Share

Menemui Tuan Muda

Claudia segera menurunkan tangannya yang dengan lancang menunjuk pada pria berjas hitam di depannya, baru saja keluar dari kediaman Pranaja. Pria itu adalah seseorang yang memberikan tatapan tajam dan sinis pada Claudia malam itu, seseorang yang mengaku sebagai ayah Raga.

“Jangan kurang ajar, Cla, dia calon majikanmu. Memangnya kamu tidak pernah lihat fotonya di majalah bisnis?” Aira berbisik sembari menyenggol pelan lengan Claudia.

“Apa ada masalah?”

Pertanyaan pria di depannya membuat Claudia langsung membungkukkan tubuh, meminta maaf atas ketidaksopanannya.

“Sa-saya pikir Tuan mirip dengan aktor korea kesayangan saya, ja-jadi ....” Suara Claudia bergetar, menunjukkan bahwa ia takut dan permintaan maafnya tulus.

Kalau ini situasi normal, Aira pasti akan mengejek dan menertawakan kebodohan Claudia, karena dilihat dari sisi mana pun, pria tampan di hadapan mereka tidak ada wajah-wajah korea-nya sama sekali.

“Saya harus segera ke kantor, jadi kenalannya nanti saja. Saya sudah menerima laporan dan membaca biodatamu semalam, jadi kamu boleh langsung bekerja hari ini. Dera, antar dia ke kamarnya dan beritahu dia aturan di sini.”

Aturan? Claudia tidak sempat bertanya apa pun atau memperkenalkan diri saat calon tuannya bergegas memasuki mobil. Wanita paruh baya yang tadi dipanggil Dera juga segera menyambut dan membawa mereka ke dalam rumah.

Satu hal yang Claudia syukuri adalah ia diberikan kamar untuk dirinya sendiri, meski sederhana, tapi sangat nyaman dengan satu ranjang kecil, lemari kayu satu pintu, meja dan kursi belajar serta kipas angin dinding yang berfungsi dengan baik.

‘Padahal diberikan fasilitas yang bagus, tapi kenapa tidak ada yang bertahan lama?’ Claudia bertanya-tanya sembari memperhatikan sekitar, pada pintu-pintu kamar pelayan lain yang tertutup. Melihat bagaimana hanya babysitter yang dikembalikan ke agensi, itu artinya tidak ada masalah dengan para pelayan yang dikirimkan. Claudia menghela napas pelan, menjernihkan kepalanya agar tidak terburu-buru mencari tahu. Toh, tujuan utamanya di sini adalah untuk berlibur dan melupakan masalahnya. Ia bisa mencari tahu masalah babysitter sambil bekerja.

“Aku harus pergi sekarang, Cla. Baik-baiklah di sini, jangan buat masalah dan tolong bersabar menghadapi anak-anak.” Aira membisikkan sebuah nasihat dengan wajah serius sebelum pergi meninggalkan Claudia di kediaman Pranaja.

Sekarang Claudia benar-benar sendiri.

“Tuan Muda ada di kamarnya, sejak tadi tidak mau keluar dan ini kesempatanmu untuk berkenalan dengannya. Tolong bujuk dia untuk keluar dan sarapan.”

Claudia mengikuti Dera menaiki tangga menuju lantai dua. Melihat dari bentuk bangunannya saat Claudia melihat di depan tadi, rumah ini jelas memiliki beberapa lantai, ruangan dan lorong-lorong yang memisahkan antara satu ruang dengan ruang lain. Tapi, seperti kediamannya sendiri, kamar utama yang ditempati tuan rumah berada di lantai dua. Lalu, kamar sang tuan muda berada tepat di depan kamar utama.

Claudia menarik napas panjang, sedikit tidak sabar saat Dera mengetuk pintu dan memberitahu kedatangannya. Jawaban yang datang dengan suara pelan membuat Claudia sedikit tersenyum.

‘Sepertinya aku akan melihatnya menangis lagi.’

“Tuan Muda, saya mengantarkan pengasuh baru Anda.”

Anak lelaki berusia empat setengah tahun itu sedang duduk di sofa dekat jendela sambil membaca buku. Meski tahu Dera dan Claudia memasuki kamarnya, ia tetap tidak menoleh.

“Tuan Muda—“

“Aku tahu, Dera, aku sudah dengar. Pergi saja sana, tinggalkan dia, kamu juga punya pekerjaan kan?”

