‘Kenapa ini?’
Erland mengerutkan keningnya kala melihat kedua sikunya lebam-lebam, tidak hanya itu kakinya juga terasa perih seperti sedang terluka. Dia memeriksa seluruh tubuhnya, matanya melotot melihat dada kirinya terdapat luka cambuk.
“Nathan!”
“Iya tuan, ada apa?” Nathan dengan terburu-buru berlari ke dalam kamar Eland.
“Apa kamu sudah memindahkan gadis itu ke Istana?”
“….”
Erland menoleh ke arah Nathan karena tidak kunjung mendapat jawaban atas pertanyaannya. Nathan terlihat menunduk sambil menutup mulutnya rapat-rapat. Erland mengerutkan dahinya, dia merasa sudah tidak tahan dengan diamnya Nathan.
“Katakan!”
“Maaf Tuan, kemarin nona Joana melihat wanita itu berkeliaran jadi … dia membawanya kembali ke dalam sel.”
“Bawa dia kembali!” Erland merasa sedikit geram, dia mengepal tinjunya menahan emosi yang meluap-luap. Dia berjalan lurus dan mengobati luka yang berada di dada kirinya.
“Katakan juga pada Joana, jangan ikut campur dengan urusanku.”
“Baik tuan.”
Setelah Nathan pergi menjalankan tugas Erland bangkit, dia berjalan ke sebuah ruangan rahasia yang tak seorang pun diijinkan masuk kecuali dirinya. Di dalam ruangan itu terdapat banyak tabung yang berisi air. Di dalam tabung itu terlihat ada banyak gadis mengenakan gaun pengantin berwarna putih.
Erland menatap tabung tersebut satu-persatu kemudian, dia merentangkan tangannya. Sebuah cahaya putih keemasan keluar dari tubuh para mayat gadis dan diserap oleh tubuh Erland. Selama penyerapan senyum Erland mengembang, dia juga merasa tubuhnya perlahan kembali berstamina.
Setelah Erland selesai dengan kegiatan tersebut dia melangkah keluar, di sana sudah ada wanita cantik berambut pirang, mengenakan baju berwarna putih bercampur ungu. Wanita bernama lengkap Joana Josephine itu sudah menunggunya.
Erland berjalan duduk sambil berkata dengan nada dingin, “Ada apa kamu kesini?”
“Erland kenapa kamu memerintahkan Nathan menjemput wanita itu lagi?” Ucap Joana dengan kesal.
“Itu bukan urusanmu,” Ucap Erland dengan nada datar tanpa menatap Joana sedetik pun. Perkataannya membuat Joana mengepalkan tangannya sambil menghentakkan kakinya. Dia berkata, “Apa kamu tertarik dengan wanita itu?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa kamu tidak membiarkan dia mati dan menjadi sumber energi seperti lainnya?”
“Bukan urusanmu.” Jawab Erland dingin sembari tetap fokus pada selembar peta ditangannya.
“Artinya kamu mencintainya!”
“Tidak.”
“Aku sudah ikut denganmu dan meninggalkan kakaku demi kamu…”
“Cukup!” Erland berdiri sambil memukul meja didepannya. Dia sudah tidak tahan lagi dengan semua ocehan Joana. Bentakan Erland sukses membuat Joana terdiam, matanya terlihat memerah dan perlahan setetes air mata jatuh ke pipi putihnya.
“Erland,” Panggilnya dengan suara lemah, Joana menatap Erland seolah tidak percaya, pria dihadapannya membentaknya demi seorang gadis yang baru dia temui.
“Pergilah, sebelum aku melakukan hal yang lebih jauh dari ini.” Setelah mendengar kalimat yang diucapakan Erland, wanita itu pun melangkah meninggalkan kamar Erland. Dia menatap punggung Joana semakin menghilang, dia menghela nafas dan kembali duduk.
‘Maaf Joana di berkaitan dengan hidupku,’ Erland membatin sambil sedikit menyesali perbuatannya. Dia bersandar sembari mencubit pangkal hidungnya, dia terus berpikir cara menyelesaikan masalah ini.
“Tuan, dia sudah saya pindahkan ke Istana.” Nathan datang melapor bahwa tugasnya sudah dia selesaikan.
“Em,” Jawab Erland singkat tetap pada posisinya.
Nathan yang penasaran dengan tuannya pun memberanikan diri untuk bertanya, “Tuan kenapa tuan sangat memperdulikan gadis itu?”
