." Jawabku tenang. Sudah kuduga Rivana akan me
Erland meraih lenganku menggandeng masuk ke sebuah butik dengan etalase yang cukup wah."Kita akan berlomba, siapa yang lebih cepat mendapatkan masing-masing tiga yang terbaik dari koleksi mereka" bisik lelaki itu sebelum mendorong pintu kaca. "Kenapa harus begitu?" Kutahan langkah hingga ia juga berhenti dan menjawab rasa heranku."Pertama supaya kau bebas memilih sesuai passion-mu, kedua aku juga mau dong, memilihkan untuk istri sendiri?" Kerlingannya membuatku tersenyum. Kami berpisah ke sisi yang berbeda, mataku mulai menyisiri sederet outfit yang ditata apik. Butik ini juga memajang koleksi gaun cantik yang terbaik produk brand ternama."Ada yang bisa saya bantu?" Seorang petugas menawarkan bantuan dengan ramah. Sejurus kemudian aku merasa sangat terbantu oleh pelayanannya yang sangat prima mendampingi pengunjung.Bukan hanya tiga, tapi aku memperoleh sejumlah dua kali lipatnya stelan outfit yang berbahan nyaman dengan kesan luwes dan elegan. Biarlah nanti pak suami yang akan
Papa dan Mama Erland tentu saja merasa surprais menyambut kedatangan anak mantunya, kami pergi menggunakan penerbangan pertama hari sabtu dan langsung menuju kediaman orang tua suamiku.Mama Erland sampai mengerling senang beberapa kali kepada putranya, seolah tak sabar apa gerangan penyebab mantunya bersedia diboyong secepat ini. "Mama pikir kalian masih honey moon, eeeh ternyata bikin kejutan buat Mama toh?" Tante Netty memeluk dan cipika-cipiki dengan bahagia. "Kalau Alia bisa membujuknya seperti ini, pasti lain kali putramu bakal sering pulang Ma!" Om Kaffa suaminya ikut berkomentar seraya tertawa menyinggung Erland yang rupanya sangat jarang pulang.Mama-Papa Erland menawarkan kami berempat untuk makan malam di luar, di tempat spesial keluarga mereka. Tentu saja Erland menolak dan mengatakan dirinya akan pulang dengan penerbangan terakhir malam ini.Menjelang siang baru lelaki itu membawaku makan siang demi mengenalkan lidahku pada kuliner khas kota kelahirannya. "Keluarga bes