“Abang …!” Andin berteriak sambil memukuli saudara kembarnya. “Aku ‘kan udah bilang, jangan sampai Bunda tahu. Abang jahat! Udah nggak sayang lagi sama adek,” cerocos Andin sambil mengerucutkan bibirnya.
“Abang lupa, Dek,” jawab Aldin sambil tertawa. Aldin bisa tertawa lepas hanya dengan adik kesayangannya saja. Ia tidak punya banyak teman karena Aldin sangat pemilih dalam berteman.
“Adek, tolong jelasin sama Bunda, siapa guru olah raga itu!” Bunda Anin duduk di depan anak perempuannya.
“Dia namanya Pak Cahyo. Dulu waktu pacaran sama adek, usianya udah dua puluh tujuh tahun, tapi dia masih perjaka, Bun, belum punya istri. Yang penting ‘kan adek nggak pacaran sama suami orang.” Andin menjelaskannya sambil menunduk.
“Dulu kamu pernah pacaran sama yang lebih tua, bahkan jarak usiannya jauh lebih tua dibandingkan dengan
āUdahlah, Bunda, jangan terlalu dipikirkan! Walaupun mereka cuma pura-pura mesra, seenggaknya mereka udah membiasakan diri untuk bersikap mesra. Lama kelamaan juga akan terbiasa bermesraan dan nggak mau dipisahkan. Tuhan sudah menyatukan mereka dengan cara yang tidak biasa, itu artinya mereka memang berjodoh. Kita berdoa saja untuk kebahagiaan adek,ā ujar Aldin menenangkan hati sang bunda. Kemudain ia beranjak dan berdiri, lalu pergi menuju kamarnya.āBetul yang dikatakan Abang,ā sahut Nenek Marisa. āAnak sama emak, lebih pintar anaknya,ā cibir Nenek Marisa pada putrinya sambil mencebikkan bibir.āYaelah, Ma, dia pintar pasti mirip orang tuanya,ā sahut Bunda Anin tidak mau kalah.āIya, dia cerdas mirip Ayahnya,ā jawab Nenek Marisa. āKalo Andin sama kamu, mirip, bagai pinang dibelah rata, sama-sama centil,ā imbuhnya sambil tersenyum. Lalu pergi meninggalkan anaknya di ruang keluarga.āTerserah Mama ajalah,ā sahut Bun
“Ayo kita masuk, Sayang. Mami mau masak sendiri untuk menantu Mami yang cantik ini,” kata Mami Inggit sambil menjawil dagu menantunya.“Aku bantuin ya, Mi,” kata Andin. Ia ingin mengenal lebih dekat lagi dengan mertuanya.“Boleh, Sayang,” balas Mami Inggit. Ia pun beranjak dari duduknya, lalu mengulurkan tangannya pada sang menantu.Andin menerima uluran tangan mertuanya sambil tersenyum, mereka berjalan sambil bergandengan tangan.“Dapat anugerah mertua yang baik hati kayak gini tuh rasanya sesuatu banget. Mami merasa dapat musibah nggak ya, dapat menantu kayak gue,” kata Andin dalam hati. Kali ini ia menahan senyumnya agar sang mertua tidak menganggapnya aneh karena tersenyum-senyum sendiri.“Menantu sama mertua , akur bener!” seru Papi Mannaf sambil tersenyum bahagia melihat istri dan menantunya yang berjalan sambil b
“Pi, kita ke kamar yuk!” Mami Inggit menarik tangan sang suami yang sedang sibuk dengan ponselnya.“Masih sore, Mi, baru juga jam enam. Emangnya Mami udah ngebet banget ya?” tanya Papi Mannaf sambil tersenyum menggoda sang istri. “Ntar malam aja ya, kalo anak dan menantu kita udah pulang,” imbuhnya. Papi Mannaf pun kembali sibuk dengan ponselnya.“Papi, mikir apaan sih? Udah tua juga masih mesum aja pikirannya,” tukas Mami Inggit yang tahu maksud dari ucapan suaminya.Papi Mannaf menoleh pada sang istri. “Lah terus, Mami mau ngapain ngajakin ke kamar?” tanya Papi Mannaf.“Udah, Papi ikut aja!” kata Mami Inggit. “Ini tentang Haidar dan Andin,” bisik Mami Inggit pada suaminya. Ia tidak mau membicarakan masalah ini di tempat lain yang bisa di dengar oleh anak dan menantunya.“Ada apa dengan mer
