Shania mungkin tidak menyangka dengan informasi yang baru saja Alex berikan tentang hubungannya dengan Maura yang ternyata hanya sebatas hubungan biasa, tanpa ada hal istimewa yang selayaknya para peselingkuh lakukan di luaran sana. Tapi, apakah Shania akan percaya begitu saja? Tentu tidak, meski Alex mengatakan dengan mimik wajah serius —yang jika orang lain lihat akan langsung menilai bahwa yang diucapkannya adalah nyata, Shania tidak langsung menelan bulat-bulat apa yang suaminya itu katakan. Apalagi bukan sekali dua kali Shania melihat kemesraan yang Alex dan Maura lakukan ketika sedang berada di kantor. Keduanya terlihat tidak sungkan untuk berlaku mesra meski ada banyak orang di depan mereka. Hingga malam menjelang dini hari, Alex berhasil membuat malam yang dingin menjadi hangat sebab keintiman yang dilakukannya bersama sang istri. Shania tidak menolak kali ini. Setelah rencana yang dibuatnya untuk pergi dari kehidupan Alex bersama anak yang ada di dalam kandungannya, bukan s
Sepanjang hari itu Shania lebih banyak melamun di meja kerjanya. Komputer di depannya terus menyala, benar-benar diabaikan. Bukannya tidak ada yang menyadari sikap Shania tersebut, tapi beberapa teman membiarkan sebab pekerjaan mereka yang lebih penting dibanding peduli dengan urusan yang tengah perempuan itu pikirkan. Bunyi ketikan di keyboard menjadi latar suara di mana saat ini Shania berada. Sama sekali tidak mengganggunya sampai suara dering ponsel miliknya menjerit untuk ke sekian kalinya minta diperhatikan. 'Rachel,' gumam Shania saat melihat nama sang sahabat terpampang dengan poto profilnya yang berpose kocak. "Ya, hallo!" sapa Shania setelah menarik tombol hijau di layar. "Ya Tuhan! Shania! Kamu ini sedang apa? Aku sejak tadi mengirim pesan dan menghubungi, tapi tidak juga direspon."Shania mengerutkan kening. "Kamu tanya aku sedang apa? Kamu sadar enggak, jam berapa sekarang? Jadi, tahu dong di mana dan sedang apa aku ini." Shania meninggikan suaranya, heran sebab perta
"Beberapa waktu yang lalu, Alex mempersilakan aku untuk pergi meninggalkan rumah.""Aku sudah tahu cerita itu, Shania!" Rachel memotong, protes sebab cerita Shania yang diulang. Sahabatnya itu terkekeh. "Sorry. Tapi, ini memang ada hubungannya, Chel.""Oke! Apa itu?" Rachel tampak berusaha sabar. "Aku sudah bilang padamu juga bukan kalau sikap Alex berubah beberapa waktu belakangan, lebih tepatnya setelah kita bertengkar waktu itu."Rachel mengangguk sembari menikmati calamari yang ia pesan. Saus Tartar yang dihidangkan sebagai pelengkap, membuat cemilan yang disantapnya semakin sempurna. Bahkan, di situasi siang itu saat Shania menceritakan apa yang terjadi padanya semalam. "Semalam saat ia dengan tiba-tiba datang menjemputku, hal yang tentu saja di luar kebiasaan Alex, bahwasanya apa yang dia lakukan benar-benar di luar prediksiku sama sekali."Rachel masih mengunyah sambil fokus mendengarkan. Inti dari cerita Shania belum sampai, sehingga membuatnya masih harus ekstra mendengark
