Tubuh ramping Alia menyamping memunggungi. Baru saja ku jeda ciumanku melumat bibirnya. Bukan tak sanggup menahan kedua tangannya yang mendorong, melainkan kesadaranku sendiri yang tidak menginginkan Alia merasa dipaksa di malam pertama.Wanita ini sangat yakin aku menjadikannya sebagai pelarian, setelah Rivana kabur meninggalkan pelaminannya. Alia kemudian dipaksa oleh keluarganya menggantikan sepupunya sebagai pengantinku.Aku tak keberatan karena lebih mudah mengupayakan keberadaanku di hidup Alia daripada Rivana. Alia jauh lebih polos, sedangkan Rivana? Pikiran Rivana sudah teracuni oleh seorang Dipo, kekasihnya selama 4 tahun itu pasti masih dicintainya. "Kenapa mau menikahiku padahal kau mencintai orang lain?" Begitu pertanyaan yang diteriaki oleh Rivana pada H-1 sebelum tanggal yang diatur sebagai tanggal pernikahan kami."Menikahi itu komitmen Riva, sedangkan mencintai itu persoalan hati, Dua hal yang bisa berjalan sendiri-sendiri." Jawabku tenang. Sudah kuduga Rivana akan me
Erland meraih lenganku menggandeng masuk ke sebuah butik dengan etalase yang cukup wah."Kita akan berlomba, siapa yang lebih cepat mendapatkan masing-masing tiga yang terbaik dari koleksi mereka" bisik lelaki itu sebelum mendorong pintu kaca. "Kenapa harus begitu?" Kutahan langkah hingga ia juga berhenti dan menjawab rasa heranku."Pertama supaya kau bebas memilih sesuai passion-mu, kedua aku juga mau dong, memilihkan untuk istri sendiri?" Kerlingannya membuatku tersenyum. Kami berpisah ke sisi yang berbeda, mataku mulai menyisiri sederet outfit yang ditata apik. Butik ini juga memajang koleksi gaun cantik yang terbaik produk brand ternama."Ada yang bisa saya bantu?" Seorang petugas menawarkan bantuan dengan ramah. Sejurus kemudian aku merasa sangat terbantu oleh pelayanannya yang sangat prima mendampingi pengunjung.Bukan hanya tiga, tapi aku memperoleh sejumlah dua kali lipatnya stelan outfit yang berbahan nyaman dengan kesan luwes dan elegan. Biarlah nanti pak suami yang akan
Papa dan Mama Erland tentu saja merasa surprais menyambut kedatangan anak mantunya, kami pergi menggunakan penerbangan pertama hari sabtu dan langsung menuju kediaman orang tua suamiku.Mama Erland sampai mengerling senang beberapa kali kepada putranya, seolah tak sabar apa gerangan penyebab mantunya bersedia diboyong secepat ini. "Mama pikir kalian masih honey moon, eeeh ternyata bikin kejutan buat Mama toh?" Tante Netty memeluk dan cipika-cipiki dengan bahagia. "Kalau Alia bisa membujuknya seperti ini, pasti lain kali putramu bakal sering pulang Ma!" Om Kaffa suaminya ikut berkomentar seraya tertawa menyinggung Erland yang rupanya sangat jarang pulang.Mama-Papa Erland menawarkan kami berempat untuk makan malam di luar, di tempat spesial keluarga mereka. Tentu saja Erland menolak dan mengatakan dirinya akan pulang dengan penerbangan terakhir malam ini.Menjelang siang baru lelaki itu membawaku makan siang demi mengenalkan lidahku pada kuliner khas kota kelahirannya. "Keluarga bes
Aku menuruni anak tangga dengan dengan agak cepat, tapi baru di tengah pada bagian yang melengkung langkah kaki terhenti begitu ucapan seseorang di ruang keluarga menerpa gendang telinga."Feysa bertemu Erland hari ini di ruang tunggu keberangkatan luar negeri, dia bersama Arumi?!" "Baru kemarin Erland pulang, dia mengantarkan istrinya, Alia menginap beberapa hari mengunjungi kami. Masa sih hari ini....?" Itu suara mama mertua, kalimatnya menggantung menanggapi.Tubuhku refleks terduduk di anak tangga, berlindung dengan tetap memasang telinga. Untungnya pagar tangga terbuat dari beton berpola penuh semacam model guci ramping berderet rapat itu bisa menyembunyikan tubuhku. Dari ruang keluarga, sofa menghadap ke jendela kaca yang menyajikan asri dan hijaunya pemandangan taman samping. Jika mama mertua duduk dia harus berdiri dan berbalik untuk memantau situasi sekitar tangga ini."So what?! Jadi istrinya diantar ke sini sementara dia pergi keluar negeri dengan Arumi? Bener-bener ya ana