“Papi sama Mami habis ngapain?” tanya Haidar yang memergoki orang tuanya sedang bermesraan di depan kamar.“Ma-mami nggak ngapa-ngapain,” sangkal sang mami yang terlihat gugup.“Mau ngapa-ngapain juga, itu hak Mami dan Papi. Kamu kalo iri, ya lakuin juga sana sama istri kamu,” kata Papi Mannaf sambil tersenyum. Ia sengaja berbicara seperti itu untuk menggoda anaknya.“Udah pada tua juga, nggak tahu waktu,” kata Haidar sambil berlalu meninggalkan orang tuanya yang sedang bermesraan. Haidar nggak habis pikir dengan kelakuan orang tuanya yang sudah tidak muda lagi, bisa-bisanya bermesraan seperti itu.“Papi sih,” kata Mami Inggit. “Pasti dia mikirnya kita ngapa-ngapain,” lanjutnya sembari melepas tangan sang suami yang merangkul bahunya. Lalu berjalan cepat menuju meja makan.“Lah terus kenapa?” tany
“Mi, aku pulang dulu ya, lain kali aku main lagi ke sini,” pamit Andin pada mertuanya. Sesuai perjanjian dengan sang suami, ia akan langsung pulang setelah makan malam selesai. Andin yakin ada sesuatu yang membuat suaminya tidak mau berlama-lama di rumah orang tuanya.“Iya, Sayang,” jawab sang mami sambil mencium pipi sang menantu. Ia yakin pasti Haidar yang mengajak Andin buru-buru pulang.Haidar tidak pernah mau berlama-lama di rumah orang tuanya. “Mi, Pi, aku pulang ya,” pamit Haidar pada Mami dan papinya.“Pi, aku pulang ya,” pamit Andin pada Papi Mannaf. Andin pun mencium tangan Mami dan Papi mertuanya. Setelah berpamitan Andin dan Haidar segera pulang ke rumah Bunda Anin.Haidar membukakan pintu mobil untuk sang istri. Ia memperlakukan Andin dengan manis di depan kedua orang tuanya. Ia tidak tahu kalo semua rencananya sudah terbongkar oleh maminya
“Om, kenapa bengong?” tanya Andin setelah membuang kotak bekas es krim ke dalam tong sampah yang ada di luar.“Kenapa kamu bisa tahu apa yang aku pikirkan?” tanya Haidar pada sang istri. “Apa dia seorang cenayang juga seprti neneknya?” Haidar bertanya-tanya dalam hatinya.“Yaelah, aku cuma nebak. Om geleng-geleng kepala, pasti Om lagi mencibir dalam hati kalau aku rakus, iya ‘kan?” tukas Andin sambil mencolek hidung lancip Haidar.Haidar menepis tangan Andin. “Sudahlah jangan dibahas lagi. Kamu mau pulang sekarang?” tanya Haidar pada sang istri. Ia hati-hati saat berbincang dengan Andin, tidak mau terjebak lagi karena ucapannya sendiri.Andin mencondongkan wajahnya pada sang suami. “Aku mau makan sate ayam, Boo,” bisik Andin dengan mesra di telinga Haidar.“Boo?” Haidar mengerutkan keningnya
“Kamu kenal, Bee?” tanya Haidar sambil menatap Andin, lalu kembali menoleh pada Pak Mamat.Ternyata yang mengetuk kaca mobil adalah Pak Mamat, penjual sate langganan Andin dan Roy. Hampir setiap malam Minggu, Andin dan Roy menghabiskan waktu untuk berkumpul dengan teman-temannya di tenda sederhana Pak Mamat.“Iya,” jawab Andin sembari melengkungkan separuh sudut bibirnya. Ia khawatir Pak Mamat membahas tentang Roy.“Pasrah ajalah kalau si berondong alot marah,” ucap Andin dalam hatinya. Walaupun ia tahu Haidar tidak mencintainya dan tidak akan cemburu, tapi pasti ia akan marah karena Andin sudah berjanji untuk melupakan mantan kekasihnya dan sekarang ia malah mengunjungi tempat nongkrong ia dan Roy sewaktu masih menyandang status sepasang kekasih.“Ini istri saya, Pak.”Haidar mengenalkan Andin sebagai istrinya kepada Pak Mamat. “Bapak udah kenal?&
“Om, mau ngapain?”tanya Andin saat membuka mata, wajah Haidar berada sangat dekat dengannya.“Aku mau melepas sabuk pengamanmu,” jawab Haidar sembari memundurkan tubuhnya. Ia tidak jadi membuka sabuk pengaman sang istri. “Kamu udah ngantuk ya? Terus satenya gimana?” tanya Haidar pada istrinya.“Aku mau makan dulu, abis makan baru tidur,” jawab Andin sembari membuka sabuk pengamannya.“Kalau abis makan jangan langsung tidur! Nggak baik untuk kesehatan,” tandas Haidar pada sang istri.Andin memutar bola mata dengan malas. Ia paling tidak suka kalau dilarang tidur setelah makan. Rasanya tidur setelah makan itu nikmat sekali. Padahal ia juga tahu kalau itu tidak baik untuk kesehatan.“Astaga!” Andin terkejut saat ingin membuka pintu mobil, sang bodyguard suaminya sudah lebih dulu membukakan pintu untukny