"Hah...."
Vanesha menghela napas. Ia akhirnya bisa mendaratkan tubuhnya di tempat tidur beralaskan tikar tipis.
Tak apa, yang penting dia bisa berbaring dan tidur.
Namun ketika sedang merogoh sakunya, kartu nama yang diberikan padanya, menyelip di jari.
“Oh iya, ini kartu nama dari pria tadi. Hendrik Syahputra. Nomor teleponnya juga ada.” Beberapa detik dia mengamati kartu nama itu.
‘Kalau kamu tertarik, kamu bisa menghubungi nomor ini. Yang jelas, untuk bayarannya, pasti jauh lebih memuaskan daripada kerjaanmu yang sebelumnya.’
Ingatan Vanesha kembali ke saat itu.
Ia sadar, kalau benar-benar membutuhkan banyak uang untuk kebutuhan di rumah.
Bukan hanya untuk dirinya sendiri saja, tapi ibu tiri dan saudara tirinya juga.
Apalagi, uang yang Hendrik berikan padanya, tidak bisa dikembalikan karena diambil Gema.
Satu hal yang disyukuri, bensin motornya penuh.
“Apa sebaiknya aku terima saja pekerjaan itu? Gak apa-apa kan kalau kita mendengar penjelasan dari dia?”
Lama berpikir, tubuhnya bergeser ke kiri dan kanan untuk mencari jawaban yang pasti, hingga akhirnya Vanesha memutuskan sesuatu.
“Oke! Besok, aku harus menemui orang baik itu. Tapi ... bagaimana kalau dia menyuruhku untuk menggantikan uangnya?" Vanesha terdiam.
Namun, ia menguatkan diri. Mungkin jika Vanesha mengatakan yang sebenarnya, mereka mengerti?
Tak lama, Vanesha pun tertidur dan bagun pagi-pagi sekali.
Ia memang harus bangun lebih dulu untuk menyiapkan semuanya untuk kebutuhan adik tiri dan ibu tirinya.
Kalau tidak, ibu tirinya berteriak atau lebih parah menyiramkannya air lagi seperti biasa hanya untuk membangunkannya.
“Hhhhmmmmppphh…” Vanesha meregangkan kedua tangan ke atas.
Dilihatnya sebentar sekitar kamarnya yang sangat kecil dengan keranjang-keranjang pakaian yang berisi pakaian yang berantakan.
Kamar, tapi lebih cocok dikatakan itu adalah gudang.
“Mari kita lihat, apa yang ada di dapur. Kalau tidak ada apa-apa disana untuk bisa dimasak, apa yang harus aku lakukan?” Vanesha berjalan menuju dapur dan memeriksa kulkasnya, menyemangati diri sendiri.
Sayangnya, tidak ada apapun di sana.
Bahkan sekadar cabe dan bawang saja, tidak ada!
"Ck, apa mereka pikir aku punya banyak uang yang bisa menyediakan semua keinginan mereka?” celotehnya kecil memegang pinggang.
Rasanya, ia ingin melewati tugas ini.
Tapi kalau tidak masak, sang ayah juga tidak bisa makan. Bagaimana ini?
“Ngapain kamu berdiri saja di sana?”
Vanesha sontak tersadar ketika mendengar suara Gema yang menyibakan horden pembatas dapur.
“Bu, ini, gak ada apa-apa di sini, jadi aku gak bisa masak.”
“Gak ada alasan! Kalau gak ada, ya beli dong! Males banget sih?!” intipnya sebentar melihat kulkas.
“Tapi aku gak punya uangnya sekarang. Tadi malam kan Ibu sudah ambil semuanya.”
“Itu masalahmu sendiri. Eh Vanesh! Kalau kau gak masak, bukan hanya aku saja yang gak bisa makan, tapi ayahmu yang penyakitan itu.”
Dia tahu itu, dan sebenarnya itulah yang paling dia pikirkan.
“Bu, tolong berikan aku uang kemarin, atau tidak setengahnya saja. Aku akan ke pasar dan membeli yang dibutuhkan. Nanti, kalau aku sudah bekerja, aku akan menggantinya lagi. Bu, kalau aku tidak bekerja, Ibu dan adik-adik, siapa yang akan memenuhi kebutuhan kalian?” ucapnya ragu.
Masuk akal, pikir Gema yang mata duitan.
“Oke.” Wanita itu mengeluarkan selembar 20 ribu rupiah dari kantong dasternya yang memiliki bagian sobek, “Nih, ambil uang ini dan pergi kewarung, belanja!”
Vanesha mengernyitkan keningnya ketika melihat selembar uang itu, “Bu, ini mana cukup. Kita tidak punya apa-apa, bahkan buat beli beras-
“Bodo amat! Gak mau tahu, harus cukup!” setelah mengatakan itu, dia pun pergi meninggalkan Vanesha yang masih bingung bagaimana caranya membagi-bagikan uang. Digaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal itu, ‘Haruskah aku pergi saja dari sini bersama Ayah?’