"Tidak usah memikirkan Erlan, dia sedang bersama Arumi." Kata-kata yang diucapkan dengan santai, sementara mataku membulat menatap Restu. Tanpa basa basi lelaki ini langsung ke poin permasalahanku. Apakah kelakuan Erland sudah bukan rahasia lagi di kalangan keluarganya? Berarti aku saja yang tidak tahu apa-apa?"Keluarga kalian sangat moderat ya, saling terbuka dan memaklumi apa pun gaya hidup yang dipilih?" pungkasku setengah dongkol karena Restu bisa membaca kemelut isi pikiranku. "Kau pun sangat berani Alia, aku jadi penasaran apa tindakanmu setelah semuanya menjadi jelas nanti?" tandas Restu tak mau berhenti mengusikku.Sesaat aku terdiam, menimbang. Apakah aku akan terus terpancing pada lelaki ini, terus mencari tahu kebenaran tentang Erland. Tapi berikutnya apa? Bisa jadi pricacy rumah tanggaku dan harga diri suamiku jadi taruhannya.Bersabarlah Alia, jangan gegabah membongkar aib pernikahan. Toh, Erland sendiri baru tahap berbohong. Suamiku itu tidak mempermalukanku atau menca
Aku baru saja menggeser pintu pagar dan hendak berbalik masuk ke rumah, ketika sebuah mobil berhenti. Pintu belakang terbuka dan sesosok wanita yang berjalan memutari mobil segera saja ku kenali.Gegas kubuka kembali pagar dan menyambut dengan rasa campur aduk. "Alia...." Rivana menghambur memelukku, bagai bertahun-tahun tak bertemu. Padahal baru tiga minggu berlalu sejak H-1 hari akad nikah dengan Erland yang diabaikannya."Ayo masuk, nanti dikira orang ada apa kamu nangis-nangis begini?" kuhela lengannya ke arah teras setelah menutup kembali pagar. Rivana tadi datang dengan jasa taksi online. "Kamu benci sama aku, Al? Sumpah aku tidak menyangka papa memaksa kamu nikah dengan Erlan!" Rivana mengambil dua tangannku dalam genggamannya, kini kami duduk bersisian di sofa ruang tamu. Kulihat Rivana agak kurusan dibalik kaos lengan panjang dan kulot lebar yang dikenakannya. Nampak sekali penyesalan terpancar di wajah sepupuku ini, rasa bers
"Alia...?!" Erland menggoyangkan tangan di depan wajahku, menarik kesadaranku yang mengambang hendak mengambil sikap."Eh, kamu mau kumasakkan sesuatu? Di kulkas masih ada sayur pelengkap buat nasi goreng spesial?" ucapku membelokkan perhatian. Huh, nyatanya aku yang belum siap menabuh genderang perang."Masakanmu selalu spesial. Porsinya jangan ngepas, aku bisa nambah sebab kangen racikanmu. Sekarang kutinggal mandi dulu?" sahut Erland seraya tersenyum mengguyur hatiku yang panas dingin. Lelaki itu lantas bangkit dan kembali ke kamar.Aku merutuki diri sendiri yang tak seberani Rivana menghadapi kenyataan. Sebelah hatiku bagai tak rela manakala pikiranku ingin memvonis bahwa rumah tangga kami mesti diakhiri secepat ini.Kuenyahkan kata hati dan olah pikir yang tak sinkron, beralih membuka kulkas dan mulai meracik bahan untuk tiga porsi nasi goreng andalan. Sengaja kali ini tidak menggunakan bumbu instan dan malah menguleg bumbu dasarnya setelah m
Dua hingga tiga hari setelah kepulangan Erland, aku masih tidak memiliki alasan, atau pun keberanian untuk membuka wacana kebohongannya yang tertangkap basah oleh Feysa.Erland tiada menunjukkan gelagat tak wajar, sikapnya malah semakin hangat seperti hari ini. Sejak pagi hendak berangkat kerja dia berkata akan pulang cepat untuk mengajak makan malam. Aku diminta pesan gofood saja buat makan siang jadi seharian tak perlu repot ke dapur."Kujemput di sini atau di rumah kecantikan di mana gitu? Kau mungkin ingin melakukan perawatan?" Duh, sedetail itu perhatiannya pada kebutuhan memanjakan diri yang bahkan terabaikan olehku sendiri."Ya, nanti kukabari di mana lokasinya. Thanks sudah memberi ide," kuangguki sarannya dengan positif thingking bahwa itu kode darinya menginginkan istri tampil lebih fresh dan glowing.Jadilah semenjak pukul sepuluh pagi aku menjalani perawatan wajah dan tubuh lengkap di sebuah Rumah Kecantikan dan Spa yang reko