“Iya. Dia itu Sekretaris pribadiku. Jadi, kalau aku sibuk dan lembur, otomatis itu dia juga ikut lembur,” balas Barnett meninggi.
“Sekretaris pribadi bertugas di kantor dan hanya untuk perintahmu, kan? bukan untuk menemanimu? Sedangkan, Sekretaris pribadi memiliki ruangan sendiri, bukan di sini. Jadi, Deana bisa keluar dari ruangan ini, kan? kamu bisa keluar dari ruangan ini, Bu Deana Florence?” cerocos Alexa yang memperjuangkan haknya sebagai istri.
Deana melirik Barnett yang terdiam sambil bersandar di kepala kursi lalu beberes semua berkas penting dari hasil rapat bulanan dengan ekspresi yang kesal terhadapnya. Alexa tidak tahu yang akan dikerjakan olehnya hingga suaminya meminta untuk pulang terlebih dahulu. Namun, ia menggunakan kekuasaan sebagai istri CEO untuk mengusir Sekretaris pribadinya.
“Saya pulang dulu, Bu, Pak,” pamit Deana kesal.
“Silakan. Kamu seharusnya pulang lebih dulu,” balas Alexa yang sengaja membuat hatinya semakin panas.
Alexa sangat kesal dengan Deana. Entah alasan apa yang membuatnya tidak suka dengannya.
Deana keluar dari ruangan sambil membawa berkas perusahaan. Ia tersenyum tipis sambil heran dengan sikapnya yang marah saat diminta untuk tidak menemani Barnett. Alexa duduk kembali di samping suaminya.
“Apakah ada masalah?” tanya Alexa yang berusaha mencairkan suasana dan berusaha mendekat dengan Barnett.
“Kenapa kamu mengusir Sekretaris pribadiku? Aku sedang mengerjakan rencana buat ke depannya,” tanya Barnett datar.
“Aku tidak mengusirnya, tetapi meminta pulang karena sudah waktunya pulang dan aku sebagai istrimu berhak melakukan itu. Aku yang akan menggantikannya karena tugasku sekarang merangkap. Sebagai Manajer, sekretaris dan bendahara kamu,” jawab Alexa ringan lalu tersenyum lebar.
“Aku bilang sama kamu kemarin dan tadi pagi bahwa tidak sudi untuk berada di dekatmu. Aku lebih nyaman dengan Deana dari pada kamu. Kamu cukup lakukan pekerjaanmu sebagai Manajer di kantor ini dan tidak perlu melakukan pekerjaan seorang istri di rumah karena aku terbiasa semuanya melakukan sendiri. Kamu juga tidak perlu untuk berusaha membuatku menyukai atau mencintaimu karena tidak akan pernah terjadi,” ucap Barnett lalu membersihkan semua berkas dan dimasukkan ke dalam tas.
Senyuman lebarnya pun melebur dengan hati yang dicabik-cabik untuk kesekian kali. Pernyataan Barnett sangat menyakitkan saat menolak kehadirannya dengan membandingkan kenyamanan dengan sekretaris sambil mengepalkan tangan erat dan tetesan air mata jatuh kembali di tangan kiri.
“Kamu hanya bilang tidak sudi denganku kalau aku menyentuhmu bukan berada di dekatmu,” tegur Alexa yang mengingatkan ucapannya yang berbeda.
“Sama saja. Aku tidak menyukai keduanya. Jadi, kamu jauh-jauh dariku.”
Alexa tidak mengetahui apa pun terkait Barnett yang membencinya sampai tidak ingin berdekatan dan disentuh olehnya. Air mata diseka perlahan lalu tersenyum miring ketika melihat suaminya sungguh pergi meninggalkannya.
Alexa keluar dari ruangan rapat sambil membawa tas. Ia tidak lupa memeriksa handphone untuk mengetahui ada pesan dari mertuanya tentang alamat rumah baru untuk mereka. Ia membuka pesan dari Mama mertua.
[Nak, jam enam sudah ada di rumah baru kalian yang beralamatkan di Jalan Kuningan, Jakarta Selatan, Perumahan Elite Blok C No. 152.]
Alexa membalas pesan Mama mertua secepat kilat.
[Baik, Ma. Barnett dan Alexa datang ke sana.]
Alexa mengirim pesan pada Barnett.
[Barnett, jam enam sudah ada di rumah baru yang beralamatkan di Jalan Kuningan, Jakarta Selatan, Perumahan Elite Blok C No. 152. Jangan lupa melakukan yang tadi pagi, ya.]
