Aresha menolak kebaikan Jack untuk mengantar hingga ke rumah sewanya di kota Nagoya, kota besar pusat pemerintahan pulau Batam. Memilih berjalan kaki santai di sepanjang trotoar menuju ke arah rumahnya.
Kebetulan jarak rumah sewa dengan rumah bayi Venus tidaklah jauh. Kurang lebih dua puluh menit saja waktu yang habis untuk mengarunginya dengan kaki. Kini waktu tempuh itu sudah kandas dan Aresha telah sampai di area rumahnya.Bukan kemudian masuk pagar rumah, tetapi sepasang kakinya membelok ke satu kafe di samping rumah sewa."Assalamu'alaikum! Sepi banget, Na?!" Aresha berseru sambil menghempas diri di kursi. Gadis pemilik kafe yang tadinya membungkuk, melurus punggung seketika. Memandang Aresha dengan raut terkejut."Eh, kaukah Re?!" Na merespon kemunculan Aresha."Keluarga ikutan nganter rombongan membelai wanita ke Batu Aji, Re!" ucap Na lagi menjelaskan. Batu Aji adalah nama sebuah kecamatan di Batam."Membelai?!" Aresha berseru dengan heran."Mempelai maksudnya, Areshaaaa ...," ralat Na dan kemudian terkekeh. Aresha pun ikut tertawa yang ditahan."Kalo nggak ada orang, kamu ini usil ya, Na!" Aresha berseru menimpali."Ngapain Kau mampir ke sini, Re?!" tanya Na dengan menyandar di meja kasirnya."Nggak boleh?! Aku ingin beli susu putih asli, Na!" Aresha menjelaskan."Mana ada rezeki kutolak. Susu sapi apa domba?!" tanya Na sambil berjalan ke bagian dalam di dapur."Domba! Kasih penawar rasa dikit, Na!" Aresha kembali berseru."Coklat apa Stroberi?!" Na terus berseru dari dapur."Milo! Dikit saja!" Aresha menyahut sambil meletak kepalanya di meja. Terasa cukup berat dan tidak kuat untuk menyangga leher agar bertahan lurus tegak.Tidak ada lagi sahut jawaban dari Na. Mereka saling diam dan kafe pun kembali lengang. Musik yang biasa mengudara juga tidak diputar oleh Na. Seperti paham akan suasana hati Aresha yang kurang nyaman sebab kejadian baby Venus di rumah klien Pak Jack Dewata barusan.Entah kenapa, tatap mata anak bayi itu terus meneror hati dan isi di kepala. Tidak munafik, rasanya sungguh iba dan jadi merindukannya. Perkenalan dan kedekatan singkat itu sangat membekas dalam ingatan.Andai paman sombong itu ramah sedikit saja... mungkin Aresha rela menawarkan diri untuk meluangkan waktu dan tenaga lebih lama. Sayang sekali, sikap lelaki itu sungguh angkuh dan serasa tidak sopan. Tanpa sadar, Aresha memegang dadanya. Hingga banyak detik pun berlalu."Hayo! Melamun sambil megangin dada?! Lagi sangee ya kamu, Re?!" Na tiba-tiba datang bersama celutukan kotornya.Aresha yang benar-benar kaget, segera bangun dan meletak tangan di meja. Wajah cantiknya kemerahan dan jutek. Terlihat sedang kesal dengan teguran Na barusan."Kamu nyesel diputusin Julian? Nyesel menolak making love? Sekarang pengen?!" Na menggoda kian kelewatan. Tidak peduli dengan ekspresi Aresha yang terlihat ingin salto dan kayang."Heh, Bona, gajah kecil... diet sana gih, biar kurusan dikit. Biar ngerasa punya pacar itu gimana. Jadi isi kepala nggak messum melulu!" Aresha yang sebenarnya enggan membuli, terpaksa membalas menggoda Na.Na yang sudah membuka mulut bersiap menyahut, mengatupkan kembali dengan cepat. Sepasang muda mudi sedang memasuki area kafenya. Na bergegas menghampiri, menawari buku menu demi pelayanan terbaiknya.Aresha menyimpan senyum, meraih gelas susu untuk diaduk. Susu yang semula benar-benar putih, perlahan keruh dan coklat. Bulatan bubuk milo telah ambyar oleh adukan sendok dengan putaran yang kencang.Bukan hanya sepasang muda tadi saja yang singgah, kafe usaha keluarga Bonita itu telah ramai kesatangan pengunjung. Gadis gemuk yang sedang solo dalam melayan itu sangat sibuk dan berjalan mondar mandir. Meski terlihat kewalahan dan lelah, Aresha tahu jika Bona sedang merasa gembira."Na, udah...," ucap Aresha