Shania tidak mau terhanyut dalam godaan yang Alex lakukan. Ia tak mau membenarkan ucapan Rachel kalau dirinya larut dalam aksi lelaki itu padanya. 'Tidak ada yang terlena!''Tidak ada yang terperdaya!'Suara-suara di dalam pikiran Shania terus menggema, seolah memaksa supaya dirinya tidak jatuh terjerembab dalam godaan yang semakin intens suaminya berikan. Sentuhan demi sentuhan, baik dengan tangan atau bibirnya, Alex lakukan tanpa peduli Shania terpengaruh atau tidak. Hingga satu suara yang keluar tanpa sadar meski sudah Shania tahan, meluncur bebas membuat Alex kembali menyeringai. 'Suara ini kenapa membuatku candu. Anehnya aku sangat menyukai dan merindukannya,' batin Alex seiring bibirnya yang terus bergerilya di tubuh Shania, meski istrinya itu tetap fokus pada pekerjaannya. Masih dengan pertahanan Shania, tak berapa lama terdengar suara dering telepon pada ponsel milik Alex. Lelaki itu pun menghentikan aksinya dan memilih untuk menerima panggilan. Shania melirik melalui ekor
Tepat satu malam Shania berhasil menyelesaikan desainnya. Beberapa kali mulutnya terbuka, tanda ia telah mengantuk. Namun, ia tidak bisa langsung tidur kalau tugas dari Ethan belum selesai. Ia takut atasannya itu akan kecewa karena pekerjaan yang mudah itu tidak sanggup ia tuntaskan. Perlahan Shania bangkit dari atas ranjang. Ia masukkan laptop ke dalam tas kerjanya. Beberapa peralatan kerja yang tadi berserakan di atas ranjang, juga ia rapikan. Ia tak mau kerepotan besok pagi hanya untuk mengurus peralatan kantornya tersebut. "Akhirnya aku bisa tidur sekarang," ucapnya seraya meregangkan kedua tangan ke atas. Kembali ia menguap, benar-benar mengantuk. Namun, tiba-tiba dia teringat dengan ucapan Alex sebelum pergi tadi. "Aku akan pergi dan kembali menemuimu nanti, dan aku harap kamu belum tidur saat aku kembali."Sekali lagi Shania menengok jam di atas nakas. "Jam satu, dan dia tidak kembali."Entah tidak kembali atau memang belum kembali, Shania berusaha untuk tidak mempedulikan
Alex terbangun tepat di jam enam pagi. Ia terkejut sebab terbaring di kamar apartemen Maura. Tapi, sosok sang kekasih tidak ada bersamanya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tapi tidak tampak Maura di dekatnya. 'Apa yang terjadi denganku?' batin Alex yang merasa kecolongan sebab tertidur di kamar Maura. Ponsel di atas meja yang berdiri di samping tempat tidur, menjadi perhatiannya kemudian. Alex pun meraih ponselnya, lalu menghubungi seseorang. "Kemana dia?" ucapnya sebab panggilannya yang tak kunjung diterima. Alex mencoba menghubungi kembali nomor yang ada di layar, tapi untuk kesekian kalinya nomor itu tidak juga merespon. Ia mulai kesal karena merasa diabaikan. "Ia tidak pantas marah padaku," ucapnya kesal, lalu melempar ponselnya ke atas bantal. Saat Alex hendak beranjak bangun, pintu kamar terbuka dari luar. Sosok Maura muncul masih dengan pakaian tidur berwarna maroon yang terlihat seksi. "Kamu sudah bangun, Honey?" tanya Maura yang terlihat bahagia. Alex men
"Alex memang brengsek!" Umpatan itu meluncur dari mulut Rachel penuh emosi. Rachel yang sengaja datang ke kediaman Shania sebelum pergi ke kantor —demi memastikan kondisi sahabatnya itu dikarenakan tidak masuk kerja, kesal bukan main setelah perempuan di depannya menyodorkan sebuah gambar yang Maura kirim semalam. "Dan kamu masih percaya pada Alex?""Siapa yang percaya pada Alex? Sejak ia mengatakan ingin tetap dengan hubungan kami sekarang, aku sudah meyakinkan diriku untuk segera pergi darinya.""Tapi, kamu terlena oleh sikapnya bukan?" Rachel terlihat panas. Blush on yang menyempurnakan make up di wajahnya, terlihat semakin menyala sebab kemarahan yang ia rasakan. Shania diam. Sikapnya membuat Rachel sontak berdecih."Kenapa kamu bereaksi begitu?" sahut Shania tersinggung. "Itu karena kamu berbohong padaku kemarin. Kamu bilang kalau kamu tidak akan terperdaya apalagi terlena dengan sikap Alex yang belakangan hari ini berubah. Tapi, apa yang terjadi sekarang? Kamu terlihat kecew
