"Itu kan, itu kan....." ucap Maya dengan gagap.
Ia segera berbalik. Tidak sanggup bertatap mata dengan laki-laki yang pernah ditemuinya beberapa waktu lalu. Sebuah pertemuan tidak sengaja yang menyebalkan.
"Ada apa, Maya? Kamu kelihatan bingung," tanya nyonya besar.
"Oh tidak ada apa-apa, Nyonya. Udara pagi ini terasa segar. Apakan anda tidak berminat untuk jalan-jalan di luar, Nyonya? " tanya Maya. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Kamu menawariku?" Nyonya besar balik bertanya. Ia heran, belum pernah ada pengasuh sebelumnya yang menawarinya jalan-jalan.
"Tentu saja," ujar Maya.
"Ayo," ajak nyonya besar dengan wajah berbinar.
Maya segera mempersiapkan kursi roda dan beberapa perlengkapan lain untuk itu. Seperti air minum, tisu dan juga sweater. Ia khawatir nyonya besar akan kedinginan saat di luar nanti.
"Nyonya sudah siap?" tanya Maya.
"Tentu saja. Bahkan saya sangat senang. Belum ada satupun pengasuhku yang menawariku jalan-jalan seperti ini," ujar nyonya besar.
Maya menjadi ragu. Ia pun bertanya tentang keraguannya "Apakah hal itu karena Nyonya Mulia melarangnya?" tanyanya pada nyonya besar.
"Tidak. Anakku memberi kebebasan kepada siapapun untuk mengajakku keluar. Tapi memang para pengasuhku lebih suka di rumah saja menungguiku sambil bermain handphone," jelas nyonya besar.
"Hmm. Baiklah kalau begitu. Ada baiknya saya minta izin dulu kepada nyonya Mulia," kata Maya lagi.
"Terserah," jawab nyonya besar singkat.
Seraya mendorong kursi roda. Maya mencari keberadaan nyonya Mulia. Ternyata yang dicari sedang berada di dapur. Mengechek persiapan sarapan pagi.
"Ada apa Maya?" tanya nyonya Mulia.
"Saya mau mengajak nyonya besar untuk jalan-jalan di komplek perumahan ini, Nyonya. Apakah diizinkan?" tanya Maya.
"Boleh, tapi jangan jauh -jauh ya. Dan jangan sampai keluar dari pintu masuk perumahan. Kamu belum mengenal daerah sini," ujar nyonya Mulia.
"Baik, Nyonya," jawab Maya.
"Oiya, satu lagi. Sebelum pukul 08.00 harus sudah kembali. Karena mama saya harus sarapan dan minum obatnya," ujar nyonya Mulia lagi.
Maya menjawabnya dengan sebuah anggukan. Ia segera mendorong kursi roda nyonya besar ke ruang depan. Lagi lagi, saat mendorong kursi roda tersebut ia berpapasan dengan Jonathan. Ia segera menunduk seakan tidak mengenal laki-laki itu.
"Ada apa Jo? Mengapa kamu melihat Maya seperti mau menerkamnya?" tanya nyonya besar.
"Mengapa Oma mau menerima pengasuh seperti dia?" tanya Jonathan.
"Suka-suka Oma kan. Toh bukan pengasuhmu saja. Kenapa kamu yang sewot?" ucap nyonya besar.
Jonathan masih memandang Maya dengan pandangan tidak suka. Ia merasa hari-hari ke depannya bakal menyebalkan karena adanya gadis itu di rumahnya.
Maya berusaha tidak mempedulikan itu. Baginya ia bekerja. Dan ini satu-satunya pekerjaan yang bisa dia lakukan untuk saat ini. Ia merasa sangat beruntung menemukan pekerjaan ini.
Di rumah ini dia tidak perlu mencari kost. Tidak membutuhkan baju, karena sudah tersedia seragam untuknya. Dan yang terpenting, dia tidak perlu mencari sepiring nasi untuk makannya sehari-hari. Semuanya sudah ada.
"Bahkan kalaupun aku bekerja di sini tanpa dibayar, aku tidak apa-apa. Toh kebutuhan dasarku sudah terpenuhi semua," batinnya.
"Maya, kita akan ke arah kanan ya. Di sana ada teman kecil di tengah-tengah perumahan ini. Kamu pasti suka," jelas nyonya besar dengan wajah berseri. Seperti anak kecil yang sedang diajak piknik.