Ragu, ia mulai menghubungi orang itu....
***
“Kenapa aku harus ikut bertemu dengan wanita aneh itu sih?”
Di sisi lain, Raditya mengomel karena dibawa paksa oleh Manajernya untuk menemui seseorang.
“Karena ini akan berhubungan denganmu, Radit,” jawab Hendrik, sembari memeriksa ponselnya dan jadwal untuk aktornya.
“Apa? Jangan bilang, tentang wanita itu?”
Hendrik hanya melihat sekilas pada Raditya sebagai jawabannya.
“Hah… jadi, apa benar dia akan menjadi asistenku?” Radit menutup wajahnya dengan telapak tangannya.
“Ya, semoga saja. Dan kalaupun dia menjadi asistenmu, aku berharap dia bisa bertahan lama padamu.”
“Yah, itu jika dia mampu kan?”
Hendrik menghela napas.
Diabaikannya aktor bimbingannya itu sejenak dan mengambil ponsel.
[Sebentar lagi kami akan tiba.]
Ya, Hendrik mengirim pesan pada Vanesha, orang yang menghubunginya sejak pagi tadi dan membuat janji temu meski Raditya terus mengoceh.
Saat ini, fokusnya hanya satu. Memastikan Vanesha menerima tawarannya.
Dengan begini, 2 pulau terlampaui dalam sekali dayung.
Raditya akan mendapat asisten baru dan juga Hendrik dapat memastikan reputasi Raditya "terjaga".
Sudah dua minggu sejak Raditya mengutarakan perasaannya pada Vanesha, dan masih tidak berubah pikiran. Malahan, dia semakin manja dan bergantung pada Vanesha, setiap menit.“Permisi, dengan nona Vanesha?” seorang kurir menghampiri Vanesha yang sedang menunggu Raditya syuting.“I-iya? Itu aku?”“Ini, pesanan makanannya. Semuanya sudah dibayar, tinggal diterima saja.”“Oh iya, terima kasih Pak.” Setelah menerima pesanan yang ternyata isinya makanan, Vanesha melihat Raditya. Pria itu, melambaikan tangan dan tersenyum padanya.Karena disuruh untuk istirahat, Raditya datang dan menghampiri Vanesha, duduk disampingnya, dan menyandarkan kepala dibahunya, “Hah…”“Tuan, makanan ini, apa anda mau langsung memakannya?”“Sudah aku bilang jangan panggil aku ‘Tuan’. Aku kan sudah melarangmu.”“Mana bisa saya melakukan itu. Namanya tidak sopan.”“Kan aku yang suruh. Pokoknya, aku akan marah kalau kau melakukan itu lagi.”“Tapi-“Makanannya sudah datang kan? Tapi, kenapa tidak kau makan? Sampai sudah
Keadaan Sulastri sudah semakin membaik. Dia sekarang berbaring diranjangnya, dan Radtiya juga Vanesha masih disana untuk menjaganya. Raditya mulai bisa menyentuh dan dekat dengan ibunya, padahal sebelumnya belum pernah bisa berdiri dengan jarak yang dekat.Karena ibunya sudah tenang dan tidur, Dokter Ivan mengajak mereka berdua untuk pergi dan membiarkan Sulastri beristirahat sendiri.“Saya terkejut, karena hari ini, nyonya Sulastri lebih ramah dari sebelumnya. Walau sempat tadi dia mengamuk dengan pak Surya. Tapi saya tidak menyangka dia akan luluh dengan anda.” Kata dokter Ivan memberi pujian.“Tentu saja dok. Namanya juga hubungan ibu dan anak, darah itu pasti mengalir dan saling mengenal.” Kata Vanesha.“Sayang sekali, pak Surya sudah pergi karena katanya ada urusan yang harus dia kerjakan.”“Aku tidak perduli!”“Tuan..” Vanesha menegurnya pelan.“Kalau begitu, saya akan meninggalkan kalian dulu, permisi ya.”Sekarang hanya tinggal Vanesha dan Raditya.“Tuan, anda juga harus dioba
Beberapa hari kemudian. Surya merindukan mantan isterinya, Sulastri. Dia pun berniat untuk pergi lagi ke rumah sakit jiwa, padahal sebelumnya dia sudah menemui Sulastri walau mantan isterinya tidak mengetahuinya.“Dimana dokter Ivan?” tanya Surya pada rekan dokter Ivan karena dia tidak menemukan dokter yang biasanya mengurus Sulastri.“Dokter Ivan sedang mengantarkan dua orang untuk menemui pasien.”“Apa? Dua orang? Siapa mereka?”“Maaf Pak, saya tidak tahu. Hanya itu saja pesan dari dokter Ivan.”“Ya sudah, terima kasih.” Tapi, Surya sendiri yang akan pergi menemui Sulastri, juga dia tahu dimana tempatnya.Tap!Langkah kakinya berhenti ketika dekat dengan Sulastri, dan dua orang yang dia kenal, “Raditya?” dia memanggil nama puteranya.“Pak Surya?” tapi Vanesha yang merespon Surya, sedangkan Raditya hanya melihatnya saja.Surya mendekati mereka, disana juga ada dokter Ivan.“Apa yang kau lakukan di sini, Radit?”“Kau sendiri? Kenapa kau datang ke sini?” pertanyaan ketus dari Raditya.