Alexa melirik waktu di handphone dan menunjukkan pukul lima sore. Ia memesan ojek daring menuju rumahnya saat ini juga untuk menghindari kemacetan. Wanita itu tidak lupa memberikan kabar pada Barnett untuk datang ke rumah barunya dan berpura-pura tetap romantis dan seperti tidak terjadi sesuatu pada mereka.
Jarak kantor dari rumah baru cukup jauh sehingga memutuskan untuk berangkat sekarang, kondisi perjalanan di kota Jakarta sangat tidak bisa diprediksi. Ia tidak memedulikan pesannya dibaca oleh Barnett atau tidak, yang terpenting adalah menyampaikan dan selalu mengingatkannya untuk di hadapan orang tua.
Alexa tidak ada maksud untuk membohongi mereka, tetapi menjaga perasaan orang tua yang mudah sensitif terhadap hal yang menyakitkan dan berusaha membahagiakan anaknya. Tatapannya sedikit kosong selama perjalanan untuk memikirkan Barnett yang suatu hari nanti bisa lebih parah dan situasi sudah tidak bisa dikendalikan lagi.
Ia menggeleng cepat sambil mengusap seluruh wajahnya perlahan lalu mengembuskan napas secara dihentakkan. Semua yang dibayangkan dan bersarang dalam pikiran hanyalah sebuah ketakutan dari kehilangan seorang suami yang terpaksa untuk berpisah.
Alexa tiba di depan rumah bertingkat dua dengan desain minimalis modern sesuai dengan alamat yang disampaikan oleh Mama mertua. Namun, belum tampak dan terdapat tanda-tanda kehadiran mereka sama sekali. Ia melirik waktu di handphone dan menunjukkan waktu telah melewati jam enam lewat lima menit.
“Sudah lebih lima menit, tapi kenapa sepi sekali. Apakah mereka lupa atau sudah ada di dalam? terus, kenapa mobil Barnett tidak ada di halaman rumahnya?” Alexa bertanya-tanya sambil celingak-celinguk dan menoleh ke belakang pintu rumah yang terlihat seperti tertutup rapat.
Alexa ingin menuju pintu rumah itu, tetapi ragu untuk melangkah ke sana karena tidak ada Barnett dan pasti ditanyakan oleh orang tua saat mereka memang lebih dulu datang dan sengaja menutup pintu rumah untuk membuatnya terkejut.
Kebimbangan yang membuatnya sampai menggigit bibir bawah dan menepuk kedua tangannya sebanyak tiga kali lalu membungkukkan badan sembari memerhatikan lingkungan perumahan yang sangat sepi dan satu dua mobil mewah melewati rumahnya.
“Apakah aku harus ke sana tanpa Barnett? Bagaimana jika mereka menanyakan dia?” Alexa terus berkutat dengan pikirannya yang belum pasti terjadi.
Ia memikirkan semua pertimbangan dan risiko saat tidak bersama Barnett selama lima menit. Lalu, ia mencoba untuk menghubungi Barnett sebanyak sepuluh kali, tetapi tidak ada jawaban darinya.
Alexa menuju pintu rumah dan mengetuknya sebanyak tiga kali. Hitungan detik, pintu rumah terbuka yang bersamaan dengan suara terompet keras hingga membuatnya terkejut.
“Selamat datang di rumah baru Alexa dan Barnet.”
Sontak, Alexa terkejut melihat orang tuanya datang ke rumah barunya. Orang tua dan mertua menyambut kedatangannya dan mengucapkan selamat dengan ramah dan meriah. Mereka memeluk erat dan bergantian lalu memintanya masuk tanpa menanyakan keberadaan Barnett.
“Ayo masuk, kami sudah menyiapkan makan malam yang sangat lezat untuk kalian,” kata Mama mertua sambil menggandeng tangannya dan tersenyum lebar.
“Iya, Ma. Kenapa repot untuk menyiapkan semua ini?” tanya Alexa yang sedih karena dipersiapkan dengan baik dan layak.
“Tidak repot, Nak. Semua ini untuk kalian dan adik iparmu juga membantu untuk semua ini,” jawab Mama mertua dengan menoleh ke perempuan yang berpakaian lengan pendek dan terlihat perutnya.
“Astaga, Dik. Terima kasih sudah membantu Ibu, Mama, Ayah dan Papa.”
“Tidak masalah, Kak,” jawab perempuan muda yang ramah.
Perempuan muda mengenakan pakaian mini sedang mempersiapkan piring dan gelas di meja makan bernama Helena. Dia adalah Adik Barnett, kelakuan dan sifatnya sangat jauh berbeda.
