Share

Prince of Loshen

“Yang terkilir adalah kakiku, bukan tanganku,” ucap Ella seraya mengambil roti lapis dari tangan seorang maid yang hendak menyuapinya. Kemudian mengunyahnya dengan potongan besar-besar. “Apa dia akan berdiri di sini terus seperti anjing penjaga?” tambah Ella, kali ini melirik pada Max yang berdiri di sebelahnya.

“Dia adalah pengawalmu,” sahut James.  

“Pengawal?” Ella memutar matanya malas mendengar jawaban dari James. “Lucas dan Dave belum cukup? Dan sekarang kau menambah seorang lagi?”

“Kenapa? Kau tidak suka?”

“James! Tarik semua pengawalmu atau aku bisa melakukan hal-hal nekat! Kali ini aku serius! Aku sudah muak dengan segala fasilitas pengawalan yang kau berikan ini!”

“Ella—”  

“Oh, ayolah, James! Beri aku sedikit kepercayaan!”

“Kepercayaan? Kemarin kau lupa sudah mengkhianatinya? Kau membuat dua orang pengawal terbaikku hampir kupecat!!” James beranjak dari kursi makannya. “Max adalah pengawalmu juga mulai saat ini!”

“Setidaknya suruh dia mandi dan ganti baju! Aku muak dan ingin muntah hanya dengan melihatnya!” geram Ella dan langsung menyambar tasnya, dan sembari menahan nyeri di pergelangan kakinya, dia memaksakan diri untuk melangkah keluar.

Di halaman, Lucas dan Dave sudah siap dengan mobil yang akan mengantarnya menuju kampus. Tanpa mengucapkan salam perpisahan pada James yang mengikutinya keluar, Ella langsung masuk mobil dan memutar lagu rock kesukaannya dengan volume yang dapat dipastikan akan meredam suara ocehan James di luar sana.

“Coba kalian pikir! Di mana pria kumuh itu akan duduk? Kalian berdua sudah duduk di depan. Apa James berniat menyuruhnya duduk di sampingku?”

Dave yang menoleh ke belakang—meskipun tidak terlalu yakin dengan apa yang didengarnya—hanya mengangkat kedua bahunya.

Namun, pertanyaan Ella itu akhirnya terjawab saat suara derum knalpot motor berhasil menembus pertahanan tembok rock ‘n roll-nya! Dengan masih mengenakan pakaian lusuhnya, Max mengendarai motor—yang kalau Ella tidak salah ingat, itu adalah salah satu Ducati kesayangan James yang dia beli tahun lalu—dan berhenti tepat di sisi lain Ella duduk. Sedangkan di sisi lainnya, Ella mendapati James menunduk dan mengetuk jendela mobilnya. Ella menurunkan jendela di sebelahnya, tanpa perlu repot-repot menatap James yang hendak berbicara dengannya.

“Sementara, Max akan naik Ducati-ku, sampai dia mendapatkan seragamnya.”

Ella mendengkus sebal. “Apa setelah itu dia akan duduk di sebelahku?”

“Hanya kalau kau mengizinkannya.”

“Jangan pernah bermimpi aku akan mengizinkannya! Lucas, ayo berangkat!”

Dalam sekali perintah, Lucas langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya menuju kampus Ella. Sesekali Ella akan melihat Max menyejajari sisi mobilnya, tapi Ella tak acuh dan lebih memilih untuk fokus berbalas pesan dengan Grace, karena dia sedang menyusun rencana bersama sahabatnya itu, untuk membuat pelarian berikutnya.

Saat sudah sampai, Ella langsung keluar dari mobil dan berjalan cepat menghampiri Grace yang sudah menunggunya di tempat biasa.

“Apa yang kau lakukan?” teriak Ella saat Max membuntuti langkahnya untuk menyapa Grace.

“Lucas dan Dave menjagamu sampai di sana,” jawab Max sambil mengangguk ke mobil Ella. “Sedangkan aku akan ikut sampai ke dalam kelas, kalau perlu sampai ke toilet.”

