Irawati tak bisa tidur hingga tengah malam, sekeras apa pun usahanya memejamkan mata cerita kengerian kematian anak Bik Sum membuat ia semakin terjaga dalam ketakutan. Irawati selalu merasa sedang ada yang tengah mengawasi dirinya, ia ingin sekali mengarahkan pandangan ke sudut kamar tapi rasa takut membuat ia hanya berani berpaling sementara rasa merinding semakin mengacaukan pikiran dirinya.
Ia terus meringkuk dan gemetar, mulutnya tak berhenti berdoa hingga ia tertidur. Di dalam mimpi Irawati tengah berada di sebuah pulau kecil di tengah lautan. Di sana ia sendirian dan ketakutan, hingga sosok wanita tua menghampiri dirinya. “Kamu berikutnya!” Suara serak wanita tua itu begitu menakutkan. Wajahnya yang pucat dan rambut yang terurai basah membuat Irawati menjerit ketakutan. “Buk, bangun buk!” Sekar menggoyangkan tubuh Irawati yang mengigau ketakutan. Tubuh majikan wanitanya itu sudah basah kuyup oleh keringat dingin dan nafas yang naik turun. Begitu tersadar dari tidurnya Irawati segera memeluk erat tubuh Sekar. “Kenapa Bik Sum selalu menghantuiku dalam mimpi?” tanya Irawati begitu memeluk Sekar. Tentu saja gadis yang masih berusia 19 tahun itu tidak bisa menjawabnya. “Mungkin hanya mimpi buruk biasa Buk. Jangan Khawatir besok pagi warga sudah akan melakukan selamatan desa. Semoga setelah ini arwah Bik Sum bisa tenang,” jawab Irawati menghibur majikan yang sudah seperti kakak baginya. Pagi hari Warga sudah bersiap dengan berbagai nasi tumpeng dan jajanan yang sudah tertata rapi secara berundak seperti gugusan gunung. Banyak anak kecil berlarian sepanjang pantai karena begitu suka pada keramaian dan warna-warni dari aneka tumpeng yang berjajar di pinggir pantai. “Bawa ke sini semua persembahan, mari kita mulai larungan,” titah Lek Harso pada warga yang berada di belakang tubuhnya. Irawati menatap setiap proses larungan, ia membawa juga kedua anaknya ke bibir pantai. Anak bungsunya Moana yang berumur enam bulan tengah tertidur lelap dalam gendongan jarik pengasuhnya sekarang, sementara Sena berlarian bersama anak-anak lain di pinggiran pantai. Tanpa ada aba-aba sebuah ombak besar datang, menggulung tubuh beberapa anak hingga menuju ke tengah laut. Sebagian orang dewasa yang tengah melarung sesaji bisa menyelamatkan diri tapi tidak dengan tubuh-tubuh kecil itu, mereka terbawa arus. Irawati baru menyadari setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling dan tidak menemukan Sena. Spontan ia berteriak sama seperti empat ibu lain yang anaknya tersapu ombak pantai. “Tolong Sena, dia juga tersapu ombak!” teriak Irawati. Beberapa pria dewasa segera menyelamatkan tubuh-tubuh kecil yang timbul tenggelam. Ombak besar terus berdatangan dan menciutkan langkah-langkah lain yang ingin ikut membantu proses penyelamatan. Empat anak lain berhasil di tarik ke tepi pantai, tapi Sena sudah tak terlihat lagi. Tubuhnya menghilang, ombak besar terus menggulung hingga melemahkan kaki para pria di sana untuk berenang mencari tubuh Sena. Irawati histeris, ia hampir saja menerjang lautan yang ombaknya semakin mengganas. Tapi tubuhnya berusaha di tahan sekuat mungkin oleh empat ibu-ibu yang berada di sebelahnya. Irawati menangis dan meraung, “Selamatkan Sena! Kumohon!“Lepaskan aku! Aku harus menolong anakku, “Kembalikan anakku!” teriak Irawati pada lautan. Begitu banyak teriakan hingga membuat urat-urat di lehernya hampir pecah. Suaranya bahkan menjadi parau, tapi debur ombak tak menciut. Ombak itu terus menderu hingga beberapa jam kemudian. Irawati kini lemas, ia terbujur lemas di atas pasir putih pantai. Kepalanya di sandarkan pada dada Ibu Hani, sementara ada dua ibu-ibu lain yang tak berhenti memijat kakinya. “Minumlah ini,” pinta Lek Harso sambil membawa sebotol air mineral yang sudah ia Doakan. “Jika aku meminum ini apakah anakku akan kembali?” tanya Irawati dengan suara seraknya