Share

6 : Teror Hantu Ardi

Pada hari ke tujuh kepergian Ardi, hanya tersisa tiga kapal nelayan yang masih berani melakukan pencarian. Mereka masih mengarungi lautan di sekitar pulau secara berkelompok dari pagi hingga malam hari. 

Malam ini salah satu kapal yang berisi Johan Si Preman pulau, Khafid dan Johar melihat penampakan kapal Ardi yang tengah terombang-ambing di tengah laut. Mata mereka berbinar, kapal itu adalah harta karun yang bernilai ratusan juta. Bahkan jika mereka berhasil menemukan mayat Ardi di dalamnya maka mereka juga akan mendapatkan mobil bak sesuai janji Bik Sum. 

Kapal Johan segera mendekati kapal Ardi yang gelap dan tak terdapat pencahayaan sama sekali. Mereka mengaitkan kedua kapal itu dengan sebuah tali.

“Khafid, kamu tetap di kapal! Aku dan Johar akan masuk ke kapal Ardi,” titah Johar pada Khafid. 

Johar dan Johan segera melompat memasuki kapal Ardi. Angin dingin seolah berembus di tiap permukaan kapal kosong ini, menciptakan suasana mencekam hingga membuat bulu kuduk kedua pria yang dikenal sangar itu berdiri. 

Di bagian geladak kapal mereka tak menemukan siapa pun, langkah mereka mulai tertuju pada ruang kemudi. Suasana malam ini begitu sunyi, kapal bahkan tidak bergerak, tak ada debur ombak sedikit pun. 

“Firasatku gak enak Han!” kata Johar sambil terus berpegang pada lengan Johan. 

“His, pengecut kamu!” 

“Apa kamu mencium aroma busuk?” tanya Johar begitu mulai memasuki ruang kemudi kapal. Bau busuk menyeruak hingga membuat mual. 

“Berarti kita sudah dekat dengan bangkai Ardi,” kata Johan dengan mata yang berbinar. 

Di bagian pojok kemudi mata mereka menangkap sosok pria yang tengah terbujur kaku dengan kepala yang nyaris terjatuh karena proses pembusukan. 

“Gak kuat aku baunya!” keluh Johar, “Jika itu benar mayat Ardi bagaimana kita bisa membawa mayat yang hampir hancur itu?” tanya Johar. 

“Kita akan mengemudikan kapal ini hingga ke darat bersama mayat Ardi.” 

Senter mereka di arahkan pada mayat yang sudah mulai membusuk. Wajahnya hancur dan sulit dikenali, jika bukan karena hadiah, siapa saja pasti lebih memilih menenggelamkan mayat itu ke laut dari pada berkubang dengan bau bangkai. 

Johan dan Johar mulai mengemudi kapal Ardi, sementara Khafid mengemudi kapalnya sendiri. Di tengah perjalanan tanpa di sadari Khafid kapal kedua temannya tidak lagi mengekor di belakang. 

Sementara di dalam kapal Ardi kengerian semakin menyeruak, suara nafas berat mulai terdengar. Johan dan Johar saling menatap ketika mendengar suara nafas berat yang seperti nafas raksasa. 

Klek-klek... 

Suara patah-patah dari tulang mulai terdengar dari sudut di mana mereka menutupi jasad itu dengan terpal. Mayat itu mulai bangkit dengan gemertak tulang yang mengiringi. Johan dan Johar gemetar melihat mayat itu bangkit dan menyeringai dengan wajahnya yang hancur. Mereka ingin lari tapi kaki mereka seolah dipatri pada bidak kayu. Keringat dingin mengucur deras, wajah kedua orang itu pucat pasi. 

Semakin mendekat bau busuk semakin menusuk hingga paru-paru mereka terasa sesak. Kedua orang itu akhirnya pingsan tak sadarkan diri lagi. Khafid yang sudah sampai di pantai tidak bisa melihat kapal Ardi yang di kemudikan Johan dan Johar di belakangnya. 

Pagi hari warga desa geger setelah mendengar pengakuan Khafid yang pulang tanpa Johan dan Johar, meski banyak warga prihatin dan ingin melakukan pencarian tapi mereka masih merasa ketakutan dengan hantu Ardi yang gentayangan di tengah laut. 