“Di mana Barnett?” tanya Ibu Alexa sambil mempersiapkan menata makanan di meja.
Alexa mengangkat kedua alis sambil membuka mulutnya untuk mencari jawaban. Bibir menutup sampai tersenyum lebar dan menghela napas panjang untuk menjawab pertanyaan dari ibunya.
“Barnett sedang sibuk, Bu di kantor. Tadi sudah bilang ke Alexa bahwa dia lembur hari ini,” kilah Alexa lalu duduk di kursi meja makan sambil mengambil dan menuangkan nasi di piring.
Orang tua dan mertua terdiam sambil menatap Alexa yang duduk dan berusaha menyembunyikan kepahitannya saat bersama Barnett di hadapannya. Helena menghampiri lalu memeluk Alexa erat untuk mencairkan suasana.
“Tidak apa, Kak. Kak Barnett memang seperti itu dari dulu. Jadi, aku tidak kaget kalau dia seperti itu. Dia dari dulu tidak bisa membedakan waktu antara keluarga dan pekerjaan, atau keluarga dan temannya,” ujar Helena sambil menatap Alexa. Alexa tersenyum dan mengangguk seraya mengusap lengannya.
“Papa jemput dulu ke sana, ya,” timpal Papa mertua yang berpamitan dengan mereka.
Alexa berdiri secepat kilat. “Tidak perlu, Pa. Biarkan dia fokus sama pekerjaannya. Alexa belajar memahami Mas Barnett karena kami belum kenal dekat dan hanya tahu di kantor saja,” sanggah Alexa yang tidak ingin memperkeruh keadaan.
“Dia tidak bisa seperti ini, Alexa. Seharusnya dia bisa membedakan antara keluarga dengan pekerjaan,” jawab Papa mertua menekan.
“Tidak apa, Pa. Suatu hari nanti dia pasti mengerti soal kepentingan.” Alexa membela Barnett agar tidak memperpanas situasi.
“Tunggu, kenapa dengan dahimu sampai menggunakan plester karakter?” tanya Mama mertua sambil memerhatikan bibir Alexa.
“Maafkan kami yang tidak bisa menyelamatkan nyawanya. Mas Frank telah meninggalkan kita semua.” Dokter yang pernah menanganinya memberikan kabar buruk kepada Alexa, Barnett, Helena dan Bayu.Ia mematung dengan kaki yang sudah tak kuat menahan apa pun yang didengar dan tubuhnya hingga terduduk lemas sambil menggendong Ali dan ditangkap oleh Barnett yang ikut duduk di lantai. Alexa menggeleng pelan sambil mengalirkan butiran bening di pipi.“Tidak mungkin, Frank orangnya kuat, mana mungkin dia meninggal. Dokter berbohong kepadaku.”Helena mengambil Ali dan menggendong lalu menjauh dari situasi yang memanas dan sedih hingga berdiri di dekat dinding yang masih bisa memantau kakaknya dan Alexa. Alexa berdiri sembari menyingkirkan Barnett lalu menarik jas putih itu.“Katakan pada saya, Dok bahwa Dokter berbohong, kan atas kematian Frank? Dia sudah kuat beberapa tahun untuk melawan penyakitnya, tapi kenapa dia menyerah begitu saja disaat aku dengannya mau menikah, Dok? Katakan kalau itu boho
“Katanya sudah lama, tapi tidak pernah memberitahuku tentang penyakitnya dengan alasan tidak ingin membuatku sedih, tapi kalau sudah seperti ini bag—”“Dia sudah baik melakukannya seperti itu karena kondisimu saat itu sedang terpuruk sehingga menurutnya tidak ingin membebani dan menambah pikiranmu karena aku yang berbuat masalah,” sela Barnett yang mencoba untuk memberi pengertian kepadanya.“Iya, lebih baik seperti itu,” kata Alexa menegaskannya.Barnett terdiam saat Alexa menegaskan kalimatnya. Ia mengusap kening Ali setelah selesai minum ASI lalu memandangi tulisan sedang beroperasi berwarna merah dan menyala dengan harapan hasil yang baik dan bisa melanjutkan hidup bersamanya.“Aku tadi menemukan dua kertas putih di atas nakas di kamar yang berada di kamar utama yang terlipat dan terdapat nama berbeda,” ucap Helena sambil mengeluarkan dua kertas putih itu dan diberikan kepada pemilik yang tertulis di kertas itu.Alexa dan Barnett hendak membuka surat itu, Dokter dan satu perawat k
