"Sejak kapan Om ehmm maksudku Boo berdiri di situ?" tanya Andin ketika memutar tubuhnya ia melihat Haidar sedang berdiri sambil menyandarkan tubuhnya pada tembok sambil melipat tangan di depan dada.
Haidar memerhatikan istrinya yang sedang narsis di depan cermin sembari menyunggingkan sudut bibirnya.
"Sejak kamu berbicara pada cermin," kata Haidar sembari tertawa pelan.
"Aku jadi malu," kata Andin, lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Sejak kapan kamu punya malu," cibir Haidar pada istrinya.
"Astaga, Boo, kamu jahat banget sama aku." Andin mengerucutkan bibirnya.
"Aku bicara fakta," sahut Haidar sembari menahan senyum.
"Aku sadar itu ... tapi jangan diperjelas juga," protes Andin terhadap ucapan suaminya.
"Aku udah lapar, kamu masak sana!" titah Haidar pada istrinya. Ia sengaja mengalihkan pembicaraan supaya Andin tidak memperpa
"Boleh satu kali lagi?" pinta Haidar sambil menunjuk pipi sebelahnya yang belum dikecup.Andin terkejut mendengar ucapan sang suami. "Aku kira kamu marah," kata Andin sembari tersenyum bahagia. Lebih bahagia lagi dari sebelumnya karena untuk pertama kali sang suami yang meminta cium lebih dulu."Apa mungkin dia juga merasakan apa yang gue rasa? Satu hal yang pasti, sekarang dia nggak pernah kumat lagi." Andin berbicara pada dirinya sendiri di dalam hati.Andin menangkup wajah sang suami. Lalu menghadiahi kecupan di mata, hidung, dan pipi sang suami sampai berkali-kali."Sekarang cepetan makan! Aku masak makanan enak ini khusus untukmu," titah Andin pada suaminya setelah memberi kecupan di wajah sang suami. Andin pun kembali duduk di kursinya.Haidar menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. "Bisa-bisanya aku berbicara seperti tadi. Bibir dan hatiku udah nggak bisa aku kontrol lagi kalau dekat denga
“Kenapa dia marah? Apa aku salah kalau aku nggak suka dia masak untuk orang lain?” gumam Haidar sembari menatap sang istri yang sudah pergi menjauh darinya.Haidar bangun dari duduknya, menyusul sang istri yang pergi ke halaman belakang. Ia yakin Andin pasti pergi menemui peliharaan kesayangannya.“Si Brondong alot nyebelin!” teriak Andin saat berada di taman kelinci.Joy dan Nancy yang sedang tidur jadi terbangun karena mendengar teriakan Andin.Andin mendekati Joy dan Nancy. Ia duduk bersila di atas rumput nan hijau. “Maafin aku ya,” kata Andin sembari mengelus-elus punggung Joy dan Nancy.Kedua kelinci peliharaannya memejamkan mata kembali karena merasa nyaman dengan sentuhan tangan Andin.“Kalian tahu nggak, aku lagi sedih nih. Aku butuh temen curhat, apa kalian mau mendengarkan curhatan aku.” An
Andin dan Sisil saling pandang saat mendengar suara yang mereka kenal. Andin dan Haidar menoleh secara bersamaan pada sumber suara. Sisil terlihat salah tingkah dengan kedatangan seseorang yang namanya sudah ia ukir di dalam hatinya.“Abang, tumben ke sini?” tanya Andin pada saudara kembarnya. Ini adalah kali pertama Aldin berkunjung ke rumah suami sang adik.Seseorang itu adalah Aldin, saudara kembarnya Andin. Laki-laki yang begitu manis, walau sikapnya sedingin es, tapi di hati Sisil, Aldin adalah sosok calon imam yang sempurna. Sisil mencintai Aldin dalam diam, ia tidak mau merusak persahabatannya dengan Andin jika ia berhubungan dengan kakak sahabatnya itu.“Kamu susah banget dihubunginnya, Dek. Nenek sakit, manggilin kamu terus,” kata Aldin pada adiknya.Andin langsung bangun dan berdiri. “Nenek sakit apa? Kenapa aku baru dikabari sekarang?” cecar Andin pada a
“Ehmm … kamu salah dengar kali,” kilah Sisil pada Aldin yang sedang menunggunya di balik pintu belakang rumah Haidar.“Aku nggak tuli,” kata Aldin pelan tapi penuh penekanan sembari mencondongkan kepalanya ke arah Sisil. Ia tahu kalau dirinyalah yang dimaksud gunung es oleh Sisil.Jantung Sisil terasa berdebar-debar saat wajahnya berada sangat dekat dengan wajah pujaan hatinya. “Biasa aja kali,” kata Sisil sambil mendorong wajah Aldin dengan telapak tangannya. Ia berbuat seperti itu untuk menutupi kecanggungannya.Aldin pun segera pergi dari hadapan Sisil untuk menemui adik iparnya yang berada di ruang keluarga. “Bang, aku pulang dulu ya,” pamit Aldin pada Haidar.Walaupun Aldin kakak ipar Haidar, tapi Aldin tetap memanggilnya abang karena umur adik iparnya yang jauh lebih tua darinya. Ia merasa tidak sopan kalau harus memanggil dengan sebu
