Share

03. Panggilan Malam

Aresha menolak kebaikan Jack untuk mengantar hingga ke rumah sewanya di kota Nagoya, kota besar pusat pemerintahan pulau Batam. Memilih berjalan kaki santai di sepanjang trotoar menuju ke arah rumahnya.

Kebetulan jarak rumah sewa dengan rumah bayi Venus tidaklah jauh. Kurang lebih dua puluh menit saja waktu yang habis untuk mengarunginya dengan kaki. Kini waktu tempuh itu sudah kandas dan Aresha telah sampai di area rumahnya.

Bukan kemudian masuk pagar rumah, tetapi sepasang kakinya membelok ke satu kafe di samping rumah sewa.

"Assalamu'alaikum! Sepi banget, Na?!" Aresha berseru sambil menghempas diri di kursi. Gadis pemilik kafe yang tadinya membungkuk, melurus punggung seketika. Memandang Aresha dengan raut terkejut.

"Eh, kaukah Re?!" Na merespon kemunculan Aresha.

"Keluarga ikutan nganter rombongan membelai wanita ke Batu Aji, Re!" ucap Na lagi menjelaskan. Batu Aji adalah nama sebuah kecamatan di Batam.

"Membelai?!" Aresha berseru dengan heran.

"Mempelai maksudnya, Areshaaaa ...," ralat Na dan kemudian terkekeh. Aresha pun ikut tertawa yang ditahan.

"Kalo nggak ada orang, kamu ini usil ya, Na!" Aresha berseru menimpali.

"Ngapain Kau mampir ke sini, Re?!" tanya Na dengan menyandar di meja kasirnya.

"Nggak boleh?! Aku ingin beli susu putih asli, Na!" Aresha menjelaskan.

"Mana ada rezeki kutolak. Susu sapi apa domba?!" tanya Na sambil berjalan ke bagian dalam di dapur.

"Domba! Kasih penawar rasa dikit, Na!" Aresha kembali berseru.

"Coklat apa Stroberi?!" Na terus berseru dari dapur.

"Milo! Dikit saja!" Aresha menyahut sambil meletak kepalanya di meja. Terasa cukup berat dan tidak kuat untuk menyangga leher agar bertahan lurus tegak.

Tidak ada lagi sahut jawaban dari Na. Mereka saling diam dan kafe pun kembali lengang. Musik yang biasa mengudara juga tidak diputar oleh Na. Seperti paham akan suasana hati Aresha yang kurang nyaman sebab kejadian baby Venus di rumah klien Pak Jack Dewata barusan.

Entah kenapa, tatap mata anak bayi itu terus meneror hati dan isi di kepala. Tidak munafik, rasanya sungguh iba dan jadi merindukannya. Perkenalan dan kedekatan singkat itu sangat membekas dalam ingatan.

Andai paman sombong itu ramah sedikit saja... mungkin Aresha rela menawarkan diri untuk meluangkan waktu dan tenaga lebih lama. Sayang sekali, sikap lelaki itu sungguh angkuh dan serasa tidak sopan. Tanpa sadar, Aresha memegang dadanya. Hingga banyak detik pun berlalu.

"Hayo! Melamun sambil megangin dada?! Lagi sangee ya kamu, Re?!" Na tiba-tiba datang bersama celutukan kotornya.

Aresha yang benar-benar kaget, segera bangun dan meletak tangan di meja. Wajah cantiknya kemerahan dan jutek. Terlihat sedang kesal dengan teguran Na barusan.

"Kamu nyesel diputusin Julian? Nyesel menolak making love? Sekarang pengen?!" Na menggoda kian kelewatan. Tidak peduli dengan ekspresi Aresha yang terlihat ingin salto dan kayang.

"Heh, Bona, gajah kecil... diet sana gih, biar kurusan dikit. Biar ngerasa punya pacar itu gimana. Jadi isi kepala nggak messum melulu!" Aresha yang sebenarnya enggan membuli, terpaksa membalas menggoda Na.

Na yang sudah membuka mulut bersiap menyahut, mengatupkan kembali dengan cepat. Sepasang muda mudi sedang memasuki area kafenya. Na bergegas menghampiri, menawari buku menu demi pelayanan terbaiknya.

Aresha menyimpan senyum, meraih gelas susu untuk diaduk. Susu yang semula benar-benar putih, perlahan keruh dan coklat. Bulatan bubuk milo telah ambyar oleh adukan sendok dengan putaran yang kencang.

