Irawati bagai di sambar petir, ‘Perjanjian Gaib' adalah hal yang baru ia dengar ditelinganya. Ia gemetar, bahkan kepalanya terasa berputar-putar, ia begitu ketakutan hingga menggigit ujung bibirnya hingga berdarah.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Irawati dengan suara yang parau, sebagai seorang ibu ia akan melakukan apa pun untuk membuat anaknya kembali bahkan meskipun cara itu terlihat gila dan tak masuk akal. “Sena akan dikembalikan dalam keadaan hidup, tapi saat dewasa ia akan di ambil lagi oleh Ratu Segara sebagai Pengantin Samudera,” jawab Lek Harso. Irawati mundur perlahan, wajah putus asa ibu muda itu terlihat jelas, dengan rambut yang acak-acakan karena angin pantai yang terus menyentuh rambutnya membuat ia terlihat seperti wanita gila. “Baiklah,” jawab Irawati setelah melewati gejolak batin. Setidaknya anak yang ia cintai kembali kepadanya dalam keadaan hidup. Ia akan mencari jalan keluar lain setelah itu, ia masih cukup banyak waktu hingga Sena dewasa. “Ulurkan tanganmu!” pinta Kek Harso. Irawati segera mengulurkan tangan kirinya ke arah pria tua di depannya. Pria itu segera mengeluarkan keris kecil dari saku celananya. Entah ia merapal doa apa untuk waktu yang sangat lama sambil memegang ujung jemari Irawati, pegangan tangan lelaki tua itu semakin panas di tiap detiknya hingga membuat keringat Irawati bercucuran. Keris itu kemudian di acungkan ke angkasa begitu doa lelaki tua usia, ujung kerisnya kemudian di arahkan ke telapak tangan Irawati. Merobek telapak tangan itu dengan garis panjang melintang hingga darah segar keluar dari rekahan. Irawati ingin berteriak kesakitan, tapi entah kenapa suara tak keluar dari mulutnya. Sesaat kemudian Lek Harso membawa Irawati mendekati pantai, tangan berdarahnya di masukkan ke air pantai. Tentu saja Irawati mengernyit kesakitan karena luka robek yang terkena oleh air asin itu. “Kamu sudah berjanji dengan darah dengan Ratu Segara. Darah yang sudah kamu tumpahkan pada perjanjian ini tidak akan bisa kamu ambil kembali.” Irawati hanya mengangguk perlahan, ia ketakutan dan tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. “Sekarang berjalanlah terus menuju arah timur sepanjang pantai ini. Kamu akan menemukan apa yang kamu cari di sana, jangan pernah menoleh ke belakang apa pun yang terjadi! ”Irawati mulai berjalan menyusuri sepanjang pantai pukul dua pagi, ia terus berjalan tanpa alas kaki. Suara debur ombak begitu memilukan, bahkan anginnya terasa begitu dingin hingga menembus tulang. Di setiap langkah ia selalu merasa banyak pasang mata yang sedang mengawasi dirinya. Jika bukan demi kembalinya Sena, ia pasti lebih berharap untuk pingsan dari pada terus berjalan dalam suasana yang mencekam. “Hai, kamu mau ke mana?” suara wanita tua yang begitu familier ditelinga Irawati selama beberapa hari ini terdengar dari arah belakang. “Itu lho anakmu di sana!” suara yang terdengar seperti suara Bik Sum itu menghentikan langkah Irawati. Kakinya gemetar ketakutan, ia ingin menoleh ke belakang tepat di mana suara Bik Sum sedang memanggilnya, tapi ia kembali teringat pada perintah Lek Harso agar ‘apa pun yang terjadi jangan pernah menoleh ke belakang'.Ia melanjutkan langkahnya meski begitu gemetar, hingga beberapa saat kemudian ia mendengar suara tangisan putri bungsunya Moana. Owek-owek... “Moana,” kata Irawati lirih, ia hampir saja refleks menoleh ke belakang hingga akhirnya ia tersadar bahwa tidak mungkin Moana berada di tengah pantai larut malam begini. Sementara tadi ia sudah menitipkan bayi itu pada Sekar agar menjaganya dengan baik di rumah. Irawati terus berjalan meski begitu banyak suara-suara yang menciutkan langkahnya untuk maju. Bahkan angin kencang sering kali datang dari arah depan tubuhnya untuk membuat langkahnya mundur. Meski terhuyung dan kakinya robek karena menginjak kulit kerang yang tajam, ia terus berjalan hingga matahari mulai muncul. Cahaya orange yang menyinari pantai membuat ia melihat sosok anak kecil yang tengah terbaring di pinggir pantai tak sadarkan diri. “Sena!” teriak Irawati sambil berlari menuju tubuh kecil yang terlihat lemas dan hampir membiru itu. Ia segera memeluk tubuh anaknya sambil memeriksa bunyi detak jantungnya. Meski lemah, ia bisa merasakan tanda-tanda kehidupan di tubuh