sambil mengikuti Na ke belakang. Mengulur selembar rupiah merah padanya."Duh, pake yang pas saja dong, Re ...," ucap Bona sambil menata gelas di baki.Aresha bergegas menguras isi dompet. Mengumpulkan pecahan hingga genap lima belas ribu."Na, kuletak sini. Lihat, Na!" Aresha berseru sebelum berbalik untuk keluar dari kafe."Makasih, Re!" Jawab Na masih terdengar sayup olehnya. Aresha mengiyakan dalam hati.Rumah sewa Aresha berada di lantai dua dengan tangga yang berada di luar. Ada dua rumah kecil dan satunya sedang kosong. Penghuninya yang seorang janda sedang pulang kampung mengurusi sekolah baru anaknya. Tinggal Aresha sendiri semingguan ini yang menghuni lantai dua.Sedang lantai satu dengan rumah besar itu dihuni oleh empat orang wanita dalam satu rumah. Aresha merasa bersyukur, meski kecil, rumah sewanya bisa ditinggali sendirian saja.Sudah lebih dari satu tahun rumah kecil itu disewanya. Hingga merasa sangat kerasan. Tidak ada keinginan untuk berpindah ke lain tempat sedikit pun di benak Aresha. Semua penghuni wanita itu sangat baik dan bersikap ayom padanya.Selain itu, kantor perusahaan bagian dekorasi cukup dekat letaknya. Kurang dari sepuluh menit saja jalan kaki. Meski Pak Jack beberapa kali menawarkan tempat baru yang lebih bagus dan dekat lagi, tetapi gadis itu sama sekali tidak ingin. Lelaki yang sudah tiga bulan menjadi atasannya itu bersikap sangat baik pada Aresha.Malam sangat dingin saat jam di dinding menunjuk tepat pada angka sepuluh malam. Aresha rebah di ranjang empuk setelah meletak ponsel di atas meja.Namun, baru beberapa detik menikmati nyaman selimut, bantal dan guling, ponsel yang tadi berlayar gelap kini terang benderang dan bergetar. Aresha segera menyambar dengan hati bertanya.Semakin terheran, Jack sedang di gerbang depan sana dan meminta Aresha cepat turun untuk menemuinya sejenak. Ada sesuatu penting yang harus disampaikan agar Aresha segera menimbangnya.Gadis itu menyambar jaket sweater yang dipakai sambil melesat keluar menuruni anak tangga, kemudian berjalan tergesa menuju arah gerbang. Dalam hitungan detik pun, sudah dijumpainya lelaki yang malam seperti ini telah nekat meneleponnya."Pak Jack? Kenapa Anda meneleponku?" Aresha tidak tahan untuk diam. Sang atasan sudah berdiri di luar pagar."Hisam dan Herdion ingin aku membawa kamu ke rumahnya, Ar. Venus terus menangis, tidak seorang pun bisa mendiamkan tangisnya. Sedang sekarang hampir mendekati larut malam. Mereka yang di rumah itu sedang mengharap ibamu," ucap Jack dengan raut serba salah. Dalam hati merasa kasihan juga pada Aresha yang mungkin sedang lelah dan akan istirahat."Kenapa harus aku, Pak Jack? Apa mereka tidak tertarik menggunakan cara medis, seperti obat mengantuk misalnya ...," ucap Aresha mengambang. Mungkin juga merasa idenya cukup kejam andai benar diterapkan pada bayi Venus yang malang."Mereka kalangan atas, orang-orang berwawasan, Ar. Kurasa tidak akan mereka mengambil cara sesat seperti itu," pungkas Jack sambil tersenyum kecil. Sorot lampu dari atas gerbang mampu memperjelas ekspresi di wajah maskulinnya."Benar juga, Pak Jack. Lalu aku mesti bagaimana ...?" Aresha terlihat ragu. Bayang tangis Venus mendera sanubari, tidak tega jika terpaksa mengabaikan. Namun, rasanya masih kesal mengingat sukap tidak ramah dari paman bayi itu.🍓🍓🕸🍓🍓Security lelaki buru-buru menyambut kedatangan Aresha yang diantarkan oleh Jack. Rumah megah berlantai satu itu masih terang benderang meski terasa sangat lengang. Hanya sayup histeris tangis bayi dari dalam rumah. Semakin dekat, semakin kencang terdengar."Ingat pesanku, Ar, mintalah tarif yang pantas. Percaya ucapanku, usaha Herdion sangat banyak, setidaknya dia akan meraup jutaan hingga puluhan juta tiap harinya. Jangan ragu, manfaatkan peluang ini," bisik Jack di halaman."Apa yang akan membayarku adalah pamannya Venus yang sombong itu, Pak Jack?" tanya Aresha juga berbisik. Seorang lelaki terlihat keluar dari dalam rumah."Tentu saja, bahkan Hisam pun. Hisam secara tidak langsung juga bekerja pada Herdion," sahut Jack menjelaskan."Iya, aku mengerti, Pak Jack. Terima kasih," sahut Aresha sambil mengangguk.Lelaki yang keluar dari dalam rumah adalah Hisam. Kini telah berdiri di antara mereka."Nona Aresha, terima kasih, Anda telah datang. Terima kasih, Pak Jack, Anda sudah repot-
