Maya sigap. Ia ke belakang untuk mengambil peralatan kebersihan di dekat dapur. Ia tidak mau ada orang yang terluka akibat pecahan kaca tersebut. Namun nyonya Mulia melarangnya
"Tidak usah Maya. Biar asisten lain yang membersihkannya. Tugasmu adalah menjaga mamaku," ujar nyonya Mulia.
"Baik, Nyonya, " jawab Maya. Ia urung ke belakang dan kembali ke tempat duduknya.
Mendengar hal itu, Jonathan yang masih berada di ruang makan tampak semakin jengkel. Padahal dia sengaja menjatuhkan gelasnya agar Maya dimarahi. Atau minimal disuruh membersihkan. Agar pekerjaan Maya bertambah.
"Aneh sekali. Kenapa semua orang di sini selalu membela dia. Tidak hanya Oma, juga mama. Apa istimewanya anak kampung ini?" ujar Jonathan.
Dipandangi satu persatu orang yang ada di situ. Seakan mencari pembelaan diri.
Tuan Mulia yang sejak tadi diam ikut angkat bicara. "Sudahlah Jo. Papa lihat sendiri kamu yang menyenggol gelas itu sampai terjatuh. Jangan salahkan orang lain," ujar Tuan Mulia.
Seperti maling kepergok, Jonathan tidak bisa berkata apa-apa. Ia langsung pergi meninggalkan ruang makan menuju kamarnya. Sebentar lagi dia akan bersiap-siap untuk berangkat bekerja.
"Gadis sial@n. Kenapa semua orang membelanya. Awas kamu ya!" ancamnya dalam hati.
Sepeninggalan Jonathan semua terdiam. Kecuali tuan Mulia. "Ada-ada saja ulah anak itu. Sepertinya dia ingin selalu mencari gara-gara dengan pengasuh baru mama," gumam tuan Mulia.
"Ya biarkan saja Jo begitu. Mungkin dia merasa kurang mendapatkan perhatian dari kita," ujar Oma lebih dewasa.
Nyonya Mulia segera memanggil asistennya untuk membersikan kaca yang pecah. "Bi Sumi, tolong bersihkan kaca gelas yang pecah ya," teriaknya.
Tidak beberapa lama asisten yang bernama Bi Ani datang. Seorang perempuan yang sudah cukup umur. Mungkin seumuran Sumirah, ibu Maya di kampung.
Dengan cekatan ia menyapu pecahan kaca tersebut dan dimasukkan ke dalam cikrak. Selanjutnya ia masukkan ke dalam plastik agar tidak bercampur dengan sampah yang lain. "Jangan lupa diisolasi yang kuat biar tidak melukai tukang sampah," pesan nyonya Mulia.
"Iya Nyonya," jawab Bi Ani singkat.
"Oiya Bi, satu lagi. Ini Maya pengasuh nyonya besar yang akan tidur satu kamar denganmu. Kalian sebaiknya saling mengenal," ujar nyonya Mulia memperkenalkan Maya.
Maya langsung berdiri dan menyalami Bi Ani. "Maya," ujarnya singkat.
"Panggil aku Bi Ani ya," ujar Bi Ani seraya menjabat tangan Maya.
Setelah berkenalan, Maya mengajak nyonya besar untuk kembali ke kamarnya. Namun, nyonya besar menolak. Ia ingin duduk duduk di sofa ruang tengah sambil melihat televisi. Padahal di kamarnya juga sudah tersedia televisi flat yang tidak kalah besar.
"Kenapa tidak lihat televisi di kamar saja Nyonya. Sambil tiduran mungkin lebih santai," ujar Maya.
"Entahlah Maya. Bersamamu aku merasa bukan orang tua yang jompo. Sehingga aku ingin melakukan aktivitas seperti orang lain," ujar nyonya besar saat ditemani Maya duduk di sofa.
"Itu lebih baik Nyonya. Di masa tua Nyonya harus tetap nyaman dan bahagia," ujar Maya.
"Kamu benar sekali. Bukankah aku sudah bekerja keras saat muda? Jadi sudah saatnya menikmati masa tua yang menyenangkan," tambah nyonya besar.
"Setuju," ujar Maya sambil menjulurkan tangannya untuk toz.
Ternyata Nyonya besar paham maksud Maya. Dia juga menyambut tangan Maya untuk toz. Mereka pun tertawa bersama.