"Baik Nyonya," jawab Maya.
"Kamu bisa selfi-selfi di sana," tambah nyonya besar.
Maya tersenyum kecut. Ia jadi teringat dengan peristiwa tragis yang dialaminya saat turun dari bus di terminal. Semua barangnya raib entah kemana.
"Saya tidak punya handphone, Nyonya," ujar Maya jujur.
Jangankan benda mewah seperti handphone. Bahkan selembar baju dia tidak punya. Kecuali yang dipakainya saat datang.
"Kok aneh remaja seusiamu tidak memiliki handphone," gumam nyonya besar.
"Barang-barang saya kecopetan semua saat mau ke sini, Nyonya. Termasuk handphone saya," aku Maya jujur.
"Jahat sekali pencopet tesebut. Untung saja kamu segera diantar pamanmu kemari," ujar nyonya besar.
Hampir saja Maya protes bahwa dia tidak memiliki paman yang mengantar. Untungnya dia mengingat perkataan satpam Agus, agar mengaku sebagai keponakannya. "Iya, Nyonya," jawab Maya singkat.
"Lihat itu, tamannya sudah kelihatan," ujar nyonya besar seraya menunjuk arah di depannya.
Sebuah taman yang tidak seberapa luas. Di tengahnya ada bola dunia. Di tengah-tengah sebuah kolam berbentuk lingkaran. Di sekitar kolam itu ada air mancur.
Kalau dilihat dari jauh mirip dengan bundaran HI.Namun bedanya, di sekeliling lingkaran itu berupa hamparan rumput hijau. Sungguh sedap dipandang mata.
Maya dan nyonya besar memilih duduk di salah satu kursi taman di sana. Menghadap bola dunia dengan air mancur. "Kalau malam hari, tempat ini lebih menarik Maya. Karena air mancurnya dilengkapi lampu warna-warni, " jelas nyonya besar.
"Wow pasti indah ya, Nyonya," ujar Maya.
"Suatu ketika nanti kita jalan-jalan malam ke sini, biar kamu tahu. Tapi ada syaratnya," ujar nyonya besar dengan mata berkedip.
"Apa syaratnya, Nyonya?" tanya Maya penasaran.
"Asal anakku tidak tahu," ujar nyonya besar dengan berbisik.
Keduanya lalu tertawa bersama.
Keduanya lalu bercengkrama dan berbicara tentang banyak hal. Tidak seperti bayangan Maya sebelumnya, ternyata sosok nyonya besar tidak galak. Bahkan Maya menilai nyonya besar itu sosok yang ramah. Buktinya mau bergaul dengan dirinya dari kalangan yang berbeda.
"Berarti selama ini yang bilang nyonya besar galak dan cerewet adalah hoax," batinnya.
Ia merasa saat ini seperti ia bekerja di Hongkong. Setiap akhir pekan Oma yang dirawatnya mengajak jalan-jalan di Victoria Park. Dan itu pekerjaan yang tidak sulit bagi Maya. Bahkan menyenangkan.
Dari jauh interaksi Maya dan Oma ini diamati seorang laki-laki. Dengan wajah angkuhnya ia terus mengumpat tidak jelas. "Siala@n!"
***
"Sial@n!"Laki-laki tersebut terus mengumpat. Ia berjalan menuju ke arah dua perempuan beda usia, Maya dan nyonya besar. Tidak lama kemudian ia berdiri berkacak pinggang. Tepat beberapa meter di belakang dua perempuan itu duduk."Cepat pulang. Pengasuh sial@n. Hanya menambahi pekerjaanku saja," ujarnya seraya menuding ke arah Maya.Nyonya besar yang mengetahui itu dibuat kaget. Cucu tersayangnya belum pernah berbuat kasar seperti ini. Apalagi terhadap perempuan."Ada apa kamu Jojo. Jaga kata-katamu," ujar nyonya besar mengingatkan."Jadi Oma lebih membela perawat sialan daripada cucu Oma sendiri?" tanya Jonathan.Nyonya besar menggeleng. "Bukan begitu. Tentu saja aku sangat sayang pada cucuku. Tapi kenapa kamu terkesan tidak suka pada Maya? Apa salah dia padamu?" tanya nyonya besar sambil menatap lekat cucunya."Dia menambahi pekerjaanku saja. Gara-gara dia, aku diminta mama untuk mengawasi Oma jalan-jalan," ujar Jonathan.