Aresha merasa tegang dan menahan cemasnya. Sikap Herdion membuat perasaan jadi was-was . Sangat khawatir andai jari panjang itu kembali bertingkah tidak sopan di dadanya. Apapun alasan, itu sudah dianggap pelecehan jika tanpa ucapan minta maaf.Sangat lega, tangan itu telah menjauh. Diikuti badan Herdion yang juga mundur selangkah. Kembali memandang Hisam sekian detik di wajah putihnya."Hisam, untuk apa terlalu menawar? Apa kamu tidak risih mendengar tangis ponakanmu? Kenapa kamu tidak mengantar gadis itu menemuiku saja? Atau kamu sendiri yang menyampaikan keinginannya padaku?" Syahfiq Herdion bertanya dengan pandangan kaku pada Hisam."Kupikir sudah tidur. Ini sudah sangat larut malam, Bang," sahut Hisam dengan nada yang canggung. "Justru sudah larut malam, Hisam. Tidak baik menahan wanita yang belum jelas siapa lebih lama di sini." Syahfiq mengalihkan pandangan dari Hisam pada Aresha."Ikutlah denganku, Nona. Siapa namamu?" tanya Syahfiq. Memandang Aresha dengan picingan matanya."
Aresha kebingungan saat sudah keluar dari ruang kerja Herdion. Lupa benar-benar ke arah mana harus kembali ke kamar Venus. Berharap bayi dalam gendongan terus saja terlelap. Hingga kakinya berjalan dan melewati banyak pintu.Sebuah ruangan tanpa daun pintu yang kemungkinan adalah dapur dengan lampu terang benderang menyala. Seorang wanita setengah baya sedang di sana dan membelakangi Aresha. Kemudian berbalik cepat sebab mendengar langkah mendekat. Ekspresi wajahnya terkejut."Haaah...! Kamu sudah datang?! Venus sudah tidur? Pantas sudah tidak menangis." Wanita itu berjalan menghampiri Aresha dengan senyum yang cerah. Seolah malam tidaklah larut."Selamat malam ...," sapa Aresha dengan membalas tersenyum. Mereka pun saling menghampiri. "Hisam bilang namamu Aresha? Aku adalah ibu Syahfiq, Siti Yasmin." Wanita dengan nama Siti Yasmin, ibunda Syahfiq, mengulur tangan untuk bersalaman dengan Aresha."Benar, Bu Yasmin. Saya Aresha," ucap Aresha menyambut. Mereka berdua sangat erat saling b
Aresha beringsut turun dari ranjang, tidak ingin Venus yang nyenyak terganggu oleh gerakannya. Segera melangkah menjauhi ranjang dan memburu pintu. Menghindar akan ketukan berikutnya. Ketenangan tidur si bayi adalah ptioritasnya saat ini.CeklerkTertegun. Bukanlah Hisam, bukan pula Herdion, juga bukan Siti Yasmin. Namun, adalah wanita gemuk agak tua yang sempat dilihat bersama Hisam sebelumnya. Mungkin adalah asisten di rumah itu."Selamat malam. Anda, ada apa?" Merasa jauh lebih muda, Aresha menyapa dahulu dengan sopan. Wanita itu menyambut dengan anggukan dan senyum."Selamat malam, Nona Aresha. Boleh aku masuk? Tuan Syahfiq memintaku untuk ikut menjaga Venus malam ini. Kamu tidak apa-apa?" Wanita gemuk itu memandang Aresha dengan segan."Oh, aku justru suka, Bu. Silahkan masuk," sahut Aresha cepat. Buru-buru menepikan diri menjauhi pintu. Wanita gemuk melenggang masuk melewatinya. Pintu pun kembali ditutupnya merapat. Kemudian mengikuti masuk ke dalam jantung kamar. Wanita itu sin