Hingga pada hari berikutnya, Johan dan Johar di temukan di pesisir pantai lain yang berada di barat pulau. Mereka menaiki sebuah kapal tua yang usang dan terdampar di sana dalam keadaan linglung. 

Semua teror itu membuat banyak kepala keluarga berhenti melaut akibat gangguan hantu Ardi. Bukan hanya ketakutan itu yang membuat mereka berhenti melaut, tapi juga banyak pembeli yang kini enggan membeli ikan karena rumor bahwa ikan-ikan di lautan sudah makan mayat Ardi. Bahkan ada kabar bahwa warga pernah menemukan potongan kuku di perut ikan yang ia makan. 

Semua warga kini berkerumun di rumah Lek Harso, mereka ingin juru kunci ini melakukan sesuatu untuk menenangkan arwah Ardi hingga roda ekonomi sebagian besar mata pencarian penduduk sekitar bisa kembali berputar. 

“Semua kacau Lek kalau begini terus penduduk pulau bisa mati kelaparan,” keluh Pak RT, dan di angguki oleh kebanyakan warga yang berada di pertemuan Balai RW. 

Mata Lek Harso tampak menerawang jauh, ia menyesap rokok tembakau dan mengepulkan ke udara. Sebenarnya bukan kali pertama pemuda desa tenggelam di laut ini. Tapi entah kenapa kali ini berbeda dengan kasus Ardi, hawa mencekam bahkan berlangsung hingga hari ke sepuluh. 

“Besok kita adakan larungan ke Segara, siapkan bunga tujuh rupa dan ayam cemani.“

Para warga mengangguk pada perintah Lek Harso, pria tua itu mulai pergi untuk menenangkan Samudera. Ia segera berjalan pelan menuju bibir pantai. Kakinya segera bersila dan telapak tangannya di satukan di depan dadanya. Lelaki tua itu melakukan hal itu hingga fajar menjelang. 

Matahari belum meninggi ketika para warga mulai datang ke bibir pantai membawa tumpeng, bunga tujuh rupa dan juga ayam cemani sesuai permintaan Lek Harso. Mereka segera melakukan ritual doa bersama dan mulai melarungkan sesaji itu ke bibir pantai. 

“Kalian pulanglah, pesta pernikahan akan segera berlangsung. Saat hajatan besar, laut akan memberi kalian banyak ikan sebagai hadiah.” 

Warga mulai berbinar, wajah yang sempat murung kini berseri penuh harap kembali. Mereka bersujud syukur di atas pasir dan bersuka ria padahal di sudut lain ada Bik Sum yang masih berdiri diam meratapi kepergian anaknya. 

Ia  tak percaya bahwa anaknya akan menikah tanpa restunya dan bahkan dengan cara yang tidak biasa. 

“Kembalikan anakku!” teriaknya ke arah Samudera. 

Semua warga kini menoleh pada Bik Sum. Wanita tua itu tampak melepaskan semua perhiasan yang menempel di tubuhnya. Ia membuangnya ke tengah laut, semua orang hanya bisa menatap diam kegilaan wanita tua itu. Mereka bahkan tak berani memunguti perhiasan itu, mengingat itu adalah kekayaan yang sudah Ratu Segara berikan sebagai mahar. 

“Kukembalikan maharnya!” pekiknya pada lautan. 

“Aku tak butuh semua ini, kembalikan anakku! Aku tak merestui pernikahannya denganmu!” 

Duar! 

Petir menggelegar, awan hitam datang begitu cepat. Angin bertiup begitu kencang hingga banyak warga kesulitan menopang diri mereka sendiri. 

“Hentikan kegilaanmu sekarang!” pekik Lek Harso mendekati Bikin Sum. 

“Laut murka, semua yang di sini bisa dalam bahaya!” 

Warga segera menarik tubuh wanita tua itu secara paksa sebelum badai hebat menerjang desa mereka. Meski begitu wanita tua itu tak gentar ia tetap datang tiap hari ke bibir pantai, ia memaki lautan dan masih mengharapkan anaknya kembali. Saat semua harta yang ia larung sudah habis, ia pun hanya bisa melarung makanan seadanya seperti yang ia makan hari itu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status