Erland menghela nafas, dan berkata, “Itu karena hidupku terhubung denganya,” Nathan mengerutkan keningnya, dia tidak mengerti bagaimana bisa itu terjadi. ‘Bagaimana bisa, diakan hanya sekali mengunjungi gadis itu.’ Batin Nathan yang penasaran.
“Apa maksud tuan kalian terkena kutukan penyatuan Jiwa?”
Erland mengangguk sebagai jawaban, sontak raut wajah Nathan berubah terkejut sedetik kemudian Nathan mengatupkan bibirnya menahan tawa. Erland yang melihat itu langsung menghampiri Nathan.
“Apa menurutmu ini hal lucu?” Ucap Erland sambil menjewer telinga Nathan yang masih menertawainya. “Aa … baik-baik aku diam.”
“Lucu juga membayangkan mu harus terus berhubungan dengan seorang gadis. Ini adalah momen langka.” Nathan berkata sambil berusaha menahan tawa. Tawa Nathan kala mengetahui bahwa dirinya sudah ditatap oleh Erland. Sorot mata tajam Erland membuat setiap orang yang ditatap merinding.
“Memangnya apa yang kamu lakukan dengannya?”
“Apa kamu eum … ” Nathan berkata sambil menggoda Erland dengan menunjukan tangannya yang mempraktikkan orang sedang berciuman. Erland yang sudah tidak tahan dengan godaan Nathan segera menendangnya keluar.
“Jangan sok akrab dengan ku.”
Mendengar kalimat itu Nathan sontak tertawa sambil terus menggoda Erland yang wajahnya sudah memanas karena malu. “Hei kakak jangan malu, dia cukup cantik juga.”
“Jangan panggil aku kakak!” Nathan sebenarnya adalah adik tiri Erland, karena sebuah tragedi dia harus menyembunyikan identitas mereka berdua.
“Jangan sok akrab.”
"Jika kamu sudah tahu maka capet serahkan wanita itu padaku."Dengan lirikan mautnya, Erland membuat Charlie yang berdiri jauh dibelakangnya bergidik ngeri. "Apa kamu hanya akan menatapku saja?" Tanya Erland dengan suara dingin sembari terus melirik Charlie."I-ikuti saya."Erland melangkah mengikuti Charlie masuk ke sebuah Kastil yang baru pertama kali dia datangi. Kedatangan mendadak Erland membuat Penguasa Kastil, ayah Charlie tidak bisa menyiapkan apapun untuk menyambut dirinya."Maafkan kami Tuan Tamsos Karalius, kami tidak menyambut kedatangan anda.""Sudahlah, aku juga tidak butuh penyambutan apapun." Mendengar jawaban Erland membuat Sang Penguasa Kastil Bulan merasa tersinggung, karena ucapan Erland seolah telah merusak harga dirinya. Dalam hatinya, dia ingin sekali menghajar Erland namun, dia sadar bahwa orang yang datang ke Kastilnya bukanlah lawannya."Baiklah, silahkan anda duduk dan .... ""Aku kesini bukan untuk menikmati pelayananmu."Ucapan Erland yang tiba-tiba memot
"Apa yang dia katakan?"Erland berdiri di samping tubuh dingin Emma yang terbaring di ruangan dingin. Dia bertanya sambil memunggungi Nathan sekaligus menatap Emma yang tertidur secara bersamaan. Suaranya terdengar sedikit serak karena terus menangisi kepergian Emma beberapa hari ini."Dia tidak mau mengatakan apapun."Mendengar jawaban dari Nathan membuatnya naik darah, dia mengepal kedua tinjunya sembari menegangkan rahangnya. Kesabarannya sudah dikalahkan oleh amarah kekesalan yang dia tahan beberapa hari selama proses introgasi."Aku akan membuatnya membuka mulut." Ucapnya penuh penekanan.Setelah itu, Erland beranjak dari tempatnya dan melangkahkan kakinya di sepanjang lorong menuju tempat Felix dikurung. Langkahnya yang besar serta mantap terlihat mengerikan, amarah dihatinya sudah tak tertahankan. DUAKKKErland menendang pintu dengan tidak sabar, dia maju lima langkah lalu, tangannya dengan cepat meraih leher Felix. Ibu jarinya menekan titik vital yang dapat membunuh Felix, "K