Syhafiq Herdion merasa tidak tenang saat keluar dari kamar mandi. Sayup terdengar olehnya lengking tangis bayi, menyadari jika itu adalah suara Venus. Kemeja panjang abu-abu tua dipakainya sambil berjalan keluar dari kamar. Menduga jika Venus mulai bosan pada Aresha dan kini teringat pada kedua orang tuanya."Kenapa dia menangis, Mak Sal?" Herdion tidak menjumpai Aresha di kamar keponakannya. Hanya ada mak Sal sedang menggendong Venus yang kembali menangis."Aresha masih ke mushola, sholat subuh, Tuan," sahut mak Sal. Wajah wanita itu terlihat sembab dengan kelopak mata yang bengkak. Herdion menduga jika wanita itu habis menangis yang lama."Kenapa wajahmu sembab?" Herdion bertanya kaku sambil tangannya terulur mengambil Venus dari mak Sal. Meski tidak serta merta berhenti menangis, tetapi bayi itu mencondongkan dirinya pada sang paman. Namun, tangisnya terus saja terdengar."Saya teringat dengan almarhum nyonya dan tuan, serta dua rekan kerja saya," sahut mak Sal dengan menyimpan waj
Perjalanan dari Nagoya menuju Sekupang di wilayah Batam hanya menghabiskan waktu kurang dari tiga puluh menit. Herdion membawa sendiri kendaraannya dengan kencang tanpa istirahat semenit pun. Lelaki berkulit cerah dan berambut tebal dengan hidung runcing itu sangat lihai mengemudi. Aresha hingga tertidur nyaman menyusul Venus yang terlelap di pangkuannya sejak awal keberangkatan sebab kenyang.Meski tidak lupa akan informasi dan pesan Hisam sebelum berangkat padanya, Herdion tidak berhenti dan enggan membangunkan Aresha. Bukan tidak ada toko baju atau juga toko kosmetik di sisi jalan, melihat pulasnya tidur Venus dan Aresha dari kaca, membuatnya kian kencang mengemudi. Ingin segera sampai di tujuan lebih cepat lagi.Pantai Marina di Sekupang yang samar terlihat, pertanda sudah hampir sampai di destinasi. Kecepatan mobil dipelankan, tetapi pandangan mata dipertajamkannya. Suasana jalanan pantai cukup ramai pagi ini.Setelah mengambil jalan kecil yang membelok, Herdion akan membawa kend
Rumah besar yang megah laksana puri indah dengan cat putih bersih itu sedang bising oleh lengking tangis bayi. Ya, Venus kembali menangis panjang tanpa henti setelah bangun tidur sore hari. Sebab, gadis kecintaan yang dianggapnya mama tidak kunjung tampak unjuk gigi.Sementara, gadis mama yang dicari masih sampai di jembatan. Dalam perjalanan dari Pantai Marina menuju Pulau Marina. Herdion memberinya kebebasan berbelanja selama dua jam, maka dipilihnya jauh di kawasan pantai yang banyak menyebar toko baju dan butik.Tangis Venus yang terdengar jauh hingga ke gerbang, membuat perasaan Aresha trenyuh dan cemas. Dimintanya pada sopir Herdion agar menurunkannya dekat teras di halaman. Aresha pun berjalan cepat setelah meletak belanjaannya begitu saja di teras. "Maaf, Aresha. Tuan Syahfiq meminta agar aku terus mengurusi bayi Venus. Kamu diminta hanya untuk meredam tangisnya saja." Wanita berbadan agak pendek dengan umur sekitar empat puluh tahun, berbisik hal penting itu pada Aresha. "B
Taufiq bukan sekadar memeluk dengan wajar. Namun, mengerah segenap kekuatan. Aresha benar-benar merasa terjepit oleh bocah bongsor di belakangnya.Tangan bocah yang gagal dilonggarkan dan dilepas, membuat Aresha berpikir untuk mencakar atau mencubit, juga menendang ke belakang. Namun, sekali lagi rasa tidak tega tetap saja meraja."Kamu jangan nakal ya, Taufiq. Kakak jadi sakit perutnya. Lepas dong, nanti kakak bisa pingsan...," rintih Aresha terengah dan panik.Mata beningnya telah berair, sangat bingung harus bagaimana bersikap. Sedang di rumah ini, rasanya tidak satu pun teman ataupun saudara di pihaknya. Bocah abnormal itu benar-benar membuat simalakana."Arrgghh ...! Haha...ha ...!" Taufiq bereaksi menjerit dan tertawa saat Aresha berhasil menggelitik pinggangnya.Kesempatan itu tidak diabaikan, Aresha bergegas menjauhi bocah itu dengan setengah berlari. Namun, sungguh sial sekali, Taufiq juga berlari untuk mengejarnya dengan gesit.Hal itu membuat sangat cemas dan ketakutan lua