Alex ternyata belum tidur ketika Shania masuk kembali ke kamar. Rasa kesal yang masih hatinya rasakan, membuatnya malas melihat keberadaan lelaki itu di kamarnya. "Mereka sudah pulang?" tanya Alex. Ia yang terlihat tengah membaca buku milik Shania, menatap tersenyum. "Ehm, ya. Baru saja." Shania menjawab dingin. Hal itu jelas Alex sadari. Tapi, lelaki itu memilih untuk pura-pura tak tahu. "Istirahatlah kalau begitu." Alex beranjak bangun setelah meletakkan buku ke atas nakas. Shania tak menjawab. Ia berjalan menuju boks putranya, memperhatikan kondisi bayi itu yang ia tinggalkan cukup lama. "Tadi dia sempat menangis. Aku pikir haus, tapi ternyata popoknya basah." Alex tersenyum menjelaskan. Shania menengok tanpa kata. Ia lalu memeriksa bayinya sekali lagi sebelum pergi. Semua terlihat baik-baik saja. Shania pun lantas berbalik, melangkah menuju kamar mandi. Alex tak bicara lagi sampai Shania menghilang ke balik pintu kamar mandi. Sikap istrinya masih terlihat kesal atau mungki
Seketika area taman berubah hening, yang tadinya ramai dengan keseruan serta tawa teman-teman Shania, mendadak diam membisu sebab kehadiran Alex di tengah-tengah mereka. Fiersa dan beberapa temannya yang tidak tahu mengenai hubungan Alex dengan Shania, memandang takjub sekaligus tak mengerti. Mereka mengenal sosok Alex, tapi bagaimana bisa pengusaha itu ada di kediaman Shania. Hanya Ethan yang terlihat santai. Ini adalah kali kedua dirinya berjumpa dengan Alex di rumah Shania. Terlebih setelah ia tahu hubungan suami istri yang terjalin di antara mereka yang membuatnya lebih bisa bersikap tenang dan tidak terpengaruh sedikit pun atas kehadiran Alex yang tiba-tiba. "Aku permisi dulu." Setelah menyadari suasana yang mendadak canggung, Shania berinisiatif untuk meninggalkan tempat. Ia memilih untuk mengajak Alex supaya pergi meninggalkan keseruan teman-temannya. Rachel tampak mengangkat kedua bahunya, dan membiarkan Shania pergi bersama Alex. Setelahnya, ia kembali mengajak semua oran
Keluarga Harrison tengah melangsukan makan malam. Beberapa teman Shania, termasuk sahabatnya diundang oleh sang tuan rumah. Makan malam berlangsung penuh kehangatan dan keceriaan sebab salah satu anggotanya yang tak pernah berhenti untuk bercerita. Siapa lagi kalau bukan Rachel —sahabat Shania. Gadis itu datang bersama Ethan dan beberapa teman lainnya yang merupakan anak buah Ethan di kantor. Fiersa, teman Shania yang sudah tahu kalau temannya itu hamil, cukup kaget dan dibuat terkesima dengan fakta mencengangkan mengenai jati diri perempuan itu. Ia bahkan hampir tak bisa menelan makanan yang dihidangkan oleh para pelayan di rumah Shania saking shock-nya. "Apakah Bapak sudah tahu tentang fakta ini?" Fiersa sampai bertanya pada Ethan, sang atasan, saat pertama kali sampai di rumah Shania. "Ya, tidak mungkin aku tidak tahu," jawab Ethan tersenyum. "Sejak kejadian di rumah sakit, aku akhirnya mencari tahu.""Jadi, awalnya juga tidak tahu?"Ethan menggeleng. "Sama seperti yang lainnya
Alex kaget mendengar ucapan Maura. Dilihatnya ekspresi kesal yang ditunjukkan oleh kekasihnya itu setelah mengatakan sesuatu yang merujuk pada sosok Shania. "Aku pergi dulu. Nanti kamu bisa hubungi aku lagi kalau sudah selesai istirahat." Pada akhirnya Alex memilih untuk meninggalkan apartemen. Berusaha sekali mengabaikan kalimat sindiran yang tadi Maura lontarkan. "Apa yang sudah perempuan itu lakukan padamu?" Maura hampir berteriak saat Alex sudah akan membuka pintu mobil. Beberapa orang yang hilir mudik di sekitar mereka, menengok karena penasaran. Termasuk petugas security yang tadi diminta Alex untuk membantu mengangkat koper dan barang milik Maura ke unit apartemen, diam di tempat sambil memperhatikan keributan yang selama ini tak pernah terjadi pada pasangan tersebut. "Aku sedang tidak mau berdebat, Maura. Jadi, lebih baik kamu istirahat sekarang. Jangan lupa makan dulu. Aku sudah pesankan makanan melalui pesanan online. Sekitar sepuluh menit lagi sampai."Alex benar-benar
