Aku menuruni anak tangga dengan dengan agak cepat, tapi baru di tengah pada bagian yang melengkung langkah kaki terhenti begitu ucapan seseorang di ruang keluarga menerpa gendang telinga."Feysa bertemu Erland hari ini di ruang tunggu keberangkatan luar negeri, dia bersama Arumi?!" "Baru kemarin Erland pulang, dia mengantarkan istrinya, Alia menginap beberapa hari mengunjungi kami. Masa sih hari ini....?" Itu suara mama mertua, kalimatnya menggantung menanggapi.Tubuhku refleks terduduk di anak tangga, berlindung dengan tetap memasang telinga. Untungnya pagar tangga terbuat dari beton berpola penuh semacam model guci ramping berderet rapat itu bisa menyembunyikan tubuhku. Dari ruang keluarga, sofa menghadap ke jendela kaca yang menyajikan asri dan hijaunya pemandangan taman samping. Jika mama mertua duduk dia harus berdiri dan berbalik untuk memantau situasi sekitar tangga ini."So what?! Jadi istrinya diantar ke sini sementara dia pergi keluar negeri dengan Arumi? Bener-bener ya ana
"Tidak usah memikirkan Erlan, dia sedang bersama Arumi." Kata-kata yang diucapkan dengan santai, sementara mataku membulat menatap Restu. Tanpa basa basi lelaki ini langsung ke poin permasalahanku. Apakah kelakuan Erland sudah bukan rahasia lagi di kalangan keluarganya? Berarti aku saja yang tidak tahu apa-apa?"Keluarga kalian sangat moderat ya, saling terbuka dan memaklumi apa pun gaya hidup yang dipilih?" pungkasku setengah dongkol karena Restu bisa membaca kemelut isi pikiranku. "Kau pun sangat berani Alia, aku jadi penasaran apa tindakanmu setelah semuanya menjadi jelas nanti?" tandas Restu tak mau berhenti mengusikku.Sesaat aku terdiam, menimbang. Apakah aku akan terus terpancing pada lelaki ini, terus mencari tahu kebenaran tentang Erland. Tapi berikutnya apa? Bisa jadi pricacy rumah tanggaku dan harga diri suamiku jadi taruhannya.Bersabarlah Alia, jangan gegabah membongkar aib pernikahan. Toh, Erland sendiri baru tahap berbohong. Suamiku itu tidak mempermalukanku atau menca
Aku baru saja menggeser pintu pagar dan hendak berbalik masuk ke rumah, ketika sebuah mobil berhenti. Pintu belakang terbuka dan sesosok wanita yang berjalan memutari mobil segera saja ku kenali.Gegas kubuka kembali pagar dan menyambut dengan rasa campur aduk. "Alia...." Rivana menghambur memelukku, bagai bertahun-tahun tak bertemu. Padahal baru tiga minggu berlalu sejak H-1 hari akad nikah dengan Erland yang diabaikannya."Ayo masuk, nanti dikira orang ada apa kamu nangis-nangis begini?" kuhela lengannya ke arah teras setelah menutup kembali pagar. Rivana tadi datang dengan jasa taksi online. "Kamu benci sama aku, Al? Sumpah aku tidak menyangka papa memaksa kamu nikah dengan Erlan!" Rivana mengambil dua tangannku dalam genggamannya, kini kami duduk bersisian di sofa ruang tamu. Kulihat Rivana agak kurusan dibalik kaos lengan panjang dan kulot lebar yang dikenakannya. Nampak sekali penyesalan terpancar di wajah sepupuku ini, rasa bers
"Alia...?!" Erland menggoyangkan tangan di depan wajahku, menarik kesadaranku yang mengambang hendak mengambil sikap."Eh, kamu mau kumasakkan sesuatu? Di kulkas masih ada sayur pelengkap buat nasi goreng spesial?" ucapku membelokkan perhatian. Huh, nyatanya aku yang belum siap menabuh genderang perang."Masakanmu selalu spesial. Porsinya jangan ngepas, aku bisa nambah sebab kangen racikanmu. Sekarang kutinggal mandi dulu?" sahut Erland seraya tersenyum mengguyur hatiku yang panas dingin. Lelaki itu lantas bangkit dan kembali ke kamar.Aku merutuki diri sendiri yang tak seberani Rivana menghadapi kenyataan. Sebelah hatiku bagai tak rela manakala pikiranku ingin memvonis bahwa rumah tangga kami mesti diakhiri secepat ini.Kuenyahkan kata hati dan olah pikir yang tak sinkron, beralih membuka kulkas dan mulai meracik bahan untuk tiga porsi nasi goreng andalan. Sengaja kali ini tidak menggunakan bumbu instan dan malah menguleg bumbu dasarnya setelah m