“Sinting! Jangan mimpi kau bisa terus mengikuti dengan tampang seperti ini!”

“Seperti ini? Seperti apa maksudmu?”

Ella menggeram kesal, karena ucapan Max. Sepertinya pria itu memang sengaja diciptakan dan dipekerjakan oleh James untuk membuat Ella mati muda, sehingga James bisa mendapatkan seluruh harta kekayaan Softucker!

“Ikut aku!”

Ella kembali berjalan menuju mobilnya, kemudian meminta Dave untuk bertukar pakaian dengan Max. Jangan pikir itu berlangsung cepat, tentu saja Max menolak. Namun, ancaman Ella untuk tidak masuk kelas dan melaporkan Max pada James, berhasil membuat Max tunduk. Max langsung membuka jaket lusuhnya, dan pemandangan dua bisep kekar itu langsung menyapa Ella. Membuat gadis itu tidak sanggup berkedip dan mengalihkan pandangannya.

Ella memang pernah melihat tubuh kekar para pemain football kampusnya, atau beberapa model pria di majalah dewasa—milik Grace tentunya—tapi tidak ada satupun dari itu yang berhasil membuatnya kesulitan menelan ludahnya. Di lengan kiri Max pula, Ella melihat bekas luka carut yang sepertinya memanjang hingga punggung pria itu.

“Bagaimana?” tanya Max setelah memakai jas Dave yang terlihat sedikit sesak, dan rambut gondrong ikalnya itu sudah diikat rapi kembali. “Aku sudah bisa melakukan tugasku sekarang? Kau puas?”

Tanpa menjawab pertanyaan Max, Ella melenggang kembali menuju Grace yang masih menunggunya di dekat mobil. Keduanya kemudian melangkah menuju kelas tanpa memedulikan Max yang ada di belakang mereka. Namun, tiba-tiba saja langkah Ella dan Grace berbelok masuk ke toilet.

“Oh, ternyata pria itu cukup tahu sopan santun juga,” gumam Ella saat tidak menemukan Ben mengikutinya masuk ke toilet. “Bagaimana?” tanya Ella lagi.

Grace membuka satu per satu bilik toilet untuk memastikan tidak ada siapapun di sana. Lalu menutup kembali semua bilik itu.

“Bagus! Kemarilah!”

Grace dan Ella langsung mengambil posisi di belakang pintu toilet. Kemudian Ella berdeham kecil, menarik napas dalam-dalam, dan langsung menjerit nyaring. Seperti dugaannya, Max langsung mendobrak masuk dan bergegas memeriksa bilik-bilik di sana. Sesuai dengan rencana mereka, Ella dan Grace diam-diam langsung keluar dan mengunci Max di dalam toilet.

“Berhasil!” seru Ella dan Grace bersamaan.

“Kau yakin dia tidak akan merusak pintu ini?”

“Dia tidak akan berani.”

“Kau yakin?”

“Sudahlah, ayo kita ke kelas!”

Grace dan Ella kembali melangkah menuju loker untuk mengambil beberapa buku sebelum ke kelas, meninggalkan Max yang masih berteriak dan menggedor pintu toilet tanpa henti.

“Ella!”

Ella yang sedang mengambil buku dari lokernya menoleh, dan pria yang kemarin hampir menidurinya sedang berlari ke arahnya.

“Aku minta maaf untuk yang kemarin.”

“Menyingkirlah, Berengsek!” gusar Grace.

“Aku tidak sedang bicara denganmu.”

“Ella, jangan percaya pada pria ini. Dia sama bejatnya dengan Luis!”

“Menyingkirlah, urus saja urusanmu dengan Luis, Grace. Jika hubunganmu dengan Luis tidak berhasil, jangan kau lampiaskan pada hubunganku dan Ella.”

“Kau yang menyingkir, Oscar!” ucap Ella sambil membanting pintu lokernya. “Kau sudah melecehkanku dan sekarang berani muncul di depanku?”

“Oh, ayolah! Itu tidak benar, Ella.” Oscar mendekatkan bibirnya ke telinga Ella. “Kita sama-sama menginginkannya, kan?”