Suasana bandara tampak ramai dengan banyaknya orang di area kedatangan atau pun keberangkatan. Alex adalah salah satu dari banyaknya orang tersebut, menunggu kedatangan Maura dari luar negeri. Sebulan penuh wanita itu berada di benua biru untuk menyelesaikan sebuah proyek desain. Sebuah desain yang ia menangkan dalam sebuah lelang di adakan oleh salah satu perusahaan terkenal yang ada di sana. Alex sudah menunggu sekitar tiga puluh menit, namun tanda-tanda kemunculan wanita itu masih belum juga terlihat hingga sosok Brian muncul membawa makanan yang ia pesan. "Kenapa kamu tidak makan di restoran saja? Kenapa harus dibungkus seperti ini?""Tidak apa-apa. Aku lagi mau makan santai saja," ucap Alex seraya duduk di area tunggu. "Kamu tidak mau?" Alex mengangkat satu bungkusan satunya. Brian menggeleng. "Untukmu saja."Alex mengangkat bahunya cuek. Ia lanjut menikmati makanan yang sedang dikunyahnya. Suasana hatinya terasa lain. Sesuatu yang membahagiakan ia rasakan sebab perhatian Sha
Pertemuan pagi itu telah menghasilkan satu keputusan di mana akhirnya Alex meminta tim pengacaranya untuk segera mendaftarkan berkas perceraiannya ke pengadilan agama. "Kamu serius mau melakukan ini?" tanya Brian, yang tak percaya atas permintaan Alex tersebut. "Apakah sekarang kamu melihat aku sedang becanda?" Alex bertanya balik sembari menghubungi Shania perihal surat nikah yang ia pegang. "Y-ya, aku tahu kamu terlihat serius. Tapi, apa yang sudah membuatmu mau menyetujui permintaan Shania?"Alex tidak menjawab. Ia hanya tersenyum menatap asistennya itu. Di lain tempat, Shania merasa ada perasaan tak nyaman di hatinya. Setelah membaca pesan yang Alex kirimkan sejujurnya ia merasa lega. Akhirnya Alex mau mendaftarkan gugatan cerai atas pernikahan mereka. Tapi, hatinya mendadak nyeri. Nyeri karena akhirnya mereka benar-benar akan berpisah. "Kamu sudah mendapat kabar dari Alex?" Sebuah pesan dari Rachel masuk ke ponsel Shania setelah ia membalas pesan dari Alex. "Bagaimana feeli
Malam itu Alex melewati malam tanpa sedikit pun memejamkan mata. Kata-kata Shania terakhir, membuatnya tak bisa tertidur. Di atas sofa, ia menatap langit-langit kamar. Di atas ranjang sana, sang istri sudah tertidur pulas. Bayinya juga tidak rewel setelah satu jam yang lalu sang istri memberinya ASI. "Aku mungkin masih mencintaimu, tapi aku tak memiliki keinginan untuk kembali hidup bersamamu seperti dulu."Kalimat itu mungkin sebuah pengharapan bagi Alex. Tapi, ia tahu bagaimana sifat Shania. Perempuan itu akan tetap mempertahankan harga dirinya dan kemauannya. Hingga waktu melewati dini hari, Alex pun iseng membuka ponsel. Dan saat itu dirinya kepikiran untuk mengubungi Rachel, sahabat Shania. "Maaf malam-malam mengirimu pesan. Kalau tidak keberatan, aku mau mengajakmu ketemuan besok sebelum masuk kantor."Bingo! Pesan yang Alex kirimkan mendapatkan balasan. "Oke. Aku tunggu di kafe milikku. Tempat yang waktu itu kamu menjemput Shania."Alex ingat. Waktu itu ia sedang gila-gilan
"Maura?" tanya Shania saat Alex sudah selesai dengan panggilannya. Alex sempat kaget dengan tebakan Shania yang tepat sasaran. Tapi, sesaat kemudian ia bisa mengontrol dirinya dengan tidak menunjukkan sikap guguk atau panik. "Ya," jawab Alex singkat. Tak ada keterangan atau kabar apapun yang ia berikan kepada Shania. Shania sendiri tidak menanyakan lebih jauh, apa yang keduanya obrolkan. Beruntung bagi Alex karena saat ini Shania sudah berada di dalam kamarnya. Bukan di ruang keluarga seperti saat terakhir dirinya meninggalkan mertua dan istrinya itu. Bahkan, kedua mertuanya pun tak ada yang bertanya mengenai panggilan yang tiba-tiba tadi. "Tidurlah di sana seperti semalam," ucap Shania ketika Alex sudah akan menghampirinya di ranjang. Alex menghentikan langkah. Tapi, sedetik kemudian ia tetap berjalan mendekati sang istri. "Aku senang kalau harus menggendongmu ke sini," kata Alex yang direspon cuek oleh Shania. Tapi, lelaki itu sepertinya sudah bisa menebak sebab keisengannya t
Alex kembali ke kediaman keluarga Harrison saat masuk jam makan malam. Lian dan Nina sedang berbincang di ruang keluarga ketika Alex datang. Ayah dan ibu mertuanya terlihat santai saat Alex menyapa mereka. Tidak cuek seperti kekhawatirannya selama ini, sikap dua orang paruh baya itu justru membuat hati Alex terasa lebih tenang. Meski tidak menunjukkan perhatian berlebih, tapi Alex tahu bila keduanya tidak terlalu membencinya. "Aku izin menemui Shania dulu, Yah, Bu," pamit Alex setelah cukup menyapa kedua mertuanya itu. "Ya."Alex pun pergi menuju kamar tamu yang kini menjadi kamar Shania. Tak peduli ketika namanya sempat disebut oleh sang mertua saat ia beranjak pergi. 'Itu bukan hal aneh ketika seharusnya mereka membenciku, tapi masih mau menerima kehadiranku di kediaman mereka,' batin Alex bersyukur karena memiliki mertua yang sangat baik. Teringat pukulan Lian di perutnya tempo hari, Alex nilai itu bukan sesuatu yang menyakitkan. Justru, seharusnya Lian melakukan hal lebih dar