Share

7 : Tenggelamnya Sena

Irawati tak bisa tidur hingga tengah malam, sekeras apa pun usahanya memejamkan mata cerita kengerian kematian anak Bik Sum membuat ia semakin terjaga dalam ketakutan. Irawati selalu merasa sedang ada yang tengah mengawasi dirinya, ia ingin sekali mengarahkan pandangan ke sudut kamar tapi rasa takut membuat ia hanya berani berpaling sementara rasa merinding semakin mengacaukan pikiran dirinya. 

Ia terus meringkuk dan gemetar, mulutnya tak berhenti berdoa hingga ia tertidur. Di dalam mimpi Irawati tengah berada di sebuah pulau kecil di tengah lautan. Di sana ia sendirian dan ketakutan, hingga sosok wanita tua menghampiri dirinya. 

“Kamu berikutnya!” Suara serak wanita tua itu begitu menakutkan. Wajahnya yang pucat dan rambut yang terurai basah membuat Irawati menjerit ketakutan. 

“Buk, bangun buk!” Sekar menggoyangkan tubuh Irawati yang mengigau ketakutan. Tubuh majikan wanitanya itu sudah basah kuyup oleh keringat dingin dan nafas yang naik turun. 

Begitu tersadar dari tidurnya Irawati segera memeluk erat tubuh Sekar. 

“Kenapa Bik Sum selalu menghantuiku dalam mimpi?” tanya Irawati begitu memeluk Sekar. Tentu saja gadis yang masih berusia 19 tahun itu tidak bisa menjawabnya. 

“Mungkin hanya mimpi buruk biasa Buk. Jangan Khawatir besok pagi warga sudah akan melakukan selamatan desa. Semoga setelah ini arwah Bik Sum bisa tenang,” jawab Irawati menghibur majikan yang sudah seperti kakak baginya. 

Pagi hari Warga sudah bersiap dengan berbagai nasi tumpeng dan jajanan yang sudah tertata rapi secara berundak seperti gugusan gunung. Banyak anak kecil berlarian sepanjang pantai karena begitu suka pada keramaian dan warna-warni dari aneka tumpeng yang berjajar di pinggir pantai. 

“Bawa ke sini semua persembahan, mari kita mulai larungan,” titah Lek Harso pada warga yang berada di belakang tubuhnya. 

Irawati menatap setiap proses larungan, ia membawa juga kedua anaknya ke bibir pantai. Anak bungsunya  Moana yang berumur enam bulan tengah tertidur lelap dalam gendongan jarik pengasuhnya sekarang, sementara Sena berlarian bersama anak-anak lain di pinggiran pantai. 

Tanpa ada aba-aba sebuah ombak besar datang, menggulung tubuh beberapa anak hingga menuju ke tengah laut. Sebagian orang dewasa yang tengah melarung sesaji bisa menyelamatkan diri tapi tidak dengan tubuh-tubuh kecil itu, mereka terbawa arus. 

Irawati baru menyadari setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling dan tidak menemukan Sena. Spontan ia berteriak sama seperti empat ibu lain yang anaknya tersapu ombak pantai. 

“Tolong Sena, dia juga tersapu ombak!” teriak Irawati. 

Beberapa pria dewasa segera menyelamatkan tubuh-tubuh kecil yang timbul tenggelam. Ombak besar terus berdatangan dan menciutkan langkah-langkah lain yang ingin ikut membantu proses penyelamatan. 

Empat anak lain berhasil di tarik ke tepi pantai, tapi Sena sudah tak terlihat lagi. Tubuhnya menghilang, ombak besar terus menggulung hingga melemahkan kaki para pria di sana untuk berenang mencari tubuh Sena. 

Irawati histeris, ia hampir saja menerjang lautan yang ombaknya semakin mengganas. Tapi tubuhnya berusaha di tahan sekuat mungkin oleh empat ibu-ibu yang berada di sebelahnya. Irawati menangis dan meraung, “Selamatkan Sena! Kumohon!

“Lepaskan aku! Aku harus menolong anakku, 

“Kembalikan anakku!” teriak Irawati pada lautan. Begitu banyak teriakan hingga membuat urat-urat di lehernya hampir pecah. Suaranya bahkan menjadi parau, tapi debur ombak tak menciut. Ombak itu terus menderu hingga beberapa jam kemudian. 