Shania sedang menikmati buah melon ketika Alex muncul dengan wajah kesal. "Kenapa kamu tidak menjawab panggilanku?" tanya Alex marah. Shania menatap heran. 'Apa apa dengannya? Kenapa ia marah-marah tak jelas.'"Kenapa diam? Jawab pertanyaanku. Kenapa saat aku telepon tadi pagi kamu tidak merespon?""Aku sedang di kamar mandi." Shania menjawab santai. Potongan melon tetap menjadi perhatiannya meski di depannya saat ini sudah ada Alex yang tengah menatapnya tajam. "Kenapa kamu tidak menghubungiku balik?""Sudah," jawab Shania sembari mengunyah. "Apa kekasihmu tidak menyampaikan hal tersebut?" Shania bertanya balik saat melihat ekspresi tak percaya di wajah Alex. "Maura? Apa hubungannya dengan Maura?"Shania meletakkan garpu ke atas piring. Ia lalu meneguk air mineral yang ada di sebelah piring. "Aku menelepon balik, tapi kekasihmu yang menerimanya.""Jangan mengarang cerita. Kamu cuma mau mencari alasan supaya aku tidak marah 'kan?"Shania tersenyum sinis. "Sepertinya perempuan itu
Keluarga Harrison tengah melangsukan makan malam. Beberapa teman Shania, termasuk sahabatnya diundang oleh sang tuan rumah. Makan malam berlangsung penuh kehangatan dan keceriaan sebab salah satu anggotanya yang tak pernah berhenti untuk bercerita. Siapa lagi kalau bukan Rachel —sahabat Shania. Gadis itu datang bersama Ethan dan beberapa teman lainnya yang merupakan anak buah Ethan di kantor. Fiersa, teman Shania yang sudah tahu kalau temannya itu hamil, cukup kaget dan dibuat terkesima dengan fakta mencengangkan mengenai jati diri perempuan itu. Ia bahkan hampir tak bisa menelan makanan yang dihidangkan oleh para pelayan di rumah Shania saking shock-nya. "Apakah Bapak sudah tahu tentang fakta ini?" Fiersa sampai bertanya pada Ethan, sang atasan, saat pertama kali sampai di rumah Shania. "Ya, tidak mungkin aku tidak tahu," jawab Ethan tersenyum. "Sejak kejadian di rumah sakit, aku akhirnya mencari tahu.""Jadi, awalnya juga tidak tahu?"Ethan menggeleng. "Sama seperti yang lainnya
Alex kaget mendengar ucapan Maura. Dilihatnya ekspresi kesal yang ditunjukkan oleh kekasihnya itu setelah mengatakan sesuatu yang merujuk pada sosok Shania. "Aku pergi dulu. Nanti kamu bisa hubungi aku lagi kalau sudah selesai istirahat." Pada akhirnya Alex memilih untuk meninggalkan apartemen. Berusaha sekali mengabaikan kalimat sindiran yang tadi Maura lontarkan. "Apa yang sudah perempuan itu lakukan padamu?" Maura hampir berteriak saat Alex sudah akan membuka pintu mobil. Beberapa orang yang hilir mudik di sekitar mereka, menengok karena penasaran. Termasuk petugas security yang tadi diminta Alex untuk membantu mengangkat koper dan barang milik Maura ke unit apartemen, diam di tempat sambil memperhatikan keributan yang selama ini tak pernah terjadi pada pasangan tersebut. "Aku sedang tidak mau berdebat, Maura. Jadi, lebih baik kamu istirahat sekarang. Jangan lupa makan dulu. Aku sudah pesankan makanan melalui pesanan online. Sekitar sepuluh menit lagi sampai."Alex benar-benar
