Masuk“Kau masih di sini.”Arden berdiri di ambang pintu ruang kerja, jasnya belum diganti sejak pagi. Nada suaranya datar, tapi matanya tidak. Ada kelegaan yang ia sembunyikan dengan buruk.“Aku belum menemukan alasan logis untuk pergi,” jawab Aruna tanpa menoleh. Ia sedang menuang kopi, terlalu santai untuk seseorang yang baru saja memutuskan tinggal di rumah yang penuh rahasia. “Dan kopi di dapurmu lumayan. Itu faktor penting.”“Jadi ini bukan soal aku?”“Jangan ge-er. Kopi dulu, ego belakangan.”Arden mendekat. “Kalau kau tinggal, kita butuh aturan.”Aruna menoleh, mengangkat alis. “Menarik. Biasanya yang tinggal disuruh patuh, bukan negosiasi.”“Kau bukan tipe orang yang patuh,” Arden berkata jujur. “Dan aku bukan tipe orang yang nyaman dengan ketidakpastian.”“Bagus. Kita seimbang.”Mereka saling menatap beberapa detik... bukan tatapan panas, melainkan pengukuran. Dua pemain yang tahu papan catur akan segera dibuka.“Aku tidak akan membiarkanmu bergerak sendirian,” kata Arden akhirnya
Pintu itu tidak pernah terbuka.Langkah di luar kamar hanya berhenti, lalu menjauh, meninggalkan keheningan yang jauh lebih berat daripada ancaman apa pun. Arden masih berdiri di sisi tempat tidur, bahunya tegang, pikirannya sudah berlari ke segala kemungkinan terburuk.Aruna memperhatikannya dalam diam.Inilah Arden yang sesungguhnya, pikirnya.Bukan pria berjas mahal di ruang Dewan.Bukan pengendali dingin yang semua orang takuti.Melainkan laki-laki yang berdiri setengah telanjang di kamar, dengan ketakutan paling purba di matanya: kehilangan orang yang baru saja ia temukan kembali.“Arden,” panggil Aruna pelan.Ia menoleh.“Aku tidak akan pergi.”Kalimat itu jatuh sederhana, tanpa dramatisasi. Tapi dampaknya terasa seperti palu yang menghantam dinding pertahanan Arden. Ia tidak langsung merespons, seolah takut salah dengar.“Kau tidak harus mengatakan itu,” katanya akhirnya. “Bukan sekarang. Bukan setelah… semua ini.”Aruna duduk, menarik selimut menutupi tubuhnya sekadarnya, lalu
Udara di kamar itu berubah.Bukan karena pintu tertutup. Bukan karena malam.Melainkan karena dua orang di dalamnya sama-sama berhenti berpura-pura.Arden berdiri terlalu dekat. Atau mungkin Aruna yang melangkah terlalu jauh. Tidak jelas siapa yang memulai... yang jelas, jarak di antara mereka lenyap tanpa permisi.“Aku tidak tahu bagaimana cara berhenti,” suara Arden rendah, seperti gesekan logam. “Aku sudah terlalu lama menahan semuanya. Dan sekarang...”“Sekarang kau gemetar,” Aruna menyela pelan.Arden tertawa pendek. Bukan tawa lucu. Lebih seperti orang yang akhirnya ketahuan rapuh. “Karena aku takut kalau aku menyentuhmu, aku tidak akan bisa berhenti.”Aruna mendongak. Tatapannya tenang, terlalu tenang untuk situasi seberbahaya ini. “Kalau begitu jangan berhenti.”Kalimat itu jatuh seperti korek api ke bensin.Arden mencengkeram pinggang Aruna... keras, hampir kasar, tapi penuh kendali yang nyaris runtuh. Tarikan itu membuat tubuh Aruna menabrak dadanya, dan detak jantung mereka
“Kau tahu, Aruna,” suara Arden terdengar dari balik pintu yang baru saja terbuka, “kalau aku datang jam segini ke ‘penjara sutramu’, itu artinya Dewan sudah mulai bergerak lebih cepat dari dugaanku.”Aruna menoleh dari sofa, jepit rambut masih di tangannya.“Oh, bagus. Jadi aku tidak membongkar jam alarm itu dengan sia-sia. Silakan masuk, Tuan Kaeswara. Tahanan politikmu siap menerima briefing tengah malam.”Arden tidak menanggapi sindiran itu. Ia masuk perlahan, menutup pintu, lalu berdiri mematung sejenak... seperti pria yang sedang memilih kata paling menyakitkan untuk diucapkan.“Besok,” katanya akhirnya, “nama Layla akan disebut di Dewan.”Aruna menegang.“Sebagai korban?”“Atau sebagai senjata?”“Sebagai mayat,” jawab Arden datar.Hening jatuh. Kali ini Aruna tidak bercanda.“Kau bilang padaku Layla adalah saksi hidup,” ujar Aruna pelan. “Bukan simbol.”“Dia hidup,” Arden menatap Aruna, matanya merah lelah. “Tapi dunia percaya dia sudah mati. Dan akulah yang memastikan itu.”Aru
“Ulangi.”Satu kata itu jatuh dingin dari bibir Arden, memecah udara aula yang sudah membeku. Tangannya mengepal, terlalu erat untuk sesuatu yang seharusnya hanya selembar kertas.Kuitansi transfer bank Swiss.Nama penerima itu membakar telapak tangannya seperti besi panas. Terlalu dikenal. Terlalu dekat. Terlalu… mustahil.Arden menatap Aruna, perlahan, seolah takut dunia akan runtuh jika ia berkedip.“Dia…?” Suaranya pecah di tengah kata. “Dia yang mengatur semua ini?”“Sebagian,” jawab Aruna tenang, melangkah mendekat tanpa ragu. Suaranya datar, nyaris kejam karena terlalu jujur. “Dia bukan satu-satunya, Arden. Tapi dia yang membuka pintu. Dia tahu segalanya... perusahaan, Layla, cara berpikirmu... karena selama ini dia berdiri tepat di sampingmu.”“Jangan sentuh aku.”Arden menarik lengannya kasar dan berbalik. Bukan karena benci... melainkan karena takut. Takut jika ia tetap di sana, kehancuran itu akan tum
Udara di aula itu terasa membeku.Bukan karena malam, melainkan karena satu nama yang kini membakar telapak tangan Arden seperti besi panas. Kuitansi transfer bank Swiss itu tampak ringan, terlalu ringan untuk bobot kehancuran yang dibawanya. Nama penerima yang tercetak rapi di sana adalah nama yang selama ini ia lindungi, ia percaya, ia tempatkan paling dekat dengan pusat kekuasaannya.Kemarahan Arden pada Aruna runtuh seketika, menguap tanpa sisa. Yang tersisa adalah sesuatu yang jauh lebih berbahaya, kebencian dingin bercampur rasa bersalah yang mematikan.Arden mendongak.Tatapannya bertemu Aruna dan untuk pertama kalinya malam itu, tidak ada tuduhan di sana. Hanya kehancuran.“Dia…?” suara Arden tercekat. Ia tidak sanggup menyebut nama itu. “Dia yang mengatur semua ini?”“Sebagian,” jawab Aruna tenang, melangkah mendekat tanpa ragu. “Dia bukan aktor tunggal, Arden. Tapi dialah tangan yang menggerakkan tirai. Dia tahu semuany