Bukan hanya sepasang muda tadi saja yang singgah, kafe usaha keluarga Bonita itu telah ramai kesatangan pengunjung. Gadis gemuk yang sedang solo dalam melayan itu sangat sibuk dan berjalan mondar mandir. Meski terlihat kewalahan dan lelah, Aresha tahu jika Bona sedang merasa gembira.

"Na, udah...," ucap Aresha sambil mengikuti Na ke belakang. Mengulur selembar rupiah merah padanya.

"Duh, pake yang pas saja dong, Re ...," ucap Bona sambil menata gelas di baki.

Aresha bergegas menguras isi dompet. Mengumpulkan pecahan hingga genap lima belas ribu.

"Na, kuletak sini. Lihat, Na!" Aresha berseru sebelum berbalik untuk keluar dari kafe.

"Makasih, Re!" Jawab Na masih terdengar sayup olehnya. Aresha mengiyakan dalam hati.

Rumah sewa Aresha berada di lantai dua dengan tangga yang berada di luar. Ada dua rumah kecil dan satunya sedang kosong. Penghuninya yang seorang janda sedang pulang kampung mengurusi sekolah baru anaknya. Tinggal Aresha sendiri semingguan ini yang menghuni lantai dua.

Sedang lantai satu dengan rumah besar itu dihuni oleh empat orang wanita dalam satu rumah. Aresha merasa bersyukur, meski kecil, rumah sewanya bisa ditinggali sendirian saja.

Sudah lebih dari satu tahun rumah kecil itu disewanya. Hingga merasa sangat kerasan. Tidak ada keinginan untuk berpindah ke lain tempat sedikit pun di benak Aresha. Semua penghuni wanita itu sangat baik dan bersikap ayom padanya.

Selain itu, kantor perusahaan bagian dekorasi cukup dekat letaknya. Kurang dari sepuluh menit saja jalan kaki. Meski Pak Jack beberapa kali menawarkan tempat baru yang lebih bagus dan dekat lagi, tetapi gadis itu sama sekali tidak ingin. Lelaki yang sudah tiga bulan menjadi atasannya itu bersikap sangat baik pada Aresha.

Malam sangat dingin saat jam di dinding menunjuk tepat pada angka sepuluh malam. Aresha rebah di ranjang empuk setelah meletak ponsel di atas meja.

Namun, baru beberapa detik menikmati nyaman selimut, bantal dan guling, ponsel yang tadi berlayar gelap kini terang benderang dan bergetar. Aresha segera menyambar dengan hati bertanya.

Semakin terheran, Jack sedang di gerbang depan sana dan meminta Aresha cepat turun untuk menemuinya sejenak. Ada sesuatu penting yang harus disampaikan agar Aresha segera menimbangnya.

Gadis itu menyambar jaket sweater yang dipakai sambil melesat keluar menuruni anak tangga, kemudian berjalan tergesa menuju arah gerbang. Dalam hitungan detik pun, sudah dijumpainya lelaki yang malam seperti ini telah nekat meneleponnya.

"Pak Jack? Kenapa Anda meneleponku?" Aresha tidak tahan untuk diam. Sang atasan sudah berdiri di luar pagar.

"Hisam dan Herdion ingin aku membawa kamu ke rumahnya, Ar. Venus terus menangis, tidak seorang pun bisa mendiamkan tangisnya. Sedang sekarang hampir mendekati larut malam. Mereka yang di rumah itu sedang mengharap ibamu," ucap Jack dengan raut serba salah. Dalam hati merasa kasihan juga pada Aresha yang mungkin sedang lelah dan akan istirahat.

"Kenapa harus aku, Pak Jack? Apa mereka tidak tertarik menggunakan cara medis, seperti obat mengantuk misalnya ...," ucap Aresha mengambang. Mungkin juga merasa idenya cukup kejam andai benar diterapkan pada bayi Venus yang malang.

"Mereka kalangan atas, orang-orang berwawasan, Ar. Kurasa tidak akan mereka mengambil cara sesat seperti itu," pungkas Jack sambil tersenyum kecil. Sorot lampu dari atas gerbang mampu memperjelas ekspresi di wajah maskulinnya.

"Benar juga, Pak Jack. Lalu aku mesti bagaimana ...?" Aresha terlihat ragu. Bayang tangis Venus mendera sanubari, tidak tega jika terpaksa mengabaikan. Namun, rasanya masih kesal mengingat sukap tidak ramah dari paman bayi itu.

🍓🍓🕸🍓🍓

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status