"Tidak Emma, jangan tersenyum seperti itu."Kini Erland sudah sepenuhya berwujud manusia, tangannya bergetar hebat kala menyentuh pipi Emma yang sudah terdapat noda merah. Hatinya hancur berkeping-keping melihat senyuman terakhir yang Emma berikan untuknya. "EMMA!!!" Teriakan Erland terdengar sangat menyayat hati orang-orang yang menyaksikan kematian Emma. Erland terus mengguncang tubuh yang sudah tidak lagi bernyawa itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama tangisnya pecah karena kehilangan seseorang.Erland terus berteriak memanggil-manggil nama gadis yang berada dalam dekapannya itu. "Emma kenapa kamu meninggalkanku, bukankah kamu berjanji tidak akan pergi lagi." Ucap Erland mengingatkan Emma atas janji yang pernah gadis itu ucapkan sebelumnya."Erland relakan dia." Ucap Angela sembari berusaha menenangkan Erland."Angela biarkan saja dia." Ucap Nathan lirih sembari menggeleng pelan.Bak orang gila, Erland terus berbicara ini itu dengan tubuh yang tidak bernyawa itu. Dia jug
"Jangan sentuh dia!" Dengan cepat Erland meluncurkan serangan menggunakan sihirnya kala mendengar teriakan Emma menggema di telinganya. Seketika para bawahan Felix meledak bersamaan dengan sihir yang Erland luncurkan. Karena menyelamatkan Emma, membuatnya sedikit lengah. "Kerja bagus Emma, berteriaklah sebanyak mungkin." Seringai Felix sembari pandangannya tak lepas dari Erland. Kelengahan Erland dimanfaatkan oleh Felix dengan sangat baik, dia dengan cepat mengayunkan pedangnya dan berhasil melukai lengan kanan Erland. Erland menoleh kala merasakan lengan kanannya bergesekan dengan benda tajam. Dia menatap datar darah yang mengalir keluar dari lukanya seolah tidak merasakan sakit sama sekali. Kemudian dia mengalihkan padangannya, menatap tajam Felix yang sedang tersenyum sombong padanya. "Hanya luka ini bukan berarti kamu bisa lolos dariku." Ucapan Erland terdengar dingin dan menakutkan, nada bicaranya mampu membuat siapapun yang mendengarnya bergidik ngeri. Sesaat kemudian mata
"Wow! Selamat atas pernikahanmu Erland." Erland mengepal tinjunya sembari menatap Felix dengan sorot mata yang tajam menusuk. Dia sangat kesal karena hari bahagianya diganggu oleh beberapa penganggu yang datang tanpa undangan. "Untuk apa kamu kemari?" Tanya Erland sembari menahan kekesalannya. "Tentu saja aku kemari untuk merayakan pernikahan kalian ... dengan darah," Ucap Felix penuh penekanan sembari menoleh kepada Erland menampilkan seringaiannya yang terlihat menyebalkan. Setelah itu, dia langsung melesat mengayunkan pedangnya ke arah Erland. Dengan sigap Erland langsung menggunakan sihirnya untuk melindungi dirinya, mengingat tangan kanannya sudah tidak mampu lagi memegang pedang. "Kali ini aku tidak akan membiarkanmu kembali hidp-hidup!" Ucap Erland penuh penekanan sembari menampilkan sorot matanya yang mulai berubah memerah. "Kamu salah, akulah yang akan membuatmu tak bisa bangkit dan mengambil pengantin cantik yang berdiri disana." Ucap Felix sembari menyeringai menatap Emm
'Apakah aku sedang bermimpi?' Mata Emma membulat sempurna kala melihat sebuah Cicin dengan Berlian merah darah yang berkilau. Dia menutup mulutnya yang ternganga dengan kedua tangannya, jantungnya berdetak keras, darahnya berdesir terasa panas. Matanya berkaca-kaca melihat senyum Erland yang menunggu jawaban darinya. Tatapan Erland yang begitu teduh dan dalam membuatnya tak bisa berkata apapun. Tangan Emma menggenggam satu sama lain di depan dada lalu, dia mengangguk antusias sembari menampilkan senyum bahagiannya. Tangannya dengan lembut diraih oleh Erland, sesaat kemudian dia merasakan dingginnya Cincin tersebut menyentuh jari manisnya. Air mata kebahagiannya kini tak bisa lagi dia bendung. Dia mengangkat tangannya menatap indah jarinya yang dihiasi Cincin Berlian merah. "Dia sangat cocok denganmu." Dia mengalihkan pandangannya menatap Erland yang sedang tersenyum kepadanya. Dengan penuh kebahagiaan dia menghamburkan dirinya ke dekapan hangat Erland. Dia akhirnya merasakan hal y