anaknya yang terasa dingin. Irawati segera melakukan nafas bantuan sembari melakukan CPR. “Sadarkah Nak, ibu ada di sini. Maafkan ibu tidak menjagamu dengan baik!” kata Irawati dengan putus asa saat mengompresi dada kecil anaknya. Beberapa saat kemudian, Sena memuntahkan air begitu banyak dari mulutnya. “Ibu,” panggil Sena lirih. “Iya Nak, ibu ada di sini!” Irawati memeluk tubuh anaknya dengan berderai air mata. Setelah beberapa saat berlalu, ia kembali berjalan menyusuri pantai sambil menggendong tubuh Sena yang lemas di belakang punggungnya. Entah berapa kali tubuhnya terhuyung, Irawati lemas. Ia bahkan tidak tidur, dan kakinya penuh dengan luka goresan karang. “Apa ini?” gumam Irawati begitu melihat tanda aneh di kaki kiri anaknya yang sedang ia gendong. Ia segera membalik telapak kaki Sena yang sedang tertidur pulas dalam gendongannya. Di atas telapak kaki itu, ia menemukan sebuah tanda aneh. Mirip sebuah tato tapi berwarna merah. Tanda itu berbentuk trisula. “Apakah ini berarti anakku sudah ditandai?” gumam Irawati. Dadanya seketika merasa sesak, bahkan pandangan matanya mulai terasa kabur. Samar ia melihat dirinya sudah dekat dengan pantai di desanya, beberapa warga mulai berlari menuju ke arahnya. Ia juga masih bisa melihat meski dengan sangat samar wajah Lek Harso yang sedang menyilangkan tangan di depan dadanya menatap ke arahnya. Bruk! Irawati jatuh pingsan di atas pasir pantai bersama tubuh Sena di belakang punggungnya.Setelah memikirkan perkataan Ambar, hati Amitha mulai tergerak. Ia kemudian mengesampingkan egonya, yang terpenting adalah ia dan Sena bertahan hidup terlebih dulu. Jika mereka ditakdirkan untuk saling mencintai waktu akan menjawabnya sendiri pada akhirnya. Amitha menghubungi Catra, ia menyatakan kesediaannya untuk menikah dengan Sena, tapi ia ingin upacara pernikahan itu di lakukan secara diam-diam. Catra kemudian mengatur pertemuan dengan Sena dan Amitha pada hari berikutnya. “Guruku mengatakan bahwa pernikahan kalian harus di lakukan pada lima hari lagi di tempat Mbah Dayat. Wilayah itu sudah di pagari, dan akan menetralisir kekuatan Ratu Segara.” Amitha hanya mengangguk dengan malas ia tampak tak tertarik dan hanya ingin mengikuti alur. Ayahnya sudah tiada dan ia hanya tinggal dengan ibunya. Dia juga tak membutuhkan wali dari pihak keluarganya. Beberapa hari kemudian adalah hari yang di tentukan. Sena, Amitha dan Catra berkendara menuju ke tempat
Setelah menyesap minuman itu Sena merasakan dirinya menjadi linglung, darah di tubuhnya seolah mendidih dan ia merasa sedikit panas. Ada gairah yang tak terbendung saat melihat Elena.“Tak apa sayang, kamu hanya perlu melepaskan semua yang kamu inginkan.”Elena melingkarkan lengannya ke leher Sena, pria itu segera mencium Elena dengan kasar seolah ingin menyedot tubuh Elena menjadi satu dengan dirinya. Sena segera menggendong tubuh Elena ke ranjang dengan hati-hati. Melanjutkan tiap gerakan panas mereka di sana, namun selangkah saat inti dari pada kegiatan akan berada di puncak. Elena mendadak mengerang kesakitan, lehernya terasa panas seperti tercekik.Melihat ada yang tidak beres Sena kembali ke akal sehatnya. Ia bingung dan mulai teringat pada kesalahan yang akan ia perbuat. Tak ada banyak waktu untuk menolong Elena, gadis ini pasti akan menemui ajalnya. Wajah Elena sudah pucat dan lehernya memerah seperti luka bakar.“Tidak! Tolong l
Amitha terkejut saat Sena mengatakannya bahwa dirinya selama ini adalah pengantin langit yang di cari Sena. Tak banyak yang tahu bahwa dia adalah pengantin langit kecuali keluarga dekatnya.“Kenapa kamu bisa tahu tentang pengantin langit? Siapa yang memberitahu dirimu?” tanya Amitha dengan mencengkeram lengan Sena.Sena segera membuka sepatunya dan juga kaos kaki yang ia kenakan. Amitha heran pada apa yang di lakukan Sena, tapi sesaat kemudian lelaki itu menunjukkan sebuah tanda trisula di kaki kirinya.“Lihatlah, nasibku tidak jauh berbeda denganmu. Hanya saja aku adalah pengantin samudera.”Amitha mundur beberapa langkah, ia hampir tak mempercayai apa yang di katakan Sena, tapi saat ia memperhatikan lebih jelas mimik Sena ia tak melihat adanya kebohongan di balik itu.“Kenapa kamu mencari pengantin langit?”“untuk menyelamatkan kita dari nasib buruk ini.”“Adakah hal seperti itu?