pada Sang Juru Kunci. “Kamu seharusnya tidak berada di sekitar pantai lagi! Bukankah sebelum mati wanita tua itu sudah mengatakan sesuatu padamu!”Dheg! Jantung Irawati seperti di hantam martil, bagaimana lelaki tua itu bisa mengetahui sesuatu yang hanya ia dan Bik Sum tahu. Irawati tak pernah menyangka bahwa anaknya yang masih kecil bisa menjadi incaran Ratu Segara, ia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu terjadi. Hari mulai larut dan pencarian terpaksa di hentikan, tapi tidak dengan Irawati. Ia masih saja menangis histeris sepanjang pantai, berharap tubuh anaknya terdampar dan kembali dengan selamat. Ia menangis dan meraung sepanjang pantai. “Bagaimana caraku menjelaskan semua ini pada ayahmu Nak!” Ekawira adalah suami Irawati yang saat ini sedang bekerja sebagai Ahli Geologi di pengeboran minyak lepas pantai. Tiga hari lagi ia akan pulang dari dinasnya di tengah lautan. Irawati begitu ketakutan, bagaimana ia akan menyambut kepulangan suaminya dengan kabar duka ini. Lek Harso berdiri di sudut pantai, dalam diam ia masih berusaha mencari kabar tentang Sena dari makhluk mistis penjaga pantai. Ia sebenarnya merasa penasaran, bagaimana mungkin penguasa pantai menolak persembahan ayam cemani yang ia larungkan dan justru beralih pada menyeret tubuh anak kecil yang masih berumur sepuluh tahun ke lautan. “Tolong Anakku Mbah!” pinta Irawati menghampiri juru kunci pantai ini. Ia tahu lelaki tua ini punya kelebihan yang tidak di miliki orang sembarangan. Bahkan lelaki tua itu mengetahui kata terakhir Bik Sum yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun. “Bilang pada Ratu Segara kembalikan anakku! Dia masih kecil!” Irawati memohon dengan putus asa. Ia bahkan kini berlutut di depan kaki Lek Harso. “Ini bukan ulah Ratu Segara,” jawab Lek Harso, sosok mistis penjaga pantai baru saja menyampaikan kabar melalui bisikan yang hanya ia bisa dengar. “Apa maksudnya?”“Ia hanya sedang tidak beruntung hari ini karena tergulung ombak. Anak lain bisa selamat karena di ajari berenang sejak kecil di lautan hingga bisa mempertahankan tubuhnya tetap timbul di permukaan. Tapi anakmu tidak bisa melakukan itu,” terang Lek Harso.Irawati lemas, ia merasa menjadi ibu yang sangat buruk. Seharusnya ia tidak membiarkan Sena berlarian di luar jangkauannya. Irawati menempatkan semua kesalahan di pundaknya sekarang, hingga ia merasa berat dan sesak untuk bernafas. “Tapi, anakmu masih bisa kembali dengan selamat,” kata Lek Harso. Mata Irawati seketika menjadi berkilau, ia yang hampir ambruk seolah mendapat suntikan energi hanya dengan satu kalimat pria tua di depannya. “Tapi ada bayaran mahal itu!” “Berapa pun itu akan saya berikan Mbah!” “Ini bukan tentang uang,” Irawati mencoba menahan desiran kuat darahnya, ada rasa takut menjalar di setiap sendi mendengar jawaban Lek Harso, tapi Irawati hanya seorang ibu biasa seperti yang lain. Apa saja akan ia lakukan demi keselamatan anaknya bahkan dengan imbalan darahnya sendiri. “Apa saja akan aku lakukan asal anakku kembali Mbah!” yakin Irawati meski ada ketakutan yang mendera dirinya. “Lakukan perjanjian Gaib dengan Ratu Segara!”Setelah memikirkan perkataan Ambar, hati Amitha mulai tergerak. Ia kemudian mengesampingkan egonya, yang terpenting adalah ia dan Sena bertahan hidup terlebih dulu. Jika mereka ditakdirkan untuk saling mencintai waktu akan menjawabnya sendiri pada akhirnya. Amitha menghubungi Catra, ia menyatakan kesediaannya untuk menikah dengan Sena, tapi ia ingin upacara pernikahan itu di lakukan secara diam-diam. Catra kemudian mengatur pertemuan dengan Sena dan Amitha pada hari berikutnya. “Guruku mengatakan bahwa pernikahan kalian harus di lakukan pada lima hari lagi di tempat Mbah Dayat. Wilayah itu sudah di pagari, dan akan menetralisir kekuatan Ratu Segara.” Amitha hanya mengangguk dengan malas ia tampak tak tertarik dan hanya ingin mengikuti alur. Ayahnya sudah tiada dan ia hanya tinggal dengan ibunya. Dia juga tak membutuhkan wali dari pihak keluarganya. Beberapa hari kemudian adalah hari yang di tentukan. Sena, Amitha dan Catra berkendara menuju ke tempat