Irawati kini lemas, ia terbujur lemas di atas pasir putih pantai. Kepalanya di sandarkan pada dada Ibu Hani, sementara ada dua ibu-ibu lain yang tak berhenti memijat kakinya. 

“Minumlah ini,” pinta Lek Harso sambil membawa sebotol air mineral yang sudah ia Doakan.  

“Jika aku meminum ini apakah anakku akan kembali?” tanya Irawati dengan suara seraknya pada Sang Juru Kunci. 

“Kamu seharusnya tidak berada di sekitar pantai lagi! Bukankah sebelum mati wanita tua itu sudah mengatakan sesuatu padamu!”

Dheg! 

Jantung Irawati seperti di hantam martil, bagaimana lelaki tua itu bisa mengetahui sesuatu yang hanya ia dan Bik Sum tahu. Irawati tak pernah menyangka bahwa anaknya yang masih kecil bisa menjadi incaran Ratu Segara, ia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu terjadi. 

Hari mulai larut dan pencarian terpaksa di hentikan, tapi tidak dengan Irawati. Ia masih saja menangis histeris sepanjang pantai, berharap tubuh anaknya terdampar dan kembali dengan selamat. Ia menangis dan meraung sepanjang pantai. 

“Bagaimana caraku menjelaskan semua ini pada ayahmu Nak!” 

Ekawira adalah suami Irawati yang saat ini sedang bekerja sebagai Ahli Geologi di pengeboran minyak lepas pantai. Tiga hari lagi ia akan pulang dari dinasnya di tengah lautan. Irawati begitu ketakutan, bagaimana ia akan menyambut kepulangan suaminya dengan kabar duka ini. 

Lek Harso berdiri di sudut pantai, dalam diam ia masih berusaha mencari kabar tentang Sena dari makhluk mistis penjaga pantai. Ia sebenarnya merasa penasaran, bagaimana mungkin penguasa pantai menolak persembahan ayam cemani yang ia larungkan dan justru beralih pada menyeret tubuh anak kecil yang masih berumur sepuluh tahun ke lautan. 

“Tolong Anakku Mbah!” pinta Irawati menghampiri juru kunci pantai ini. Ia tahu lelaki tua ini punya kelebihan yang tidak di miliki orang sembarangan. Bahkan lelaki tua itu mengetahui kata terakhir Bik Sum yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun. 

“Bilang pada Ratu Segara kembalikan anakku! Dia masih kecil!” Irawati memohon dengan putus asa. Ia bahkan kini berlutut di depan kaki Lek Harso. 

“Ini bukan ulah Ratu Segara,” jawab Lek Harso, sosok mistis penjaga pantai baru saja menyampaikan kabar melalui bisikan yang hanya ia bisa dengar. 

“Apa maksudnya?”

“Ia hanya sedang tidak beruntung hari ini karena tergulung ombak. Anak lain bisa selamat karena di ajari berenang sejak kecil di lautan hingga bisa mempertahankan tubuhnya tetap timbul di permukaan. Tapi anakmu tidak bisa melakukan itu,” terang Lek Harso.

Irawati lemas, ia merasa menjadi ibu yang sangat buruk. Seharusnya ia tidak membiarkan Sena berlarian di luar jangkauannya. Irawati menempatkan semua kesalahan di pundaknya sekarang, hingga ia merasa berat dan sesak untuk bernafas. 

“Tapi, anakmu masih bisa kembali dengan selamat,” kata Lek Harso. 

Mata Irawati seketika menjadi berkilau, ia yang hampir ambruk seolah mendapat suntikan energi hanya dengan satu kalimat pria tua di depannya. 

“Tapi ada bayaran mahal itu!” 

“Berapa pun itu akan saya berikan Mbah!” 

“Ini bukan tentang uang,” 

Irawati mencoba  menahan desiran kuat darahnya, ada rasa takut menjalar di setiap sendi mendengar jawaban Lek Harso, tapi Irawati hanya seorang ibu biasa seperti yang lain. Apa saja akan ia lakukan demi keselamatan anaknya bahkan dengan imbalan darahnya sendiri. 

“Apa saja akan aku lakukan asal anakku kembali Mbah!” yakin Irawati meski ada ketakutan yang mendera dirinya. 

“Lakukan perjanjian Gaib dengan Ratu Segara!” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status