Melihat wajah serius dari Harun, Amitha tahu bawa sepupunya ini sudah bertekad untuk tidak melakukan pendakian dan membawanya turun. Amitha tak punya pilihan lain dan pada akhirnya mengekor langkah Harun untuk kembali.“Bolehkah aku buang air kecil dulu?” tanya Amitha menghentikan langkah kakinya.“Baiklah, jangan terlalu jauh agar tidak tersesat. Aku akan menunggumu di sini.”Karena berbeda jenis kelamin Harun tak mungkin mengikuti Amitha untuk buang air kecil. Ia justru memalingkan pandangan matanya ke arah lain agar Amitha bisa buang air kecil dengan nyaman di semak-semak. Beberapa waktu telah berlalu, Amitha yang seharusnya kembali tak kunjung datang. Harun merasa resah, setelah ia melakukan beberapa kali teriakan untuk memanggil Amitha tapi ia tak mendapatkan jawaban. Ia akhirnya memutuskan untuk melihat area semak tempat Amitha tujuan tadi, tapi saat Harun sampai di sana bahkan jejak sepupunya pun tak ada.“Sial! Apa ya
Sena kembali ke apartemen tempat ia tinggal dengan Elena. Saat ia masuk Elena menyambutnya dengan pelukan hangat, mereka hampir tidak bertemu selama seminggu penuh. Begitu Sena datang Elena tak berhenti menghujani dirinya dengan ciuman dan pelukan. “Aku sangat merindukanmu,” rengek Elena. “Aku juga.” “Kamu seharusnya menghabiskan waktu libur bersamaku. Ke mana saja kamu pergi selama beberapa hari ini?” Elena menghabiskan waktu penuh kecurigaan selama Sena menghilang beberapa hari ini. Entah kenapa ia merasa bahwa Sena sedang menyembunyikan wanita lain di belakangnya. Elena menyipitkan matanya dan memiliki pemikiran buruk agar bisa mengikat Sena untuk tetap bersama dirinya. *** Di tengah malam Amitha terbangun dari mimpi buruknya. Ia seperti kembali di mana saat hari tergelap sepanjang hidupnya saat tersesat di Gunung Arang selama tiga hari. Ia berangkat bersama Harun menaiki gunung Arang. Harun merupakan sepupunya dan ia adalah Porter
Setelah menghabiskan malam di hotel Sena dan Catra memacu kendaraan menuju rumah wanita kedua yang jaraknya hampir 100 kilometer. Mereka baru saja menyelesaikan ujian tengah semester dan hanya punya waktu libur seminggu saja untuk melakukan pencarian keberadaan pengantin langit.Begitu sampai di desa pinggiran, mereka berhenti di rumah Hani, yang merupakan nomine kedua mereka.“Permisi, apakah Hani ada di rumah?” tanya Catra begitu memasuki pekarangan rumah. Ada seorang wanita dengan anak kecil yang tengah menjemur padi di depan rumah mereka.“Iya, saya sendiri. Ada apa ya?”Sena dan Catra terkesiap, mereka tak menyadari bahwa wanita yang mereka cari berubah lebih tua dari pada yang usia yang seharusnya. Wanita itu harusnya berusia 23 tahun tapi garis di wajahnya dan tanda kelelahan di bawah matanya membuat ia terlihat seperti berusia 40 tahun.“Kita mahasiswa dari Ibu Kota, ingin melakukan wawancara tentang dampak psi