Share

8 : Sena Kembali

Irawati bagai di sambar petir, ‘Perjanjian Gaib' adalah hal yang baru ia dengar ditelinganya. Ia gemetar, bahkan kepalanya terasa berputar-putar, ia begitu ketakutan hingga menggigit ujung bibirnya hingga berdarah. 

“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Irawati dengan suara yang parau, sebagai seorang ibu ia akan melakukan apa pun untuk membuat anaknya kembali bahkan meskipun cara itu terlihat gila dan tak masuk akal. 

“Sena akan dikembalikan dalam keadaan hidup, tapi saat dewasa ia akan di ambil lagi oleh Ratu Segara sebagai Pengantin Samudera,” jawab Lek Harso. 

Irawati mundur perlahan, wajah putus asa ibu muda itu terlihat jelas, dengan rambut yang acak-acakan karena angin pantai yang terus menyentuh rambutnya membuat ia terlihat seperti wanita gila. 

“Baiklah,” jawab Irawati setelah melewati gejolak batin. Setidaknya anak yang ia cintai kembali kepadanya dalam keadaan hidup. Ia akan mencari jalan keluar lain setelah itu, ia masih cukup banyak waktu hingga Sena dewasa. 

“Ulurkan tanganmu!” pinta Kek Harso. 

Irawati segera mengulurkan tangan kirinya ke arah pria tua di depannya. Pria itu segera mengeluarkan keris kecil dari saku celananya. Entah ia merapal doa apa untuk waktu yang sangat lama sambil memegang ujung jemari Irawati, pegangan tangan lelaki tua itu semakin panas di tiap detiknya hingga membuat keringat Irawati bercucuran. Keris itu kemudian di acungkan ke angkasa begitu doa lelaki tua usia, ujung kerisnya kemudian di arahkan ke telapak tangan Irawati. Merobek telapak tangan itu dengan garis panjang melintang hingga darah segar keluar dari rekahan. 

Irawati ingin berteriak kesakitan, tapi entah kenapa suara tak keluar dari mulutnya. Sesaat kemudian Lek Harso membawa Irawati mendekati pantai, tangan berdarahnya di masukkan ke air pantai. Tentu saja Irawati mengernyit kesakitan karena luka robek yang terkena oleh air asin itu. 

“Kamu sudah berjanji dengan darah dengan Ratu Segara. Darah yang sudah kamu tumpahkan pada perjanjian ini tidak akan bisa kamu ambil kembali.” 

Irawati hanya mengangguk perlahan, ia ketakutan dan tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. 

“Sekarang berjalanlah terus menuju arah timur sepanjang pantai ini. Kamu akan menemukan apa yang kamu cari di sana, jangan pernah menoleh ke belakang apa pun yang terjadi! ”

Irawati mulai berjalan menyusuri sepanjang pantai pukul dua pagi, ia terus berjalan tanpa alas kaki. Suara debur ombak begitu memilukan, bahkan anginnya terasa begitu dingin hingga menembus tulang. Di setiap langkah ia selalu merasa banyak pasang mata yang sedang mengawasi dirinya. Jika bukan demi kembalinya Sena, ia pasti lebih berharap untuk pingsan dari pada terus berjalan dalam suasana yang mencekam. 

“Hai, kamu mau ke mana?” suara wanita tua yang begitu familier ditelinga Irawati selama beberapa hari ini terdengar dari arah belakang. 

“Itu lho anakmu di sana!” suara yang terdengar seperti suara Bik Sum itu menghentikan langkah Irawati. Kakinya gemetar ketakutan, ia ingin  menoleh ke belakang tepat di mana suara Bik Sum sedang memanggilnya, tapi ia kembali teringat pada perintah Lek Harso agar ‘apa pun yang terjadi jangan pernah menoleh ke belakang'.

Ia melanjutkan langkahnya meski begitu gemetar, hingga beberapa saat kemudian ia mendengar suara tangisan putri bungsunya Moana. 

Owek-owek... 

“Moana,” kata Irawati lirih, ia hampir saja refleks menoleh ke belakang hingga akhirnya ia tersadar bahwa tidak mungkin Moana berada di tengah pantai larut malam begini. Sementara tadi ia sudah menitipkan bayi itu pada Sekar agar menjaganya dengan baik di rumah. 

Irawati terus berjalan meski begitu banyak suara-suara yang menciutkan langkahnya untuk maju. Bahkan angin kencang sering kali datang dari arah depan tubuhnya untuk membuat langkahnya mundur. Meski terhuyung dan kakinya robek karena menginjak kulit kerang yang tajam, ia terus berjalan hingga matahari mulai muncul. Cahaya orange yang menyinari pantai membuat ia melihat sosok anak kecil yang tengah terbaring di pinggir pantai tak sadarkan diri. 

“Sena!” teriak Irawati sambil berlari menuju tubuh kecil yang terlihat lemas dan hampir membiru itu. 

Ia segera memeluk tubuh anaknya sambil memeriksa bunyi detak jantungnya. Meski lemah, ia bisa merasakan tanda-tanda kehidupan di tubuh anaknya yang terasa dingin. 

Irawati segera melakukan nafas bantuan sembari melakukan CPR. 

“Sadarkah Nak, ibu ada di sini. Maafkan ibu tidak menjagamu dengan baik!” kata Irawati dengan putus asa saat mengompresi dada kecil anaknya. 

Beberapa saat kemudian, Sena memuntahkan air begitu banyak dari mulutnya. 

“Ibu,” panggil Sena lirih. 

“Iya Nak, ibu ada di sini!” Irawati memeluk tubuh anaknya dengan berderai air mata. 

Setelah beberapa saat berlalu, ia kembali berjalan menyusuri pantai sambil menggendong tubuh Sena yang lemas di belakang punggungnya. Entah berapa kali tubuhnya terhuyung, Irawati lemas. Ia bahkan tidak tidur, dan kakinya penuh dengan luka goresan karang. 

“Apa ini?” gumam Irawati begitu melihat tanda aneh di kaki kiri anaknya yang sedang ia gendong. Ia segera membalik telapak kaki Sena yang sedang tertidur pulas dalam gendongannya. Di atas telapak kaki itu, ia menemukan sebuah tanda aneh. Mirip sebuah tato tapi berwarna merah. Tanda itu berbentuk trisula. 

“Apakah ini berarti anakku sudah ditandai?” gumam Irawati. Dadanya seketika merasa sesak, bahkan pandangan matanya mulai terasa kabur. Samar ia melihat dirinya sudah dekat dengan pantai di desanya, beberapa warga mulai berlari menuju ke arahnya. Ia juga masih bisa melihat meski dengan sangat samar wajah Lek Harso yang sedang menyilangkan tangan di depan dadanya menatap ke arahnya. 

Bruk! 

Irawati jatuh pingsan di atas pasir pantai bersama tubuh Sena di belakang punggungnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status