Share

One Step Closer

Ben memaki dirinya sendiri berulang kali, menyesali kebodohannya yang turut campur urusan gadis yang ada di gendongannya ini. Kenapa dia harus repot-repot mengembalikannya ke rumah Oscar? Lebih baik dia tinggalkan saja di pinggir jalan! Namun, semuanya sudah terlanjur, dan kini Ben kembali memasuki pekarangan rumah keluarga Oswald. Diturunkannya gadis yang belum sadarkan diri itu di kursi teras, kemudian tangannya mulai sibuk menggedor pintu dengan keras.

Tak berapa lama pintu itu terbuka dan seorang gadis lainnya menghambur memeluk Ben.

“Cepat pergi! Oscar dan kawan-kawannya sudah gila!” teriaknya seraya mendorong tubuh Ben hingga tersungkur di lantai. “Ella?”

Ben menoleh bergantian antara Ella dan gadis yang sedang menindihnya ini. “Kau mengenalnya?”

“Tentu saja! Dia sahabatku!” sahut Grace yang langsung berdiri dan menghampiri Ella. “Apa yang terjadi padanya? Kau apakan dia?”

“Aku tidak melakukan apapun—”

“GRACE!”

Grace menoleh kembali ke dalam rumah, dilihatnya Luis dan Oscar tergesa menuruni anak tangga untuk mengejarnya. Grace menarik tubuh Ben, “Cepat gendong Ella! Cepat!”

Entah Ben memang bodoh atau apa, dia menurut saja dengan perintah Grace. Segera dia kembali menggendong tubuh Ella dan berlari. Secepat mungkin, hingga membuat Oscar dan temannya yang setengah mabuk tidak mampu mengejarnya.

“Apa mereka masih mengejar kita?” tanya Grace di tengah engah napasnya.

Ben menurunkan Ella di sofa bobrok di ruang tamunya, kemudian mengintip sejenak ke luar, sebelum menutup gorden ruang tamunya.

“Sepertinya mereka sudah pingsan duluan di halaman rumahnya, karena mabuk.”

“Baguslah!”

“Kau benar-benar teman gadis itu?”

Grace mengangguk.

“Kalau begitu, cepatlah bawa dia pulang!”

“Kenapa dia bisa ada di sini?” tanya Grace tanpa memedulikan perintah Ben. “Kenapa kalian bisa bersama? Bukankah—”

“Aku tidak tahu. Temanmu ini tiba-tiba saja sudah tidur di kasurku!” kesal Ben, “Jadi lebih baik sekarang kalian segera pergi dari rumahku!”

Nyali Grace menciut mendengar nada bicara Ben yang mulai meninggi. Bagaimana tidak? Seorang pria dengan rambut gondrong berantakan, jenggot lebat, dan badan seperti pegulat itu sedang meneriakimu, tepat di depan wajahmu.

“Ta—tapi aku tidak tahu bagaimana caranya pulang.”

“Aku akan panggilkan taksi.”

“Tunggu!” cegah Grace yang langsung mencekal tangan Ben yang hendak menghubungi layanan taksi. “Maksudku bukan itu, Maksudku, aku tidak bisa mengantarnya pulang dengan keadaan seperti ini.”

“Itu bukan urusanku. Dia adalah temanmu, ini adalah rumahku. Aku ingin kalian berdua segera keluar dari sini!”

“Pria macam apa dirimu? Setega itu kau membiarkan dua gadis, yang satu tanpa alas kaki dan yang lain sedang mabuk berjalan pulang di saat malam dingin seperti ini?”

Ben memutar matanya malas. Seumur hidupnya, dia tidak pernah bertemu dengan gadis yang bisa membuatnya menjadi pihak yang bersalah seperti ini. Sepertinya, penjara lebih damai daripada di luar sini.

“Lalu apa maumu?”

Grace mengetuk dagunya dengan telunjuk, sedang mati-matian memikirkan bagaimana caranya untuk memulangkan Ella. Tidak mungkin membawa pulang Ella ke rumahnya, bisa-bisa ibunya akan memotong uang bulanannya. Jika memaksa memulangkan Ella ke rumahnya sendiri, Grace harus bersiap menghadapi ayah Ella yang menatapnya penuh kebencian, seolah siap membunuhnya kapan saja.

“Bagaimana kalau kau mengantar kami pulang?”

“Aku tidak punya mobil.”