Tidak beberapa lama tampak tuan Mulia berangkat bekerja. Diantar nyonya Mulia sampai di depan pintu. Mereka tempek cipika cipiki sejenak. "Ternyata mereka pasangan yang romantis juga," batin Maya.
Selanjutnya, menyusul Jonathan yang berpamitan kepada mamanya. Ia mencium pipi mamanya. Sedangkan kepada omanya, Jonathan hanya memandang sekilas.
"Hati-hati ya Jo," ujar nyonya Mulia. Jonathan kemudian berangkat dengan mobil yang berbeda dengan tuan Mulia. Namun, tidak beberapa lama Jonathan mematikan kembali mesin mobilnya. Dan keluar dari mobil.
Ia kembali lagi masuk ke rumah. Saat melintas di belakang Maya, ia menarik baju gadis itu. Jonathan sambil menunjuk ruang belakang di dekat kolam.
Maya paham maksud Jonathan agar dia mengikutinya ke taman belakang. Ia pun segera mencari alasan untuk ke sana. Ia harus berpamitan terlebih dahulu kepada nyonya besar. Agar nyonya besar tidak mencarinya nanti.
"Nyonya, saya mohon izin ke belakang sebentar ya. Mau pipis," ujar Maya kepada nyonya besar.
"Ya Maya. Tidak apa. Biar aku di sini, film kartun ini sangat lucu hahaha," ujar nyonya besar.
"Terima kasih, Nyonya. Atau sebelum itu nyonya membutuhkan sesuatu?" tanya Maya.
"Aku tidak butuh apa-apa. Lagian aku sudah kenyang," ujar nyonya besar masih fokus dengan acara televisi.
Merasa mendapatkan angin, Maya segera menuju tempat yang ditunjuk Jonathan. Dia memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Agar nyonya besar tidak curiga. Ia akan menemui Jonathan segera agar pemuda itu tidak marah
Di teras belakang, Jonathan sudah menunggunya duduk di kursi. Sebuah kursi rotan dengan meja berbentuk lingkaran di tengahnya. Kursi tersebut menghadap ke arah kolam renang.
Begitu melihat Maya datang Jonathan berdiri. Ia menghampiri Maya. Belum sempat Maya duduk, Jonatan malah mendorongnya ke ruangan lain. Sebuah kamar dengan pintu terbuka. Sehingga Maya terjerembab jatuh di lantai.
"Bruuk."
Beruntung lantai di ruangan tersebut terbuat dari karpet yang tebal. Sehingga tidak seberapa sakit dirasakan Maya saat jatuh. Ia segera bangkit. Berusaha berdiri.
Belum sempat sampai ke pintu, Jonathan menyusul masuk. Laki-laki itu menutup pintu dan menguncinya. Memasukkan kunci di saku celananya.
"Ya Tuhan, apa laki-laki ini akan memperkosaku? Tolong aku Tuhan. Ini ruangan kedap suara, seberapa keras aku berteriak tidak akan ada yang mendengarnya," doa Mays dalam hati.
Jonathan menyalakan lampu. Ternyata ruangan ini seperti studio musik yang penuh dengan berbagai alat musik terkini. Ada gitar, drum, piano dan sound sistem lengkap. Tentu saja ruangan ini kedap suara.
"Cepat bangun, gadus kampung. Jangan sok manja menunggu aku akan membangunkanmu. Tidak akan!" titah Jonathan.
"Apa maksudmu membawaku kemari?" tanya Maya dengan wajah ketakutan.
Jonathan hanya tersenyum menyeringai.