Suasana bandara tampak ramai dengan banyaknya orang di area kedatangan atau pun keberangkatan. Alex adalah salah satu dari banyaknya orang tersebut, menunggu kedatangan Maura dari luar negeri. Sebulan penuh wanita itu berada di benua biru untuk menyelesaikan sebuah proyek desain. Sebuah desain yang ia menangkan dalam sebuah lelang di adakan oleh salah satu perusahaan terkenal yang ada di sana. Alex sudah menunggu sekitar tiga puluh menit, namun tanda-tanda kemunculan wanita itu masih belum juga terlihat hingga sosok Brian muncul membawa makanan yang ia pesan. "Kenapa kamu tidak makan di restoran saja? Kenapa harus dibungkus seperti ini?""Tidak apa-apa. Aku lagi mau makan santai saja," ucap Alex seraya duduk di area tunggu. "Kamu tidak mau?" Alex mengangkat satu bungkusan satunya. Brian menggeleng. "Untukmu saja."Alex mengangkat bahunya cuek. Ia lanjut menikmati makanan yang sedang dikunyahnya. Suasana hatinya terasa lain. Sesuatu yang membahagiakan ia rasakan sebab perhatian Sha
Pertemuan pagi itu telah menghasilkan satu keputusan di mana akhirnya Alex meminta tim pengacaranya untuk segera mendaftarkan berkas perceraiannya ke pengadilan agama. "Kamu serius mau melakukan ini?" tanya Brian, yang tak percaya atas permintaan Alex tersebut. "Apakah sekarang kamu melihat aku sedang becanda?" Alex bertanya balik sembari menghubungi Shania perihal surat nikah yang ia pegang. "Y-ya, aku tahu kamu terlihat serius. Tapi, apa yang sudah membuatmu mau menyetujui permintaan Shania?"Alex tidak menjawab. Ia hanya tersenyum menatap asistennya itu. Di lain tempat, Shania merasa ada perasaan tak nyaman di hatinya. Setelah membaca pesan yang Alex kirimkan sejujurnya ia merasa lega. Akhirnya Alex mau mendaftarkan gugatan cerai atas pernikahan mereka. Tapi, hatinya mendadak nyeri. Nyeri karena akhirnya mereka benar-benar akan berpisah. "Kamu sudah mendapat kabar dari Alex?" Sebuah pesan dari Rachel masuk ke ponsel Shania setelah ia membalas pesan dari Alex. "Bagaimana feeli
Malam itu Alex melewati malam tanpa sedikit pun memejamkan mata. Kata-kata Shania terakhir, membuatnya tak bisa tertidur. Di atas sofa, ia menatap langit-langit kamar. Di atas ranjang sana, sang istri sudah tertidur pulas. Bayinya juga tidak rewel setelah satu jam yang lalu sang istri memberinya ASI. "Aku mungkin masih mencintaimu, tapi aku tak memiliki keinginan untuk kembali hidup bersamamu seperti dulu."Kalimat itu mungkin sebuah pengharapan bagi Alex. Tapi, ia tahu bagaimana sifat Shania. Perempuan itu akan tetap mempertahankan harga dirinya dan kemauannya. Hingga waktu melewati dini hari, Alex pun iseng membuka ponsel. Dan saat itu dirinya kepikiran untuk mengubungi Rachel, sahabat Shania. "Maaf malam-malam mengirimu pesan. Kalau tidak keberatan, aku mau mengajakmu ketemuan besok sebelum masuk kantor."Bingo! Pesan yang Alex kirimkan mendapatkan balasan. "Oke. Aku tunggu di kafe milikku. Tempat yang waktu itu kamu menjemput Shania."Alex ingat. Waktu itu ia sedang gila-gilan
"Maura?" tanya Shania saat Alex sudah selesai dengan panggilannya. Alex sempat kaget dengan tebakan Shania yang tepat sasaran. Tapi, sesaat kemudian ia bisa mengontrol dirinya dengan tidak menunjukkan sikap guguk atau panik. "Ya," jawab Alex singkat. Tak ada keterangan atau kabar apapun yang ia berikan kepada Shania. Shania sendiri tidak menanyakan lebih jauh, apa yang keduanya obrolkan. Beruntung bagi Alex karena saat ini Shania sudah berada di dalam kamarnya. Bukan di ruang keluarga seperti saat terakhir dirinya meninggalkan mertua dan istrinya itu. Bahkan, kedua mertuanya pun tak ada yang bertanya mengenai panggilan yang tiba-tiba tadi. "Tidurlah di sana seperti semalam," ucap Shania ketika Alex sudah akan menghampirinya di ranjang. Alex menghentikan langkah. Tapi, sedetik kemudian ia tetap berjalan mendekati sang istri. "Aku senang kalau harus menggendongmu ke sini," kata Alex yang direspon cuek oleh Shania. Tapi, lelaki itu sepertinya sudah bisa menebak sebab keisengannya t