“Kenapa? Kamu takut ketahuan kalau kamu hendak ketemuan dengan mantan kekasihmu itu?” tukas Haidar pada Andin. Ia curiga pada istrinya karena tidak mau ia ikut ke rumah orang tuanya.“Kamu kenapa sih, selalu membahas tentang Roy. Susah payah aku melupakannya, tapi kamu selalu membahas Roy dan Roy lagi!” bentak Andin pada suaminya.Andin sangat kesal dengan sikap sang suami karena akhir-akhir ini ia selalu menuduhnya yang tidak-tidak. Kemudian ia berlari keluar rumah dan langsung menancap gas kuda besinya.Haidar segera menyusul sang istri. Ia segera masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tapi, tetap ia tidak bisa mengejar istrinya. “Kemana dia? Kenapa cepat sekali dia menghilang,” kata Haidar sembari memukul setirnya.Di ujung jalan ia melihat sang istri yang sedang berjongkok di depan kuda besinya.“Sial!” Andin menendang ban motornya yang kempes. “Kenapa lo harus berm
“Lo pikir dengan menghentikan mobilnya, gue mau ngomong sama lo gitu. Silakan aja mau berhenti sampai kapan pun, gue nggak mau bicara sama lo, dasar Brondong alot, tua bangka, Singa jabrig. Gue juga tahu tujuan lo berhenti di sini.” Andin terus saja mengumpati sang suami di dalam hatinya. Lalu ia memejamkan matanya. “Mending gue tidur,” gumamnya dalam hati.Sudah beberapa menit berlalu, tapi Andin masih diam saja. Haidar membuka matanya karena tidak ada suara dari sang istri. Kemudian ia melirik sang istri yang duduk di sampingnya sedang memejamkan mata. Terdengar dengkuran halus yang menandakan Andin sudah benar-benar tetidur pulas.“Kenapa jadi aku yang dikerjain sama dia,” gumam Haidar sambil mengelengkan kepalanya. Rencanaku gagal total. Kurasa ia sudah tahu tujuanku menghentikan mobil ini. Haidar pun mengaku kalah dengan sang istri. Kemudian ia melajukan kembali mobilnya karena rencananya sudah tidak
Haidar dengan susah payah memutar kenop pintu sembari menggendong sang istri. Andin yang merasa terusik, akhirnya membuka mata. Ia langsung turun dari gendongan sang suami.“Kenapa turun? Aku gendong lagi ya.” Haidar hendak menggendong Andin. Namun, tangannya ditepis oleh sang istri.“Kenapa? Tanya Haidar sembari menautkan alisnya.“Kamu mau ngebenturin kepalaku lagi,” tuduh Andin dengan sinis. Lalu ia masuk ke dalam sambil menutup pintu dengan keras. Sehingga kening sang suami terbentur daun pintu ketika ia melangkahkan kakinya.“Astaga … dia lebih menyeramkan dari singa lapar kalau lagi marah,” tukas Haidar sembari mengusap-usap keningnya.“Bee, buka dong pintunya,” kata Haidar sembari mengetuk pintu kamar sang istri. “Maafkan aku, Bee.” Haidar terus saja mengetuk pintu kamar sambil memanggil istrinya.“Tuh orang drama banget sih. Pintu ‘kan nggak gue kunci,” kata Andi
Haidar menarik tangan sang istri. Sehingga istinya terjatuh ke dalam pelukannya.“Kamu apa-apaan sih!” sergah Andin pada sang suami. Ia masih merasa sakit hati pada suaminya. Jadi, apa pun yang suaminya lakukan, Andin tidak menyukainya.Andin berusaha melepas pelukan sang suami. Namun, Haidar malah mengeratkan pelukannya.“Lepasin!” pinta Andin dengan tegas. Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan suaminya, tapi tenaga sang suami jauh lebih kuat dari pada dirinya.“Bee, aku minta maaf,” kata Haidar dengan tulus. “Aku nggak mau melepasmu sebelum kamu maafin aku.” Haidar menatap wajah cantik sang istri, tapi Andin membuang muka, ia tidak mau menatap sang suami.“Ya udah aku maafin,” kata Andin. “Sekarang, lepasin aku.” Andin berusaha melepas tangan sang suami yang melingkar di pinggangnya.