Jawaban dingin dan terdengar agak serak itu membuat Claudia tersentak. Raga tidak bertindak seperti anak-anak seusianya, berbeda sekali dengan Raga yang Claudia temui beberapa hari lalu.

"Pastikan bujuk Tuan Muda untuk keluar kamar dan memakan sarapannya," bisik Dera sebelum meninggalkan kamar.

Claudia menghela napas, mengingat kembali salah satu aturan yang disampaikan Dera. Raga tidak diperbolehkan makan di kamar kecuali sedang sakit. Peraturan untuk selalu makan di meja makan merupakan hal penting yang harus Claudia ingat.

"Padahal dia kan masih kecil, memangnya salah kalau makan di kamar, di taman atau sambil lari-lari?" Claudia bergumam pelan, mengingat kenangan saat ia berlari mengelilingi rumah sambil dikejar ibunya untuk disuapi makan.

"Tuan Muda, perkenalkan saya Claudia, Anda boleh memanggil saya Cla." Claudia berdiri di belakang Raga yang masih bergeming tanpa menjawab sapaan Claudia.

Kalau tidak melihat bagaimana tangan mungil itu memegang bukunya terlalu erat, juga suara serak yang tadi menjawab Dera, Claudia mungkin tidak akan tahu kalau tuan mudanya baru saja menangis. Melihat bagaimana ia pura-pura membaca buku seperti orang dewasa membuat Claudia tidak tahan.

Sejujurnya Claudia bertanya-tanya kenapa tidak ada kamera pengawas di kamar ini. Tentu saja hal ini harusnya biasa dilakukan para orang tua yang meninggalkan anaknya dalam pengasuhan orang lain. Tapi, situasi ini cukup menguntungkan bagi posisi Claudia saat ini, karena kalau terlalu berhati-hati dengan keberadaan kamera pengawas, pekerjaan Claudia tidak akan pernah dimulai.

"Tuan Muda Raga, coba lihat ke sini dulu," bisik Claudia sembari berlutut di samping Raga. "Saya sudah datang ke sini seperti yang Tuan Muda inginkan, tapi kenapa saya diabaikan?"

Kalau Raga dibiasakan dan diperlakukan seperti orang dewasa, maka Claudia juga bisa memulainya dengan cara yang sama.

Kata-kata Claudia membuat anak lelaki itu perlahan menoleh, matanya yang sebagian tertutup rambut tampak terkejut. "Kakak?" tanyanya dengan suara pelan.

Claudia tersenyum, kepalanya mengangguk. Tangan wanita terulur untuk menyibak rambut Raga, membuatnya bisa melihat dengan jelas jejak air mata dan mata Raga yang sedikit sembab.

"Kamu menangis lagi? Kenapa setiap kali kita bertemu, kamu selalu menangis?"

"Kakak!"

Terkejut dengan reaksi Raga yang tiba-tiba melompat dan memeluknya, Claudia yang hampir hilang keseimbangan akhirnya terkekeh pelan, membalas pelukan erat dari anak lelaki yang akan menjadi tuan kecilnya. Dan seperti kejadian malam itu, Raga kembali menangis. Di sela-sela tangisnya, Raga mengatakan isi hatinya, meski tersendat, anak itu berhasil mengeluarkan kemarahan dan kekecewaan yang tertahan.

Ayahnya berjanji akan membawa Raga ke makam ibunya saat malam pertemuan pertamanya dan Claudia beberapa hari lalu, tapi ketika sampai di rumah, Malven malah mendapat telpon kalau terjadi sesuatu dengan anak perusahaan di luar negeri sehingga ia harus pergi malam itu juga.

"Papa baru pulang subuh tadi, tapi ... tapi malah kerja lagi. Kenapa Papa ingkar janji? Papa nggak sayang aku, Papa cuma sayang sama perusahaan! Kenapa perusahaannya nggak hilang aja?!"

Claudia mendengarkan dalam diam, terenyuh dengan suara tangis dan kekecewaan Raga pada ayahnya. Sedikitnya Claudia tahu perasaan ini, karena ia pun pernah berharap universitas tempat ayahnya mengajar terbakar habis bersama para mahasiswanya agar ayahnya tidak perlu lagi pergi meninggalkan Claudia.

"Aga cuma mau ketemu Mama, kalau Papa nggak bisa anter, harusnya biarin Aga pergi sendiri! Papa jahat, Aga nggak mau ditinggal sama pengasuh terus!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status