Setelah menyesap minuman itu Sena merasakan dirinya menjadi linglung, darah di tubuhnya seolah mendidih dan ia merasa sedikit panas. Ada gairah yang tak terbendung saat melihat Elena.“Tak apa sayang, kamu hanya perlu melepaskan semua yang kamu inginkan.”Elena melingkarkan lengannya ke leher Sena, pria itu segera mencium Elena dengan kasar seolah ingin menyedot tubuh Elena menjadi satu dengan dirinya. Sena segera menggendong tubuh Elena ke ranjang dengan hati-hati. Melanjutkan tiap gerakan panas mereka di sana, namun selangkah saat inti dari pada kegiatan akan berada di puncak. Elena mendadak mengerang kesakitan, lehernya terasa panas seperti tercekik.Melihat ada yang tidak beres Sena kembali ke akal sehatnya. Ia bingung dan mulai teringat pada kesalahan yang akan ia perbuat. Tak ada banyak waktu untuk menolong Elena, gadis ini pasti akan menemui ajalnya. Wajah Elena sudah pucat dan lehernya memerah seperti luka bakar.“Tidak! Tolong l
Amitha terkejut saat Sena mengatakannya bahwa dirinya selama ini adalah pengantin langit yang di cari Sena. Tak banyak yang tahu bahwa dia adalah pengantin langit kecuali keluarga dekatnya.“Kenapa kamu bisa tahu tentang pengantin langit? Siapa yang memberitahu dirimu?” tanya Amitha dengan mencengkeram lengan Sena.Sena segera membuka sepatunya dan juga kaos kaki yang ia kenakan. Amitha heran pada apa yang di lakukan Sena, tapi sesaat kemudian lelaki itu menunjukkan sebuah tanda trisula di kaki kirinya.“Lihatlah, nasibku tidak jauh berbeda denganmu. Hanya saja aku adalah pengantin samudera.”Amitha mundur beberapa langkah, ia hampir tak mempercayai apa yang di katakan Sena, tapi saat ia memperhatikan lebih jelas mimik Sena ia tak melihat adanya kebohongan di balik itu.“Kenapa kamu mencari pengantin langit?”“untuk menyelamatkan kita dari nasib buruk ini.”“Adakah hal seperti itu?
Melihat wajah serius dari Harun, Amitha tahu bawa sepupunya ini sudah bertekad untuk tidak melakukan pendakian dan membawanya turun. Amitha tak punya pilihan lain dan pada akhirnya mengekor langkah Harun untuk kembali.“Bolehkah aku buang air kecil dulu?” tanya Amitha menghentikan langkah kakinya.“Baiklah, jangan terlalu jauh agar tidak tersesat. Aku akan menunggumu di sini.”Karena berbeda jenis kelamin Harun tak mungkin mengikuti Amitha untuk buang air kecil. Ia justru memalingkan pandangan matanya ke arah lain agar Amitha bisa buang air kecil dengan nyaman di semak-semak. Beberapa waktu telah berlalu, Amitha yang seharusnya kembali tak kunjung datang. Harun merasa resah, setelah ia melakukan beberapa kali teriakan untuk memanggil Amitha tapi ia tak mendapatkan jawaban. Ia akhirnya memutuskan untuk melihat area semak tempat Amitha tujuan tadi, tapi saat Harun sampai di sana bahkan jejak sepupunya pun tak ada.“Sial! Apa ya
Sena kembali ke apartemen tempat ia tinggal dengan Elena. Saat ia masuk Elena menyambutnya dengan pelukan hangat, mereka hampir tidak bertemu selama seminggu penuh. Begitu Sena datang Elena tak berhenti menghujani dirinya dengan ciuman dan pelukan. “Aku sangat merindukanmu,” rengek Elena. “Aku juga.” “Kamu seharusnya menghabiskan waktu libur bersamaku. Ke mana saja kamu pergi selama beberapa hari ini?” Elena menghabiskan waktu penuh kecurigaan selama Sena menghilang beberapa hari ini. Entah kenapa ia merasa bahwa Sena sedang menyembunyikan wanita lain di belakangnya. Elena menyipitkan matanya dan memiliki pemikiran buruk agar bisa mengikat Sena untuk tetap bersama dirinya. *** Di tengah malam Amitha terbangun dari mimpi buruknya. Ia seperti kembali di mana saat hari tergelap sepanjang hidupnya saat tersesat di Gunung Arang selama tiga hari. Ia berangkat bersama Harun menaiki gunung Arang. Harun merupakan sepupunya dan ia adalah Porter