***
"Apa maksudmu membawaku kemari?" tanya Maya dengan wajah ketakutan.Jonathan hanya tersenyum menyeringai. Lalu tangannya menarik Maya ke atas. Mencengkeram kerah baju yang dipakai Maya. Sampai gadis itu berjinjit agar bisa sejajar dengan tangan Jonathan.Tidak sampai di situ. Jonathan bahkan mengangkat Maya ke arah tembok. Di sana kedua tangan Maya ditempelkan ke tembok. Gadis itu tidak bisa berbuat banyak.Maya menangis sesenggukan. Hal yang paling ditakutinya adalah diperkosa laki-laki. Karena sejauh ini dia sudah mempertahankan harga dirinya sebaik mungkin. Dan ingin mempersembahkan yang terbaik untuk suaminya kelak."Jangan ge-er. Aku tidak akan memperkosamu. Cih," ujar Jonathan sambil meludah. Hampir mengenai rok yang dikenakan Maya. Seakan dia memahami kekhawatiran Maya."Lalu apa maksudmu?" Maya mulai berani menantang."Aku hanya ingin membuat kesepakatan denganmu," ujar Jonathan."Kesempatan apa? Aku tidak memiliki
Maya mendorong kursi roda nyonya besar ke kamarnya. Pintu ia buka. Dan menempatkan kursi roda di dekat pembaringan. Nyonya besar turun."Aku mau ke kamar kecil dulu, Maya," ujar nyonya besar.Maya memapahnya ke arah kamar kecil yang berjarak lima langkah. Maya ikut masuk ke dalam. Ia mengira, tugasnya termasuk membersihkan kotoran setelah nyonya besar buang hajat."Kamu tunggu di luar saja Maya. Aku bukan anak kecil yang harus diceboki," tolak nyonya besar."Maafkan saya, Nyonya," ujar Maya seraya keluar dari pintu. Ia menutupnya kembali.Tentu saja Maya lebih senang, setidaknya tugasnya tidak berat. Lebih ringan dibandingkan ekspektasinya. Padahal melamar pekerjaan ini, bayangannya merawat orang tua yang tidak bisa apa-apa. Hanya bisa tiduran di kasur.Saat datang ia membayangkan akan mengerjakan semua pekerjaan yang berkaitan dengan nyonya besar. Mulai memandikan, menyuapi makan, mengganti baju hingga membersihkan kotoran
"Maksud Nyonya?" tanya Maya heran."Kematian anakku yang kedua lebih tragis lagi," ujar nyonya besar. Lagi, air matanys tumpah."Nyonya, kalau mengingat semua itu akan membuat Nyonya bersedih. Nyonya tidak usah memaksakan diri bercerita kepada saya," ujar Maya."Tidak Maya, justru dengan cara bercerita seperti ini aku lebih tenang. Karena tidak ada satu pun yang tahu tentang ini selain aku, mendiang suamiku dan ART. Dan ART itu kini juga sudah meninggal," ujar nyonya besar."Termasuk nyonya Mulia tidak tahu?" tanya Maya.Nyonya besar menggeleng pasti. "Tidak. Aku tidak pernah menceritakan kepadanya. Aki malu kalau dianggap ibu yang tidak bertanggung jawab," ucap nyonya besar."Kalau begitu terserah Nyonya saja. Mau bercerita kepada saya juga boleh. Saya akan menjadi pendengar setia buat Nyonya," ujar Maya selanjutnya.Nyonya besar tampak mengambil nafas panjang. Ada rasa bersalah yang ingin sekali ditebusnya. Namun akhirnya mengalir c
Tok tok tokPintu kamar nyonya besar diketuk seseorang dari luar."Ya masuk. Pintu tidak dikunci kok," kata nyonya besar lantang.Ternyata yang datang adalah anaknya sendiri, Katarina. Alias nyonya Mulia, mama Jonathan. Tampak wajah sembab Katarina seperti usai menangis. Tidak lama kemudian ia memeluk mamanya dengan berderai air mata."Aku ikut mendengarkan cerita Mama dari balik pintu," ujar nyonya Mulia pelan."Kau, kau," ujar nyonya besar terbata-bata."Aku mendengar semuanya, Ma. Mama tidak salah. Mengapa mama harus menyimpan semua ini sendiri?" tanya nyonya Mulia.Nyonya besar ikut menangis dalam pelukan anaknya sendiri. "Mama malu Katarina. Mama merasa bersalah, sudah menjadi ibu yang tidak bisa menjaga anak-anaknya," ujar nyonya besar, seraya mengurai pelukan anaknya."Tidak, Ma. Mama tetap menjadi ibu terbaik buat aku dan kakak-kakakku," ujar nyonya Mulia lagi."Kalau Mama bisa menjaga mereka. Mereka masih