Maya sigap. Ia ke belakang untuk mengambil peralatan kebersihan di dekat dapur. Ia tidak mau ada orang yang terluka akibat pecahan kaca tersebut. Namun nyonya Mulia melarangnya"Tidak usah Maya. Biar asisten lain yang membersihkannya. Tugasmu adalah menjaga mamaku," ujar nyonya Mulia."Baik, Nyonya, " jawab Maya. Ia urung ke belakang dan kembali ke tempat duduknya.Mendengar hal itu, Jonathan yang masih berada di ruang makan tampak semakin jengkel. Padahal dia sengaja menjatuhkan gelasnya agar Maya dimarahi. Atau minimal disuruh membersihkan. Agar pekerjaan Maya bertambah."Aneh sekali. Kenapa semua orang di sini selalu membela dia. Tidak hanya Oma, juga mama. Apa istimewanya anak kampung ini?" ujar Jonathan.Dipandangi satu persatu orang yang ada di situ. Seakan mencari pembelaan diri.Tuan Mulia yang sejak tadi diam ikut angkat bicara. "Sudahlah Jo. Papa lihat sendiri kamu yang menyenggol gelas itu sampai terjatuh. Jangan salah
"Apa maksudmu membawaku kemari?" tanya Maya dengan wajah ketakutan.Jonathan hanya tersenyum menyeringai. Lalu tangannya menarik Maya ke atas. Mencengkeram kerah baju yang dipakai Maya. Sampai gadis itu berjinjit agar bisa sejajar dengan tangan Jonathan.Tidak sampai di situ. Jonathan bahkan mengangkat Maya ke arah tembok. Di sana kedua tangan Maya ditempelkan ke tembok. Gadis itu tidak bisa berbuat banyak.Maya menangis sesenggukan. Hal yang paling ditakutinya adalah diperkosa laki-laki. Karena sejauh ini dia sudah mempertahankan harga dirinya sebaik mungkin. Dan ingin mempersembahkan yang terbaik untuk suaminya kelak."Jangan ge-er. Aku tidak akan memperkosamu. Cih," ujar Jonathan sambil meludah. Hampir mengenai rok yang dikenakan Maya. Seakan dia memahami kekhawatiran Maya."Lalu apa maksudmu?" Maya mulai berani menantang."Aku hanya ingin membuat kesepakatan denganmu," ujar Jonathan."Kesempatan apa? Aku tidak memiliki
Maya mendorong kursi roda nyonya besar ke kamarnya. Pintu ia buka. Dan menempatkan kursi roda di dekat pembaringan. Nyonya besar turun."Aku mau ke kamar kecil dulu, Maya," ujar nyonya besar.Maya memapahnya ke arah kamar kecil yang berjarak lima langkah. Maya ikut masuk ke dalam. Ia mengira, tugasnya termasuk membersihkan kotoran setelah nyonya besar buang hajat."Kamu tunggu di luar saja Maya. Aku bukan anak kecil yang harus diceboki," tolak nyonya besar."Maafkan saya, Nyonya," ujar Maya seraya keluar dari pintu. Ia menutupnya kembali.Tentu saja Maya lebih senang, setidaknya tugasnya tidak berat. Lebih ringan dibandingkan ekspektasinya. Padahal melamar pekerjaan ini, bayangannya merawat orang tua yang tidak bisa apa-apa. Hanya bisa tiduran di kasur.Saat datang ia membayangkan akan mengerjakan semua pekerjaan yang berkaitan dengan nyonya besar. Mulai memandikan, menyuapi makan, mengganti baju hingga membersihkan kotoran