“Naik taksi?” tawar Grace. “Aku akan membayar semuanya, termasuk biaya taksi pulang untukmu,” tambah Grace cepat, sebelum Ben menolak.

“Apa bedanya dengan kau pulang naik taksi sendiri?”

Grace mencebik, lalu melangkah mendekati Ella. “Kau lihat dia?” tanyanya seraya menunjuk Ella yang masih belum sadarkan diri. “Kau tahu siapa dia?”

“Aku tidak peduli.”

“Tapi aku peduli. Besok ayahnya akan menyiapkan belati untuk menggorok leherku, kalau aku pulang dengan anaknya dalam kondisi seperti ini.”

Ben terkekeh geli mendengar jawaban Grace yang terdengar sangat konyol di telinganya. Apakah keluarga temannya ini semengerikan itu?

“Jangan tertawa,” lirih Grace. “Apa kau benar-benar tidak tahu siapa dia? Apa kau baru pindah ke Rotterfoort, sehingga tidak mengenali siapa gadis yang sedang mabuk di ruang tamumu ini?”

Kekehan Ben menghilang mendengar kalimat terakhir dari Grace. Melihat ekspresi ketakutan bercampur bingung dan tidak percaya di wajah gadis muda itu, membuat Ben mau tidak mau menaruh simpati dengan tidak lagi menertawakan kalimatnya.

“Dia pewaris seluruh kekayaan Softucker.” Grace mengambil napas sejenak. “Dia adalah Radella Softucker.”

Tatapan Ben langsung turun pada sosok gadis yang terkulai lemas, seraya mencerna segala informasi yang baru saja dilontarkan oleh Grace. Belum lagi ingatan dari masa lalu yang seketika menyeruak memenuhi kepalanya. Bayangan Maxwell Cerg yang tergantung tak bernyawa di tengah sel tahanan sempitnya. Pukulan bertubi-tubi yang dialamatkan pada Ben muda dari para tahanan senior, semuanya membuatnya ingin mencekik leher jenjang yang nampak indah itu!

Tanpa berucap lagi, Ben mengambil jaketnya, kemudian menelepon layanan taksi. Tak berapa lama, sebuah taksi sudah berhenti di depan rumahnya. Ben bergegas menggendong kembali Ella dan bersama dengan Grace melaju menuju kediaman Rotterfoort. Namun, di tengah jalan, Grace memaksa turun dan memberikan beberapa lembar uang pada supir taksi.

“Antarkan dia sampai ke rumahnya. Aku mohon,” pinta Grace, kemudian menutup pintu taksi dan berlari pergi.

Ben sama sekali tidak memperhatikan semua itu. Pikirannya masih dipenuhi keinginan menghabisi nyawa gadis yang sekarang bersandar di bahunya. Di tempat ini, sekarang juga, tidak akan ada yang tahu! Sopir taksi? Beri saja dia uang tutup mulut atau mungkin sekalian saja membunuhnya!

Taksi kembali melaju memecah kegelapan malam dengan lampu mobilnya yang redup. Setelah beberapa waktu, mobil berhenti di depan sebuah pagar rumah yang menjulang kokoh dengan banyak pilar di kanan-kirinya. Ben kembali membangunkan Ella, tapi usahanya sia-sia. Ben keluar dari mobil dan mendapati seorang satpam sudah berdiri di dekatnya dengan tatapan bengis, seolah hendak mematikan Ben saat itu juga.

“Ada apa?”

“Aku mengantar nona muda kalian.”

Satpam itu melongok ke dalam mobil, lalu kembali menegakkan tubuhnya seraya berbicara di handy talky-nya, mengabarkan bahwa nona muda keluarga terpandang di Softucker sudah kembali.

Ben menggendong Ella, lalu berjalan memasuki pekarangan rumah keluarga Softucker. Malam itu, Ben tidak pernah membayangkan akan memiliki kesempatan seperti ini—menginjakkan kaki di lahan Softucker dengan mudah. Namun, setelah menimbang segala kemungkinan yang akan terjadi kalau dirinya bertindak gegabah, Ben mengurungkan niatnya untuk membunuh gadis dalam gendongannya saat ini. Ben ingin sedikit bermain-main dengan keluarga ini.

Dua orang berperawakan mirip satpam yang sebelumnya menyambut Ben, berlari ke arahnya.

“Di mana kau menemukan nona?”

“Siapa kalian?”

“Bukan urusanmu. Serahkan nona pada kami.”