Alex kembali ke kediaman keluarga Harrison saat masuk jam makan malam. Lian dan Nina sedang berbincang di ruang keluarga ketika Alex datang. Ayah dan ibu mertuanya terlihat santai saat Alex menyapa mereka. Tidak cuek seperti kekhawatirannya selama ini, sikap dua orang paruh baya itu justru membuat hati Alex terasa lebih tenang. Meski tidak menunjukkan perhatian berlebih, tapi Alex tahu bila keduanya tidak terlalu membencinya. "Aku izin menemui Shania dulu, Yah, Bu," pamit Alex setelah cukup menyapa kedua mertuanya itu. "Ya."Alex pun pergi menuju kamar tamu yang kini menjadi kamar Shania. Tak peduli ketika namanya sempat disebut oleh sang mertua saat ia beranjak pergi. 'Itu bukan hal aneh ketika seharusnya mereka membenciku, tapi masih mau menerima kehadiranku di kediaman mereka,' batin Alex bersyukur karena memiliki mertua yang sangat baik. Teringat pukulan Lian di perutnya tempo hari, Alex nilai itu bukan sesuatu yang menyakitkan. Justru, seharusnya Lian melakukan hal lebih dar
Shania sudah selesai mandi ketika melihat Alex masih tertidur di sofa. Mentari sudah terlihat naik, membuatnya yakin jika hari sudah semakin siang. 'Apakah ia tidak pergi ke kantor?' batin Shania yang kemudian memeriksa bayinya di dalam boks. Bayi mungil itu tampak tenang setelah subuh tadi menangis karena haus dan juga mengompol. 'Nyenyak sekali kamu, Nak,' gumam Shania tersenyum sembari mencubit gemas pipi bayinya itu. Tak ada pergerakan, membuat Shania memilih untuk meninggalkan dan berencana memandikan bayinya itu setengah jam mendatang. Ia lalu menghampiri Alex untuk membangunkannya. Dengkuran masih terdengar halus. Meski awalnya tak mau peduli, pada akhirnya Shania membangunkan juga lelaki di depannya itu. "Alex! Bangun, Lex!" seru Shania memanggil nama suaminya. Tak ada respon, membuat Shania kembali memanggil. "Lex! Udah siang."Masih tak ada respon, akhirnya Shania menggoyang pundak Alex sambil memanggil namanya sedikit kencang. "Alex! Bangun!"Usahanya berhasil. Alex
Alex diam, begitu juga Shania. Beberapa detik kemudian, Alex memalingkan wajah dan menatap martabak yang sepertinya menggugah seleranya. "Kamu mau kita bercerai, meski hatiku yang paling dalam enggan melakukannya," ucap Alex. "Sudahlah, Lex. Jangan bersikap seperti anak kecil. Kita sadari, kita sudah sama-sama dewasa. Sudah ada anak di kehidupan kita. Jadi, tolong bersikap bijak." Shania masih bisa santai menjawab. Meski berbicara dengan Alex dan membahas tentang masalah rumah tangga mereka membuat tekanan darahnya naik perlahan. "Sikapku yang mana memangnya yang menurutmu tidak bijak?" Alex tampak tersinggung. "Ya, itu ... berniat bernegosiasi. Apalagi kalau bukan mau mengulur waktu?"Alex tak percaya jika Shania akan menuduhnya mengulur waktu. Padahal yang sebenarnya, ia bahkan tak mau menceraikan wanita itu. "Kamu mau kita bercerai, aku akan coba turuti itu." Alex berkata sembari menatap wajah Shania yang terlihat cuek. "Aku memang punya pengacara pribadi, tapi menghadapi satu