Dua hingga tiga hari setelah kepulangan Erland, aku masih tidak memiliki alasan, atau pun keberanian untuk membuka wacana kebohongannya yang tertangkap basah oleh Feysa.Erland tiada menunjukkan gelagat tak wajar, sikapnya malah semakin hangat seperti hari ini. Sejak pagi hendak berangkat kerja dia berkata akan pulang cepat untuk mengajak makan malam. Aku diminta pesan gofood saja buat makan siang jadi seharian tak perlu repot ke dapur."Kujemput di sini atau di rumah kecantikan di mana gitu? Kau mungkin ingin melakukan perawatan?" Duh, sedetail itu perhatiannya pada kebutuhan memanjakan diri yang bahkan terabaikan olehku sendiri."Ya, nanti kukabari di mana lokasinya. Thanks sudah memberi ide," kuangguki sarannya dengan positif thingking bahwa itu kode darinya menginginkan istri tampil lebih fresh dan glowing.Jadilah semenjak pukul sepuluh pagi aku menjalani perawatan wajah dan tubuh lengkap di sebuah Rumah Kecantikan dan Spa yang reko
Pagi ini kuterima kabar kesehatan bunda yang memburuk, beliau drop tadi malam dan dilarikan ke rumah sakit menjelang subuh."Bisa antarkan ke rumah sakit, Er? Kondisi bunda turun drastis...""Ya, aku pasti ke rumah sakit juga. Aku mengabari kantor dulu karena masuk terlambat," suamiku menyahut ditengah kesibukannya mengenakan kemeja kerja yang sudah kusiapkan."Ehm, aku kemungkinan menginap....?" sambungku bermaksud meminta izinnya. Selama belum bersuami, memang aku lah yang siaga di sisi bunda bila dirawat di rumah sakit."Iya Al, bersiaplah. Oh ya, bagaimana kalau sarapannya dijadikan bekal saja. Setelah memastikan keadaan bunda kita bisa menyantapnya di sana?" Sarannya itu membuatku gegas ke meja makan, mengemas menu sarapan dalam kotak sekali pakai. Tak lupa membungkus sendok dengan kertas tissue dan menyertakan dua botol air mineral.Setelah itu balik ke kamar memasukkan baju ganti dan selimut serta sabun muka plus sikat gi
Setelah lima hari dirawat di rumah sakit akhirnya bunda bisa pulang dan berikutnya harus menjalani kemoterapi. Terkadang pikiranku kalut, sampai kapankah bunda bisa bertahan dalam pengobatan. Teman masa SMA-ku yang mengidap kanker payudara berpulang pada Illahi Rabbi setelah tujuh tahun berjuang melawan sel kanker. Lalu bagaimana dengan bunda yang usianya menjelang limapuluh tahun?"Mandi dulu atau mau langsung temani aku makan gado-gado ini?" Suamiku menyambut dengan memperlihatkan dua porsi gado-gado."Aku cuci muka dan tangan dulu deh, kayaknya dimakan sekarang lebih enak?" ujarku yang jadi tergiur membayangkan jenis santapan dilengkapi kerupuk itu.Petang ini Erland sudah lebih dahulu tiba di rumah ketika aku pulang dari menjenguk bunda dengan taksi online. Semingguan ini aku memang bolak-balik ke rumah orang tuaku, sebelum kuliah sekalian mengantar porsi masakan yang kubuat untuk ayah bunda. Bisa juga pulang dari kampus aku singgah lalu mala
Dua hari setelahnya aku belum punya cara menyampaikan berita kehamilan pada Erland. Sore ini pukul setengah enam suamiku baru pulang kerja, setelah membersihkan diri maka seperti biasa Erland mencari kesibukan sendiri sedangkan aku berkutat menyiapkan makan malam. Kali ini seleraku adalah sambal goreng jeroan dan hati berkuah santan dengan sayuran lengkap wortel, kembang kol, buncis dan telur puyuh.Sambil menunggu kuah meresapkan bumbu dan bahan isian di atas api kecil, ku iris buah dan mulai menyemil potongan buah pear. Erland mendekat dan ikut menikmati dari piring yang kusodorkan ke dekatnya."Besok aku izin mengantar Arumi berobat lagi, Al?"Uhuk ! Aku tersedak dan gegas meraih gelas minum yang kuteguk dengan darah mendesir. Kejujuran laki-laki ini sungguh mengejutkan.Bermaksud meredakan gemuruh dalam dada, aku berdiri mematikan kompor. Hasilnya sandal pun terkait kaki kursi membuat tubuhku sedikit oleng. Dalam hati aku merutuki be