Share

Bab 7

"Sial@n!"

Laki-laki tersebut terus mengumpat. Ia berjalan menuju ke arah dua perempuan beda usia, Maya dan nyonya besar. Tidak lama kemudian ia berdiri berkacak pinggang. Tepat beberapa meter di belakang dua perempuan itu duduk.

"Cepat pulang. Pengasuh sial@n. Hanya menambahi pekerjaanku saja," ujarnya seraya menuding ke arah Maya.

Nyonya besar yang mengetahui itu dibuat kaget. Cucu tersayangnya belum pernah berbuat kasar seperti ini. Apalagi terhadap perempuan.

"Ada apa kamu Jojo. Jaga kata-katamu," ujar nyonya besar mengingatkan.

"Jadi Oma lebih membela perawat sialan daripada cucu Oma sendiri?" tanya Jonathan.

Nyonya besar menggeleng. "Bukan begitu. Tentu saja aku sangat sayang pada cucuku. Tapi kenapa kamu terkesan tidak suka pada Maya? Apa salah dia padamu?" tanya nyonya besar sambil menatap lekat cucunya. 

"Dia menambahi pekerjaanku saja. Gara-gara dia, aku diminta mama untuk mengawasi Oma jalan-jalan," ujar Jonathan.

"Lho Oma yang ajak dia jalan-jalan kok. Memang Oma tidak bosan apa harus setiap hari di dalam kamar?" tanya nyonya besar balik.

"Kita kembali saja, Nyonya. Sebentar lagi sudah pukul delapan," ucap Maya untuk mengalihkan pembicaraan.

Ia tidak mau keributan semakin melebar. Maya yakin kebencian Jonathan kepadanya bukan karena ia mengajak jalan-jalan. Tapi karena pertemuan mereka sebelumnya yang terlibat adu mulut.

Tanpa banyak bicara Maya mengambil kursi roda. Ia memapah nyonya besar untuk naik di atasnya. "Sudah enak duduknya, Nyonya?" tanya Maya kepada nyonya besar.

"Iya," jawab nyonya besar singkat.

Maya kemudian mendorong kursi roda tersebut ke rumah. Sementara Jonathan berjalan mendahuluinya tanpa sepatah kata pun. Beberapa warga yang melihat nyonya besar didorong Maya tampak menyapa dengan khidmat. Sepertinya nyonya besar adalah sosok yang disegani di komplek elit tersebut 

"Kita langsung makan, Nyonya?" tanya Maya sesampainya di rumah.

"Sebaiknya begitu. Saya sudah lapar," ujar nyonya besar.

Tanpa bertanya, ia mendorong kursi roda tersebut ke arah ruang makan. Di sana sudah duduk nyonya Mulia, tuan Mulia dan tentu saja Jonathan.

"Mengapa kamu bawa kemari, Maya?" tanya nyonya besar heran.

"Bukankah Nyonya mau sarapan juga?" tanya Maya.

"Saya biasanya sarapan di kamar," ujar nyonya besar.

"Oh maaf, Nyonya." Maye segera mendorong kursi roda tersebut balik ke kamar nyonya besar. Yang hanya selisih beberapa meter dari situ. 

"Maya!" panggil nyonya Mulia. Sesaat melihat Maya berbalik arah meninggalkan ruang makan.

Maya menoleh ."Ada apa, Nyonya?" tanya Maya heran.

"Biar mama makan di sini saja," ujar nyonya Mulia.

Sebelum berbalik arah, Maya bertanya terlebih dahulu pada nyonya besar. Untuk meminta pendapatnya. "Bagaimana Nyonya. Mau makan di mana?" tanya Maya.

"Baiklah. Sesekali tidak apa makan di meja makan," ujar nyonya besar.

Maya langsung berbalik arah. Membawa kembali kursi roda ke arah ruang makan. Tampak wajah Jonathan menahan kesal. Namun Maya tidak peduli.

Ia mendekatkan kursi roda ke salah satu kursi di meja makan. Tepat di depan Jonathan. Selanjutnya membimbing nyonya besar untuk duduk di sana. 

"Nyonya mau makan apa?" tanya Maya ramah. Ia mengambil piring kosong dan mengisinya dengan nasi. 

"Cukup segitu nasinya, Maya. Untuk lauk biar aku ambil sendiri," jawab nyonya besar.

"Baiklah," jawab Maya singkat. Ia meletakkan piring dan nasi tersebut tepat di depan nyonya besar. Tidak lupa ia mengambilkan sendok dan garpu.

Ia kemudian berdiri di belakang nyonya besar. Untuk berjaga-jaga apabila nyonya besar membutuhkan sesuatu. 

Nyonya besar mencari keberadaan Maya. Ia menoleh ke belakang. "Apa yang Nyonya butuhkan?" tanya Maya seraya mendekat.

 "Mengapa berdiri saja di belakangku. Ayo duduk di sampingku," ujar nyonya besar.

Semua orang yang hadir seakan tidak percaya. Belum pernah nyonya besar berlaku seramah itu kepada perawatnya. Itu artinya, nyonya besar sangat menyukai Maya. 

Nyonya Mulia tersenyum melihat itu. Ia ikut senang saat mamanya menemukan orang yang disukai. "Duduklah Maya. Tidak apa makan bersama kami. Bukankah kamu belum sarapan?" tanya nyonya Mulia.

Jangankan sarapan, sejak kemarin sore dia belum meminum air sama sekali. "Baiklah," ujar Maya seraya duduk di samping nyonya besar. Tepat di depan Jonathan. 

Tampak wajah Jonathan yang semakin jengkel. Ia segera menghabiskan makanan di piringnya secara asal. Tampaknya ia ingin segera kabur dari tempat tersebut.

"Ayo ambil piringmu dan makanlah," ujar nyonya Mulia lagi.

Dengan agak ragu Maya mengambil piring dan mengisinya dengan nasi. Ia mengambil sayur dan lauk yang di depannya. Rasa lapar mengalahkan rasa sungkan duduk bersama dengan para majikannya. 

"Hmm ke depannya aku akan makan di meja makan saja. Ternyata bisa berkumpul dengan anak dan cucuku itu menyenangkan," ujar nyonya besar. 

Mereka yang berada di situ kaget dengan pernyataan nyonya besar. Termasuk nyonya Mulia. "Benarkah Mama? Aku ikut senang mendengarnya," ujar nyonya Mulia.

Selama ini nyonya besar sangat jarang bersedia makan bersama. Lebih suka makan sendiri di kamarnya. Sehingga, saat ia bersedia makan bersama, itu sebuah pertanda baik. 

"Tentu saja. Aku sudah memiliki perawat yang menganggapku seperti orang sehat. Dan tidak membatasi keinginanku," tukas nyonya besar.

Mendengar itu Jonathan langsung berdiri. Gelas kosong di depannya ia senggol dengan siku tangannya. Gelas itu jatuh tepat di dekat Maya. Pecahan kacanya hampir mengenai kaki Maya.

"Ada apa Jonathan?" tanya nyonya Mulia kaget.

"Dia yang menjatuhkannya sendiri, Ma," ujar Jonathan sambil jari telunjuknya mengarah kepada Maya. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status