Nada dering panjang berbunyi keras saat Alexa menuju Apartemen Frank. Ia merogoh wadah kotak di samping kursi mobil dan menemukannya. Nomor tak dikenal menghubunginya beberapa kali lalu mengangkat panggilan masuk dari nomor itu.“Lama sekali mengangkat panggilan masuknya!” sentak seorang pria di balik handphone.Alexa mengernyitkan dahi. “Siapa?”“Bayu!”“Ada apa? Kenapa kamu marah-marah?”“Cepetan ke rumah sakit internasional,” jawab Bayu yang terdengar tangisan bayi yang melengking.“Kamu sedang menggendong anakku?”“Iya, cepetan datang ke Rumah sakit Internasional sekarang! Kondisi Frank drop!” pekik Bayu panik lalu menutup panggilan masuk darinya.Alexa memutar balik arah tujuannya menjadi ke Rumah Sakit Internasional dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia harus segera tiba di sana sebelum memasuki jam dua belas siang agar tidak terjebak macet.Ia membunyikan klakson ketika ada mobil yang mencoba untuk mendahuluinya dan menghalangi jalur perjalanannya. Namun, ketika hendak memasuk
Barnett mengalihkan kepala dari tangannya lalu menatap Helena yang berdiri dengan mengalirkan butiran bening di pipi dengan deras. Dia meminta untuk mendekat padanya dan Helena duduk di samping Barnett dan Frank.“Psikologi Papa terganggu, Dik.”“Astaga, Papa,” rengek Helena terisak.Helena memeluk erat Barnett saat mendengar kondisi papanya yang sakit. Mereka terlihat menyesali perbuatan yang sering membantah dan membangkang orang tuanya, apalagi hanya memiliki satu orang tua dalam hidupnya.Alexa melihat adik kaka berpelukan menjadi sedih karena berusaha keras menjaga orang tua yang sudah lansia dan hanya tersisa satu orang. Semua harus didasari oleh kejadian terlebih dahulu untuk merekatkan hubungannya.Semua selalu mengalami keterlambatan untuk menjadi satu. Jika tidak seperti itu maka siapa pun tidak akan pernah merasakan kembali ke keluarga yang sudah retak.“Barnett, Helena, aku pulang dulu, ya. Alexa sudah punya anak kecil, jadi maaf tidak bisa lama-lama seperti biasa.”“Iya,
Kelvin tertawa keras ketika melihat Barnett yang sangat khawatir kepadanya. Dia tidak pernah berbuat khawatir kepada adiknya dan membuatnya merasa aneh. Kelvin semakin menjambak rambut Helena hingga membuatnya mengerang.Sontak, Reynard memegang kaki Kelvin dengan erat. Dia seakan memohon untuk melepas tangan dari rambutnya. Kelvin menyingkirkan tangan pria lansia itu dengan keras sampai tersungkur di lantai.“Kelvin!” teriak Barnett dengan wajah semakin merah padam.“Apa? Jika kamu berniat mengganti hak kuasa maka Raja pengusaha dan adikmu yang cantik ini mati di tanganku!”“Kamu mengancamku juga percuma karena aku sudah mengesahkannya ke notaris.”“Kamu!”Kelvin menembak pundak Helena dan Helena berteriak kesakitan sembari memegang pundaknya yang mengalirkan air berwarna merah segar. Sontak, semua orang membulatkan bola mata dan membuat Alexa memajukan langkahnya, tapi ditahan oleh Frank.Frank memasuki ruangan luas yang kosong terlebih dahulu dengan mengendap-endap dan disusul oleh
Bola menyebar ke seluruh benda yang ada di kamarnya dan berhenti di meja dekat sofa. Meja kayu persegi panjang ter dapat botol yang digunakan wadah untuknya setelah memompa ASI.“Dia pintar juga bisa menidurkan Ali tanpa membangunkanku. Aku sangat bersyukur memilikimu, Sayang karena kamu adalah pria sigap tanpa diberitahu dan diminta tolong. Semoga kamu adalah jodoh terakhirku dalam seumur hidupku dan mudah-mudahan kamu sembuh agar bisa menikah dan punya anak darimu.”Alexa berbicara lirih dengan penuh harapan sembari menatapnya lamat dari kejauhan. Wajah tampan dengan garis rahangnya yang tegas membuat nyaman seakan tidak pernah memaki, menghakimi dan merendahkanku. Bahkan cara menegurnya sangat lembut tanpa membentak, meskipun ia tahu bahwa Frank sangat kesal dan marah kepadanya.Butiran mengalir bening ketika mengingat penyakit yang ganas menginap di tubuhnya. Namun, ia berjanji merawat Frank dengan berusaha keras untuk menyembuhkannya.Frank terbangun dari tidur dengan per