“Mmm… Tuan, apa yang kita lakukan di dapur ini?” Vanesa curiga.‘Apa sebentar lagi dia akan mencumbuku di sini? Selera yang aneh. Tapi… ah, biarkan sajalah. Yang penting hutangku berkurang dan dia tidak marah-marah.’“Buatkan nasi goreng untukku.”“Ya saya akan melakukan selera aneh anda…. Eh? Ma-maksudnya…. Nasi goreng?”‘Maksudnya gaya ‘Nasi goreng’ kah? Ba-bagaimana gaya itu ya?’Cetak!“Auuchh…” Vanesha memegang keningnya yang dijentik pelan oleh Raditya.“Apa yang kau pikirkan? Aku bilang, buatkan aku nasi goreng. Kau sudah banyak makan kan? Apa kau pikir aku tidak lapar?” Raditya berpangku tangan menunggu pergerakan Vanesha.“Nasi goreng… beneran nasi goreng kan? Beras yang sudah jadi nasi, lalu di goreng di penggorengan pakai garam-“Iya! Bawel banget sih. Cepat buatkan aku nasi goreng, dan harus enak. Telurnya dua, yang di mata sapi kan satu, lalu yang di orak-orek satu. Pedasnya sedang, dan jangan terlalu banyak minyak dan garamnya.”Vanesha masih bingung, “Dengar gak?” tanya
Padahal tadinya, suasana sedang hangat dan ramah. Tapi, entah apa yang Andre bisikan padanya, raut wajah Surya jadi murung bercampur kesal. Terasa sekali perubahannya.“Maafkan saya, sepertinya hari ini cukup di sini dulu. Lain waktu, mari kita berkumpul dan mengobrol seperti ini. Vanesha, kau juga harus tetap ikut ya.” Surya berdiri dari kursinya dan tetap berusaha untuk tersenyum ramah pada mereka.“Iya Pak, terima kasih. Tapi, anda belum makan loh.”“Saya bisa makan nanti. Karena ada urusan yang sangat mendesak sekali hari ini. Radity, Ayah pergi dulu. Jaga kesehatanmu.”Tapi Raditya tidak menjawabnya.‘Yah.. paling tidak, Tuan Radity tidak marah.’Buru-buru, Andre dan Surya pergi meninggalkan mereka.“Ya, kalau begitu, aku juga harus pergi.”“Anda mau ke mana, Pak Hendrik?”“Mau pulang menemui calon kakak iparmu. Sebentar lagi kan, kami akan menikah. Oh ya, mungkin selama aku menikah, Vanesha pasti akan semakin banyak kerjaan dan kerepotan. Mohon bantuannya ya. Nanti, kamu akan ak
“Kenapa? Kau tidak mau menikah denganku?”‘Pertanyaan jebakan ini. Kalau jujur sih, enggak mau. Apalagi tempremental anda yang tinggi ini.’“Ah, sudahlah. Kau hanya diam saja, berarti memang tidak mau.” Raditya kembali melihat kedepan lagi.Vanesha tidak mau membahasnya lagi. Pokoknya, dia mau segera sampai di tujuan agar dia bisa lega.“Sekarang, kau tidak mau. Tapi, ketika mengetahui masa laluku, kau pasti semakin tidak mau, dan mungkin kau akan pergi jauh.”“Mm… Tuan? Memangnya.. ada masa lalu apa?”Raditya kembali melihat Vanesha, kau dengar kan tadi, kalau ibuku berada di rumah sakit jiwa.”“Ya saya tauh… ups…” dengan tangan kanannya ia menutup mulutnya.‘Astaga, kenapa aku tidak bisa mengontrol omongan yang keluar dari mulutku sih?“Apa? Kau tahu kalau ibuku ada di rumah sakit jiwa?” caranya melihat Vanesha seperti menangkap basah akan kesalahan Vanesha.“Itu… kan anda bilang tadi. Juga, disana, mulut anda sendiri yang bicara dan kebetulan saya mendengarnya-“Tidak. Dari cara re