Share

Bab 6

"Itu kan, itu kan....." ucap Maya dengan gagap.

Ia segera berbalik. Tidak sanggup bertatap mata dengan laki-laki yang pernah ditemuinya beberapa waktu lalu. Sebuah pertemuan tidak sengaja yang menyebalkan. 

"Ada apa, Maya? Kamu kelihatan bingung," tanya nyonya besar.

"Oh tidak ada apa-apa, Nyonya. Udara pagi ini terasa segar. Apakan anda tidak berminat untuk jalan-jalan di luar, Nyonya? " tanya Maya. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Kamu menawariku?"  Nyonya besar balik bertanya. Ia heran, belum pernah ada pengasuh sebelumnya yang menawarinya jalan-jalan.

"Tentu saja," ujar Maya.

"Ayo," ajak nyonya besar dengan wajah berbinar.

Maya segera mempersiapkan kursi roda dan beberapa perlengkapan lain untuk itu. Seperti air minum, tisu dan juga sweater. Ia khawatir nyonya besar akan kedinginan saat di luar nanti. 

"Nyonya sudah siap?" tanya Maya.

"Tentu saja. Bahkan saya sangat senang. Belum ada satupun pengasuhku yang menawariku jalan-jalan seperti ini," ujar nyonya besar.

Maya menjadi ragu. Ia pun bertanya tentang keraguannya  "Apakah hal itu karena Nyonya Mulia melarangnya?" tanyanya pada nyonya besar.

"Tidak. Anakku memberi kebebasan kepada siapapun untuk mengajakku keluar. Tapi memang para pengasuhku lebih suka di rumah saja menungguiku sambil bermain handphone," jelas nyonya besar.

"Hmm. Baiklah kalau begitu. Ada baiknya saya minta izin dulu kepada nyonya Mulia," kata Maya lagi.

"Terserah," jawab nyonya besar singkat.

Seraya mendorong kursi roda. Maya mencari keberadaan nyonya Mulia. Ternyata yang dicari sedang berada di dapur. Mengechek persiapan sarapan pagi.

"Ada apa Maya?" tanya nyonya Mulia.

"Saya mau mengajak nyonya besar untuk jalan-jalan di komplek perumahan ini, Nyonya. Apakah diizinkan?" tanya Maya.

"Boleh, tapi jangan jauh -jauh ya. Dan jangan sampai keluar dari pintu masuk perumahan. Kamu belum mengenal daerah sini," ujar nyonya Mulia.

"Baik, Nyonya," jawab Maya.

"Oiya, satu lagi. Sebelum pukul 08.00 harus sudah kembali. Karena mama saya harus sarapan dan minum obatnya," ujar nyonya Mulia lagi.

Maya menjawabnya dengan sebuah anggukan. Ia segera mendorong kursi roda nyonya besar ke ruang depan. Lagi lagi, saat mendorong kursi roda tersebut ia berpapasan dengan Jonathan. Ia segera menunduk seakan tidak mengenal laki-laki itu.

"Ada apa Jo? Mengapa kamu melihat Maya seperti mau menerkamnya?" tanya nyonya besar.

"Mengapa Oma  mau menerima pengasuh seperti dia?" tanya Jonathan.

"Suka-suka Oma kan. Toh bukan pengasuhmu saja. Kenapa kamu yang sewot?" ucap nyonya besar.

Jonathan masih memandang Maya dengan pandangan tidak suka. Ia merasa hari-hari ke depannya bakal menyebalkan karena adanya gadis itu di rumahnya.

Maya berusaha tidak mempedulikan itu. Baginya ia bekerja. Dan ini satu-satunya pekerjaan yang bisa dia lakukan untuk saat ini. Ia merasa sangat beruntung menemukan pekerjaan ini. 

Di rumah ini dia tidak perlu mencari kost. Tidak membutuhkan baju, karena sudah tersedia seragam untuknya. Dan yang terpenting, dia tidak perlu mencari sepiring nasi untuk makannya sehari-hari. Semuanya sudah ada.

"Bahkan kalaupun aku bekerja di sini tanpa dibayar, aku tidak apa-apa. Toh kebutuhan dasarku sudah terpenuhi semua," batinnya.

"Maya, kita akan ke arah kanan ya. Di sana ada teman kecil di tengah-tengah perumahan ini. Kamu pasti suka," jelas nyonya besar dengan wajah berseri. Seperti anak kecil yang sedang diajak piknik. 

"Baik Nyonya," jawab Maya.

"Kamu bisa selfi-selfi di sana," tambah nyonya besar.

Maya tersenyum kecut. Ia jadi teringat dengan peristiwa tragis yang dialaminya saat turun dari bus di terminal. Semua barangnya raib entah kemana.

"Saya tidak punya handphone, Nyonya," ujar Maya jujur.

Jangankan benda mewah seperti handphone. Bahkan selembar baju dia tidak punya. Kecuali yang dipakainya saat datang.

"Kok aneh remaja seusiamu tidak memiliki handphone," gumam nyonya besar.

"Barang-barang saya kecopetan semua saat mau ke sini, Nyonya. Termasuk handphone saya," aku Maya jujur.

"Jahat sekali pencopet tesebut. Untung saja kamu segera diantar pamanmu kemari," ujar nyonya besar.

Hampir saja Maya protes bahwa dia tidak memiliki paman yang mengantar. Untungnya dia mengingat perkataan satpam Agus, agar mengaku sebagai keponakannya. "Iya, Nyonya," jawab Maya singkat.

"Lihat itu, tamannya sudah kelihatan," ujar nyonya besar seraya menunjuk arah di depannya.

Sebuah taman yang tidak seberapa luas. Di tengahnya ada bola dunia. Di tengah-tengah sebuah kolam berbentuk lingkaran. Di sekitar kolam itu ada air mancur.

Kalau dilihat dari jauh mirip dengan bundaran HI.Namun bedanya, di sekeliling lingkaran itu berupa hamparan rumput hijau. Sungguh sedap dipandang mata.

Maya dan nyonya besar memilih duduk di salah satu  kursi taman di sana. Menghadap bola dunia dengan air mancur. "Kalau malam hari, tempat ini lebih menarik Maya. Karena air mancurnya dilengkapi lampu warna-warni, " jelas nyonya besar.

"Wow pasti indah ya, Nyonya," ujar Maya.

"Suatu ketika nanti kita jalan-jalan malam ke sini, biar kamu tahu. Tapi ada syaratnya," ujar nyonya besar dengan mata berkedip.

"Apa syaratnya, Nyonya?" tanya Maya penasaran.

"Asal anakku tidak tahu," ujar nyonya besar dengan berbisik.

Keduanya lalu tertawa bersama. 

Keduanya lalu bercengkrama dan berbicara tentang banyak hal. Tidak seperti bayangan Maya sebelumnya, ternyata sosok nyonya besar tidak galak. Bahkan Maya menilai nyonya besar itu sosok yang ramah. Buktinya mau bergaul dengan dirinya dari kalangan yang berbeda.

"Berarti selama ini yang bilang nyonya besar galak dan cerewet adalah hoax," batinnya.

Ia merasa saat ini seperti ia bekerja di Hongkong. Setiap akhir pekan Oma yang dirawatnya mengajak jalan-jalan di Victoria Park. Dan itu pekerjaan yang tidak sulit bagi Maya. Bahkan menyenangkan.

Dari jauh interaksi Maya dan Oma ini diamati seorang laki-laki. Dengan wajah angkuhnya ia terus mengumpat tidak jelas. "Siala@n!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status