Ben menolak, “Aku ingin menyerahkannya pada keluarganya sendiri. Gadis ini sudah melalui banyak hal buruk hari ini, jadi aku ingin memastikan dia benar-benar aman dalam lingkup keluarganya.”

Ben terus melangkah hingga akhirnya dia berhenti di depan pintu utama rumah, di dalam keremangan ruang tamu, Ben bisa melihat sesosok berjalan ke arahnya. Kemudian pria dengan rambut yang telah memutih di beberapa bagian kepalanya itu menatap Ben penuh selidik. Bermula dari ujung kepalanya yang berambut gondrong dan sedikit ikal, lalu turun pada kaos dan jaket lusuhnya, terakhir adalah celana dan sepatu kotornya.

“Aku James, James Softucker. Siapa kau? Dan kenapa Ella ada bersamamu?”

“Aku Max, hanya Max. Ella tiba-tiba saja masuk ke rumahku.”

James menatap bingung pada Ben. “Dia masuk ke rumahmu?” James sedikit mencondongkan tubuhnya mendekati wajah Ella, dan langsung mundur seraya alisnya bertaut. “Bau alkohol.”  

Ben mengangguk. “Kurasa dia habis berpesta di rumah kawannya sampai mabuk.”

“Lucas, bawa Ella ke kamarnya!” perintah James. “Dave, beri pria ini uang sebagai imbalan.”

“Maaf, Tuan.” Ben buru-buru berucap, “Bisakah aku meminta yang lain?”

Ben menyerahkan Ella pada Lucas yang kemudian membawanya masuk. Dan kini hanya ada Ben yang berusaha mati-matian agar tidak terlihat gemetar. Mengatur debar jantungnya dan memerintahkan otaknya agar menahan seluruh luapan emosi yang saat ini sudah memenuhi benaknya. Terlebih saat melihat James Softucker dengan wajah angkuhnya muncul dan tidak mengenali dirinya. Baiklah, itu bukan salah James. 15 tahun di penjara, tentu saja banyak perubahan yang dialami Ben. Namun, tidak dengan segala emosi dan amarah yang dimilikinya sejak keluarga Softucker menjebloskannya ke penjara.

“Berani sekali kau meminta padaku?”

Ben menundukkan pandangannya, “Maaf, Tuan, saya tidak bermaksud lancang. Saya … saya … Alih-alih memberi saya imbalan uang, bagaimana jika Tuan memberi saya kesempatan untuk bekerja?”

Seulas senyum muncul di wajah James, pria itu kemudian menggeleng tak percaya setelah mendengar permintaan Ben.

“Memangnya apa keahlianmu?”

“Saya tidak lulus sekolah, saya hanya bisa berkelahi,” aku Ben lirih.

Ben tidak bohong tentang satu hal ini. Dia memang tidak lulus sekolah, karena dipenjara. Namun, 15 tahun hidup di balik tembok tinggi itu, membuat Ben bisa menghadapi 10 tahanan dengan tangan kosong.  

“Benarkah?”

Ben mengangguk cepat. “Saya mohon, Tuan. Beri saya kesempatan, saya butuh pekerjaan untuk menyambung hidup.”

James tidak begitu saja yakin pada apa yang diucapkan Ben. Terlihat dari sikap pria itu yang diam dalam waktu cukup lama, dengan tatapan yang tak lepas dari tatap milik Ben. Bahkan sesekali dia akan menengok ke belakang—entah ke mana—seolah meminta persetujuan dari dalam.

Namun, sebenarnya James sedang menimbang untuk menawarkan pekerjaan pada Ben menjadi bodyguard Ella. Melihat perawakannya yang jelas jauh lebih kekar dibandingkan Lucas dan Dave, membuat James yakin akan satu hal itu. Pria ini, akan bisa menakhlukkan sifat pembangkang seorang Radella.

“Baiklah, aku beri kau kesempatan menjadi pengawal putriku. Bagaimana?”

“Baik, Tuan!” tegas Ben. “Apa Anda juga perlu kartu pengenal saya?”

“Tidak-tidak, aku tidak butuh itu. Tapi kalau kau berani macam-macam …” James selangkah mendekati Ben. “Sebelum kau sempat keluar dari gerbang rumah ini, seluruh tulangmu akan patah terlebih dahulu,” ancamnya kemudian.

“Baik, Tuan.”

“O iya, siapa namamu tadi?”

“Max.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
12345
Wow membaca novel ini serasa lagi nonton film hollywood.. ga bertele tele, alurnya dan ceritanya menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status