Setelah menghabiskan malam di hotel Sena dan Catra memacu kendaraan menuju rumah wanita kedua yang jaraknya hampir 100 kilometer. Mereka baru saja menyelesaikan ujian tengah semester dan hanya punya waktu libur seminggu saja untuk melakukan pencarian keberadaan pengantin langit.Begitu sampai di desa pinggiran, mereka berhenti di rumah Hani, yang merupakan nomine kedua mereka.“Permisi, apakah Hani ada di rumah?” tanya Catra begitu memasuki pekarangan rumah. Ada seorang wanita dengan anak kecil yang tengah menjemur padi di depan rumah mereka.“Iya, saya sendiri. Ada apa ya?”Sena dan Catra terkesiap, mereka tak menyadari bahwa wanita yang mereka cari berubah lebih tua dari pada yang usia yang seharusnya. Wanita itu harusnya berusia 23 tahun tapi garis di wajahnya dan tanda kelelahan di bawah matanya membuat ia terlihat seperti berusia 40 tahun.“Kita mahasiswa dari Ibu Kota, ingin melakukan wawancara tentang dampak psi
Esok hari Sena dan Catra segera menuju sebuah kabupaten kecil tepat di sebelah ibu kota. Dari data yang mereka dapat seorang gadis berusia 23 tahun pernah tersesat di gunung Arang lima tahun lalu.Rumah sederhana gadis bernama Raya itu berada tak jauh di pusat kota. Sena bisa dengan mudah menemukannya dengan bantuan peta digital.“Sepertinya ada hajatan di rumah wanita yang bernama Raya itu,” kata Catra lirih setelah melihat ada tenda biru di depan rumah Raya. Ada pelaminan dengan dekorasi bunga plastik yang indah di dalam tenda biru itu.“Sepertinya pernikahan, apa menurutmu Raya akan menikah hari ini?” tiba-tiba saja mata Sena melebar. Jika Raya adalah pengantin langit, maka pernikahan ini adalah sebuah bencana.“Kita harus memastikan dulu siapa mempelainya, bisa saja ini pernikahan kerabat Raya.”Sena mengangguk, mereka berdua akhirnya turun dari mobil dan mendekat ke rumah Raya. Hanya ada dua karangan bunga u
Bruk!Suara hantaman benda tumpul membuat Amitha terkejut dan membuka matanya, sesaat kemudian ia melihat dua preman tadi tengah tersungkur dan mengerang karena pukulan keras tepat di belakang tengkuk lehernya. Ratna melarikan diri saat melihat ada pria lain datang memberi pertolongan pada Amitha.Dua preman itu segara bangkit untuk memberi serangan balasan. Sena bersiaga dengan tongkat kayu panjang yang berhasil ia temukan di tumpukan bekas pembangunan. Perkelahian dua lawan satu hampir membuat Sena terjepit, beruntung saat Sena sudah terpojok seorang satpam sedang mengarahkan senter ke arah mereka. Preman itu segera lari meninggalkan Sena dan Amitha.“Apa kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Sena menghampiri Amitha.Amitha menggeleng, sebagian dari jiwanya masih ketakutan. Jemarinya bahkan masih gemetar, Amitha yang masih shock hanya menjawab Sena dengan menggelengkan kepalanya.“Mari, aku akan mengantarmu ke kantor
Setelah menghabiskan malam panjang di dalam Gua Rimbi, mereka sampai di rumah Mbah Dayat saat fajar baru merekah. Ketiga tamu Mbah Dayat segera tidur di ruang tamu secara serampangan, mengabaikan betapa keras lantai yang hanya tertutup tikar tipis. Mereka tertidur dengan sekejap mata saat kepala mereka baru menempel di lantai. Mereka kelelahan secara mental dan fisik, tertidur seperti mayat dan baru bangun pada sore hari.“Jadi bagaimana cara menemukan pengantin langit?” tanya Sena saat Catra menemani dirinya duduk di teras rumah Mbah Dayat yang asri.Catra tak bisa menjawabnya, sebagai gantinya ia segera mengajak Sena berdiskusi dengan Pak Adi dan Mbah Dayat.“Sangat sulit mencari gadis itu hanya dengan petunjuk tanda di belakang lehernya. Kita tidak mungkin menyibak rambut tiap gadis yang kita temui,” keluh Pak Adi.“Mari kita perkecil pencarian.”Sena, Pak Adi dan Mbah Dayat menatap ke arah Catra penuh tanda t