Sudah hampir tiga minggu Maya bekerja di keluarga besar Mulia. Sudah banyak perubahan Yeng terjadi pada kesehatan nyonya besar. Baik kesehatan fisik maupun psikisnya. Yang belum berubah hanya masalah Jonathan. Sampai saat ini ia masih menunjukkan tatapan tidak suka kepada Maya. Padahal Maya sendiri sudah sedapat mungkin menghindar dari cucu kesayangan nyonya besar itu. "Kelihatannya kamu tidak menyukai cucuku Jonathan, Maya," ujar nyonya besar pada suatu pagi. "Saya bukannya tidak suka Nyonya. Saya hanya tidak biasa berteman dengan laki-laki," ujar Maya. "Beberapa kali saya lihat kamu berusaha menghindar," ujar nyonya besar lagi. Maya bingung mau memberikan alasan apa lagi. "Mungkin itu hanya perasaan Nyonya saja," ujar Maya akhirnya. Memang sesuai kesepakatan dengan Jonathan, Maya harus menghindar dari Jonathan. Maya juga harus menyelesaikan pekerjaannya di rumah ini cukup satu bulan saja. Ini pula yang menjadi ganjalan bagi May
Jonathan bersungut. Ia meninggalkan ruangan dokter Faisal tanpa pamit. Entah apa yang menjadi kemarahannya. Nyonya besar juga tidak tahu."Memang anak itu begitu. Kadang emosinya tidak terduga," ujar nyonya besar kepada dokter Faisal."Saya sudah paham Oma. Dia teman saya sejak muda. Tidak masalah. Nanti akan membaik sendiri," ujar dokter tersebut.Setelah berpamitan, Maya segera mendorong kursi roda ke arah depan. Mengikuti Jonathan yang sudah menjauh menuju pintu utama rumah sakit.Ternyata Jonathan mendahului untuk mengambil mobil di parkiran. Sedangkan Maya dan nyonya besar menunggu di depan lobby."Ayo naik," ujar Jonathan di depan lobi. Ia membuka bagasi belakang, untuk menyimpan kembali kursi roda yang sudah dilipat.Nyonya besar naik di kursi tengah. Maya di kursi depan. Seperti formasi saat mereka berangkat. "Bulan depan kamu tidak usah ikut saja. Biar saya saja yang antar Oma. Menjengkelkan tuh si Faisal," ujar Jonathan
Jonathan bersungut. Ia meninggalkan ruangan dokter Faizal tanpa pamit. Entah apa yang menjadi kemarahannya. Nyonya besar juga tidak tahu. "Memang anak itu begitu. Kadang emosinya tidak terduga," ujar nyonya besar kepada dokter Faizal. "Saya sudah paham Oma. Dia teman saya sejak muda. Tidak masalah. Nanti akan membaik sendiri," ujar dokter tersebut. Setelah berpamitan, Maya segera mendorong kursi roda ke arah depan. Mengikuti Jonathan yang sudah menjauh menuju pintu utama rumah sakit. Ternyata Jonathan mendahului untuk mengambil mobil di parkiran. Sedangkan Maya dan nyonya besar menunggu di depan lobby. "Ayo naik," ujar Jonathan di depan lobi. Ia membuka bagasi belakang, untuk menyimpan kembali kursi roda yang sudah dilipat. Nyonya besar naik di kursi tengah. Maya di kursi depan. Seperti formasi saat mereka berangkat. "Bulan depan kamu tidak usah ikut saja. Biar saya saja yang antar Oma. Menjengkelkan tuh si Faizal," ujar Jo
"Memangnya ada apa dengan Nona Luna, Nyonya?" tanya Maya penasaran."Sebetulnya aku males menyebut nama anak itu. Dia yang sudah menyebabkan cucuku tidak mau menikah sampai saat ini. Padahal usia Jo, sudah 29 tahun," kata nyonya besar."Begitu cintanya kah tuan muda pada Nona Luna?" tanya Maya lagi.Maya seperti ingin mengulik kisah cinta anak para sultan. Dalam bayangannya kisah cinta mereka pasti mulus. Karena pastinya secara materi anak para sultan ini pasti berlebihan. Tidak seperti dirinya.Ia jadi ingat kisah cintanya sendiri yang harus ambyar gara-gara materi. Dengan alasan untuk mendapatkan materi yang cukup Maya rela menjadi TKI. Tiga tahun dia bekerja di Hongkong. Namun kepergiannya ini membuat kekasihnya berpaling, menikahi adiknya sendiri."Mengapa kamu melamun Maya?" tanya nyonya besar."Oh tidak Nyonya. Saya hanya membayangkan kalau misalnya tuan muda jadi menikah dengan Nona Luna pasti anaknya cantik-cantik dan tampan ta