"Maksud Nyonya?" tanya Maya heran."Kematian anakku yang kedua lebih tragis lagi," ujar nyonya besar. Lagi, air matanys tumpah."Nyonya, kalau mengingat semua itu akan membuat Nyonya bersedih. Nyonya tidak usah memaksakan diri bercerita kepada saya," ujar Maya."Tidak Maya, justru dengan cara bercerita seperti ini aku lebih tenang. Karena tidak ada satu pun yang tahu tentang ini selain aku, mendiang suamiku dan ART. Dan ART itu kini juga sudah meninggal," ujar nyonya besar."Termasuk nyonya Mulia tidak tahu?" tanya Maya.Nyonya besar menggeleng pasti. "Tidak. Aku tidak pernah menceritakan kepadanya. Aki malu kalau dianggap ibu yang tidak bertanggung jawab," ucap nyonya besar."Kalau begitu terserah Nyonya saja. Mau bercerita kepada saya juga boleh. Saya akan menjadi pendengar setia buat Nyonya," ujar Maya selanjutnya.Nyonya besar tampak mengambil nafas panjang. Ada rasa bersalah yang ingin sekali ditebusnya. Namun akhirnya mengalir c
Tok tok tokPintu kamar nyonya besar diketuk seseorang dari luar."Ya masuk. Pintu tidak dikunci kok," kata nyonya besar lantang.Ternyata yang datang adalah anaknya sendiri, Katarina. Alias nyonya Mulia, mama Jonathan. Tampak wajah sembab Katarina seperti usai menangis. Tidak lama kemudian ia memeluk mamanya dengan berderai air mata."Aku ikut mendengarkan cerita Mama dari balik pintu," ujar nyonya Mulia pelan."Kau, kau," ujar nyonya besar terbata-bata."Aku mendengar semuanya, Ma. Mama tidak salah. Mengapa mama harus menyimpan semua ini sendiri?" tanya nyonya Mulia.Nyonya besar ikut menangis dalam pelukan anaknya sendiri. "Mama malu Katarina. Mama merasa bersalah, sudah menjadi ibu yang tidak bisa menjaga anak-anaknya," ujar nyonya besar, seraya mengurai pelukan anaknya."Tidak, Ma. Mama tetap menjadi ibu terbaik buat aku dan kakak-kakakku," ujar nyonya Mulia lagi."Kalau Mama bisa menjaga mereka. Mereka masih
Sudah hampir tiga minggu Maya bekerja di keluarga besar Mulia. Sudah banyak perubahan Yeng terjadi pada kesehatan nyonya besar. Baik kesehatan fisik maupun psikisnya. Yang belum berubah hanya masalah Jonathan. Sampai saat ini ia masih menunjukkan tatapan tidak suka kepada Maya. Padahal Maya sendiri sudah sedapat mungkin menghindar dari cucu kesayangan nyonya besar itu. "Kelihatannya kamu tidak menyukai cucuku Jonathan, Maya," ujar nyonya besar pada suatu pagi. "Saya bukannya tidak suka Nyonya. Saya hanya tidak biasa berteman dengan laki-laki," ujar Maya. "Beberapa kali saya lihat kamu berusaha menghindar," ujar nyonya besar lagi. Maya bingung mau memberikan alasan apa lagi. "Mungkin itu hanya perasaan Nyonya saja," ujar Maya akhirnya. Memang sesuai kesepakatan dengan Jonathan, Maya harus menghindar dari Jonathan. Maya juga harus menyelesaikan pekerjaannya di rumah ini cukup satu bulan saja. Ini pula yang menjadi ganjalan bagi May
Jonathan bersungut. Ia meninggalkan ruangan dokter Faisal tanpa pamit. Entah apa yang menjadi kemarahannya. Nyonya besar juga tidak tahu."Memang anak itu begitu. Kadang emosinya tidak terduga," ujar nyonya besar kepada dokter Faisal."Saya sudah paham Oma. Dia teman saya sejak muda. Tidak masalah. Nanti akan membaik sendiri," ujar dokter tersebut.Setelah berpamitan, Maya segera mendorong kursi roda ke arah depan. Mengikuti Jonathan yang sudah menjauh menuju pintu utama rumah sakit.Ternyata Jonathan mendahului untuk mengambil mobil di parkiran. Sedangkan Maya dan nyonya besar menunggu di depan lobby."Ayo naik," ujar Jonathan di depan lobi. Ia membuka bagasi belakang, untuk menyimpan kembali kursi roda yang sudah dilipat.Nyonya besar naik di kursi tengah. Maya di kursi depan. Seperti formasi saat mereka berangkat. "Bulan depan kamu tidak usah ikut saja. Biar saya saja yang antar Oma. Menjengkelkan tuh si Faisal," ujar Jonathan