Ella langsung mendorong tubuh Oscar dan memukulkannya dengan setumpuk buku yang baru saja diambil dari loker.

“Beruntung Dad-ku tidak menembak mati dirimu, Oscar! Orang tuamu pasti menyesal jika tahu bagaimana anak kebanggaannya ini memperlakukan wanita!” teriaknya marah, tidak peduli pada banyak pasang mata yang menatapnya.

“Hentikan, Ella!” geram Oscar yang langsung menyambar tangan Ella, menghentikan pukulannya yang bertubi-tubi. Kemudian Oscar langsung mendorong tubuh Ella hingga membentur loker, lalu mengungkungnya. “Aku datang untuk minta maaf dan—”

“Menjauh dari Ella, Berengsek!” potong Grace yang mendorong tubuh Oscar. Kemudian dengan sigap dia melindungi sahabatnya itu. “Jangan pernah ganggu Ella lagi! Atau aku akan benar-benar mengadukanmu pada James Softucker!”

“Grace,” bisik Ella yang berdiri di belakang Grace.

“Tapi, El—”

“Cepat panggil Max! Atau kita berdua akan mati di sini!” lanjutnya selirih mungkin.

Bukan tanpa alasan Ella memaksa Grace untuk segera memanggil Max. Melihat bagaimana wajah Oscar saat ini, pria itu benar-benar kesal padanya. Dan dengan tangan yang biasa melempar bola bowling itu, hanya sekali pukul, maka Ella dan Grace bisa langsung gegar otak!

“Cepatlah!”

Meski ragu, tapi pada akhirnya Grace menuruti perintah Ella.

“Hanya seperti itu keberanianmu?!” cibir Oscar, dan detik berikutnya tatapan tajamnya beralih pada Ella yang masih terpaku di tempatnya. “Kau sendirian sekarang.”

“Kau tidak lihat mereka semua?”

“Tidak akan ada yang berani menganggu urusanku, Ella. Kau lupa siapa aku dan jasa apa saja yang sudah kuperbuat untuk kampus ini? Tanpa aku, tim football dan bowling mungkin sudah bubar. Aku juga adalah kesayangan para dosen di sini.”

Ella terkikik geli mendengar Oscar yang membanggakan dirinya sendiri. Sungguh, tidak ada yang salah dengan ucapannya. Namun, tetap saja itu menggelikan untuk Ella. Dirinya tidak butuh berurusan dengan pria yang dengan mudahnya melecehkan dirinya, tidak peduli sebanyak apapun prestasinya. Di mata Ella, mereka tetaplah sampah tidak berguna!

“Dengan perbuatanmu, di mataku, kau tetap sampah!”

“Ella!” geram Oscar seraya tangannya melayang, hendak menampar gadis yang sedikitpun tidak terlihat ketakutan di matanya. Namun, ayunan tangan Oscar terhenti di udara. “Jangan ikut campur, Berengsek!”

“Jangan pernah memukul gadis, apalagi di depanku.”

“Lepaskan tanganku! Aku tidak akan mengulang perintahku lagi.”

“Berjanjilah untuk tidak memukulnya, maka aku melepaskanmu.”

“Sialan!” maki Oscar, lalu dengan tangannya yang lain mengayunkan tinju ke arah sosok yang mencekal tangannya. Namun, sosok itu lebih cepat menghindar dan malah menangkap kedua tangan Oscar. Kemudian memutarnya ke belakang, dan mendorong tubuh bagian depan Oscar hingga membentur loker.

“Ini hari pertamaku di kampus. Aku tidak ingin membuat banyak orang salah paham dengan kejadian ini. Aku ingin menjadi anak baik-baik di sini.”

“Lepaskan aku, Berengsek!” ronta Oscar yang masih terhimpit. “Siapa, kau?!”

“Aku? Oh, maaf, aku sudah tidak sopan, karena belum memperkenalkan diri,” kekehnya. “Namaku Prince. Prince Loshen.”  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status